photo Nirwana-Bannerm_zpsfb61fe90.jpg

Senin, April 21, 2014
0


Membaca Sejarah, Menuntaskan Transformasi Demokratik


Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di Indonesia. Nyaris tidak ada satu pun perubahan yang tidak melibatkan mahasiswa di dalamnya. Semenjak zaman penjajahan pemerintah kolonial Belanda hingga sekarang mahasiswa mempunyai peran yang penting dalam mengusung semangat dan arus perubahan sosial di Indonesia. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang sangat panjang tersebut menjadikan pemuda dan mahasiswa  sebagai kelompok  strategis dan mempunyai daya dorong transformasi signifikan. Tepatlah kiranya bila mahasiswa dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia.
Maka, menjadi penting untuk membaca berbagai konteks dan problematic GM Indonesia sejak awal, sejak kekuatannya diarahkan untuk melawan imperialisme sampai penggulingan rezim kekuasaan despotis untuk mendekonstruksi formasi masyarakat, motor penggerak, organ taktis, konteks nasional serta global,  dan visi strategis GM.  Sederhanya, akan meriset perlawanan yang masih bersifat kedaerahan, kesukuan, primordialistis tertentu, hingga perlawanan yang progresif, revolusioner, dan programatik. Pelacakan historiografis GM hanya akan dimulai dari awal tahun 1900-an hingga masa sekarang (2003).
Kebangkitan nasional sebagai tonggak penting dari sejarah kebangsaan Indonesia dilatarbelakangi setting social tertentu. Ada beberapa peristiwa penting yang memiliki signifikansi yang mencapai klimaksnya ketika diberlakukannya program politik etis. Sebagaimana diketahui, pelayaran angsa-bangsa Barat, karena kemajuan pengetahuan era renaissance,  menandai praktek imperialisme terhadap bangsa-bangsa di dunia Timur dan bangsa-bangsa kecil lainnya. Berbagai macam bentuk eksploitasi dilakukan untuk memeras dan mengeruk kekayaan alam serta tenaga bangsa Indonesia. Mulai dari Portugis, Belanda, dan Jepang. Eksploitasi sumber daya alam dan proses pembodohan rakyat pribumi dilakukan terus-menerus dan sistematik. Belanda memulainya semenjak tahun 1596 –kedatangtan armada Cornelis de Houtman di pelabuhan Banten – dan  puncaknya pada masa kekuasaan VOC –kongsi dagang Belanda– dengan segala programnnya yang makin menindas dan menyengsarakan rakyat dan bangsa kita. Bentuk eksploitasi ini dimulai sejak tahun 1602 – tahun berdirinya VOC –awal kepemimpinan gubernur Belanda J.P Coen ( 1619-1623 ) dan ( 1627-1629 ). Bentuk eksploitasi dalam praktek monopoli perdagangan rempah-rempah dan komoditi lainnya. Dilanjutkan dengan Cultuur Stelsel (culture system, cultivation system, tanam paksa ). Cultuur stelsel dilakukan karena bangkrutnya VOC pada tgl 31 Desember 1799. Tanam paksa ini diselingi oleh penjajahan Inggris  yang berlangsung   selama lima tahun ( 1811-1816 ) dengan Gubernur Jenderalnya   Sir Thomas Stanford Raffles. Tanam paksa berlangsung kurang lebih selama 40 tahun ( 1830-1870 ) dibawah Gubernur Jenderal van Den Bosch.
Di tingkatan global, Revolusi Februari 1848 di Perancis mempengaruhi gagasan politik di Belanda,  yang kemudian melahirkan liberalisme ekonomi yang juga berpengaruh terhadap gagasan politik di Indonesia sebagai jajahan dari Belanda. Yakni desakan dari golongan liberal di Belanda ( F. Van de Putte , de Waal , Thorbecke dll ) serta desakan yang berasal dari golongan humanis Belanda ( E. Douwess Dekker ( 1820-1887 ) dan Baron Van Hoevel ( 1812-1879 ). Akibat kuatnya desakan mereka,  tanam paksa berhasil dihapuskan di Indonesia . Kemudian lahir UU Gula ( suiker wet 1870 ) yang mengakhiri pertanian tebu dan pabrik gula milik pemerintah dan UU Agraria ( Agrarische wet 1870 ) yang  mengakhiri sistem hak milik Bumi putera atas tanah. (Parakitri T. Simbolon, 1995: 136-137 )

Politik Etis
Berakhirnya tanam paksa memunculkan program politik etis yang dilatarbelakangi oleh desakan dari golongan liberal di Belanda. Dr. c. Th. Van Deventer, “ Een Eereschuld” (Debt of Honour/ utang budi, dalam majalah de Gids 1899, mengkritik politik kolonial liberal yang sama sekali tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat pribumi,  terutama soal kemunduran kesejahteraan pribumi pada akhir abad ke-19. (G. Moedjanto, 1996: 21). Kemakmuran Belanda, menurutnya, diperoleh dari hasil kerja dan dan jasa orang Indonesia. Oleh karena itu, Belanda berutang budi kepad rakyat Indonesia , dan menurutnya sebagai bangsa yang maju dan bermoral – walaupun kenyataannya tidak demikian -- haruslah membayar utang itu dengan menyelenggarakan trias : Irigasi , Emigrasi ( transmigrasi ) , dan edukasi – yang dikenal dengan Trias van Deventer. Akhirnya tahun 1901 Ratu Wilhelmina mencanangkan pelaksanaan program politik etis di Indonesia oleh pemerintahan kolonial. Tafsir lain, politik etis diterapkan untuk menyediakan tenaga terdidik bagi perkebunan-perkebunan yang mau dan telah dibuka di Jawa dan luar Jawa. Sehingga dikatakan politik etis hanyalah kamuflase politik pemerintahan kolonial untuk terus menancapkan kekuasaannnya di Indonesia.  Artinya, tujuannya masih dalam kerangka kolonilistis-imperialistis. Dalam prakteknya, politik Etis direduksi oleh problem ekonomi (tidak ada perlindungan dan bantuan yang signifikan kepada para pengusaha dan masyarakat pribumi), politik (membatasi mobilitas vertikal pribumi untuk jabatan penting, dan pendidikan (praktek atau proses pendidikdn sebagai salah satu program politik etis tidak didasarkan atas kebutuhan riil rakyat Indonesia).
Di sisi lain politik etis menjadi semacam nemesis (paradoks pendidikan), pendidikan  ini memberikan perangkat analisis yang sebagain justru dipakai untuk  melawan Belanda. Secara bertahap, perlawanan tersebut mengkristal menajdi Pergerakan nasional yang juga tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal yang melatarbelakangi. Di antara factor-faktor internal tersebut adalah penderitaan penjajahan ( rasa senasib sepenanggungan diantara warga pribumi ); Kesatuan Indonesia dibawah Pax Neerlandica  telah memberi jalan kearah kesatuan bangsa; Komunikasi dan transportasi yang makin maju dan berkembang; Munculnya bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia yang pada akhirnya dijadikan sebagai bahasa persatuan; Pergerakan nasional sebagai reaksi terhadap semangat kedaerahan yang bermanfaat bagi persatuan; Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Sedangkan factor-faktor Eksternalnya: Kemenangan Jepang terhadap Rusia; Perlawanan rakyat India; Revolusi kaum muda Turki 1908 ( Mustafa Kemal Pasha ); Revolusi Tiong hoa 1911 di Cina ( Dr. Sun Yat Sen ) (G. Moedjanto, 26).
Begitu politik etis mulai dilaksanakan , sekolah untuk anak-anak eropa mulai dibuka untuk anak-anak pribumi oleh Abendanon. Tahun 1902 , sekolah juru kesehatan Bumiputera atau sekolah dokter Bumiputera ( School voor Geneeskundigen ) ditingkatkan menjadi Sekolah Dokter Bumiputera ( School tot Opleiding van iInlandsche Arts – STOVIA ) Dengan lama belajar enam tahun setelah masa persiapan tiga tahun (Parakitri, 1955: 225. ). Pada tahun 1902 itu pula dimulai program politik etis yang lain , yakni imigrasi dan irigasi.
Sekolah-sekolah inilah yang lalu melahirkan lapis social terpelajar dalam masyarakat pribumi.  Dan di sinilah sudah terlihat semacam gerakan yang awal mulanya dipelopori oleh seorang ningrat atau priyayi yang sebenarnya bukan mahasiswa, dr. Wahidi Sudirohusodo,  yang pada tahun 1901 memimpin majalah “ Retnodoemilah” ,  yang diterbitkan di Surakarta sejak 1895 (saat itu dipimpin oleh F.L Winter , seorang ahli bahasa jawa ). Wahidin berasal dari Mlati, Sleman, Yogyakarta. Wahidin wafat tahun 26 Mei 1916 di Yogyakarta. Pada tahun 1906 ia tur keliling jawa untuk merealisasikan gagasannya bahwa kemajuan, menurutnya, akan tercapai dengan ilmu pengetahuan Barat lewat pendidikan tapi tanpa meninggalkan warisan peradaban Jawa.  Safari tersebut juga dalam rangka mengumpulkan dana beasiswa, studiefonds, untuk meningkatkan pendidikan rakyat pribumi. Namun gagasan. Wahidin tidak disukai oleh para priyayi yang merasa khawatir posisinya akan tersaingi oleh rakyat biasa. Tahun 1907 setelah berkeliling jawa Ia datang ke jakarta dan bertemu dengan para mahasiswa STOVIA dan akhirnya melahirkan keputusan untuk mendirikan perkumpulan pemuda atau mahasiswa, yakni Budi Utomo. Budi Utomo didirikan pada tgl 20 Mei 1908 dengan ketua dr. Sutomo, Wakil Ketua Goenawan Mangunkusumo, dan sekretaris Gondo Suwarno. Dr. Sutomo lahir di desa Ngapeh, Nganjuk, Jatim, 30 Juli 1888, mempunyai visi sama dengan Wahidin dalam merintis jalan bagi kemajuan bangsa. 
Pada tahun 1924 ia juga mendirikan “STUDIE CLUB” di Surabaya  dan kemudian melebur menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pada tgl 16 Oktober 1930. Cara yang digunakan oleh PBI dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda ialah dengan jala tengah dan tidak memilih jalan kooperatif maupun nonkooperatif. Atas prakarsanya juga pada tahu 1935 Budi Utomo dan PBI disatukan dalam wadah Partai Indonesia Raya (PARINDRA). Selain itu dr. Sutomo juga pernah bekerjasama dengan Ir. Sukarno membentuk badan federasi yang bernama PPPKI pada tahun 1927. Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) juga mempunyai kontribusi yang cukup besar bagi terlaksananya kongres Indonesia Raya tahun 1928 dan 1931 di Surabaya – dimana Sutomo menjadi ketuanya.
Pada dasawarsa 1920-an  perlawanan di jawa terbagi ke dalam tiga front, yaitu front jakarta yang dipimpin oleh Husni Thamrin , front Bandung yang dipimpin oleh Sukarno , dan front Jawa Timur yang dipimpin  Sutomo, yang memimpin dan menerbitkan banyak sekali surat kabar, inilah yang menjadi corong pergerakan pada masa pergerakan nasional, SUARA UMUM , TEMPO, Majalah BANGUN dan sebagainy. Masih pada tahun 190o8, Sutomo digantikan Raden Adipati Tirtokusumo melalui Kongres Budi Utomo I tgl 11 oktober 1909 dengan alasan bila masih terus dipimpin oleh para mahasiswa maka Budi Utomo akan kesulitan dalam hal finansial , oleh karena itu disepakati untuk menyerahkannya pada kalangan priyayi. Raden Tirtokusumo memimpin Budi Utomo dari tahun 1908-1911 kemudian dilanjutkan periode kepemimpinan yang kedua 1911-1914. Ketua Budi Utomo yang berikutnya ialah Raden Ngabehi Wediodipuro yangt memimpin dari tahun 1914-1915, lalu Raden Mas Ario Suryo Suparto (1915-1916) dan yang terakhir Raden Mas Ario Wuryoningrat (1916). Karena dipimpin oleh golongan priyayi sejak awal berdirinya , Budi Utomo cenderung bersifat kooperatif dengan pihak kolonial dalam pergerakannya. Budi Utomo  memiliki organ taktis organisasi yakni Tri Koro Dharmo yang didirikan pada 7 Maret 1915.  Ketua Tri Koro Dharmo pertama ialah Satiman Wiryosanjoyo , Wakil Ketua Sunardi (Wongsonegoro) ,Sekretaris Sutomo , Muslich , Musoda , dan Abdul Rachman. Walaupun asasnya bersifat nasional dalam arti organisasi ini mempunyai kesadaran “Hindia”. Namun yang menjadi anggota adalah murid-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Dengan begitu kesimpulan pertama ialah Tri Koro Dharmo bersifat Jawa Sentris. Karena itu tidaklah mengherankan kalau pemuda Sunda dan Bali enggan untuk memasuki organisasi ini. Dengan adanya suara-suara itu Ketua Tri Koro Dharmo , Satiman Wiryosanjoyo, memberi komentar bahwa sifat organisasi Tri Koro Dharmo itu – yang hanya menerima mahasiswa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur – hanyalah sementara saja. Di kemudian hari organisasi ini akan dapat dijadikan perkumpulan buat pemuda-pemuda dam mahasiswa seluruh “Hindia”. Pada tahun 1917 Satiman Wiryosanjoyo digantikan oleh Sutardi Aryotejo , sedang Satiman sendiri menjadi ketua kehormatan. Pada tgl 12 Juni 1918 dalam kongrenya di Solo Tri Koro Dharmo berubah menjadi Jong Java yang corak pergerakan dan ruang linkjupnya lebih luas termasuk pemuda dan mahasiswa Sunda. Konteks situasi nasional saat itu adalah semangat pergerakan yang sedang kuat-kuatnya untuk merebut kemerdekaan dari pemerintah kolonial , yang direspons Tri Koro Dharmo dengan menyusun format pergerakan dan strategi taktis dalam menyikapi situasi dan kondisi yang dihadapi pada saat itu. Selam eksis dalam bingkai pergerakan nasional Jong Java telah mengadakan kongres hingga sepuluh kali sejak berdiri tahun 1918 hingga 23 Desember 1929. Pada masa kepemimpinan  ketua Jong Java terakhir, koentjoro Purbopranoto organisasi ini telah mampu menjadi salah satu bagian penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Trikoro Dharmo bila kita tilik dari segi konsep dan straregi taktik  pergerakan memang belum memiliki konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan) –tujuannya masih dapat dikatakan bersifat “jawa sentris” – tentunya sebelum berubah menjadi Jong Java pada tgl  12 Juni 1918 – dalam menjawab permasalahan  bangsa pada saat itu. Konteks permasalahan pada kurun waktu itu (1908-1917) – dan hal ini berlanjut sampai masa kemerdekaan – adalah upaya keluar dan membebaskan diri dari jejaring kolonialisme , kapitalisme , dan feodalisme sebagai implikasi yang niscaya dari penjajahan kolonial Belanda. Namun sebagai sebuah tahap awal dari gerakan pemuda dam mahasiswa – yang dalam terminologi para sejarawan dikategorikan sebagai elemen-elemen pelopor atau perintis dalam pergerakan nasional – yang harus mampu memahami problem-problem yang terajut dalam konteks permasalahan diatas untuk kemudian berupaya merubah  dan mentransformasikannya menuju ke arah situasi yang lebih baik melalui suatu gerakan yang konkret . Namun, sekali lagi , kondisi subjektif gerakan belum tentu sesuai – atau paling tidak belum mampu memahami– kondisi objektif di lapangan. Setelah Trikoro Dharmo berubah menjadi Jong Java serta mengakhiri stigma “jawa sentris” dengan jalan memperluas cakupan dan orientasi  pergerakan, pemuda dan mahasiswa dari daerah-daerah lain mengikuti dengan membentuk organisasi-organisasi yang juga masih bersifat kedaerahan (Jong Sumatranen Bond/ JSB , Jong Celebes , Jong Minahasa, Jong Bataks Bonds dan sebagainya) – yang berproses menjadi kekuatan pergerakam pemuda dan mahasiswa yang solid serta menjadi embrio bagi lahirnya GM . Mereka hadir mengalir bak aliran sungai yang deras , dimulai oleh JSB (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918-1928),  Sekar Roekoen di Sunda (1919) Jong Bataks Bonds ( 1925) hingga mencapai klimaksnya ketika muncul Jong Islamieten Bond (JIB) pada tahun 1925 yang mengarah pada kecenderungan penyatuan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam scope nasional pada waktu itu. Akibat kecendrungan itu lahirlah Jong Indonesia di Bandung pada tgl 27    Februari 1927, hasil keputusan kongres Pemuda I  tgl  30 April 1926. Kemudian muncullah Kongres Pemuda II  (26-28 Oktober 1928) yang melahirkan Sumpah Pemuda – yang dalam terminologi para sejarawan disebut dengan istilah generasi penegas atau pendobrak. Tapi sebenarnya kita tidak bisa menafikan bahwa sebelum Sumpah Pemuda 1928 telah muncul terlebih dahulu sebuah “ Manifesto Politik “   yang dikeluarkan  oleh Perhimpinan Indonesia pada tahun 1923, sebelumnya bernama Indische Vereeniging (1908-1922),– yang gagasannya menekankan kesatuan serta demokrasi -- dengan tanpa memberikan tempat pada penjajah – dalam arti bangsa ini perlu menentukan nasibnya sendiri di masa depan serta menentukan bentuk pemerintahan yang dapat diterima oleh rakyat. Pernyataan mengarah pada pembebasan Indonesia dari belenggu penjajahan melalui aksi massa dari rakyat dengan penuh kesadaran untuk memperjuangakan dan mewujudkan Indonesia merdeka. Pernyataan dasar PI yang termuat dalam Hindia Poetra  edisi Maret 1923 , yang berbunyi sebagai berikut :
1.      Masa depan bangsa Indonesia hanya semata-mata yang dalam pembentukan struktur pemerintahan sendiri dapat dipertanggungjawabkan oleh bangsa indonesia.
2.      Untuk mencapai itu , setiap orang menurut kemampuan serta menurt kekuatan dan kecakapannya diusahakan tanpa bantuan pihak lain.
3.      Untuk mencapai tujuan bersama itu , semua unsur atau lapisan rakyat perlu kerja sama seerat-eratnya. Pengurus PI pada waktu itu adalah :

Ketua             :  Soekiman Wirjosanjoyo
Wakil Ketua   :  Monomutu
Sekretaris I    :  Soerono
Sekretaris II   :  Soenarjo
Bendahara I   :  Moch. Hatta
Bendahara II   :  Moh. Masif
Komisaris      :  Amir , Boediarto , Moh. Joesoef  (1000 Tahun Nusantara, 2000: 139-140.)

Masa 1928-1939
SP 1928 , referensi penegasan orientasi mahasiswa dan pemuda waktu itu, berlanjut dengan munculnya Indonesia Muda (IM) pada tahun 1930 yang merupakan hasil peleburan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan ( JSB , JC , JM , SR , dan lainnya). IM dipelopori oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia ( PPPI ), yang dalam perjalanannya tidak terlepas intrik-intrik dan friksi internal serta intervensi kolonial melalui tindakan represif . Situasi ini menjadikan IM lemah dan tidak mampu memberikan kontribusi signifikan pada tahap selanjutnya. Melihat itu banyak anggota IM keluar dan membentuk organ lain ; Soeloeh Pemoeda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemuda Revolusioner (PERPIRI), yang juga mengalami problem sama. Vakumnya IM dan organ-organ lainnya – dalam konteks nasional – telah sedikit melumpuhkan semangat pergerakan nasional. Kevakuman  dan krisis pergerakan  ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks global atau eksternal , yaitu antara lain : Pengaruh krisis ekonomi dunia 1929/1930 (Malaise); Pembatasan hak berkumpul dan berserikat ; yang pertama dengan pengawasan ketat oleh polisi dalam menghadiri rapat-rapat partai , yang kedua larangan bagi pegawai untuk menjadi anggota partai politik; Tanpa melalui proses pengadilan Gubernur Jenderal dapat menyatakan sesuatu pergerakan atau kegiatannya bertentangan dengan law and order  sesuai dengan koninklijk Besluit  tgl 1 September  1919; sebagai akibat kerasnya pemerintah kolonial , banyak pemuka pergerakan nasional yang diasingkan , antara lain Sukarno , Hatta dan Syahrir. Dengan demikian pergerakan yang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya harus menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan pemerintah. (G. Moedjanto, 1992: 57.)
Respons atas kondisi objektif seperti ini, gerakan tertransformasikan dalam  kelompok studi (Studieclub). Studieclub disini bergerak dalam aksi-aksi penyadaran kepada masyarakat akan arti pentingnya  pergerakan , persatuan , pendidikan , serta-serta aspek-aspek lain yang mendukung perjuangan merebut kemerdekaan. Menyebarkan wacana melalui surat kabar atau majalah kepada masyarakat luas – merupakan upaya pemberdayaan msayarakat – seperti “Soeloeh Rakjat” dan Soeloeh Indonesia” , dengan tujuan mentransformasikan perubahan yang konkret terhadap problem-problem yang ada saat itu. Di waktu kemudian Studieclub ini berubah menjadi partai-partai politik seperti Algemeene Studieclub Sukarno berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927. Dan pada tahun-tahun sesudahnya memunculkan partai-partai lain ; Partai Indonesia Raya (PARINDRA) yang juga merupakan eks Budi Oetomo, dan juga Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) , dan puncaknya adalah terbentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939.

Masa Pendudukan Jepang  ( 1942-1945)

Pada masa Jepang, hampir seluruh gerakan pemuda dan mahasiswa dibubarkan, dan para pemuda dijadikan alat Jepang dalam mewujudkan program Asia Timur Raya Jepang. Para pemuda dimasukkan kedalam Barisan-barisan pelopor seperti seinendan dan keibodan   serta barisan-barisan lain. Pemuda terutama terkuras dalam Pembela Tanah Air (PETA) yang didik oleh Jepang dengan tujuan menunjang militer Jepang pada perang Pasifik. Satu-satunya jalan keluar bagi mahasiswa dan pemuda adalah melalui gerakan bawah tanah  yang dikombinasikan dengan gerakan-gerakan legal yang cenderung kooperatif dengan pemerintahan pendudukan Jepang – yakni gerakan-gerakan legal yang dilakukan oleh Sukarno – Hatta dan kawan-kawannya.  Menurut para sejarawan, masa pendudukan jepang merupakan salah satu jaya-jayanya gerakan politik bawah tanah.




TENTANG GM KURUN WAKTU 1955-1978





            Tahun 1955 merupakan tahun ke-5 Indonesia menganut sistem pemerintahan liberal. Eksperimentasi  ini dianggap gagal Sukarno. Parameternya, tidak satupun partai mampu memerintah dalam waktu yang cukup lama untuk dapat memapankan satu satu konsep pemerintahan. Pemerintahan  terlama bertahan tidak lebih dari 2 tahun. Ini karena tidak ada partai mayoritas di parlemen. Empat partai besar, PNI, Masyumi, Nu, dan PKI, memiliki jumlah kursi yang hampir sama di parlemen. Kabinet Ali yang mengagendakan pemilu jatuh sebelum dilaksanakan. Jatuhnya kabinet Ali I akibat konflik politik di tubuh angkatan Darat yang berawal sejak 17 Oktober 1952, yang puncaknya adalah pemboikotan terhadap  Bambang Utoyo yang dilantik sebagai Komando Strategi Angkatan Darat (KSAD) pada 22 Juni 1955. Berbagai partai dan mass media menunjukkan simpatinya yang mendorong munculnya mosi tidak percaya terhadap menteri pertahanan yang diprakarsai oleh Zainal Baharudin.
            Kondisi ekonomi yang amburadul, antara 1954 hingga 1959, akibat inflasi  yang meninggi, semakin mempermatang kontradiksi social. Disertasi Hermawan Sulistyo menunjukkan bahwa defisit anggaran, suplai uang, dan biaya hidup meningkat hampir tiga kali lipat. Uang kartal yang beredar menunjukkan angka yang semakin meninggi. Pada saat yang sama lapisan elit tidak menunjukkan sense of crisis yang kuat dengan mempertonkan kemewahan di hadapan rakyat melarat.
            Ekonomi biaya tinggi akibat inefisiensi dan korupsi birokrasi banyak berperan terhadap mundurnya perekonomian di Indoneisa. Faktor yang memperburuk situasi adalah impor, sebagian besar dalam bentuk barang konsumsi,  yang meningkat tajam dari 499 juta dolar AS pada tahun 1955 menjadi 644 juta dolar  AS pada tahun 1960. Kontradiksi social ini akhirnya melahirkan perlawanan seperti pemogokan yang dilakukan oleh serikat buruh Partai Sosialis Indonesia (PSI) sekitar Mei 1955. Suasana  heroik merebut kembali Irja juga mewarnai politik Indonesia.
            Sebelum jatuhnya kabinet Ali I, yang diganti kabinet Burhanudian Harahap, sempat terlaksana Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955, yang membuka jalinan kerjasama dengan negara-negara Asia-Afrika. Selain itu, Indonesia berhasil membangun kerjasama erat dengan RRC dengan kesepakatan yang berkaitan dengan kewarganegaraan setelah membuka kedutaan besar di Cina sejak Mei 1953.
            Situasi di atas berpengaruh dalam tubuh GM. Terutama tarikan dalam medan politik. Menjelang pemilu 1955, tercatat semua Partai Politik (Parpol) besar telah memiliki underbow di kalangan masyarakat, baik organisasi buruh, tani, dan tidak terkecuali mahasiswa dan pelajar. Setelah sebelumnya aktifitas politik mahasiswa agak melemah karena keluarnya Persatuan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dari Front Pemuda Indonesia (FPI–hasil dari kongres pemuda seluruh Indonesia pada 8 Juni 1950), pemilu 1955 menjadi suatu momentum bagi GM.
            Selain situasi nasional, GM juga tidak terlepas dari pertarungan global yang melibatkan dua kutub kontras ideology, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. International Union Student (IUS) yang kongres pertamanya terlaksana di Praha, Cekoslowakia, Agustus 1946 dan Internasional Student Conference (ISC, 1950) telah mengakibatkan terpecahnya GM dalam dua kubu ideologi besar dunia.
            Afiliasi organ mahasiswa ke Parpol mengakibatkan hubungan antarorgan-mahasiswa dan antar-kampus kian runcing karena perbedaan aliran ideology.  Pertentangan lama antara front kiri dan partai-partai kanan semakin jelas, yang di level GM perpecahan antara CGMI, GMNI, dan GMKI dengan HMI, PMKRI, dan Germasos. Kepemimpinan di PPMI sendiri kemudian dipegang oleh Germasos.
            Organ mahasiswa direpresentasikan oleh PPMI dan merasa terjebak dengan keanggotaan IUS masih berkutat dengan  problem sitnas di atas. 15 Mei 1956 berlangsung Konferensi Mahasiswa Antara Indonesia (KMAI) untuk membahas masalah ini di asrama Daksinapati UI. Namun, yang terjadi justru persaingan untuk memperebutkan kepemimpinan politik dunia mahasiswa yang memang dipegang oleh PPMI.
            KMAI termasuk upaya untuk mempersiapkan delegasi Indonesia untuk mengikuti Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika (KMAA). Sejumlah negara yang semula direncanakan mengukuti forum ini menolak dengan alasan KMAA didalangi oleh IUS atau paling tidak panitia didomisasi oleh mahasiswa anggota IUS. Negara-negara yang menolak tersebut antara lain: Muangthai, India, dan Birma.
            Menurut Dahlan Ranuwiharjo peristiwa tersebut, disatu sisi merupakan prestasi PPMI, namun di sisi lain, KMAA justru satu titik balik. Golongan kiri yang 9 tahun sejak 1947 merasa tidak bisa menggeser dominasi HMI, PMKRI, GMKI, dan organisasi non komunis lain dalam PPMI mulai mengadakan ofensi politik guna merongrong posisis PPMI.  Indonesia semakin carut marut di tahun 1957. Sejak akhir 1956 aksi protes di berbagai wilayah Indonesia mulai diwarnai dengan kekerasan bersenjata. Kerusuhan itu terutama sekali dipelopori oleh panglima tentara di daearah-daearah. Terbentuknya Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, dan Permesta di Sulawesi Selatan sebagai buktinya. Kondisi Indonesia yang seperti itu tidak  bisa membuat kabinet Ali II bertahan, Januari 1957 kabinet Ali II jatuh.
            Sukarno mengambil langkah dengan mengumumkan berlakunya keadaan darurat perang di seluruh Indonesia. Ketegangan hubungan Sukarno-Hatta berawal pada masa-masa ini. Tindakan Sukarno lebih lanjut adalah membubarkan Dewan   Konstituante dan membentuk Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional. Ternyata konsepsi Sukarno justru menambah ketegangan karena mumunculkan pertentangan baru antara golongan yang pro dan kontra terhadapnya. Termasuk ketidakakuran dengan Hatta yang berakhir dengan pengunduran dirinya sebagai wakil presiden.           
Pergolakan politik pada tahun ini tidak merubah keadaan ekonomi. Harga-harga relatif stabil. Sebabnya adalah impor surplus hasil bumi dari AS. Kerjasama yang ditandatangani 2 Maret 1956 ternyata berjalan dengan baik. Salah satu hasilnya adalah pembangunan pabrik semen Gresik.
            GM ternyata terseret juga dalam konflik ini. Aktivis mahasiswa yang berbasis di UI Jakarta menggalang senat-senat dari berbagai Universitas dan membentuk federasi Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Mulai detik ini PPMI terpaksa harus berebut pengaruh dengan MMI.
            Aspirasi politik yang disebarluaskan oleh partai-partai terlalu berpengaruh pada MMI yang tidak memiliki perhatian terhadap problem-problem konkret rakyat. Misalnya, perjuangan merebut Irian Barat tidak dianggap sebagai bagian dari perjuangan Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme. Padahal menurut penelitian para ahli di Irian Barat ada  kemungkinan terdapat Uranium di mana AS berusaha untuk menguasainya melalui perjanjian yang di buat dengan Belanda. Kepentingan strategis akan Irian Barat bagi AS adalah usaha merelokasi rencana digunakannya Irian Barat sebagai garis strategis militer sepanjang kepulauan Bismark-Solomon-New Britania. Investasi kapital AS secara bertahap dapat menggeser investasi Belanda: di sektor pengeboran minyak, Sorong, perbandingan modal wakti tiu telah menjadi 60% (40 % Stanvack dan 20% Caltex) : 40 %. Juga terdapat perjanjian yang menyatakan bahwa AS akan membantu Belanda di PBB untuk persoalan Irian Barat dan sebagai balas jasanya AS diperbolehkan mengambil alih pertambangan tembaga yang pada waktu itu dieksploitasi oleh Belanda.
            Pada 24 April berlangsung Deklarasi Hari Solidaritas Internasional Menentang Kolonialisme dan Imperialisme yang dipelopori oleh PPMI, FPI, dan Perserikatan Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (Porpisi) dan MMI tidak mengambil peran dalam peristiwa ini.
            Tahun 1957 adalah tahun yang suram bagi organisaasi baik mahasiswa maupun masyarakat. Peranan politik berangsur menurun yang akarnya adalah penandatanganan kerjasama antara pemuda dengan Angkatann Darat (AD), 17 Juni 1957. Perjanjian ini ditandatagani oleh Sukatno (Sekjend Pemuda Rakyat), S.M Thaher (Pemuda Demokrat), A Bochori ( GPII), Wahib Wahab (Ansor) dari pihak pemuda, dan Letkol Pamuraharjo dari pihak militer. Strukturalisasi kerjasama ini dikukuhkan dalam bentuk Badan Kerjasama Pemuda-Militer (BKS-PM), yang diresmikan 26 Juli 1957. 125 organisasi pemuda dari 6 federasi memiliki perwakilan di Dewan Penasehat BKS-PM. Dampaknya adalah keterbatasan ruang gerak organisasi mahasiswa.
            Bukan hal yang aneh jika militer memanjangkan tangan ke Rektor ITB dan UI karena kekuatan mahasiswa (Universitas) pada dasarnya sangat harus diperhitungkan. DI UI, kepemimpinan Iwa Kusumasumantri diganti oleh Prof. Thoyib (Menteri Pendidikan). Pun urusan mahasiswa yang belajar di luar negeri ada dalam pengawasan militer.
            Sementara itu elit politik di Indonesia diributkan dengan pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah. Peranan militer dalam dunia politik juga bahan percekcokan yang berlarut-larut. Kondisi seperti ini dicoba diperbaiki dengan merubah sistem pemerintahan di Indonesia. 
            Kemudian Sukarno menunjuk Djuanda, PM.KK sebagai Perdana Menteri pertama mengawali masa Demokrasi terpimpin. Manifesto politik yang berintikan UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, dan ekonomi terpimpin, kepribadian Indonesia (USDEK) merupakan GBHN masa demokrasi terpimpin. Salah satu kebijakannya adalah kembali memberlakukan UUD 1945. Sedikit banyak PPMI punya peran di sini. Pada 11 Juni 1959 beberapa anggota PPMI berangkat ke Bandung dengan tujuan memberikan tekanan agar kembali ke UUD 1945 pada Badan Kontituante yang bersidang di Bandunhg. Selanjutnya keluarlah Dekrit 5 Juli 1959.
            Tahun 1959 adalah masa geger Manipol USDEK. Tembok-tembok dan atap rumah penuh dengan coretan-coretan antusiasme masyarakat terhadap Manipol USDEK. Parpol/Ormas dipaksai untuk menyesuaikan diri dengan situasi ini. Organisasi mahasiswa mau tidak mau harus merubah anggaran dasarnya dengan mencantumkan Manipol USDEK. Parpol /Ormas yang dianggap tidak progresif revolusioner atau kontra revolusioner dibubarkan. Masyumi dan PSI menjadi korban. Anak organisasinya; Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Gerakan Pemuda Sosialis (GPS), serta GM Sosialis dikucilkan.
            Sementra itu perekonomian di tahun ini semakin memburuk Salah satu tindakan untuk menyelamatkan keuangan negara yang dilanda inflasi ialah melakukan sanering terhadap rupiah yang diumumkan pemerintah pada 25 Agustus 1959, nilai rupiah tinggal 10 persen saja dari nilai nominal.
            Perkiraan bahwa nilai uang akan kembali normal ternyata meleset. Jumlah uang yang beredar bertambah cepat dan harga barang cepat pula membumbung tinggi. Menurut Drs. G. Moedjanto, M.A beberapa hal yang menyebabkannya antara lain: Pertama, penghasilan negara memang berkurang akibat dari turunnya ekspor karena pergolakan di berbagai daerah tidak kunjung reda. Kedua, nasionalisasi perusahaan Belanda tidak cukup membantu karena Indonesia tidak mempunyai tenaga-tenaga manajemen yang cakap dan berpengalaman. Ketiga, PN, PDN, PPN yang didirikan pemerintah dengan maksud dijadikan salah satu jalan untuk mempercepat tercapainya sosialisme di Indonesia, hanya menguntungkan elite yang menjadi Orang Kaya Baru (OKB). Keempat, persiapan penyelenggaraan ASEAN Games IV memakan biaya yang tidak sedikit. Kelima, Sukarno semakin sering mengadakan perjalanan keluar negeri (dengan biaya negara), dan keenam, modal asing sama sekali tidak tertarik untuk masuk ke Indonesia karena iklim politik Indonesia yang terlalu panas. Terakhir, Indonesia sedang fokus pada permasalahan Irian Barat.
            Seringnya presiden bepergian ke luar negeri menjadikan perannya semakin kecil dan tergantikan oleh Nasution. Bahkan tentara terbukti banyak campur tangan dalam perekonomian. Pedagang Arab, India, dan terutama Cina mendapat perlakuan keras dari tentara, pelarangan berdagang sampai pengusiran dari tempat tinggal. Karena permasalahan ini, hubungan Jakarta-Cina merenggang. Cina melakukan tekanan diplomatik yang sangat besar terhadap Jakarta. Di sisi lain, Sukarno bersama PKI mati-matian membela orang-orang Cina. Salah satu dampak instabilitas komunitas perdagangan tersebut adalah terjadinya dislokasi ekonomi, penimbunan barang, dan tingkat inflasi yang semakin serius.
            Untuk bersaing dengan kekuasaan Nasution, Sukarno menempuh 2 taktik pokok. Mendapatkan dukungan dari Parpol yang berpusat di Jawa dan merangkul Angkatan Udara (AU) berhubung AD sudah dipegang oleh Nasution (Sejarah Indonesia Modern, 1991).
            Sementara itu, pada tahun 1960 PSI dan Masyumi yang tidak sehaluan dengan Sukarno dibubarkan. Dilanjutkan dengan pembubaran DPR dan pembentukan DPR-GR. PSI, Masyumi, dan beberapa sekutunya atas dorongan Hatta membentuk Liga Demokrasi untuk menghalagi langkah-langkah Sukarno.
            Kursi DPR-GR antara 17%--25% diisi oleh orang-orang PKI. Demikian pula ketika Sukarno membentuk MPRS, banyak orang PKI yang mengambil peran, hanya saja PKI memang tidak terwakili dalam kabinet.
            Indonesia semakin condong kepada Uni Soviet, PKI semakin besar. Kebutuhan militer untuk melancarkan serangan guna merebut Irian Barat menambah kedekatan kepada Uni Soviet. Januari 1960 Khrushchev berkunjung ke Indonesia dan memberikan kredit sebesar 250 juta Dollar AS, juga pinjaman 450 juta Dollar dalam bentuk persenjataan dari Unisoviet pada Januari 1961.
            Angkatan bersenjata bertambah kuat. Mencapai jumlah sekitar 300.000 prajurit pada tahun 1961 dan 330.000 prajurit pada akhir 1962. Indonesia banyak mendapat peralatan militer dari Unisoviet, termasuk pesawat-pesawat tempur modern dan pesawat-pesawat pengebom jarak jauh. Persenjataan tersebut sebagian besar jatuh ke AU dan AL yang dipandang Sukarno lebih kooperatif.
            PKI juga kian berkibar. Anggota terus bertambah, BTI mencapai 5,7 juta, konon ¼ petani dewasa,  SOBSI hampir 3,3 juta. Awal 1963 jumlah anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani mencapai 1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI sendiri pada akhir 1962 lebih dari 2 juta.  PKI adalah partai komunis terbesar di negara non komunis manapun (Sejarah Indonesia Modern, 1991).
            AS yang cemas melihat perkembangan di Indonesia mencoba mendesak Belanda untuk merundingkan penyelesaian Irian Barat. Perundingan-perundingan baru yang muncul kemudian disetir oleh AS. Akhirnya pada 15 Agustus 1962 sengketa selesai. 1 Oktober 1962 Belanda akan menyerahkan wilayah itu kepada PBB untuk kemudian diserahkan kepada Indonesia 1 Mei 1962.
            Justru, selesainya sengketa Irian Barat membawa akibat buruk pada demokrasi terpimpin. Pihak militer takut UU darurat perang akan dicabut dan belanja militer dikurangi, PKI takut bahwa politik yang kurang radikal akan merintangi perkembangannya, Sukarno takut semangat rakyat yang berkobar selama masa kampanye Irian Barat akan surut.
            Pada organisasi mahasiswa, kedekatan dengan militer semakin jelas. Mahasiswa ikut berperan dalam pertahanan sipil secara profesional. Dimulai dari pembentukan Resimen Mahasiswa (Menwa) Manawarman Bandung tgl 13 Juni 1956. Terbentuknya organisasi ini menjalari Universitas-Universitas di Indonesia.
Trikora yang dikeluarkan Sukarno 19 Desember 1961 mendapat dukungan sepenuhnya dari golongan tersebut. Gerakan politis pun dilakukan. MMI dan PPMI membawa persoalan Irian Barat pada level nasional maupun internasional (melalui IUS & ISC). Namun, akhir persengketaan Irian Barat yang lebih diplomatis menjauhkan organisasi mahasiswa dari dunia politik.
Pada Juli 1961 PPMI sempat melaksanakn kongres ke IV. Kongres ini membentuk presidium yang terdiri dari GMNI, PMKRI, GMD, CGMI, PMB, dan MMB –Eksekutif yang dianggap beroroentasi kiri. Pada saat yang sama Germasos dan HMI berhasil masuk ke organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Mereka kemudian membentuk SOMAL. Dalam berbagai kesempatan, Somal selalu menegur agar PPMI jangan terlalu terlibat dalam isu/peristiwa politis, jadi jelas sekali aspirasi ini adalah suara MMI.
Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan pernyataan: Bahwa yang sebenarnya peristiwa tersebut bukan bermotif rasial, akan tetapi merupakan isu sosial yang diakibatkan oleh gap antara si kaya dan si miskin yang terus mendalam. Dalam kasus tersebut, konsulat PPMI Bandung pecah. 4 anggota PPMI Bandung membentuk organ yang serupa dengan Biro Aksi Mahasiswa. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organ pecahan PPMI di Bandung tersebut dan membentuk Majelis Permusyawaratan Indonesia (MAPEMI) Agustus 1965.
Harus dicatat bahwa eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AKM) dan Perguruan Tinggi Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinan dipegang oleh perwira tingkat menengah AD fan Kepolisian.
Tragedi 1965 merupakan kulminasi dari kondisi Indonesia yang semakin semrawut semenjak 1963. Kenaikan harga tidak berimbang dengan penghasilan yang diperoleh, khususnya yang berpenghasilan dari butuh, pegawai negeri, dan ABRI. Sejak 1963, tarif kereta api naik 500%, tarif bus berlipat dan tarif angkatan udara menanjak sampai 500%. Tarif jasa umum seperti listrik dan air minum mencapai 400%. Dampak kenaikan ini terasa pada harga-harga di pasar. Dalam kuartal 1963 harga rata-rata beras, daging, ikan, telur, susu, gula, minyak kelapa, garam, sabun, di Jakarta naik 2 kali lipat dari tahun 1962 (Indeks 1953:100,1958:203,!962:1006, dan kuartal ke dua 1963:2302).
Angkatan bersenjata pun tidak lepas dari persoalan keuangan. Sejak 1963, angkatan bersenjata tidak mampu lagi membayar hutang-hutangnya. Akibatnya, mereka sulit memperoleh dan merawat alat-alat perang. Suku cadang untuk pesawat tempur, radar, kapal dan sistem persenjataan lain tidak tersedia, sehingga banyak persenjataan modern kala itu yang tidak dapat dioperasikan (Hermawan Sulistyo, ). Kondisi keuangan riil militer lebih rinci yakni: Pada 1959, anggaran militer (termasuk operasi-operasi militer) dialokasikan 32,26% dari anggaran pemerintah. Untuk tahun-tahun berikutnya sebesar 34,99% (1960), 29,28 (1961),34,72% (1962), 22,10% (1963), 26,71 (1964), dan 41,54% (1965).
Masalah luar negeri yang paling mencolok adalah usaha pembentukan negara malaysia yang terdiri dari persekutuan tanah Melayu, Singapura, dan sabah yang terwujud pada tgl 16 September 1963. Pengaruhnya ke dalam negeri berupa lebih seringnya dilakukan penggerakan massa untuk menghadiri rapat-rapat raksasa dengan tema anti Malaysia, anti kolonialisme, dan anti imperialisme.
Kesukaran hidup rakyat dininabobokan dengan semboyan “Amanat Penderitaan Rakyat, Berdiri di atas Saki Sendiri”. Deklarasi ekonomi (Dekon) 23 Maret 1963 Justru memprioritaskan pembangunan yang tidak bersifat produktif (Sarinah Department Store, Tugu Nasional, Gedung DPR//MPR, dll). Pemikiran secara series terhadap perbaikan ekonomi hampir tidak ada. Pesta Olahraga “Games of New Emerging Forces” (Ganefo) juga makan biaya yang banyak.
PKI dengan Ormasnya semakin menambah keruh suasana, di bidang budaya terutama. Paling menonjol adalah aksi-aksi yang dilancarkan untuk mengganyang film-film AS dengan segala macam tuduhan, misalnya, menjadi sarang CIA. Pertarungan pendapat menyebar dikalangan seniman seniman, pengarang, orang-orang perfilman, organisasi wartawan, PWI,orang-orang pelajar, IPPI, bahkan organisasi non politis, seperti, BKSKMI, BKMI, IPMI, YAFMI (sejak 1953 muncul organisasi-organisasi profesional dan fungsional).
            Kericuhan dalam dunia kampus disulut oleh aksi GMNI Mei 1962 yang menuntut  dr. Muchtar Kusumaatmadja, SH keluar dari Universitas Pajajaran. Dia dianggap anti Manipol USDEK. Pro dan kontra akan aksi ini mewarnai dunia Universitas menyulut terjadinya peristiwa perkelahian di kampus ITB antara seorang mahasiswa pribumi dengan non pribumi. Peristiwa ini berkepanjangan dan mencapai puncaknya pada 10 Mei 1963.
            Peristiwa rasialis tersebut menjadi jalan saling menyudutkan antar organisasi mahasiswa, berakibat dibekukannya konsulat PPMI Bandung. Kemudian mereka membentuk satu wadah baru MAPEMI, akan tetapi tidak berhasil.
            Kongres IV MMI dilaksanakan awal April 1964 di Malino, Sulawesi Selatan. Perdebatan yang panjang terjadi, salah satunya mengenai kepemimpinan di MMI. Kongres berakhir dengan kemenangan di pihak yang sepaham dengan kelompok non pancasila dan komunis yang dipimpin  oleh unsur-unsur CGMI dan GMNI (Pemuda Indonesia, kantor Menteri Negara  Pemuda dan Olahraga).
            Pada tahun 1964, sengketa dengan Malaysia mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya Dwikora. Bagi rakyat, masalah ini memang berbeda dengan pembebasan Irian Barat dengan Trikoranya. Kesulitan ekonomi terlebih lagi membuat rakyat acuh tak acuh.
            Hal itu diperpanas dengan terpilihnya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dk-PBB pada 7 Januari 1965. hal tersebut mendorong Indonesia menjalin hubungan dengan Cina yang tidak diterima menjadi anggota PBB dengan pembentukan poros Jakarta-Peking (meniru model poros Roma-Berlin).
            Perkembangan selanjutnya, pada 1965 ketegangan sosial politik semakin meninggi. Hubungan Sukarno-AD tegang. Pada tahun itulah terjadi Gerakan 30 September 1965. (sejarah tentang ini multiperspektif, dan belum ada tafsir sejarah pun yang diakui paling memadahi).  Di dunia internasional, harapan AS untuk menghentikan pembelokan ke kiri di Indonesia sia-sia tampaknya. Komitmen AS di Vietnam Selatan semakin bertambah berat dan sulit, terutama setelah terjadinya krisis kaum Budhis yang terjadi pada tahun 1963. AS menduga besar kemungkinan Indonesia menjadi negara komunis atau pro komunis.
            Pertarungan pro dan kontra PKI di dalam negeri lebih jelas lagi. CGMI mengadakan aksi-aksi untuk mempersempit ruang gerak lawan-lawannya. Diantaranya pelarangan HMI di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya oleh Sekretaris FH cabang Jember, Prof, SH. Alasannya HMI terlibat dalam PRRI/Permesta.
Musyawarah PPMI dan Front Pemuda konsulat Yogyakarta 3 Juni 1964 oleh CGMI, GMNI, Germindo, Perhimpunan Pemuda Rakyat, GPM mau diperalat untuk membubarkan HMI, namun usaha itu gagal. Tetapi dalam pertarungan selanjutnya HMI kalah. Presidium PPMi pada sidang tgl 6-7 Juli 1964 membenarkan tindakan konsulat-konsulatnya.
Aksi protes terhadap keputusan tersebut berupa munculnya pamflet-pamflet gelap di seluruh Yogyakarta. Sedangkan di Jakarta perang pamflet terjadi antara CGMI dengan HMI. Dan PKI dengan manis memanfaatkan kesempatan ini untuk menjatuhkan HMI dengan kampanye pada rapat-rapat besar. Pada tgl 21 Oktober 1964 HMI resmi dipecat dari keanggotaan PPMI dengan surat keputusan no 74d/KPTS/1964.
Antara 1960-1965 politik PKI tergolong sukses. Di bidang ideologi, Marxime, telah diajarkan di mana-mana sebagai pelajaran resmi dii sekolah-sekolah dan isntansi-instansi pemerintah. Isu-isu tentang kabir koruptor, dan, imperialisme As terus menguat.
Sukses dan peran PKI berakhir di penghujung tahun 1965. Diawali dengan peristiwa 1 Oktober sampai meletusnya G 30/S/PKI. Dan menjelang lengsernya Sukarno dari kursi kepresidenan, kondisi sosial politik Indonesia kacau. Gerakan di tubuh mahasiswa pecah, antara yang pro dan kontra PKI. Apalagi dengan masuknya pengaruh politisi-politisi masa itu, tidak terkecuali militer.
Meski demikian, demonstrasi-demonstrasi yang berlangsung masih kental dengan isu-isu yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Belum menyentuh isu pergantian pemimpin nasional. Pemerintah meresponnya dengan kebijakan Devaluasi yang, menurut analisis lain, dilakukan pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari pembantaian besar-besaran terhadap PKI dan simpatinya menggerakkan mahasiswa untuk mengadalkan aksi-aksi menentang kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat.
Percaya bahwa dibelakang peristiwa-peristiwa 1965 adalah PKI, maka isu-isu pun mengarah ke sana. 4 Oktober 1965 mahasiswa Bandung(Unpad dan ITB) mulai bergerak. Mereka memasang spanduk “bubarkan PKI” disekeliling kampus.
Di Jakarta, suasana lebih tegang lagi, sangat sulit untuk mendeteksi siapa kawan siapa lawan. Pemuda Muhamadiyah mendirikan komando kesiap-siagaan Angkatan Muda Muhamadiyah. Diikuti pula dengan pertemuan antara HMI, Pemuda Muhamadiyah, PPI, dan PMKRI untuk menjalin kerjasama menghadapi berbagai kemungkinan akbat Gerakan 30 September.
Awal tahun 1966 secara bertahap peran-peran politik Suharto mulai tampak. Militer sendiri punya basis yang cukup kuat untuk mendorong mahasiswa memusuhi Sukarno. Francois Railon menulis, bahwa proses peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto dijalankan atas dasar Partnership antara tentara dan mahasiswa.
Tahun-tahun ini peran PPMI menurun tergantikan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang lahir 17 Oktober 1965 atas dorongan militer (Politik dan Ideologi Mahasiswa,1985). Dalam banyak demonstrasi mahasiswa selalu mendapat dukungan dari militer. Terlihat dari isu-isu yang mencerminkan kedekatan mahasiswa dengan militer.
Pertemuan dan aksi untuk menunjukkan dukungan terhadap Sukarno danmembendung usaha pengambilalihan kekuasaan negara oleh PKI disamping melenyapkan seluruh elemen yang pro komunis terjadi di mana-mana. Anehnya tidak ada sedikitpun isu yang menunjukkan bahwa semua permasalahan yang dihadapi Indonesia waktu itu bersumber dari Sukarno yang tidak becus mengendalikan pemerintahan (bawahan-bawahannya).
Dari catatan Soe Hoek Gie dapat dilihat bahwa kesalahan-kesalahan lebih banyak ditimpakan kepada menteri-menteri. Dan ini memungkinkan terjadinya peralihan kekuasaan secara damai dari tangan Sukarno ke Suharto.
KAMI dengan cepat menjadi besar dan memiliki pengaruh yang kuat dalam organisasi-organisasi mahasiswa. Tidak sulit untuk kemudian merekrut organ-organ yang memang tidak sepaham dengan PKI seperti HMI,PMII,PMKRI,GMKI,SOMAL,PELMASI (Pelopor Mahasiswa Sosialis Indoensia) Gemsos, dan IMKI. KAMI mengibarkan ideologi anti komunis dan pembekuan organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya. KAMI resmi menjadi wadah tunggal organisasi mahasiswa setelah pembubaran PPMI 29 Desember 1965.
10 Januari 1966 aksi KAMI secara besar-besaran berlangsung. Keadaan Ekonomi yang kacau (inflasi 600%), inefisiensi pemerintahan (termasuk kabinet 100 menteri) dan sikap Sukarno yang tidak tegas menimbulkan ketidakpuasan. Aksi tersebut kemudian melahirkan Tritura. Aksi berlangsung selama 60 hari sampai turunnya Supersemar, Surat Perintah Sebelas Maret.
24 Februari KAMI mengadakan aksi untuk menghalangi pelantikan menteri-menteri baru. Aksi ini menimbulkan kemarahan Sukarno dan berakibat dibubarkannnya KAMI pada 25 Februari 1966 dengan Kepres no 41/Kogam/1966. Namun KAMI terus melakukan aksi hingga suatu saat membawa korban  tertembaknya mahasiswa UI Arif Rahman Hakim.
Pembubaran KAMI tidak banyak menolong Sukarno. Bersama KAPPI, Ex- KAMI terus mengadakan aksi massa. Untuk mengahadapi KAPPI, Subandrio berusaha untuk mengagitasi GSNI pada tgl 28 Februari 1966 (baca Drs G. Moendjatno,1989).
Gerakan-gerakan penumbangan Sukarno tidak lepas dari peran pers mahasiswa. Di tahun-tahun kritis pemerintahan Sukarno penerbitan-penerbitan seperti Harian KAMI, Salemba, Kampus, Gelora Mahasiswa, dan Mahasiswa Indonesia menulis pandangan-pandangan kritis masa kepemimpinan Sukarno.
Mulai April 1966, AD melancarkan gerakan kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekwen, yang kemudian mendapat bentuk sebagai ORBA, lawan dari ORLA. Suharto sendiri memegang tampuk kekuasaan tertinggi mulai 20 Februari 1967 dipertegas dengan ketetapan MPRS Tap XXXIII/MPRS/1967 sebagai pejabat presiden.
Langkah-langkah yang kemudian di ambil Suharto antara lain: mengubah susunan MPRS dan sebagai pijakan pemerintahannya mulai menjalankan kebijakan-kebijakan stabilitasi dan pembangunan ekonomi. Sampai dengan 1973 ORBA menunjukkan perkembangan yang positif di bidan stabilitas dan ekonomi. H.C Ricklefs menulis, toleransi beragama menguat, tingkat inflasi menurun (!(66:600%, 1967:100%, 1968:85 %, 1964:10 %). Sebagian besar keberhasilan ini dimungkinkan karena besarnya bantuan dari luar negeri (IGGI). Ekspor minyak Indonesia mengalami kenaikan harga dari 2,96 dolar AS perbarel menjadi 4,75 Dolar AS perbarel. Pada tahun 1974 minyak merupakan 74 % dari nilai ekspor sebelumnya pada tahun 1966 hanya 30 %.
Di masa-masa awal Orba peran-peran politik organisasi mahasiswa mulai luntur. Mereka labih disibukkan dengan permasalahan intern. Secara politis upaya untuk menghalangi gerak  KAMI juga dilakukan oleh pemerintah. Sampai dengan 1970 bahkan tidak ada langkah yang berhasil untuk memperbiki kondisi KAMI. Pada musyawarah Nasional Indonesia di Bogor 14-21 Desember 1970 menghasilkan keputusan bahwa wadah fisik belum perlu dibentuk, karena belum kelihatan mendesak betul (H.C Ricklefs,1981).
Langkah pembangunan Orba dimulai dengan pembentukan BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional). Rencana pembangunan direalisasikan dalam Repelita I yang dilaksanakan mulai 1969-1974. Titik berat pembangunan pada sarana dan prasarana pertanian dengan tetap memperhatikan kepentingan industri.
Legitimasi kekuasaan Suharto tercapai dengan lebih sempurna setelah pemilu 1971. 9 Partai yang mengikuti Pemilu antara lain: PKRI, PSII, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PWI, PNI, Perti, IPKI, dan Golkar. Kemenangan mutlak diperoleh Golkar dengan mendapatkan 236 kursi (masih ditambah 25 berdasarkan pengankatan. Golkar kemudian memegang peranan besar dengan mendominasi jumlah kursi baik di DPR maupun MPR.
Permasalahn sosial yang dihadapi ORBA sejak awal adalah korupsi dan penyelundupan (Indonesia abad 20 II, 1988). Perkembangan ini terus dipantau oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Mereka bersuara melalui laskar Ampera. Gerakan anti korupsi seperti “mahasiswa menggugat”, “Komite Anti Korupsi”, “Angkatan Pelajar Indonesia”, dicetuskan leh mahasiswa dan pelajar. Ini ditanggapi pemerintah dengan dibentuknya Tim Pemberantasa Korupsi (TPK) pada 17 Desember 1967.
Tim tersebut selama 5 bulan menghasilkan 7 buah surat kepada Suharto yang dikirim tgl 27  Februari dan 30 Juni 1970. Laporan dan sasaran yang dikemukakan meliputi kerja kejaksaan Agung dan TPI, PN; Pertamina, Bulog, penyederhanaan struktur/administrasi serta kebijakan di bidang pemberantasa korupsi.
Anti korupsi dan penghematan dana menjadi tema GM di tahun 70-an. Pemerintah berusaha meredamnya dengan mangadakan operasi-operasi penertiban. Aksi-aksi mereda. Kegiatan kemudian lebih pada konseptualisasi berupa seminar-seminar dan diskusi. Pertemuan-pertemuan serius kemudian melahirkan kelompok cibulan. Furom ini membahas permasalahan-permasalahn bangsa. Dari diskusi Cibulan lahirlah kelompok cipayung 22 Januari 1972 yang disepakati oleh Akbar Tanjung (Ketua Umum PB HMI), Suerjadi (Ketua Umum DPP GMNI), Chris Siner Key Timu (Ketua Presidium  PP PMKRI), Dan Binsar Sianipar (Ketua Umum PP GMKI). PMII masuk pada pertemuan Cipayung III pada Januari 1976.
Kritik atas masuknya modal-modal asing juga mewarnai dunia kampus. Peranan perusahaan-perusahaan Jepang yang kian besar mengundang perhatian massa. Gelombang protes ini memuncak diawal 1974 yang kemudian dikenal dengan peristiwa MALARI. Pembakaran dan pengrusakan terjadi diseluruh pelosok Jakarta sebagai ekses dari protes terhadap kedatangan perdana menteri Jepang, Kakui Tanaka.
Sementara itu, kebutuhan akan adanya organ pemersatu mahasiswa makin terasa dibutuhkan. Upaya ini dirintis mulai tahun 1972 dari PNPKB (panitia Nasional Pemuda Untuk Seminar-Seminar Keluarga Berencana). Pertemuan-pertemuan mahasiswa dilaksanakan beberapa kali di Jakarta. Konsolidasi terus berlangsung sampai terbentuknya KNPI di tahun 1973. Proses terbentuknya KNPI diikuti oleh Pemuda Ansor, GPM, Pemuda Muhamadiyah, GPI,HMI,GMNI,PMKRI,GMKI,PMII, dan Koordinasi Pemuda Golkar


GM 1978-1997

Pasca pemilu 1977, empat kota besar di Indonesia diwarnai serangkaian aksi mahasiswa. Sejumlah mahasiswa Bandung membentuk gerakan anti kebodohan (GAK) dan berhasil merangsang mahasiswa-mahasiswa lain memainkan kembali peran politiknya. Namun tindakan represif yang diberikan ABRI tidak bisa ditolak. Sejumlah kampus diduduki militer dan dewan mahasiswa semua universitas dibekukan Kopkamtib. Kekuatan politik mahasiawa semakin terpuruk dengan munculnya NKK/BKK.
 Pada tgl 19 April 1978, Menteri P&K, Prof. Daoed Joesoef, mengeluarkan SK. No. 0156 /U/1978 tentang normalisasi kehidupan kampus (NKK). Selanjutnya pada tgl 24 Februari 1979 menyusul SK. No. 037/U/1979 yang mengatur organisasi kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi Departemen P&K. Setiap kegiatan mahasiswa berada di bawah pengawasan rektor.  Adapun dalam merencanakan kegiatan mahasiswa, rektor dibantu badan koordinasi kemahasiswaan (BKK).
Dengan segala cara pemerintah berusaha “menjinakan” mahasiswa. Aparat birokrasi kampus tidak lain adalah perpanjangan tangan pemerintah perguruan tinggi untuk mengontrol kampus. Mahasiswa telah “dikandangkan”. Siapa yang berani keluar, skorsing dan drop out (DO) tidak segan-segan menghampiri mahasiswa. Rupanya upaya pemerintah “menjinakan” mahasiswa masih kurang. Menteri P&K mengeluarkan SK. No. 0124 yang mewajibkan pemberlakuan system kredit semester (SKS) di setiap perguruan tinggi. Mahasiswa  dituntut focus pada kuliahnya, dengan kewajiban menyelesaikan sejumlah beban studi untuk setiap semester. Hal ini mengahambat jalannya aktivitas moral mahasiswa. Mereka disibukan dengan kuliah dan “dibentuk” menjadi mahasiswa berpikiran pragmatis. Sehingga tidak sedikit mahasiswa yang apolitis.
Di tingkat dunia, terjadi krisis ekonomi sebagai dampak dari Oil Shock 1971. namun dampaknya lebih banyak menimpa negara-negara industri maju dan negara-negara lain pengimpor minyak. Sebagai negara pengekspor migas, Indonesia mengalami boom oil. 
Memasuki awal 1980, melalui Tap MPR No. 11/MPR/1978 pemerintah memberlakukan penataran P-4. Dengan metode indoktrinasi, diharapkan masyarakat menghayati dan mengamalkan ideologi pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal.
 Sebagai organisasi ekstra universitaas, HMI menolak pancasila sebagai ideology tunggal, yang berbuntut pada pecahnya HMI menjadi HMI DIPO dan HMI MPO. Penerapan asas tunggalpun berlaku pada ORMASS dan ORPOLL. Bermula dari pidato Presiden Soeharto  di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 16 Agustus 1982, menyusul Sidang Umum MPR 1983 yang menetapkan bahwa organisasi social politik wajib menganut hanya ideology pancasila. Perkembangan selanjutnya organisasi keagamaanpun diwajibkan menganut asas tunggal, Pancasila.  Asas tunggal tidak lain adalah alat yang digunakan orde baru untuk melihat “mana kawan-mana lawan.” Yang tidak menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya ideology sudah jelas menjadi lawan Orba.
Dengan ketetapan asas tunggal, mudah sekali untuk menyingkirkan lawan. Ormas dan Orpol yang tidak menggunakan pancasila sebagai satu-satunya asas dengan mudah di bubarkan. Tindakan represif pemerintah pada 1978 telah membangkitkan mahasiswa untuk bergerak di luar kampus. Era 1980-1990-an muncul format baru dalam GM (GM). Secara sembunyi-sembunyi mahasiswa melakukan aktivitas politiknya dengan membentuk kelompok studi, diskusi dan ada juga yang gabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM). Berbagai ide yang tergolong “controversial” dikembangkan. Gerakan–gerakan di luar kampus ini semakin menjamur. Pemerintah tidak berhasil melacak keberadaan mereka, sehingga pemerintah tidak bisa mengawasi bahkan mengatur idealisme mahasiswa.
Pertengahan 80-an, di kampus-kampus bermunculan terbitan-terbitan kritis. Lembaga pers mahasiwa (LPM) dalam peranannya sebagai pers “moral” menghadirkan pemikiran-pemikiran kritis-konseptual di kalangan mahasiswa disamping terjun dalam pengorganisasian protes. Sayangnya usaha pers mahasiswa (Persma) ini tidak bisa bertahan lama. Tindakan represif pemerintah dimunculkan kembali melalui Permenpen RI No. 01/Per/menpen/1975 dan surat edaran Dikti No. 849/D/T/1989, mengenai penerbitan kampus di perguruan tinggi. Permenpen menggolongkan bahwa persma sebagai penerbitan khusus yang bersifat non-pers. Dampak yang dirasa aktivis persma adalah pembatasan terhadap persoalan yang boleh diangkat. Selain persoalan akademik (kampus), jangan harap persma dapat leluasa.
Daya kritis mahasiswapun mengalami hambatan. Tidak sedikit pembredelan dilakukan pemerintah karena tidak sejalan dengan kebijakan orde baru. Seperti; pembredelan pers kampus IAIN Sunankalijaga, ARENA, pembredelan majalah OPINI FISIP UNDIP, majalah DIALOGE  FISIP UNAIR Sebagai salah satu unsure utama prodemokrasi, sangat disayangkan dalam perkembangan selanjutnya LSM justru menciptakan kelas-kelas dalam tubuhnya sendiri; dibentuknya BINGO, MINGO, dan LINGO. Mekanisme kerja LSM-LSM besar yang hanya sibuk dengan urusan birokrasi, mendapat sorotan dan kritik dari kalangan aktivis. Walaupun banyak mahasiswa yang masukLSM dinilai eksklusive dan kurang menyeluruh dalam persoalan-persoalan kemahasiswaan dan kerakyatan.
Kesan “elitis”pun dilekatkan pada kelompok-kelompok studi. Mereka dikritik bahwa gerak mereka hanya sebatas diskusi dan diskusi. Isu-isu yang diangkatpun parsial, seperti clean government, kemandirian bangsa, korupsi dan sebagainya. Berbeda dengan komite aksi (student movement)  yang langsung mengarah pada pengelolaan isu yang menjadi pilar utama orde baru, seperti Dwi fungsi ABRI, 5 Paket UU Politik dan lain-lain. Konsekuensi dari kelompok aksi adalah turun ke jalan untuk mendapat dukungan dari masyarakat. Untuk mengurangi pertentangan antara kelompok studi dengan kelompok aksi yang hanya akan merugikan mahasiswa itu sendiri, dibentuklah koalisi antara kelompok studi, aksi dan persma. Format baru inilah yang dapat bertahan dalam perkembangan organ perlawanan mahasiswa pada 90-an.
Pada pertengahan 80-an, struktur ekonomi Indonesia dipegang oleh swasta. Dari kalangan elite negara banyak bermunculan pemilik modal baru yang mempunyai posisi dan pengaruh di pemerintahan. Pemilik modal baru itu berwenang atas kontrak-kontrak serta berbagai konsesi dengan cara mentransformasikan dana kedalam bentuk investasi modal. Seiring dengan resesi perekonomian dunia pada 80-an, harga migas turun dan harga minyak bumi mencapai US$ 12/barel. Maka penerimaan migas turun 36% yang berdampak pada merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia 1982 pada tingkat 2,2%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali bangkit; harga migas naik hingga mencapai diatas US$ 15/barel. Upaya pemerintah telah dilakukan sejak 1983 dengan pembaharuan system perpajakan dan dan deregulasi moneter. Arah yang diambil adalah liberalisasi ekonomi, dengan tanda-tanda1; pertama, proses ekonomi makin mengikuti mekanisme pasar bebas, kedua, system perekonomian makin terintegrasi kedalam perekonomian dunia atau makin masuk kedalam proses globalisasi, dan ketiga, peranan swasta sebagai pelaku ekonomi berkurang, Salah satu fenomena menarik untuk diamati adalah munculnya kelas-kelas menengah di perkotaan.
Kelas-kelas baru ini lahir dari industrialisasi yang cepat. Pemerintah melakukan pembangunan luar biasa dengan mengabaikan hak-hak politik rakyat dan HAM. Era 80-an ditandai dengan masuknya globalisasi ke Indonesia. Informasi lebih mudah menembus masyarakat dan mahasiswa berkembang dengan wacana-wacana kritis dari luar. GM 80-an mulai bersentuhan dengan masyarakat. Isu-isu bertema kerakyatan mulai tampak. Demikian juga dengan kecenderungan membangun jaringan dan koordinasi antar kota untuk mendampingi kasus kedung ombo dan kasus tanah di Kaca Piring Jawa Barat.
Menjelang pertengahan 1980-1990-an NKK/BKK berakhir. Melalui PP No. 30/1990 yang diikuti dengan SK No. 0457/U/1990 diberlakuan Ormawa Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Wadah tunggal di tingkat universitas kembali diberlakukan. Dalam perjalanannya SMPT tidak bisa membawa aspirasi mahasiswa. Kampus masih mempunyai otoritas tertinggi dalam pemberian izin kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan mahasiswa. Mengenai dana SMPT masih tergantung pada universitas. Hal ini menambah kuat keotoritasan universitas terhadap SMPT. Apa boleh buat, hanya melalui SMPT-lah aspirasi mahasiswa dianggap legal.
Bersamaan dengan munculnya SMPT, GM 90-an mengalami penurunan. Selain itu di kalangan aktivis GM pun banyak terjadi perpecahan yang disebabkan ketidaksepakatan terhadap isu-isu yang diangkat. Perpecahan terjadi pada FKMY (Forum komunikasi Yogyakarta) yang melahirkan faksi DMPY dan faksi SMJ (solidaritas mahasiswa Jakarta) dan PIJAR (pusat informasi jaringan aksi reformasi). Namun kecenderungan GM 90-an dalam mengangkat isu, adalah seputar isu kampus, isu keadilan social dan ekonomi, isu HAM, hukum dan kekerasan. Selain isu-isu diatas, ada pula isu-isu tambahan yang menjadi perhatian mahasiswa, yaitu isu-isu moral, lingkungan, dan internasional.
Aktivis mahaiswa 90-an kebanyakan menggunakan tema “rakyat” dalam mengangkat isu ketidak adilan social ekonomi, seperti Komite Pergerakan Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia (KPMURI). Orde baru mulai menampakkan “watak aslinya.” Tindakan represif berupa penangkapan, pengadilan, tuduhan “subversif” ditujukan terhadap mahasiswa. Maraknya kasus SDSB mendorong aktivis mahasiswa Islam bergabung dalam aliansi PMIB (persatuan mahasiswa islam bandung) untuk mengadakan aksi protes pada bulan oktober 1992. Kemunculan PRD, STN, JAKKER, SMID, dan PBI menandakan perlawanan GM yang radikal. Malahan, PRD membuat partai yang nampak sekali melawan rejim Orba.
Kebangkitan aktivis Islam membuat Orba melirik dan mendekati. Terlebih lagi hubungannya dengan militer semakin memburuk. Namun pembentukan ICMI pada 6 desember 1990 membawa angin segar bagi Soeharto. ICMI tidak lain adalah organisasi yang disponsori Soeharto dan dirancang untuk memobilisasi dukungan umat Islam pada saat satu segmen militer menentang Soeharto2. Kemenangan GOLKAR dalam setiap Pemilu tidak lepas dari dukungan militer. Nah, untuk menghadapi Pemilu 1992, Orba mendekati kalangan muslim.
Pada awal 90-an, janji manis Orba tentang keterbukaan diulang kembali pada pidato kenegaraan menyongsong tahun 1994. Ironisnya Orba masih melancarkan tindakan represif terhadap lawannya. Hal itu tebukti atas pembredelan yang dilakukan terhadap beberapa media massa,  seperti DETIK, Tempo dan Editor
Setelah peristiwa Malari 1974, kerusuhan 27 Juli 1996  (kuda tuli-red) merupakan huru-hara yang luar biasa. Banyak korban berjatuhan dan gedung-gedung dibakar. PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan dan dianggap sebagai bentuk lain OTB. Kalau meminjam istilah Hefner, gaya politik Orba adalah “gaya politik belah bamboo,” yaitu melawankan kawan dengan kawan. Orba berhasil melawankan PDI-Mega dengan PDI-Soerjadi. Namun untuk “mencuci tangan,” PRD menjadi sasaran “pengkambinghitaman.”
Menjelang Pemilu 1997, mahasiswa kembali bergejolak. Mereka mengangkat isu menolak Pemilu 1997 disamping isu-isu lainnya (isu HAM, isu keadilan social, isu internal kampus). Sementara di Jogja, isu kampanye “golput” mulai marak. Selain isu penolakan pemilu, mahasiswapun menuntut; pencabutan paket 5 UU politik, UU Subversi, pencabutan Dwi fungsi ABRI. Semakin mendekati pemilu, aksi-aksi menolak pemilu terus merebak. Pada 20 Mei’97 di Jogja, KMAP (komite mahasiswa anti penindasan) menyatakan menolak pemilu ’97, menuntut paket 5 UU politik, UU anti subversi dan Dwi fungsi ABRI. Pasca pemilu’97 aksi mahasiswa berlanjut. Di Semarang, FARI (front aksi rakyat Indonesia) menuntut agar pemilu diulang.
Agustus 1997, Indonesia mengalami krisis moneter atau krisis mata uang. Nilai rupiah merosot terhadap dolar AS. Sumber krisis berawal dari utang swasta. Berdasarkan data Lee Kuan Yew, mantan perdana menteri Singapore, sekitar 800 debitur berutang sekitar US$ 68-US$ 69 miliar. Diawal krisis rupiah, pemerintah telah meminta bantuan IMF, dengan harapan dapat mencegah krisis uang. Namun, bantuan IMF hanya “menjerat” dan memperparah krisis. Harga dolar terus meroket, sehingga nilai utang dalam rupiah semakin membengkak. Mendengar kabar kalau Indonesia mengalami krisis, pasar mengalami “kelangkaan” sembako. Masyarakat berlomba-lomba menimbun sembako, khawatir terjadi kenaikan harga. Namun, hal itu malah membuat harga semakin melambung. Karena, ya itu tadi pasar mengalami “kelangkaan”. Tidak hanya sembako, kenaikan juga terjadi pada BBM, obat-obatan, pendidikan dan lain-lain.      

Nining

Kondisi politik 1998

Agen-agen neolib yang ingin menjadikan dunia ke tiga sebagai ajang perampasan atau perampokan menemui kendala yang sangat serius di Indonesia, yaitu adanya monopoli penguasa yang otoriter dan keluarganya. Tapi hal itu tidak menjadi kendala bagi negri penjajah (barat) untuk tetap menyerang pasaran di negri ini, karena di Indonesia merupakan pasar yang sangat strategis untuk dapat meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Salaha satu yang dilakukan oleh agen neoliberal di Indonesia yaitu tepatnya pada paruh kedua 1997 adalah menarik dolar dari pasaran, yang mengakibatkan bencana ekonomi Indonesia, ditandai oleh melemahnya nilai rupiah.
International Monetary Fund (IMF) mengumumkan paket bantuan keuangan senilai $ 23 miliyar pada oktober 1997, lalu di ikuti oleh pemerintah melikuidasi 16 bank pada I November 1997 sampai Januari 1998, krisis mulai memburuk. Nilai rupiah sudah sangat lemah, dari sekitar Rp 4000 menjadi Rp 11.000 per $1. RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara) yang dibacakan Suharto pada 6 Januari 1998 tidak menunjukkan kesungguhan rezim deru (Orde Baru) untuk melakukan reformasi ekonomi dan masih mengatakan bahwa badai pasti berlalu.
Kritik keras dari IMF pada konsistensi pemerintah Indonesia segera memunculkan rumor di dalam dan diluar negri bahwa IMF akan menghentikan pencairan dana bantuan tahap ke dua sebesar $ 3 miliyar, akibatnya pada menilai negatif dan rupiah semakin melemah menjadi 12.000. Sementara itu kebutuhan-kebutuhan pokok dipasaran semakin melangit harganya, bahkan banyak perusahaan yang gulung tikar akibat krisis ini, PHK terjadi besar-besaran, angka pengangguran dan kemiskinan pun naik drastis.
Realitas Gema ( GM).
Keresahan masyarakat atas melambungnya harga-haraga sembilan bahan pokok (sembako) dan ancaman putus kuliah serta masa depan yang suram dikalangan mayoritas mahasiswa, menjadi faktor penggerak tersendiri bagi kalangan kampus, mahasiswa dan civitas akademica untuk menyatakan keprihatinanya. Aksi mimbar bebas dan keprihatinan di kampus menyerukan tuntutan menurunkan harga-harga barang, terutama sembako, diikuti oleh tuntutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi lainya, yakni agar penimbun barang ditindak, masalah pengangguran yang semakin meluas ditangani, dan tuntutan agar kebijakan ekonomi lebih berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat. Pada Februari 1998 kuantitas massa aksi demonstrasi mahasiswa memang semakin meningkat. Di luar Jawa mahasiswa mulai aktif; Palu, Bima, Lahat, Samarinda, dan yang terbanyak Ujung Pandang. Sementara itu di kota-kota lain GA deru ( Gerakan Anti Orde Baru) mahasiswa semacam Bandung, Solo, Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, Semarang juga semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Turunkan harga  justru yang menjadi isue politik utama selama Februari 1998, yaitu 31 kasus dan yang Tolak Suharto (6 kasus).
Pelaku baru gerakan protes dan perlawanan mahasiswa yang oleh beberapa kalangan disebut GK deru (Gerakan Koreksi Orde Baru) mulai menonjol pada akhir Februari 1998. Aksi-aksi GM tidak lagi digerakkan oleh kelompok-kelompok radikal yang mempunyai tradisi perlawanan dan pemikiran yang sangat kuat juga sudah lama terjun melawan kekerasan pemerintahan otoriter deru ( Orde Baru ). Yaitu sejak akhir 80-an sampai era 90-an.
Kalangan aktivis kampus dari organisasi resmi semacam SMTP (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi ), BEM ( Badan Eksekutif Mahasiswa) dan organ setengah resmi KM (Keluarga Mahasiswa) atau Presidium senat mahasiswa fakultas-fakultas, yang menyebut gerakan mereka sebagai gerakan moral, dengan format aksi keprihatinan didalam kampus, mulai muncul dan meluas. Elmen GM (Gema) yang baru ini kebanyakan  didukung oleh staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi, yang dinamakan Gema civitas academika. Mimbar terbuka diantaranya di UI yang dihadiri atau didukung beberapa tokoh dan mantan rektor UI Prof. Mahar Maharjono dan beberapa Guru Besar lainya. Mimbar terbuka ini ditutup dengan tindakan simbolis mahasiswa UI yaitu “ Kampus Perjuangan Orde Baru” yang terpampang dibaliho besar didepan kampus ini menandai berkurangnya dukungn civitas academika UI terhadap deru (Orde Baru). Kejadian dikampus UI tersebut juga melanda beberapa kampus besar lainya, diantaranya 5 Maret 1998 di Unair Surabaya, 6 Maret 1998 di Universitas Yarsi Jakarta, 7 Maret Unpad Bandung, 9 Maret di Universitas Pasundan, Undip Semarang, UNS Solo, 10 Maret di Unila Lampung dan di UII Jogjakarta, 11 Maret di UGM. Pada kurun waktu maret terjadi 15 aksi di 10 kota yang melibatkan Dosen, Guru Besar, pejabat Dekanat dan Rektorat.
Rezim Suharto tampaknya menyadari gawatnya keadaan politik, berkaitan dengan GM yang terus membesar meskipun sudah dilakukan pemberangusan pasca 27 juli 1996. Rezim yang begitu percaya pada teori dalang beranggapan bahwa para pimpinan GM yang masih aktif dan cenderung radikal harus dilenyapkan agar gerakan itu bisa dihentikan, maka dibentuklah tim mawar dari Kopassus yang waktu itu dipimpin oleh menantu Suharto. Belasan aktivis diculik, sebagian besar adalah aktivis mahasiswa. Penculikan ini malahan memperbesar demonstrasi mahasiswa, terbukti pada bulan Maret 1998. Dari aksi mahasiswa pada Februari 1998 langsung melonjak mencapai 247 aksi pada Maret 1998. Aksi mahasiswa merata di 20 kota dari 10 Provinsi. Rekor terbanyak di buat oleh mahasiswa Surabaya kurang lebih(35 aksi), Ujung Pandang kurang lebih(32 aksi), Jogjakarta kurang lebih (25 aksi), Solo kurang lebih (19 aksi), Malang kurang lebih (17 aksi), dan Semarang kurang lebih ( 16 aksi), aktivis dikota-kota lain juga memulai aksi demonstrasinya.
Aksi-aksi yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa kian dapat memobilisasi massa semakin besar, rekor terbesar dilakukan oleh KM UGM yang berhasil memobilisasi massa kurang lebih sampai Lima Belas Ribu pada Maret 1998. Dalam aksianya mahasiswa yang mengangkat isue anti Suharto semakin meluas. Ada 14 aksi yang tercatat secara eksplisit tolak Suharto, lainya isue yang diangkat adalah masalah pergantian kepimimpinan nasiosal, tolak pertanggungjawaban presiden ( ITS Surabaya 6 Maret 1998), aktivis-aktivis organisasi resmi kampus baik KM, BEM, Senat, KB lebih merupakan pernyataan sikap kprihatinan atas krisis ekonomi, politik yang melanda Indonesia sejak 1998. Tuntutan dan isue politiknya pun umum dan mengambang yakni reformasi ekonomi dan politik. Selain itu tuntutan mereka adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa, turunkan harga sembako, tolak kekerasan militer, audit kekayaan pejabat, kembalikan kedaulatan rakyat, menolak IMF. Pada bulan April 1998 aksi demonstrasi semakin meningkat yakni kurang lebih 299 aksi. Aksi semakin merata dan meluas ke lebih dari 33 kota dari 17 provinsi, kota Jogjakarta dan Bandung mencatat rekor paling tinggi, masing-masing 40 aksi, diikuti Jakarta 38 aksi, Ujung Pandang 36 aksi, Semarang 19 aksi, Solo 16 aksi, Banjarmasin dan Medan masing-masing 12 aksi, Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah 20 aksi. Selain aksi di kota-kota dan kampus-kampus besar demonstrasi juga semakin mewabah ke kota atau kampus-kampus kecil yang selama ini tidak pernah aksi. Kalangan birokrat dan staf pengajar juga ikut mendukung aksi yang dilakukan oleh GM, salah satunya adalah Prof. Dr. Ichlasul Amal yang menjadi rektor UGM waktu itu.
Situasi politik Indonesia semakin terpuruk, GM tidak menunjukkan tanda berhentinya, bentrokan aparat dan massa aksi terjadi setiap hari, membuat Pangab Wiranto ingin mengadakan dialog dengan mahasiswa, bulan April isue tolak dialog juga menjadi landasan beberapa organ pergerakan untuk aksi. Aksi menuntut reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dan masyarakat Indonesia membuahkan hasil dengan mundurnya Presiden otoriter RI H.M. Suharto pada tgl 21 mei 1998 pukul 09:02:45. Ini bukan berarti berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Hal itu dapat ditangkap dari beberapa aksi mahasiswa pasca 21 Mei 1998, yang masih meneriakkan tuntutan reformasi total.
Pengumuman pelimpahan wewenang dari Suharto ke wakil Presiden waktu itu Habibie sebagai presiden baru. Tolak Habibie menggema dibeberapa kota selama 21 dan 22 Mei 1998. Ribuan massa dari FAMPR ( Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat) membentuk barisan dan berpawai sepanjang 2 Km. Di Solo Dua Puluh Ribu massa dari DRMS( Dewan Reformasi Mahasiswa Surakarta) berkumpul di depan kantor DPRD kota Solo untuk menolak Habibie, menuntut pembubaran DPR/MPR nasionalisasi kekayaan Suharto, cabut paket 5 UU politik dan hapus Dwi Fungsi ABRI. Di Denpasar ribuan massa rakyat yang bergabung dengan mahasiswa Udayana, dikampus menolak Ida Bagus Oka sebagai mentri dan tolak 3H (Harmoko, Hartono dan Habibie). Di Jakarta ribuan mahasiswa Forkot dan Front Nasional memasuki gedung DPR/MPR Senayan sambil menuntut Habibie turun, percepat pemilu ulang, usut kekayaan Suharto. Disisi lain tuntutan reformasi total yang bagi mahasiswa GA deru (Gerakan Anti Orde Baru) berarti juga penolakan terhadap Habibie, ternyata menghadapkan mereka dengan kelompoklain yang mendukung Habibie. Situasi ini terlihat jelas saat ribuan massa Forkot dan Front Nasional hampir bentrok dari massa aksi dari pendukung Habibie yang diantaranya Pendekar Banten, GPI, Yayasan Pedagang Muslim Sukabumi, GPA, GPII, PPII, HMII, DDII, IMM, PII di pelataran gedung MPR/DPR Senayan pada 22 Mei 1998.
Proses perubahan politik yang terjadi dimanapun pasti menghadapi dua pokok persoalan yaitu stabilisasi dan legitimasi. Kondisi sosial politik menyusul kenaikan Habibie justru meperlihatkan meluasnya aksi-aksi massa akibat tersumbatnya seluruh jalur politik konvensional dimasa Orde Baru. Aksi-aksi mahasiswa pada pertengahan bulan Mei sampai menjelang SI MPR bulan September 1998 memperlihatkan kecenderungan peningkatan tuntutan untuk membentuk pemerintahan transisi. Bagi aktivis Gerakan Anti Orde Baru (GA deru), persoalan legitimasi pemerintahan Habibie merupakan awal untuk menyatakan tuntutan-tuntutan selanjutnya. Sejak 21 sampai akhir Mei 1998, tercatat 90 aksi mahasiwa di berbagai daerah, dengan isue utama Tolak Habibie, percepat SI MPR, pemilu ulang. Dari jumlah total demonstrasi bulan itu sebanyak kurang lebih 536 kali. Memasuki bulan Juni kurang lebih 274 demonstrasi, dengan isue utama SI MPR segera, adili Suharto.
Aksi-aksi menuntut perbaikan ekonomi dan politik juga terjadi di beberapa daerah. Mahasiswa tidak lagi turun ke jalan sendirian tetapi sekarang banyak yang melibatkan rakyat. Di tingkat lokal rakyat dan mahasiswa menuntut pemberantasan KKN  didalam unsur-unsur pejabat Pemda dan perubahan struktur pemerintah daerah. Buruh menuntut pembubaran organisasi profesi buatan Orde Baru, kenaikan upah, serta ganti rugi bagi ribuan karyawan yang terkena PHK. Salah satunya adalah yang dilakukan AMRS di Semarang, aksi demo yang diikuti oleh Seribuan massa didepan kantor Gubernur seraya menuntut terhdap pengadilan Suharto, perbaikan ekonomi rakyat. Bulan Juni dan Juli banyak dipenuhi oleh aksi-aksi menuntut mundurnya pejabat-pejabat pemerintah yang dinilai tidak bersih secara politik, yang cukup menonjol adalah tuntutan mundur terhadap pejabat yang dinilai ikut andil dalam kasus 27 Juli 1996, ini juga terjadi di Ujung Pandang dengan massa aksi dari berbagai elmen masyarakat antara lain mahasiswa, pengacara, aktivis prodemokrasi, aktivis mapala. Di Jogjakarta pada saat yang sama mahasiswa ISI bersama wartawan Bernas menuntut mundur Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo karena dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan Udin wartawan Bernas. Memasuki bulan Oktober aksi menuntut dihapusnya Dwi Fungsi ABRI mengiringi peringatan ulang tahun ABRI yang ke-53, pada 5 Oktober 1998.
Demontrasi secara menyeluruh dilakukan oleh berbagai kelompok aksi baik di Jakarta sebagai pusat pemerintahan maupun di daerah-daerah. Umumnya disertai tuntutan agar ABRI bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM, ketidakmampuan ABRI mengatasi kerusuhan sosial di Jakarta selama 13 sampai 15 Mei1998, keputusan sanksi administratif bagi pelaku penembakan pada waktu tragedi Trisakti, ketidakjelasan nasib 14 aktivis prodemokrasi yang hilang, berbagai tindakan atas nama keamanan, ketertiban stabilitas nasional kesemuanya mengkristal dalam satu tuntutan, cabut Dwi Fungsi ABRI.
Banyak pengamat politik menyimpulkan bahwa GM akan kebingungan, gagap dan terpecah setelah Suharto tidak lagi berkuasa, kelompok-kelompok pergerakan memang tidak pernah berada dalam satu wadah tunggal, bahkan cenderung menolaknya. Ini dilakukan supaya aparat pemerintah tidak mudah  mematikan atau mengkooptasi gerakan mereka. Selama satu dasawarsa membangun basis di kampus-kampus maupun diluar kampus, musuh bersama bagi kaum gerakan dan aktivis prodemokrasi yang dapat mempersatukan gerakan sepintas lalu adalah isu turunkan Suharto. Isue bersama tersebut bersumber dari serangkaian perdebatan yang menghasilkan kesimpulan bahwa akumulasi pembusukan politik, sosial, budaya,  yang mengkristal menjadi keresahan dan kebangkrutan nasional yang disebabkan oleh pemerintahan Orde Baru, karena itu dia harus bertanggung jawab atas chaos politik setelah berada 32 tahun dikursi kekuasaan. Kemunculan partai-partai baru dan tokoh-tokoh lama yang loyalis terhadap Orde Baru yang mendadak berwajah reformis serta saling berlomba mengklaim sebagai paling reformis, kali ini siap menggantikan peran aktivis yang berada di garis depan menuntut perubahan total.

Berbagai macam Gerakan

Dalam GM 1998 menurut banyak kalangan dapat digolongkan menjadi dua tipologi berdasarkan sikap dasar mereka terhadap rezim Orde Baru yaitu Gerakan Anti Orde Baru (GA deru) dan Gerakan Koreksi Orde Baru (GK deru), semakin menemukan format gerakan mereka setelah Suharto turun. Gerakan moral atau Gerakan politik merupakan alternatif yang mengemuka kembali di dalam kalangan para aktivis pasca Suharto. Gerakan moral memandang krisis multi dimensi yang dihasilkan oleh sistem Orde Baru semata-mata merupakan salah urus dan ketidakmampuan perangkat pemerintah menjalankan fungsinya. Mereka tidak menolak sistem politik yang ada, namun mengedepankan koreksi terhadap praktek politik Orde Baru. Inilah GM yang dikatagorikan sebagai Gerakan Koreksi Orde Baru (GK deru), gerakan ini umumnya yaitu gerakan resmi kampus KM,BEM, Senat mahasiswa, atau semacam gerakan yang sudah mapan pada waktu Orde Baru berkuasa, semacam FKSMJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Jakarta), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), HMI MPO yang terdiri dari kumpulan mahasiswa dari pergerakan Ekstra kampus.
Aktivis yang radikal dan independen lebih melihat salah urus yang ada sebagai kesenjangan yang dilakukan secara sistematik, produk desain Orde Baru yang mengebiri hak rakyat, konsistensi mereka tetap terlihat pada era pasca Suharto. Yaitu hantaman terhadap pilar-pilar utama Orde Baru, cabut Dwi Fungsi ABRI dan paket lima UU politik, masih bergema pada aksi-aksi setelah Habibie menjadi Presiden. Gerakan ini disebut sebagai Gerakan Anti Orde Baru (GA deru), gerakan ini kebanyakan diwakili oleh aktivis tradisional yang sudah matang dalam tataran wacana maupun praksis, dan juga mendukung adanya demokrai (Prodemokrasi),ini semacam PPPY Jogjakarta, FAMPR Purwokerto, Formosal Salatiga, Semesta Semarang, Gempur Jakarta, Famred Jakarta, APR Surabaya, Ampera Wonosobo, KPMB Bandung, FKMM Malang, KKPS Probolinggo, Formajo Jombang, FPPHR Bogor. Bagi aktivis GK deru turunya Suharto adalah terget antara dari perubahan menyeluruh, karena itu seluruh elmen-elmen Orde Baru seharusnya tidak lagi bertengger dalam struktur pemerintahan baru. Kekecewaan karena naiknya Habibie sebagai kepanjangan tangan Suharto terlihat ketika Forkot, Front Nasional, serta kelompok GA deru lainya berteriak selama berhari-hari setelah 21 Mei. Meskipun demikian, dalam aksi-aksi menuntut turunya Suharto kedua kelompok tersebut tidak saling menegasikan, dan juga mempunyai kontribusi sama pentingnya dalam mempercepat laju proses reformasi dan tergulingnya Suharto.
Perpecahan demikian sering kali disebutkan oleh pengamat politik dikalangan aktivis dan organ GM pasca Suharto, tidak dapat disimpulkan semata-mata perbedaan isue politik yang muncul, meskipun isue dapat dijadikan agenda bersama. Selain itu kompleksitas organ gerakan itu sendiri berbeda-beda, maka kondisi gerakan di Jakarta misalnya, tidak bisa dijadikan parameter, sehingga diperoleh kontribusi GM tidak satu suara, atau ungkapan sejenis lainya. Kontinuitas atau diskontinuitas berkorelasi dengan berbagai faktor, diantaranya seberapa jauh organ tersebut membangun wacana dan tradisi gerakan, serta proses dialektika yang terjadi didalamnya. Aktivis kelompok mahasiswa yang mempunyai sejarah pergerakan yang panjang di kencah pertarungan konsep maupun praksis, tidak akan rela terjebak pada aktivisme belaka. Pergulatan pemikiran melalui intensitas diskusi dalam rapat-rapat, bahkan tur politik, untuk merumuskan ideologi, platfrom dan visi gerakan memerlukan rentang waktu yang lama. Memahami konteks ini bisa dihindari kecenderungan labelisasi atau tuduhan, bahkan pengkultusan terhadap GM.
Selama rezim Orde Baru, perbedaan pendapat selalu di tekan, sedangkan dibawah pemerintahan Habibie keterbukaan tampaknya cukup kondusif bagi pertarungan politik. Mulai terlihat kepentingan kelompok diutamakan dari pada langkah-langkah konkrit yang dapat memulihkan negara dari krisis multi dimensi. Pertarungan kepentingan tersebut akhirnya menyeret GM dalam arti berkaitan dengan kepentingan politik dimasing-masing pihak, dan bahkan semata-mata sebagai perbedaan politik. Disamping itu muncul pelaku politik baru yang cenderung mengiterupsi mahasiswa, yaitu partai-partai politik baru yang siap menjalankan proses politik lebih demokratis.
Keterbukaan politik yang merupakan konsesi pemerintah baru disatu sisi membuka partisipasi politik bagi rakyat. Tetapi, pemerintah baru ternyata segera mengeluarkan rambu-rambu untuk mencegah kekuatan terutama dianggap mengganggu jalanya proses reformasi. Watak Orde Baru yang anti perubahan muncul kembali dalam berbagai tindakan represivitas aparat dalam mengahadapi berbagai demonstrasi, kejadian bentrok antara massa aksi dengan aparat pada bulan Maret terjadi kurang lebih 11 aksi, April kurang lebih 34 kali, Mei kurang lebih 40 kali. Menyusul dikeluarkanya UU No. 9/1998 mengenai unjuk rasa. Pemerintahan baru menerjemahkan tuntutan reformasi total, khususnya oleh Gerakan Anti Orde Baru (GA deru), sebagai upaya makar, untuk menggulingkan kekuasaan, dan mengumumkan bahaya kebangkitan komunis, serta stigma ekstrim lainya terhadap para aktivis. Politik kambing hitam yang menempatkan mahasiswa sebagai elmen penggagu stabilitas secara konsisten juga dilakukan yaitu memperlawankan mahasiswa dengan massa yang dimobilisasi dengan menggunakan atribut tertentu, dalam hal ini diwakili kekuatan yang menggunakan atribut Islam.
Bagi pemerintahan baru, komunis adalah hantu yang bisa muncul setiap saat, jadi logika Orde Baru aksi mahasiswa akan surut sendirinya jika di tuding sebagai anti Islam, komunis, dan memaksakan kehendak, disamping asumsi bahwa rakyat mulai kehilangan simpati terhadap aksi mahasiswa, karena bisa diprovokasi dan menyulut kerusuhan.              
 


Pemilu yang digelar tahun 1999 oleh pemerintahan Habibie menurut banyak kalangan adalah pemilu yang paling demokratis dibanding dengan pemilu yang pernah digelar dinegera ini. Semua komponen masyarakat ikut serta dalam mengawal jalanya pemilu ini, termasuk mahasiswa. Didalam pemilu ini mahasiswa diuji apakah mereka tidak akan larut melebur ke dalam  salah satu partai kontestan pemilu, atau malahan ingin menjadi seperti character murni yang mereka miliki, yaitu sebagai sosok yang dinamis, idealis, intelektual, memiliki komitmen terhadap masa depan bangsa dan memiliki orientasi yang utuh terhadap masyarakat bangsanya, dengan semua atribut budaya yang dimilikinya, ataukah diam dan hanya melihat permainan politik para elit politik dinegri ini, diantaranya adalah orang-orangnya orde baru yang telah mereka gulingkan ditahun 1998.
Naiknya Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI yang ke-4 telah mengecewakan beberapa pihak yang merasa paratainya menang tetapi tidak bisa mengegolkan Capres nya. Ini dikarenakan koalisi antar partai terjalin dengan baik dan di perkuat lagi melalui pendapat para kalangan Islam yang tidak menyetujui adanya seorang pemimpin perempuan, walaupun ada alasan politik lain yang juga sangat berpengaruh.
Sejak Gus Dur menduduki jabatan presiden, sejak itu pulalah pintu kebebasan terbuka lebar. Setelah lebih dari 50 tahun dibawah cengkraman dua orang diktator ( Sukarno dan Suharto), Gus Dur tampil sebagai penyelamat bangsa dari penyakit kronis “ kepemimpinan yang cenderung diktatorial”. Tekanan batin selama 50 tahun lebih tanpa kebebasan itu meledak tiba-tiba begitu Gus Dur membuka pintu hati manusia Indonesia yang ingin berkata dan berpendapat sejak 1945, termasuk para mahasiswa.
Dalam menjalankan roda pemerintahanya, Gus Dur menganut pendekatan yang sangat bertentangan dengan pendekatan pendahulunya. Suakarno menggunakan pendekatan nasionalisme dan patriotisme untuk menghipnotis orang agar tetap tunduk dan taat kepada pimpinanya. Sedangkan Suharto menggunakan pendekatan keaman dengan dalih “demi pembangunan yang berkesinambungan”  dengan menutup semua pintu lain yang bertentangan dengan pendekatanya. Suharto telah membuat orang lain untuk harus setuju dengan apa yang dikatakanya  dan dibuatnya. Keduanya bisa disebut diktator, karena mereka berdua bersama-sam lebih menonjolkan kepribadian dan golongan mereka atas nama nasionalisme dan pembangunan. 
Gus  Dur tampil sebagai bapak reformasi dan membangun tahtanya dengan kemanusiaan dan demokrasi, bukan sekedar pembangunan dan nsionalisme. Gus Dur pernah mengatakan bahwa dia telah sukses melaksanakan revolusi sosial. Sukarno, 50 tahun lebih yang lalu pernah mengatakan Indonesia perlu revolusi simultan dan revolusi multi complex, tetapi menurut saya beliau hanya berhasil dengan revolusi sosial dan revolusi politik. Setelah bertahta selama 20 tahun Indonesia ditinggalkan sebelum revolusi itu tuntas, kerajaan Suahrto muncul dan pembantaian api-api revolusi ini yang dilakukan oleh pemerintahanya. Gus Dur tampil dengan revolusi ulang dari revolusi sosial. Dia telah mengambil langkah untuk revolusi politik, rupanya langkah yang dilakukanya telah meruntuhkan kerajaan yang dibangun atas dasar kemanusiaan edan demokrasi. Ketidak sepahaman antara pemerintah Gus Dur dengan agen-agen neoliberalisme di negara ini atau orang-oarng Orde Baru yang masih bertengger di pemerintahan menyebabkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Gus Dur berbeda jauh sekali dengan harapan para orang-orang disekitarnya, salah satunya adalah kecondongan Gus Dur yang telah menjalin atau membuka hubungan dagang dengan pemerintahan China. Lembaran baru yang dilakukan Gus Dur ini sangat menyimpang dengan kebiasaan para pendahulunya, dan yang dilakukanya ini adalah penggeseran peta perekonomian dari timur (Jepang) agak geser sedikit ke barat.
Selain itu, Gus Dur juga sangat getol dalam membombardir kekuatan militer yang terkenal sangat tiran dalam mengendalikan tampuk kekuasaan, terlihat ketika ABRI pecah menjadi dua yaitu POLRI dan TNI, atau memburu para koruptor besar. Ini sangat bertentangan sekali degan apa yang dikehendaki para kawan politiknya seperti (poros tengah), karena masih banyak sekali orang-orang Orde Baru yang terlibat KKN melakukan kerjasama dengannya, dari sini mungkin awal perpecahan suatu koalisi para elit politik dimulai. Pertikaian antar elit plitik akhirnya pun terjadi, Gus Dur di serang oleh isue tentang ketrlibatanya dalam masalah Bulogate I.
Memang dalam menegakkan sebuah negara yang berlandaskan demokrasi membutuhkan waktu yang tidak pendek dan korban yang tidak begitu sedikit. Orang yang adil akan selalu tersingkirkan dari komunitas manusia yang sudah terbiasa dengan korupsi, orang yang jujur akan selalu tersingkir dari komunitas manusia yang tidak jujur, apakah kita rela, sebagai generasi muda bangsa dikatakan bahwa itu adalah salah satu dari kebudayaan bangsa kita.
Realitas GM
            Setelah melewati masa-masa yang sulit (32 tahun) akhirnya mahasiwa berhasil keluar dari sarangnya dan berhasil juga dalam menggulingkan sebuah rezim yang otoriter yaitu Orde Baru. Dalam kontek gerakan reformasi waktu itu, nampaknya mahasiswa tidak saja memerankan agen kontrol sosial tetapi juga sebagai agen pembaharu. Mahasiswa telah menjembatani kekosongan yang terjadi antara kepentingan rakyat dan penguasa. Pada saat itu GM merupakan lambang kekuatan moral yang bersih dan dalam melakukan kontrol sosial tidak dilatar belakangi unsur politik. Idealisme mereka terjaga dengan baik. Selain itu hubungan komunikasi antar organ pergerakan cukup solid, sehingga memungkinkan mereka melakukan koordinasi dengan baik. Keberhasilan ini juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor pendukung. Pertama ; Mahasiswa memiliki satu musuh bersama, Kedua; Banyaknya dukungan dari beberapa unsur masyarakat mengenai gerakan mereka, Ketiga; Kenyataan persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Selain dari faktor yang saya paparkan ini, mungkin masih banyak faktor-faktor lain yang ikut andil dalam masalah penggulingan pemerintahan Suharto.
            Tetapi itu semua sirna ketika terbentuk pemerintahan yang dipilih secara demokratis, yaitu ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid berjalan kurang lebih satu tahun. GM mulai mengalami kemunduran ideologi, ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, gerakan yang sudah setahun biasanya mengalami fragmentasi. Fragmentasi gerakan ini biasanya terurai, mungkin dari gerakan moderat sampai ekstrem.kemunduran GM ini karena terjadinya radikalisasi gerakan. Dalam kasus ini biasanya berbagai rambu-rambu prinsip demokrasi sering dilupakan dan dilanggar. Kedua, adanya perubahan latar gerakan itu sendiri. Semula gerakan bersandar pada kekuatan moral perlahan-lahan berubah menjadi kekuatan politik. Ketiga, terjadi pergeseran dalam ideologi GM.
            Pertikaian yang terjadi antar kelompok di dalam pemerintahan telah berimbas pada GM, terlihat nyata sekali dalam menyikapi isue keterlibatan presiden Abdurrahman Wahid  dalam kasus Bulogate I, padahal Abdurrahman Wahid sendiri tidak terbukti terlibat pada masalah kasus tersebut, ini menunjukkan isue penentangan terhadap Gus Dur, kurang matang dalam membaca isue politik yang dilancarkan oleh para elit musuh politik politik Gus Dur. GM pada saat itu terpecah antar yang pro dengan yang kontra. Gerakan yang pro kebanyakan adalah GM yang pro demokrasi atau seperti yang pada 1998 disebut GK deru ( Gerakan Anti Orde Baru), dalam aksinya  tidak langsung mengatasnamakan mahasiswa tetapi lebih banyak yang bergerak dibelakang gerakan massa yang mendukung jalanya pemerintahan Gus Dur, Seperti pengerahan massa dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, walaupun ada sedikit yang mengatasnamakan langsung dari mahasiswa. Gerakan yang kontra melibatkan beberapa elmen mahasiswa antara lain adalah GM yang terkena monay politic dari lawan politik Presiden dipemerintahan atau yang pada 1998 sering disebut GK deru ( Gerakan Koreksi Orde Baru) dan gerakan yang tidak puas dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI (karena partai pemenang pemilu tidak bisa mengegolkan Capres nya sebagai presiden).
            Isue sentral yang diangkat oleh beberapa elmen mahasiswa waktu itu juga berbeda. PMII, Forkot, Famred dan beberapa elmen kiri mahasiswa atau gerakan yang pro demokrasi mengangkat isue tentang pembubaran Golkar, pengadilan Suharto dan percepat pemilu, karena mereka menganggap bahwa masih banyak orang-oarang yang dulu pada masa Orde Baru sangat loyal sekali pada Suharto, dan setelah Suharto jatuh mereka berlomba-lomba mencuci tangan dan menyebut diri mereka paling reformis. Sementara itu gerakan kanan yang diwakili oleh KAMMI, HMI, BEMSI, KM atau gerakan yang pada waktu 1998 sering disebut GK deru ( Gerakan Koreksi Orde Baru)mengusung isue tuntutan turun terhadap Gus Dur, seperti yang terjadi ketika Gus Dur mau berkunjung kekampus UGM, tapi dihadang oleh mahasiswa yang mengatasnamakan dari Keluarga Mahasiswa UGM, alasan mereka adalah tidak ingin kampus mereka dimasuki oleh kekuatan politik dari pihak manapun, padahal kejadian ini malah justru ditunggangi oleh kekuatan elit politik yang menjadi musuh Gus Dur didalam pemeritahan. Sebaliknya kelompok ini akan mengangkat isue lain ketika elit mereka terlibat dalam masalah KKN, seperti ketika Akbar Tanjung yang terlibat dalam kasus Buloget II, mereka malah mengangkat isue menentang kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Lucu sekali macam GM waktu itu apabila mereka menyebut dirinya sebagai gerakan moral, tetapi malahan sangat kelihatan sekali dalam membela elit mereka sendiri.
Pada saat itu sejumlah pengamat sosial politik mengingatkan para aktivis mahasiswa agar tidak ikut terjebak dalam lingkaran kekerasan dengan melakukan dialog-dialog diantara sesama mereka. Imbauan itu diserukan sehubungan dengan peningkatan eskalasi aksi-aksi mahasiswa yang mulai menghadapkan antara satu GM dengan GM lainya. Bentrok antar mahasiswa berlangsung hari kamis (8/2) malam usai dialog mahasiswa dengan presiden Abdurrahman Wahid. 
Ini adalah gambaran GM dari waktu ke waktu, mereka tidak bisa lepas dari politik praktis yang dimainkan oleh para elit politik. Sangat sulit sekali mencari GM yang memang murni dari gerakan moral, tidak terlibat dalam aksi dukung-mendukung, dan lebih mengedepankan isue-isue yang sama dalam gerakanya. Dalam sejarahnya, kata M. Hatta mahasiswa yang banyak mewakili pemuda adalah harapan bangsa dan pelopor setiap perjuangan.
Pernyataan Hatta tersebut sangat relevan sekali bila digunakan dalam keadaan waktu itu atau sekarang, khususnya sebagai pemecut semangat dan progresifitas GM yang cenderung melemah. Oleh karena itu tidak ada alasan lagi bagi GM untuk tidak bergerak dan menyatukan langkah dalam menegakkan kebebasan dan keadilan. Pada dasarnya, GM merupakan sebuah gerakan budaya, karena itu mempunyai dampak politik yang sangat luas. Oleh sebab itu mereka tidaklah cepat boleh puas dengan hasil yang dicapai. Gerakan mereka juga harus senantiasa menegakkan asas kebenaran politik dan pengungkapan kebenaran publik sekaligus. Maka, budaya Indonesia yang cenderung cepat puas dengan keadaan tidak perduli perkembangan karena sibuk sendirian, tidaklah patut menjadi paradigma gerakan.
Agar GM menjadi progresif, dinamis, revolusioner, dan inklusif. GM meniscayakan hal berikut ini. Pertama, proaktif merespon keadaan dan teguh pendirian. GM harus bersatu dalam visi penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan saling memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan agenda aksi dan GM haruslah bersifat independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para seniornya. Karena hal ini biasanya hanya akan menimbulkan friksi dikalangan sendiri dan saling merebutkan proyek demontrasi. Kedua, melakukan dialog transformatif-meminjam istilah Jurgen Habermas untuk menciptakan masyarakat komunikatif dan demokratis. Ketiga, mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas intelektual yang memadai dan berjiwa intelektual organik meminjam istilah Gramsci. Hal ini berguna agar para aktivis gerakan tidak hanya sibuk dilapangan, kurang melakukan refleksi dan cenderung bergerak secara pragmatis.    






1 Raharjo, M. Dawam, Orde Baru dan Orde Transisi: Wacana Kritis atas penyalahgunaan kekuasaan dan krisis ekonomi, Yogya: UII Press’99, Hal. 52
2 Hefner, W. Robert, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, Yogya: Institut Studi Arus Informasi’01, Hal. 22

0 komentar:

Posting Komentar