Pertama-tama
yang harus kita sadari adalah tidak ada netralitas dan obyektifitas dalam
hukum. Argumen yang mengatakan bahwa hukum itu netral dan obyektif serta
memperlakukan semua orang sama dihadapannya adalah sebuah argumen yang
kehilangan kontekstualisasi dan persambungan dengan realitas. Hukum adalah
sebuah perangkat atau instrumen dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
digunakan oleh kelompok-kelompok kepentingan. Apalagi dalam tradisi hukum
Kontinental yang kita anut selama ini yang menekankan pada aturan-aturan
tertulis yang biasanya dibuat oleh ahli hukum dari kalangan akademisi dan
mendapat persetujuan dari lembaga legislatif maupun eksekutif. Dengan demikian
peranan negara dalam pembentukan hukum di Indonesia begitu besarnya, sehingga
tidak bisa dipungkiri adanya “hidden political intentions” dalam setiap produk
hukum yang dihasilkan.
Lembaga
eksekutif dan legislatif adalah sebuah lembaga yang dipenuhi persaingan dari
bermacam-macam kelompok yang mengusung ideologi
dan kepentingan masing-masing. Pertarungan dari berbagai kepentingan
tersebut berujung pada dihasilkannya sebuah kebijakan yang pelaksanaannya
melalui peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain, aturan hukum.
Mengapa harus hukum? Tentu saja hukum digunakan agar pelaksanaan sebuah
kebijakan bisa dipaksakan dan ada sanksinya jika dilanggar. Dengan demikian
hukum dapat mengarahkan perilaku dari masyarakat, dengan melaksanakan hal-hal
tertentu dan tidak melakukan hal-hal tertentu.
Dengan melihat
bahwa hukum adalah sebuah instrumen yang dibuat oleh negara, maka menjadi lebih
jelas mengamati kepentingan sebuah kekuasaan dengan melihat produk hukum yang
dibuatnya. Apapun bentuk negara tersebut, entah itu sifatnya otonom atau
instrumental, tetap membutuhkan hukum sebagai perangkat bagi pencapaian tujuan
pemegang kekuasaan negara. Mulai dari Napoleon, Lenin, Mao Zedong, Franklin
Delano Roosevelt, kekuasaan Kolonial Belanda, sampai dengan Soeharto mereka
selalu menggunakan hukum sebagai perangkat pencapaian tujuan. Penggunaan hukum
sebagai perangkat dalam pencapaian tujuan-tujuan yang dilakukan oleh kekuasaan
negara di bidang apapun disebut dengan politik hukum.
Di Indonesia,
politik hukumnya bisa berubah-ubah sesuai dengan konfigurasi kekuatan atau
kekuasaan politik yang ada. Konfigurasi politik yang demokratis akan
menghasilkan produk hukum yang responsif terhadap tuntutan rakyat, sedangkan
konfigurasi politik yang tidak demokratis akan menghasilkan produk hukum yang
konservatif. Hal ini akan terbukti bila kita sedikit menengok sejarah, ketika
kekuasaan kolonial Belanda bercokol di negeri ini. Pada masa kolonial tersebut,
dibuat Undang-undang yang membedakan atau menggolong-golongkan penduduk menjadi
tiga golongan yang konsekuensinya juga berimbas pada pembedaan perlakuan.
Penduduk pribumi adalah golongan penduduk kelas tiga yang selalu mengalami
diskriminasi perlakuan di segala bidang. Selain itu ada pula aturan-aturan yang
membatasi kegiatan-kegiatan pejuang kemerdekaan, baik untuk rapat, menyatakan
pendapat, serta untuk demonstrasi. Tapi yang paling dahsyat dampaknya tentu aturan-aturan dalam Agrarische Wet
1870, yang menyebabkan rakyat pribumi kehilangan tanah miliknya karena dirampas
oleh penguasa kolonial dan kemudian diserahkan pada pemilik modal yang akan
melakukan investasi di negeri ini. Pada masa orde baru atau masa kekuasaan
Soeharto, banyak aturan represif produk kolonial Belanda maupun orde lama masih
diberlakukan, serta membuat produk-produk hukum baru yang fungsinya untuk
mempertahankan kekuasaan, baik di bidang politik maupun ekonomi. Misalnya
Haatzaai artikelen, UU Subversi, UU Paket Politik, UU PMA, UU Pokok
Pertambangan, dan masih banyak lagi.
Lantas
melihat perubahan politik yang terjadi di negeri ini paska jatuhnya
Soeharto, apakah akan terjadi perubahan
secara substansial dalam bidang hukum?. Rasa-rasanya tidak jika kita lihat para
ahli hukum kita dan penguasa negeri ini masih berpikir positifis dan
berparadigma konservatif dalam memandang hukum. Kaum positifis menganggap hukum
itu netral dan obyektif, serta menjadikan Undang-undang atau peraturan tertulis
lainnya sebagai tujuan, bukannya sarana untuk mencari keadilan.Dengan demikian
hukum masih akan berpihak pada pemegang kekuasaan politik maupun ekonomi yang
selama ini berkuasa atas pembuatan peraturan-peraturan tertulis, apalagi ini
didukung oleh rezim kekuatan internasional di bidang ekonomi dan politik.
Bahkan rezim internasional inilah nanti yang akan menguasai hukum di dunia
khususnya di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan kebijakan pasar bebas dan
pembentukan WTO yang konsekuensinya seluruh negara anggotanya harus
menyesuaikan instumen hukumnya dengan standard-standard yang telah disepakati
secara Internasional.
Lantas
siapa yang akan diuntungkan? Tentu yang
mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi yang mampu bersaing dalam kancah
perdagangan bebas, dan rakyat kecil menjadi pecundang dan akan menjadi
gelandangan di negeri sendiri.
Buku Rujukan
Arief Budiman, Teori Negara, Gramedia, Jakarta
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia,
LP3ES, Jakarta
David Kairys, Politics of Law, Pantheon Books,
New York.
M Mahfud MD, Hukum dan Politik Indonesia, LP3ES,
Jakarta.
Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis,
ELSAM, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Teori
dan Praktek di Indonesia, Alumni, Bandung.
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke
Hukum Nasional, Rajawali Press, Jakarta.
Tiger & Levy,
Law and the Rise of Capitalism, Monthly Review Press, New York.
0 komentar:
Posting Komentar