Membaca Sejarah,
Menuntaskan Transformasi Demokratik
Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan
sosial di Indonesia. Nyaris tidak ada satu pun perubahan yang tidak melibatkan
mahasiswa di dalamnya. Semenjak zaman penjajahan pemerintah kolonial Belanda
hingga sekarang mahasiswa mempunyai peran yang penting dalam mengusung semangat
dan arus perubahan sosial di Indonesia. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang
sangat panjang tersebut menjadikan pemuda dan mahasiswa sebagai kelompok strategis dan mempunyai daya dorong
transformasi signifikan. Tepatlah kiranya bila mahasiswa dianggap sebagai salah
satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia.
Maka, menjadi penting untuk membaca berbagai konteks
dan problematic GM Indonesia sejak awal, sejak kekuatannya diarahkan untuk
melawan imperialisme sampai penggulingan rezim kekuasaan despotis untuk
mendekonstruksi formasi masyarakat, motor penggerak, organ taktis, konteks
nasional serta global, dan visi strategis
GM. Sederhanya, akan meriset perlawanan
yang masih bersifat kedaerahan, kesukuan, primordialistis tertentu, hingga
perlawanan yang progresif, revolusioner, dan programatik. Pelacakan
historiografis GM hanya akan dimulai dari awal tahun 1900-an hingga masa
sekarang (2003).
Kebangkitan nasional sebagai tonggak penting dari
sejarah kebangsaan Indonesia dilatarbelakangi setting social tertentu. Ada
beberapa peristiwa penting yang memiliki signifikansi yang mencapai klimaksnya
ketika diberlakukannya program politik etis. Sebagaimana diketahui, pelayaran
angsa-bangsa Barat, karena kemajuan pengetahuan era renaissance, menandai praktek imperialisme terhadap
bangsa-bangsa di dunia Timur dan bangsa-bangsa kecil lainnya. Berbagai macam
bentuk eksploitasi dilakukan untuk memeras dan mengeruk kekayaan alam serta
tenaga bangsa Indonesia. Mulai dari Portugis, Belanda, dan Jepang. Eksploitasi
sumber daya alam dan proses pembodohan rakyat pribumi dilakukan terus-menerus
dan sistematik. Belanda memulainya semenjak tahun 1596 –kedatangtan armada
Cornelis de Houtman di pelabuhan Banten – dan
puncaknya pada masa kekuasaan VOC –kongsi dagang Belanda– dengan segala
programnnya yang makin menindas dan menyengsarakan rakyat dan bangsa kita.
Bentuk eksploitasi ini dimulai sejak tahun 1602 – tahun berdirinya VOC –awal
kepemimpinan gubernur Belanda J.P Coen ( 1619-1623 ) dan ( 1627-1629 ). Bentuk
eksploitasi dalam praktek monopoli perdagangan rempah-rempah dan komoditi
lainnya. Dilanjutkan dengan Cultuur Stelsel (culture system, cultivation
system, tanam paksa ). Cultuur stelsel dilakukan karena bangkrutnya VOC pada
tgl 31 Desember 1799. Tanam paksa ini diselingi oleh penjajahan Inggris yang berlangsung selama lima tahun ( 1811-1816 ) dengan
Gubernur Jenderalnya Sir Thomas
Stanford Raffles. Tanam paksa berlangsung kurang lebih selama 40 tahun (
1830-1870 ) dibawah Gubernur Jenderal van Den Bosch.
Di tingkatan global, Revolusi Februari 1848 di
Perancis mempengaruhi gagasan politik di Belanda, yang kemudian melahirkan liberalisme ekonomi
yang juga berpengaruh terhadap gagasan politik di Indonesia sebagai jajahan
dari Belanda. Yakni desakan dari golongan liberal di Belanda ( F. Van de Putte
, de Waal , Thorbecke dll ) serta desakan yang berasal dari golongan humanis
Belanda ( E. Douwess Dekker ( 1820-1887 ) dan Baron Van Hoevel ( 1812-1879 ).
Akibat kuatnya desakan mereka, tanam
paksa berhasil dihapuskan di Indonesia . Kemudian lahir UU Gula ( suiker wet
1870 ) yang mengakhiri pertanian tebu dan pabrik gula milik pemerintah dan UU
Agraria ( Agrarische wet 1870 ) yang
mengakhiri sistem hak milik Bumi putera atas tanah. (Parakitri T.
Simbolon, 1995: 136-137 )
Politik
Etis
Berakhirnya tanam
paksa memunculkan program politik etis yang dilatarbelakangi oleh desakan dari
golongan liberal di Belanda. Dr. c. Th. Van Deventer, “ Een Eereschuld” (Debt
of Honour/ utang budi, dalam majalah de Gids 1899, mengkritik politik kolonial
liberal yang sama sekali tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat
pribumi, terutama soal kemunduran kesejahteraan
pribumi pada akhir abad ke-19. (G. Moedjanto, 1996: 21). Kemakmuran Belanda,
menurutnya, diperoleh dari hasil kerja dan dan jasa orang Indonesia. Oleh
karena itu, Belanda berutang budi kepad rakyat Indonesia , dan menurutnya
sebagai bangsa yang maju dan bermoral – walaupun kenyataannya tidak demikian --
haruslah membayar utang itu dengan menyelenggarakan trias : Irigasi , Emigrasi
( transmigrasi ) , dan edukasi – yang dikenal dengan Trias van Deventer.
Akhirnya tahun 1901 Ratu Wilhelmina mencanangkan pelaksanaan program politik
etis di Indonesia oleh pemerintahan kolonial. Tafsir lain, politik etis
diterapkan untuk menyediakan tenaga terdidik bagi perkebunan-perkebunan yang
mau dan telah dibuka di Jawa dan luar Jawa. Sehingga dikatakan politik etis
hanyalah kamuflase politik pemerintahan kolonial untuk terus menancapkan
kekuasaannnya di Indonesia. Artinya,
tujuannya masih dalam kerangka kolonilistis-imperialistis. Dalam prakteknya,
politik Etis direduksi oleh problem ekonomi (tidak ada perlindungan dan bantuan
yang signifikan kepada para pengusaha dan masyarakat pribumi), politik
(membatasi mobilitas vertikal pribumi untuk jabatan penting, dan pendidikan
(praktek atau proses pendidikdn sebagai salah satu program politik etis tidak
didasarkan atas kebutuhan riil rakyat Indonesia).
Di sisi lain politik
etis menjadi semacam nemesis (paradoks pendidikan), pendidikan ini memberikan perangkat analisis yang
sebagain justru dipakai untuk melawan
Belanda. Secara bertahap, perlawanan tersebut mengkristal menajdi Pergerakan
nasional yang juga tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal
yang melatarbelakangi. Di antara factor-faktor internal tersebut adalah
penderitaan penjajahan ( rasa senasib sepenanggungan diantara warga pribumi );
Kesatuan Indonesia dibawah Pax Neerlandica
telah memberi jalan kearah kesatuan bangsa; Komunikasi dan transportasi
yang makin maju dan berkembang; Munculnya bahasa melayu menjadi bahasa
Indonesia yang pada akhirnya dijadikan sebagai bahasa persatuan; Pergerakan
nasional sebagai reaksi terhadap semangat kedaerahan yang bermanfaat bagi
persatuan; Inspirasi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Sedangkan factor-faktor
Eksternalnya: Kemenangan Jepang terhadap Rusia; Perlawanan rakyat India;
Revolusi kaum muda Turki 1908 ( Mustafa Kemal Pasha ); Revolusi Tiong hoa 1911
di Cina ( Dr. Sun Yat Sen ) (G. Moedjanto, 26).
Begitu politik etis
mulai dilaksanakan , sekolah untuk anak-anak eropa mulai dibuka untuk anak-anak
pribumi oleh Abendanon. Tahun 1902 , sekolah juru kesehatan Bumiputera atau
sekolah dokter Bumiputera ( School voor Geneeskundigen ) ditingkatkan menjadi
Sekolah Dokter Bumiputera ( School tot Opleiding van iInlandsche Arts – STOVIA
) Dengan lama belajar enam tahun setelah masa persiapan tiga tahun (Parakitri,
1955: 225. ). Pada tahun 1902 itu pula dimulai program politik etis yang lain ,
yakni imigrasi dan irigasi.
Sekolah-sekolah inilah
yang lalu melahirkan lapis social terpelajar dalam masyarakat pribumi. Dan di sinilah sudah terlihat semacam gerakan
yang awal mulanya dipelopori oleh seorang ningrat atau priyayi yang sebenarnya
bukan mahasiswa, dr. Wahidi Sudirohusodo,
yang pada tahun 1901 memimpin majalah “ Retnodoemilah” , yang diterbitkan di Surakarta sejak 1895
(saat itu dipimpin oleh F.L Winter , seorang ahli bahasa jawa ). Wahidin
berasal dari Mlati, Sleman, Yogyakarta. Wahidin wafat tahun 26 Mei 1916 di
Yogyakarta. Pada tahun 1906 ia tur keliling jawa untuk merealisasikan
gagasannya bahwa kemajuan, menurutnya, akan tercapai dengan ilmu pengetahuan
Barat lewat pendidikan tapi tanpa meninggalkan warisan peradaban Jawa. Safari tersebut juga dalam rangka
mengumpulkan dana beasiswa, studiefonds, untuk meningkatkan pendidikan rakyat
pribumi. Namun gagasan. Wahidin tidak disukai oleh para priyayi yang merasa
khawatir posisinya akan tersaingi oleh rakyat biasa. Tahun 1907 setelah
berkeliling jawa Ia datang ke jakarta dan bertemu dengan para mahasiswa STOVIA
dan akhirnya melahirkan keputusan untuk mendirikan perkumpulan pemuda atau
mahasiswa, yakni Budi Utomo. Budi Utomo didirikan pada tgl 20 Mei 1908 dengan ketua
dr. Sutomo, Wakil Ketua Goenawan Mangunkusumo, dan sekretaris Gondo Suwarno.
Dr. Sutomo lahir di desa Ngapeh, Nganjuk, Jatim, 30 Juli 1888, mempunyai visi
sama dengan Wahidin dalam merintis jalan bagi kemajuan bangsa.
Pada tahun 1924 ia
juga mendirikan “STUDIE CLUB” di Surabaya
dan kemudian melebur menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pada tgl
16 Oktober 1930. Cara yang digunakan oleh PBI dalam menghadapi pemerintah
kolonial Belanda ialah dengan jala tengah dan tidak memilih jalan kooperatif maupun
nonkooperatif. Atas prakarsanya juga pada tahu 1935 Budi Utomo dan PBI
disatukan dalam wadah Partai Indonesia Raya (PARINDRA). Selain itu dr. Sutomo
juga pernah bekerjasama dengan Ir. Sukarno membentuk badan federasi yang
bernama PPPKI pada tahun 1927. Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI) juga mempunyai kontribusi yang cukup besar bagi terlaksananya
kongres Indonesia Raya tahun 1928 dan 1931 di Surabaya – dimana Sutomo menjadi
ketuanya.
Pada dasawarsa
1920-an perlawanan di jawa terbagi ke
dalam tiga front, yaitu front jakarta yang dipimpin oleh Husni Thamrin , front
Bandung yang dipimpin oleh Sukarno , dan front Jawa Timur yang dipimpin Sutomo, yang memimpin dan menerbitkan banyak
sekali surat kabar, inilah yang menjadi corong pergerakan pada masa pergerakan
nasional, SUARA UMUM , TEMPO, Majalah BANGUN dan sebagainy. Masih pada tahun
190o8, Sutomo digantikan Raden Adipati Tirtokusumo melalui Kongres Budi Utomo I
tgl 11 oktober 1909 dengan alasan bila masih terus dipimpin oleh para mahasiswa
maka Budi Utomo akan kesulitan dalam hal finansial , oleh karena itu disepakati
untuk menyerahkannya pada kalangan priyayi. Raden Tirtokusumo memimpin Budi
Utomo dari tahun 1908-1911 kemudian dilanjutkan periode kepemimpinan yang kedua
1911-1914. Ketua Budi Utomo yang berikutnya ialah Raden Ngabehi Wediodipuro
yangt memimpin dari tahun 1914-1915, lalu Raden Mas Ario Suryo Suparto
(1915-1916) dan yang terakhir Raden Mas Ario Wuryoningrat (1916). Karena
dipimpin oleh golongan priyayi sejak awal berdirinya , Budi Utomo cenderung
bersifat kooperatif dengan pihak kolonial dalam pergerakannya. Budi Utomo memiliki organ taktis organisasi yakni Tri Koro Dharmo yang didirikan pada 7
Maret 1915. Ketua Tri Koro Dharmo
pertama ialah Satiman Wiryosanjoyo , Wakil Ketua Sunardi (Wongsonegoro)
,Sekretaris Sutomo , Muslich , Musoda , dan Abdul Rachman. Walaupun asasnya
bersifat nasional dalam arti organisasi ini mempunyai kesadaran “Hindia”. Namun
yang menjadi anggota adalah murid-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa
Tengah dan Jawa Timur saja. Dengan begitu kesimpulan pertama ialah Tri Koro
Dharmo bersifat Jawa Sentris. Karena itu tidaklah mengherankan kalau pemuda
Sunda dan Bali enggan untuk memasuki organisasi ini. Dengan adanya suara-suara itu Ketua Tri Koro Dharmo , Satiman
Wiryosanjoyo, memberi komentar bahwa sifat organisasi Tri Koro Dharmo itu –
yang hanya menerima mahasiswa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur – hanyalah
sementara saja. Di kemudian hari organisasi ini akan dapat dijadikan perkumpulan
buat pemuda-pemuda dam mahasiswa seluruh “Hindia”. Pada tahun 1917 Satiman
Wiryosanjoyo digantikan oleh Sutardi Aryotejo , sedang Satiman sendiri menjadi
ketua kehormatan. Pada tgl 12 Juni 1918 dalam kongrenya di Solo Tri Koro Dharmo
berubah menjadi Jong Java yang corak pergerakan dan ruang linkjupnya lebih luas
termasuk pemuda dan mahasiswa Sunda. Konteks situasi nasional saat itu adalah
semangat pergerakan yang sedang kuat-kuatnya untuk merebut kemerdekaan dari
pemerintah kolonial , yang direspons Tri Koro Dharmo dengan menyusun format
pergerakan dan strategi taktis dalam menyikapi situasi dan kondisi yang
dihadapi pada saat itu. Selam eksis dalam bingkai pergerakan nasional Jong Java
telah mengadakan kongres hingga sepuluh kali sejak berdiri tahun 1918 hingga 23
Desember 1929. Pada masa kepemimpinan
ketua Jong Java terakhir, koentjoro Purbopranoto organisasi ini telah
mampu menjadi salah satu bagian penting dalam pergerakan nasional Indonesia.
Trikoro Dharmo bila kita tilik dari segi konsep dan straregi taktik pergerakan memang belum memiliki konsep
nasionalisme yang jelas (kedaerahan) –tujuannya masih dapat dikatakan bersifat
“jawa sentris” – tentunya sebelum berubah menjadi Jong Java pada tgl 12 Juni 1918 – dalam menjawab
permasalahan bangsa pada saat itu.
Konteks permasalahan pada kurun waktu itu (1908-1917) – dan hal ini berlanjut
sampai masa kemerdekaan – adalah upaya keluar dan membebaskan diri dari
jejaring kolonialisme , kapitalisme , dan feodalisme sebagai implikasi yang
niscaya dari penjajahan kolonial Belanda. Namun sebagai sebuah tahap awal dari
gerakan pemuda dam mahasiswa – yang dalam terminologi para sejarawan
dikategorikan sebagai elemen-elemen pelopor atau perintis dalam pergerakan
nasional – yang harus mampu memahami problem-problem yang terajut dalam konteks
permasalahan diatas untuk kemudian berupaya merubah dan mentransformasikannya menuju ke arah
situasi yang lebih baik melalui suatu gerakan yang konkret . Namun, sekali lagi
, kondisi subjektif gerakan belum tentu sesuai – atau paling tidak belum mampu
memahami– kondisi objektif di lapangan. Setelah Trikoro Dharmo berubah menjadi
Jong Java serta mengakhiri stigma “jawa sentris” dengan jalan memperluas
cakupan dan orientasi pergerakan, pemuda
dan mahasiswa dari daerah-daerah lain mengikuti dengan membentuk
organisasi-organisasi yang juga masih bersifat kedaerahan (Jong Sumatranen
Bond/ JSB , Jong Celebes , Jong Minahasa, Jong Bataks Bonds dan sebagainya) –
yang berproses menjadi kekuatan pergerakam pemuda dan mahasiswa yang solid serta
menjadi embrio bagi lahirnya GM . Mereka hadir mengalir bak aliran sungai yang
deras , dimulai oleh JSB (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa
(1918-1928), Sekar Roekoen di Sunda
(1919) Jong Bataks Bonds ( 1925) hingga mencapai klimaksnya ketika muncul Jong
Islamieten Bond (JIB) pada tahun 1925 yang mengarah pada kecenderungan
penyatuan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam scope nasional pada waktu itu.
Akibat kecendrungan itu lahirlah Jong Indonesia di Bandung pada tgl 27 Februari 1927, hasil keputusan kongres
Pemuda I tgl 30 April 1926. Kemudian muncullah Kongres
Pemuda II (26-28 Oktober 1928) yang
melahirkan Sumpah Pemuda – yang
dalam terminologi para sejarawan disebut dengan istilah generasi penegas atau
pendobrak. Tapi sebenarnya kita tidak bisa menafikan bahwa sebelum Sumpah
Pemuda 1928 telah muncul terlebih dahulu sebuah “ Manifesto Politik “ yang dikeluarkan oleh Perhimpinan Indonesia pada tahun 1923,
sebelumnya bernama Indische Vereeniging (1908-1922),– yang gagasannya
menekankan kesatuan serta demokrasi -- dengan tanpa memberikan tempat pada
penjajah – dalam arti bangsa ini perlu menentukan nasibnya sendiri di masa
depan serta menentukan bentuk pemerintahan yang dapat diterima oleh rakyat.
Pernyataan mengarah pada pembebasan Indonesia dari belenggu penjajahan melalui
aksi massa dari rakyat dengan penuh kesadaran untuk memperjuangakan dan
mewujudkan Indonesia merdeka. Pernyataan dasar PI yang termuat dalam Hindia
Poetra edisi Maret 1923 , yang berbunyi
sebagai berikut :
1.
Masa
depan bangsa Indonesia hanya semata-mata yang dalam pembentukan struktur
pemerintahan sendiri dapat dipertanggungjawabkan oleh bangsa indonesia.
2.
Untuk
mencapai itu , setiap orang menurut kemampuan serta menurt kekuatan dan
kecakapannya diusahakan tanpa bantuan pihak lain.
3.
Untuk
mencapai tujuan bersama itu , semua unsur atau lapisan rakyat perlu kerja sama
seerat-eratnya. Pengurus PI pada waktu itu adalah :
Ketua :
Soekiman Wirjosanjoyo
Wakil Ketua :
Monomutu
Sekretaris I :
Soerono
Sekretaris II :
Soenarjo
Bendahara I :
Moch. Hatta
Bendahara II :
Moh. Masif
Komisaris :
Amir , Boediarto , Moh. Joesoef (1000 Tahun Nusantara, 2000: 139-140.)
Masa
1928-1939
SP 1928 , referensi
penegasan orientasi mahasiswa dan pemuda waktu itu, berlanjut dengan munculnya
Indonesia Muda (IM) pada tahun 1930 yang merupakan hasil peleburan
organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan ( JSB , JC , JM , SR , dan
lainnya). IM dipelopori oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia ( PPPI ),
yang dalam perjalanannya tidak terlepas intrik-intrik dan friksi internal serta
intervensi kolonial melalui tindakan represif . Situasi ini menjadikan IM lemah
dan tidak mampu memberikan kontribusi signifikan pada tahap selanjutnya.
Melihat itu banyak anggota IM keluar dan membentuk organ lain ; Soeloeh Pemoeda
Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemuda Revolusioner (PERPIRI), yang juga
mengalami problem sama. Vakumnya IM dan organ-organ lainnya – dalam konteks
nasional – telah sedikit melumpuhkan semangat pergerakan nasional.
Kevakuman dan krisis pergerakan ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks
global atau eksternal , yaitu antara lain : Pengaruh krisis ekonomi dunia
1929/1930 (Malaise); Pembatasan hak berkumpul dan berserikat ; yang pertama
dengan pengawasan ketat oleh polisi dalam menghadiri rapat-rapat partai , yang
kedua larangan bagi pegawai untuk menjadi anggota partai politik; Tanpa melalui
proses pengadilan Gubernur Jenderal dapat menyatakan sesuatu pergerakan atau
kegiatannya bertentangan dengan law and order sesuai dengan koninklijk Besluit tgl 1 September 1919; sebagai akibat kerasnya pemerintah
kolonial , banyak pemuka pergerakan nasional yang diasingkan , antara lain
Sukarno , Hatta dan Syahrir. Dengan demikian pergerakan yang ingin mempertahankan
kelangsungan hidupnya harus menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan pemerintah.
(G. Moedjanto, 1992: 57.)
Respons atas kondisi
objektif seperti ini, gerakan tertransformasikan dalam kelompok studi (Studieclub). Studieclub
disini bergerak dalam aksi-aksi penyadaran kepada masyarakat akan arti
pentingnya pergerakan , persatuan ,
pendidikan , serta-serta aspek-aspek lain yang mendukung perjuangan merebut
kemerdekaan. Menyebarkan wacana melalui surat kabar atau majalah kepada
masyarakat luas – merupakan upaya pemberdayaan msayarakat – seperti “Soeloeh
Rakjat” dan Soeloeh Indonesia” , dengan tujuan mentransformasikan perubahan
yang konkret terhadap problem-problem yang ada saat itu. Di waktu kemudian
Studieclub ini berubah menjadi partai-partai politik seperti Algemeene
Studieclub Sukarno berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Partai
Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927. Dan pada tahun-tahun sesudahnya
memunculkan partai-partai lain ; Partai Indonesia Raya (PARINDRA) yang juga
merupakan eks Budi Oetomo, dan juga Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) , dan
puncaknya adalah terbentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun
1939.
Masa Pendudukan Jepang ( 1942-1945)
Pada
masa Jepang, hampir seluruh gerakan pemuda dan mahasiswa dibubarkan, dan para
pemuda dijadikan alat Jepang dalam mewujudkan program Asia Timur Raya Jepang.
Para pemuda dimasukkan kedalam Barisan-barisan pelopor seperti seinendan dan
keibodan serta barisan-barisan lain.
Pemuda terutama terkuras dalam Pembela Tanah Air (PETA) yang didik oleh Jepang
dengan tujuan menunjang militer Jepang pada perang Pasifik. Satu-satunya jalan
keluar bagi mahasiswa dan pemuda adalah melalui gerakan bawah tanah yang dikombinasikan dengan gerakan-gerakan legal
yang cenderung kooperatif dengan pemerintahan pendudukan Jepang – yakni
gerakan-gerakan legal yang dilakukan oleh Sukarno – Hatta dan
kawan-kawannya. Menurut para sejarawan,
masa pendudukan jepang merupakan salah satu jaya-jayanya gerakan politik bawah
tanah.
TENTANG
GM KURUN WAKTU 1955-1978
Tahun
1955 merupakan tahun ke-5 Indonesia menganut sistem pemerintahan liberal.
Eksperimentasi ini dianggap gagal
Sukarno. Parameternya, tidak satupun partai mampu memerintah dalam waktu yang
cukup lama untuk dapat memapankan satu satu konsep pemerintahan.
Pemerintahan terlama bertahan tidak
lebih dari 2 tahun. Ini karena tidak ada partai mayoritas di parlemen. Empat
partai besar, PNI, Masyumi, Nu, dan PKI, memiliki jumlah kursi yang hampir sama
di parlemen. Kabinet Ali yang mengagendakan pemilu jatuh sebelum dilaksanakan.
Jatuhnya kabinet Ali I akibat konflik politik di tubuh angkatan Darat yang
berawal sejak 17 Oktober 1952, yang puncaknya adalah pemboikotan terhadap Bambang Utoyo yang dilantik sebagai Komando
Strategi Angkatan Darat (KSAD) pada 22 Juni 1955. Berbagai partai dan mass
media menunjukkan simpatinya yang mendorong munculnya mosi tidak percaya
terhadap menteri pertahanan yang diprakarsai oleh Zainal Baharudin.
Kondisi
ekonomi yang amburadul, antara 1954 hingga 1959, akibat inflasi yang meninggi, semakin mempermatang
kontradiksi social. Disertasi Hermawan Sulistyo menunjukkan bahwa defisit
anggaran, suplai uang, dan biaya hidup meningkat hampir tiga kali lipat. Uang
kartal yang beredar menunjukkan angka yang semakin meninggi. Pada saat yang
sama lapisan elit tidak menunjukkan sense of crisis yang kuat dengan
mempertonkan kemewahan di hadapan rakyat melarat.
Ekonomi
biaya tinggi akibat inefisiensi dan korupsi birokrasi banyak berperan terhadap
mundurnya perekonomian di Indoneisa. Faktor yang memperburuk situasi adalah
impor, sebagian besar dalam bentuk barang konsumsi, yang meningkat tajam dari 499 juta dolar AS
pada tahun 1955 menjadi 644 juta dolar
AS pada tahun 1960. Kontradiksi social ini akhirnya melahirkan
perlawanan seperti pemogokan yang dilakukan oleh serikat buruh Partai Sosialis
Indonesia (PSI) sekitar Mei 1955. Suasana
heroik merebut kembali Irja juga mewarnai politik Indonesia.
Sebelum
jatuhnya kabinet Ali I, yang diganti kabinet Burhanudian Harahap, sempat
terlaksana Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955, yang
membuka jalinan kerjasama dengan negara-negara Asia-Afrika. Selain itu,
Indonesia berhasil membangun kerjasama erat dengan RRC dengan kesepakatan yang
berkaitan dengan kewarganegaraan setelah membuka kedutaan besar di Cina sejak
Mei 1953.
Situasi
di atas berpengaruh dalam tubuh GM. Terutama tarikan dalam medan politik.
Menjelang pemilu 1955, tercatat semua Partai Politik (Parpol) besar telah
memiliki underbow di kalangan masyarakat, baik organisasi buruh, tani, dan
tidak terkecuali mahasiswa dan pelajar. Setelah sebelumnya aktifitas politik
mahasiswa agak melemah karena keluarnya Persatuan Perhimpunan-Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia (PPMI) dari Front Pemuda Indonesia (FPI–hasil dari kongres
pemuda seluruh Indonesia pada 8 Juni 1950), pemilu 1955 menjadi suatu momentum
bagi GM.
Selain
situasi nasional, GM juga tidak terlepas dari pertarungan global yang
melibatkan dua kutub kontras ideology, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni
Soviet. International Union Student (IUS) yang kongres pertamanya terlaksana di
Praha, Cekoslowakia, Agustus 1946 dan Internasional Student Conference (ISC,
1950) telah mengakibatkan terpecahnya GM dalam dua kubu ideologi besar dunia.
Afiliasi
organ mahasiswa ke Parpol mengakibatkan hubungan antarorgan-mahasiswa dan
antar-kampus kian runcing karena perbedaan aliran ideology. Pertentangan lama antara front kiri dan
partai-partai kanan semakin jelas, yang di level GM perpecahan antara CGMI,
GMNI, dan GMKI dengan HMI, PMKRI, dan Germasos. Kepemimpinan di PPMI sendiri
kemudian dipegang oleh Germasos.
Organ
mahasiswa direpresentasikan oleh PPMI dan merasa terjebak dengan keanggotaan
IUS masih berkutat dengan problem sitnas
di atas. 15 Mei 1956 berlangsung Konferensi Mahasiswa Antara Indonesia (KMAI)
untuk membahas masalah ini di asrama Daksinapati UI. Namun, yang terjadi justru
persaingan untuk memperebutkan kepemimpinan politik dunia mahasiswa yang memang
dipegang oleh PPMI.
KMAI
termasuk upaya untuk mempersiapkan delegasi Indonesia untuk mengikuti
Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika (KMAA). Sejumlah negara yang semula
direncanakan mengukuti forum ini menolak dengan alasan KMAA didalangi oleh IUS
atau paling tidak panitia didomisasi oleh mahasiswa anggota IUS. Negara-negara
yang menolak tersebut antara lain: Muangthai, India, dan Birma.
Menurut
Dahlan Ranuwiharjo peristiwa tersebut, disatu sisi merupakan prestasi PPMI,
namun di sisi lain, KMAA justru satu titik balik. Golongan kiri yang 9 tahun
sejak 1947 merasa tidak bisa menggeser dominasi HMI, PMKRI, GMKI, dan
organisasi non komunis lain dalam PPMI mulai mengadakan ofensi politik guna
merongrong posisis PPMI. Indonesia
semakin carut marut di tahun 1957. Sejak akhir 1956 aksi protes di berbagai
wilayah Indonesia mulai diwarnai dengan kekerasan bersenjata. Kerusuhan itu
terutama sekali dipelopori oleh panglima tentara di daearah-daearah.
Terbentuknya Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara,
dan Permesta di Sulawesi Selatan sebagai buktinya. Kondisi Indonesia yang
seperti itu tidak bisa membuat kabinet
Ali II bertahan, Januari 1957 kabinet Ali II jatuh.
Sukarno
mengambil langkah dengan mengumumkan berlakunya keadaan darurat perang di
seluruh Indonesia. Ketegangan hubungan Sukarno-Hatta berawal pada masa-masa
ini. Tindakan Sukarno lebih lanjut adalah membubarkan Dewan Konstituante dan membentuk Kabinet Gotong
Royong dan Dewan Nasional. Ternyata konsepsi Sukarno justru menambah ketegangan
karena mumunculkan pertentangan baru antara golongan yang pro dan kontra
terhadapnya. Termasuk ketidakakuran dengan Hatta yang berakhir dengan
pengunduran dirinya sebagai wakil presiden.
Pergolakan politik
pada tahun ini tidak merubah keadaan ekonomi. Harga-harga relatif stabil.
Sebabnya adalah impor surplus hasil bumi dari AS. Kerjasama yang ditandatangani
2 Maret 1956 ternyata berjalan dengan baik. Salah satu hasilnya adalah
pembangunan pabrik semen Gresik.
GM
ternyata terseret juga dalam konflik ini. Aktivis mahasiswa yang berbasis di UI
Jakarta menggalang senat-senat dari berbagai Universitas dan membentuk federasi
Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Mulai detik ini PPMI terpaksa harus berebut
pengaruh dengan MMI.
Aspirasi
politik yang disebarluaskan oleh partai-partai terlalu berpengaruh pada MMI
yang tidak memiliki perhatian terhadap problem-problem konkret rakyat.
Misalnya, perjuangan merebut Irian Barat tidak dianggap sebagai bagian dari
perjuangan Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme. Padahal menurut
penelitian para ahli di Irian Barat ada
kemungkinan terdapat Uranium di mana AS berusaha untuk menguasainya
melalui perjanjian yang di buat dengan Belanda. Kepentingan strategis akan
Irian Barat bagi AS adalah usaha merelokasi rencana digunakannya Irian Barat
sebagai garis strategis militer sepanjang kepulauan Bismark-Solomon-New
Britania. Investasi kapital AS secara bertahap dapat menggeser investasi
Belanda: di sektor pengeboran minyak, Sorong, perbandingan modal wakti tiu
telah menjadi 60% (40 % Stanvack dan 20% Caltex) : 40 %. Juga terdapat
perjanjian yang menyatakan bahwa AS akan membantu Belanda di PBB untuk
persoalan Irian Barat dan sebagai balas jasanya AS diperbolehkan mengambil alih
pertambangan tembaga yang pada waktu itu dieksploitasi oleh Belanda.
Pada
24 April berlangsung Deklarasi Hari Solidaritas Internasional Menentang
Kolonialisme dan Imperialisme yang dipelopori oleh PPMI, FPI, dan Perserikatan
Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (Porpisi) dan MMI tidak mengambil
peran dalam peristiwa ini.
Tahun
1957 adalah tahun yang suram bagi organisaasi baik mahasiswa maupun masyarakat.
Peranan politik berangsur menurun yang akarnya adalah penandatanganan kerjasama
antara pemuda dengan Angkatann Darat (AD), 17 Juni 1957. Perjanjian ini
ditandatagani oleh Sukatno (Sekjend Pemuda Rakyat), S.M Thaher (Pemuda
Demokrat), A Bochori ( GPII), Wahib Wahab (Ansor) dari pihak pemuda, dan Letkol
Pamuraharjo dari pihak militer. Strukturalisasi kerjasama ini dikukuhkan dalam
bentuk Badan Kerjasama Pemuda-Militer (BKS-PM), yang diresmikan 26 Juli 1957.
125 organisasi pemuda dari 6 federasi memiliki perwakilan di Dewan Penasehat
BKS-PM. Dampaknya adalah keterbatasan ruang gerak organisasi mahasiswa.
Bukan
hal yang aneh jika militer memanjangkan tangan ke Rektor ITB dan UI karena
kekuatan mahasiswa (Universitas) pada dasarnya sangat harus diperhitungkan. DI
UI, kepemimpinan Iwa Kusumasumantri diganti oleh Prof. Thoyib (Menteri
Pendidikan). Pun urusan mahasiswa yang belajar di luar negeri ada dalam
pengawasan militer.
Sementara itu elit politik di
Indonesia diributkan dengan pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah.
Peranan militer dalam dunia politik juga bahan percekcokan yang berlarut-larut.
Kondisi seperti ini dicoba diperbaiki dengan merubah sistem pemerintahan di
Indonesia.
Kemudian
Sukarno menunjuk Djuanda, PM.KK sebagai Perdana Menteri pertama mengawali masa
Demokrasi terpimpin. Manifesto politik yang berintikan UUD 1945, sosialisme
Indonesia, demokrasi terpimpin, dan ekonomi terpimpin, kepribadian Indonesia
(USDEK) merupakan GBHN masa demokrasi terpimpin. Salah satu kebijakannya adalah
kembali memberlakukan UUD 1945. Sedikit banyak PPMI punya peran di sini. Pada
11 Juni 1959 beberapa anggota PPMI berangkat ke Bandung dengan tujuan
memberikan tekanan agar kembali ke UUD 1945 pada Badan Kontituante yang bersidang
di Bandunhg. Selanjutnya keluarlah Dekrit 5 Juli 1959.
Tahun 1959 adalah masa geger Manipol
USDEK. Tembok-tembok dan atap rumah penuh dengan coretan-coretan antusiasme
masyarakat terhadap Manipol USDEK. Parpol/Ormas dipaksai untuk menyesuaikan diri
dengan situasi ini. Organisasi mahasiswa mau tidak mau harus merubah anggaran
dasarnya dengan mencantumkan Manipol USDEK. Parpol /Ormas yang dianggap tidak
progresif revolusioner atau kontra revolusioner dibubarkan. Masyumi dan PSI
menjadi korban. Anak organisasinya; Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII),
Gerakan Pemuda Sosialis (GPS), serta GM Sosialis dikucilkan.
Sementra itu perekonomian di tahun
ini semakin memburuk Salah satu tindakan untuk menyelamatkan keuangan negara
yang dilanda inflasi ialah melakukan sanering terhadap rupiah yang diumumkan
pemerintah pada 25 Agustus 1959, nilai rupiah tinggal 10 persen saja dari nilai
nominal.
Perkiraan bahwa nilai uang akan
kembali normal ternyata meleset. Jumlah uang yang beredar bertambah cepat dan
harga barang cepat pula membumbung tinggi. Menurut Drs. G. Moedjanto, M.A
beberapa hal yang menyebabkannya antara lain: Pertama, penghasilan negara
memang berkurang akibat dari turunnya ekspor karena pergolakan di berbagai
daerah tidak kunjung reda. Kedua, nasionalisasi perusahaan Belanda tidak cukup
membantu karena Indonesia tidak mempunyai tenaga-tenaga manajemen yang cakap
dan berpengalaman. Ketiga, PN, PDN, PPN yang didirikan pemerintah dengan maksud
dijadikan salah satu jalan untuk mempercepat tercapainya sosialisme di
Indonesia, hanya menguntungkan elite yang menjadi Orang Kaya Baru (OKB).
Keempat, persiapan penyelenggaraan ASEAN Games IV memakan biaya yang tidak
sedikit. Kelima, Sukarno semakin sering mengadakan perjalanan keluar negeri
(dengan biaya negara), dan keenam, modal asing sama sekali tidak tertarik untuk
masuk ke Indonesia karena iklim politik Indonesia yang terlalu panas. Terakhir,
Indonesia sedang fokus pada permasalahan Irian Barat.
Seringnya presiden bepergian ke luar
negeri menjadikan perannya semakin kecil dan tergantikan oleh Nasution. Bahkan
tentara terbukti banyak campur tangan dalam perekonomian. Pedagang Arab, India,
dan terutama Cina mendapat perlakuan keras dari tentara, pelarangan berdagang
sampai pengusiran dari tempat tinggal. Karena permasalahan ini, hubungan
Jakarta-Cina merenggang. Cina melakukan tekanan diplomatik yang sangat besar
terhadap Jakarta. Di sisi lain, Sukarno bersama PKI mati-matian membela
orang-orang Cina. Salah satu dampak instabilitas komunitas perdagangan tersebut
adalah terjadinya dislokasi ekonomi, penimbunan barang, dan tingkat inflasi
yang semakin serius.
Untuk bersaing dengan kekuasaan
Nasution, Sukarno menempuh 2 taktik pokok. Mendapatkan dukungan dari Parpol
yang berpusat di Jawa dan merangkul Angkatan Udara (AU) berhubung AD sudah
dipegang oleh Nasution (Sejarah Indonesia Modern, 1991).
Sementara itu, pada tahun 1960 PSI
dan Masyumi yang tidak sehaluan dengan Sukarno dibubarkan. Dilanjutkan dengan
pembubaran DPR dan pembentukan DPR-GR. PSI, Masyumi, dan beberapa sekutunya
atas dorongan Hatta membentuk Liga Demokrasi untuk menghalagi langkah-langkah
Sukarno.
Kursi DPR-GR antara 17%--25% diisi
oleh orang-orang PKI. Demikian pula ketika Sukarno membentuk MPRS, banyak orang
PKI yang mengambil peran, hanya saja PKI memang tidak terwakili dalam kabinet.
Indonesia semakin condong kepada Uni
Soviet, PKI semakin besar. Kebutuhan militer untuk melancarkan serangan guna
merebut Irian Barat menambah kedekatan kepada Uni Soviet. Januari 1960
Khrushchev berkunjung ke Indonesia dan memberikan kredit sebesar 250 juta
Dollar AS, juga pinjaman 450 juta Dollar dalam bentuk persenjataan dari
Unisoviet pada Januari 1961.
Angkatan bersenjata bertambah kuat.
Mencapai jumlah sekitar 300.000 prajurit pada tahun 1961 dan 330.000 prajurit
pada akhir 1962. Indonesia banyak mendapat peralatan militer dari Unisoviet,
termasuk pesawat-pesawat tempur modern dan pesawat-pesawat pengebom jarak jauh.
Persenjataan tersebut sebagian besar jatuh ke AU dan AL yang dipandang Sukarno
lebih kooperatif.
PKI juga kian berkibar. Anggota
terus bertambah, BTI mencapai 5,7 juta, konon ¼ petani dewasa, SOBSI hampir 3,3 juta. Awal 1963 jumlah
anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani mencapai 1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI
sendiri pada akhir 1962 lebih dari 2 juta.
PKI adalah partai komunis terbesar di negara non komunis manapun
(Sejarah Indonesia Modern, 1991).
AS yang cemas melihat perkembangan
di Indonesia mencoba mendesak Belanda untuk merundingkan penyelesaian Irian
Barat. Perundingan-perundingan baru yang muncul kemudian disetir oleh AS.
Akhirnya pada 15 Agustus 1962 sengketa selesai. 1 Oktober 1962 Belanda akan
menyerahkan wilayah itu kepada PBB untuk kemudian diserahkan kepada Indonesia 1
Mei 1962.
Justru, selesainya sengketa Irian
Barat membawa akibat buruk pada demokrasi terpimpin. Pihak militer takut UU
darurat perang akan dicabut dan belanja militer dikurangi, PKI takut bahwa
politik yang kurang radikal akan merintangi perkembangannya, Sukarno takut
semangat rakyat yang berkobar selama masa kampanye Irian Barat akan surut.
Pada organisasi mahasiswa, kedekatan
dengan militer semakin jelas. Mahasiswa ikut berperan dalam pertahanan sipil
secara profesional. Dimulai dari pembentukan Resimen Mahasiswa (Menwa)
Manawarman Bandung tgl 13 Juni 1956. Terbentuknya organisasi ini menjalari
Universitas-Universitas di Indonesia.
Trikora yang dikeluarkan Sukarno
19 Desember 1961 mendapat dukungan sepenuhnya dari golongan tersebut. Gerakan
politis pun dilakukan. MMI dan PPMI membawa persoalan Irian Barat pada level
nasional maupun internasional (melalui IUS & ISC). Namun, akhir
persengketaan Irian Barat yang lebih diplomatis menjauhkan organisasi mahasiswa
dari dunia politik.
Pada Juli 1961 PPMI sempat
melaksanakn kongres ke IV. Kongres ini membentuk presidium yang terdiri dari
GMNI, PMKRI, GMD, CGMI, PMB, dan MMB –Eksekutif yang dianggap beroroentasi
kiri. Pada saat yang sama Germasos dan HMI berhasil masuk ke
organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Mereka kemudian membentuk SOMAL. Dalam berbagai kesempatan, Somal selalu
menegur agar PPMI jangan terlalu terlibat dalam isu/peristiwa politis, jadi
jelas sekali aspirasi ini adalah suara MMI.
Sehubungan dengan insiden rasial
di Bandung Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan pernyataan: Bahwa yang
sebenarnya peristiwa tersebut bukan bermotif rasial, akan tetapi merupakan isu
sosial yang diakibatkan oleh gap antara si kaya dan si miskin yang terus
mendalam. Dalam kasus tersebut, konsulat PPMI Bandung pecah. 4 anggota PPMI
Bandung membentuk organ yang serupa dengan Biro Aksi Mahasiswa. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organ pecahan PPMI di Bandung
tersebut dan membentuk Majelis Permusyawaratan Indonesia (MAPEMI) Agustus 1965.
Harus dicatat bahwa eksekutif MMI
terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AKM) dan Perguruan Tinggi
Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinan dipegang oleh
perwira tingkat menengah AD fan Kepolisian.
Tragedi 1965 merupakan kulminasi
dari kondisi Indonesia yang semakin semrawut semenjak 1963. Kenaikan harga
tidak berimbang dengan penghasilan yang diperoleh, khususnya yang
berpenghasilan dari butuh, pegawai negeri, dan ABRI. Sejak 1963, tarif kereta
api naik 500%, tarif bus berlipat dan tarif angkatan udara menanjak sampai
500%. Tarif jasa umum seperti listrik dan air minum mencapai 400%. Dampak
kenaikan ini terasa pada harga-harga di pasar. Dalam kuartal 1963 harga
rata-rata beras, daging, ikan, telur, susu, gula, minyak kelapa, garam, sabun,
di Jakarta naik 2 kali lipat dari tahun 1962 (Indeks
1953:100,1958:203,!962:1006, dan kuartal ke dua 1963:2302).
Angkatan bersenjata pun tidak
lepas dari persoalan keuangan. Sejak 1963, angkatan bersenjata tidak mampu lagi
membayar hutang-hutangnya. Akibatnya, mereka sulit memperoleh dan merawat
alat-alat perang. Suku cadang untuk pesawat tempur, radar, kapal dan sistem
persenjataan lain tidak tersedia, sehingga banyak persenjataan modern kala itu
yang tidak dapat dioperasikan (Hermawan Sulistyo, ). Kondisi keuangan riil militer
lebih rinci yakni: Pada 1959, anggaran militer (termasuk operasi-operasi
militer) dialokasikan 32,26% dari anggaran pemerintah. Untuk tahun-tahun
berikutnya sebesar 34,99% (1960), 29,28 (1961),34,72% (1962), 22,10% (1963),
26,71 (1964), dan 41,54% (1965).
Masalah luar negeri yang paling
mencolok adalah usaha pembentukan negara malaysia yang terdiri dari persekutuan
tanah Melayu, Singapura, dan sabah yang terwujud pada tgl 16 September 1963.
Pengaruhnya ke dalam negeri berupa lebih seringnya dilakukan penggerakan massa
untuk menghadiri rapat-rapat raksasa dengan tema anti Malaysia, anti
kolonialisme, dan anti imperialisme.
Kesukaran hidup rakyat
dininabobokan dengan semboyan “Amanat Penderitaan Rakyat, Berdiri di atas Saki
Sendiri”. Deklarasi ekonomi (Dekon) 23 Maret 1963 Justru memprioritaskan
pembangunan yang tidak bersifat produktif (Sarinah Department Store, Tugu
Nasional, Gedung DPR//MPR, dll). Pemikiran secara series terhadap perbaikan
ekonomi hampir tidak ada. Pesta Olahraga “Games of New Emerging Forces”
(Ganefo) juga makan biaya yang banyak.
PKI dengan Ormasnya
semakin menambah keruh suasana, di bidang budaya terutama. Paling menonjol
adalah aksi-aksi yang dilancarkan untuk mengganyang film-film AS dengan segala
macam tuduhan, misalnya, menjadi sarang CIA. Pertarungan pendapat menyebar
dikalangan seniman seniman, pengarang, orang-orang perfilman, organisasi
wartawan, PWI,orang-orang pelajar, IPPI, bahkan organisasi non politis,
seperti, BKSKMI, BKMI, IPMI, YAFMI (sejak 1953 muncul organisasi-organisasi
profesional dan fungsional).
Kericuhan
dalam dunia kampus disulut oleh aksi GMNI Mei 1962 yang menuntut dr. Muchtar Kusumaatmadja, SH keluar dari
Universitas Pajajaran. Dia dianggap anti Manipol USDEK. Pro dan kontra akan
aksi ini mewarnai dunia Universitas menyulut terjadinya peristiwa perkelahian
di kampus ITB antara seorang mahasiswa pribumi dengan non pribumi. Peristiwa
ini berkepanjangan dan mencapai puncaknya pada 10 Mei 1963.
Peristiwa
rasialis tersebut menjadi jalan saling menyudutkan antar organisasi mahasiswa,
berakibat dibekukannya konsulat PPMI Bandung. Kemudian mereka membentuk satu
wadah baru MAPEMI, akan tetapi tidak berhasil.
Kongres IV MMI
dilaksanakan awal April 1964 di Malino, Sulawesi Selatan. Perdebatan yang
panjang terjadi, salah satunya mengenai kepemimpinan di MMI. Kongres berakhir
dengan kemenangan di pihak yang sepaham dengan kelompok non pancasila dan
komunis yang dipimpin oleh unsur-unsur
CGMI dan GMNI (Pemuda Indonesia, kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga).
Pada
tahun 1964, sengketa dengan Malaysia mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya
Dwikora. Bagi rakyat, masalah ini memang berbeda dengan pembebasan Irian Barat
dengan Trikoranya. Kesulitan ekonomi terlebih lagi membuat rakyat acuh tak
acuh.
Hal
itu diperpanas dengan terpilihnya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dk-PBB
pada 7 Januari 1965. hal tersebut mendorong Indonesia menjalin hubungan dengan
Cina yang tidak diterima menjadi anggota PBB dengan pembentukan poros
Jakarta-Peking (meniru model poros Roma-Berlin).
Perkembangan
selanjutnya, pada 1965 ketegangan sosial politik semakin meninggi. Hubungan
Sukarno-AD tegang. Pada tahun itulah terjadi Gerakan 30 September 1965.
(sejarah tentang ini multiperspektif, dan belum ada tafsir sejarah pun yang
diakui paling memadahi). Di dunia
internasional, harapan AS untuk menghentikan pembelokan ke kiri di Indonesia
sia-sia tampaknya. Komitmen AS di Vietnam Selatan semakin bertambah berat dan
sulit, terutama setelah terjadinya krisis kaum Budhis yang terjadi pada tahun
1963. AS menduga besar kemungkinan Indonesia menjadi negara komunis atau pro
komunis.
Pertarungan pro dan kontra PKI di
dalam negeri lebih jelas lagi. CGMI mengadakan aksi-aksi untuk mempersempit
ruang gerak lawan-lawannya. Diantaranya pelarangan HMI di Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya oleh Sekretaris FH cabang Jember, Prof, SH. Alasannya HMI
terlibat dalam PRRI/Permesta.
Musyawarah PPMI dan Front Pemuda
konsulat Yogyakarta 3 Juni 1964 oleh CGMI, GMNI, Germindo, Perhimpunan Pemuda
Rakyat, GPM mau diperalat untuk membubarkan HMI, namun usaha itu gagal. Tetapi
dalam pertarungan selanjutnya HMI kalah. Presidium PPMi pada sidang tgl 6-7
Juli 1964 membenarkan tindakan konsulat-konsulatnya.
Aksi protes terhadap keputusan
tersebut berupa munculnya pamflet-pamflet gelap di seluruh Yogyakarta.
Sedangkan di Jakarta perang pamflet terjadi antara CGMI dengan HMI. Dan PKI
dengan manis memanfaatkan kesempatan ini untuk menjatuhkan HMI dengan kampanye
pada rapat-rapat besar. Pada tgl 21 Oktober 1964 HMI resmi dipecat dari
keanggotaan PPMI dengan surat keputusan no 74d/KPTS/1964.
Antara 1960-1965 politik PKI
tergolong sukses. Di bidang ideologi, Marxime, telah diajarkan di mana-mana
sebagai pelajaran resmi dii sekolah-sekolah dan isntansi-instansi pemerintah.
Isu-isu tentang kabir koruptor, dan, imperialisme As terus menguat.
Sukses dan peran PKI berakhir di
penghujung tahun 1965. Diawali dengan peristiwa 1 Oktober sampai meletusnya G
30/S/PKI. Dan menjelang lengsernya Sukarno dari kursi kepresidenan, kondisi
sosial politik Indonesia kacau. Gerakan di tubuh mahasiswa pecah, antara yang
pro dan kontra PKI. Apalagi dengan masuknya pengaruh politisi-politisi masa
itu, tidak terkecuali militer.
Meski demikian,
demonstrasi-demonstrasi yang berlangsung masih kental dengan isu-isu yang
memperjuangkan kepentingan rakyat. Belum menyentuh isu pergantian pemimpin
nasional. Pemerintah meresponnya dengan kebijakan Devaluasi yang, menurut
analisis lain, dilakukan pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari
pembantaian besar-besaran terhadap PKI dan simpatinya menggerakkan mahasiswa
untuk mengadalkan aksi-aksi menentang kebijakan pemerintah yang tidak
memperhatikan kepentingan rakyat.
Percaya bahwa dibelakang
peristiwa-peristiwa 1965 adalah PKI, maka isu-isu pun mengarah ke sana. 4
Oktober 1965 mahasiswa Bandung(Unpad dan ITB) mulai bergerak. Mereka memasang
spanduk “bubarkan PKI” disekeliling kampus.
Di Jakarta, suasana lebih tegang
lagi, sangat sulit untuk mendeteksi siapa kawan siapa lawan. Pemuda Muhamadiyah
mendirikan komando kesiap-siagaan Angkatan Muda Muhamadiyah. Diikuti pula
dengan pertemuan antara HMI, Pemuda Muhamadiyah, PPI, dan PMKRI untuk menjalin
kerjasama menghadapi berbagai kemungkinan akbat Gerakan 30 September.
Awal tahun 1966 secara bertahap
peran-peran politik Suharto mulai tampak. Militer sendiri punya basis yang
cukup kuat untuk mendorong mahasiswa memusuhi Sukarno. Francois Railon menulis,
bahwa proses peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto dijalankan atas dasar Partnership
antara tentara dan mahasiswa.
Tahun-tahun ini peran PPMI
menurun tergantikan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang lahir 17
Oktober 1965 atas dorongan militer (Politik dan Ideologi Mahasiswa,1985). Dalam
banyak demonstrasi mahasiswa selalu mendapat dukungan dari militer. Terlihat
dari isu-isu yang mencerminkan kedekatan mahasiswa dengan militer.
Pertemuan dan aksi untuk
menunjukkan dukungan terhadap Sukarno danmembendung usaha pengambilalihan
kekuasaan negara oleh PKI disamping melenyapkan seluruh elemen yang pro komunis
terjadi di mana-mana. Anehnya tidak ada sedikitpun isu yang menunjukkan bahwa
semua permasalahan yang dihadapi Indonesia waktu itu bersumber dari Sukarno
yang tidak becus mengendalikan pemerintahan (bawahan-bawahannya).
Dari catatan Soe Hoek Gie dapat dilihat
bahwa kesalahan-kesalahan lebih banyak ditimpakan kepada menteri-menteri. Dan
ini memungkinkan terjadinya peralihan kekuasaan secara damai dari tangan
Sukarno ke Suharto.
KAMI dengan cepat menjadi besar
dan memiliki pengaruh yang kuat dalam organisasi-organisasi mahasiswa. Tidak
sulit untuk kemudian merekrut organ-organ yang memang tidak sepaham dengan PKI
seperti HMI,PMII,PMKRI,GMKI,SOMAL,PELMASI (Pelopor Mahasiswa Sosialis
Indoensia) Gemsos, dan IMKI. KAMI mengibarkan ideologi anti komunis dan pembekuan
organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya. KAMI resmi menjadi wadah
tunggal organisasi mahasiswa setelah pembubaran PPMI 29 Desember 1965.
10 Januari 1966 aksi KAMI secara
besar-besaran berlangsung. Keadaan Ekonomi yang kacau (inflasi 600%), inefisiensi
pemerintahan (termasuk kabinet 100 menteri) dan sikap Sukarno yang tidak tegas
menimbulkan ketidakpuasan. Aksi tersebut kemudian melahirkan Tritura. Aksi
berlangsung selama 60 hari sampai turunnya Supersemar, Surat Perintah Sebelas
Maret.
24 Februari KAMI mengadakan aksi
untuk menghalangi pelantikan menteri-menteri baru. Aksi ini menimbulkan
kemarahan Sukarno dan berakibat dibubarkannnya KAMI pada 25 Februari 1966
dengan Kepres no 41/Kogam/1966. Namun KAMI terus melakukan aksi hingga suatu
saat membawa korban tertembaknya
mahasiswa UI Arif Rahman Hakim.
Pembubaran KAMI tidak banyak
menolong Sukarno. Bersama KAPPI, Ex- KAMI terus mengadakan aksi massa. Untuk
mengahadapi KAPPI, Subandrio berusaha untuk mengagitasi GSNI pada tgl 28
Februari 1966 (baca Drs G. Moendjatno,1989).
Gerakan-gerakan penumbangan
Sukarno tidak lepas dari peran pers mahasiswa. Di tahun-tahun kritis
pemerintahan Sukarno penerbitan-penerbitan seperti Harian KAMI, Salemba,
Kampus, Gelora Mahasiswa, dan Mahasiswa Indonesia menulis pandangan-pandangan
kritis masa kepemimpinan Sukarno.
Mulai April 1966, AD melancarkan
gerakan kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekwen, yang kemudian mendapat
bentuk sebagai ORBA, lawan dari ORLA. Suharto sendiri memegang tampuk kekuasaan
tertinggi mulai 20 Februari 1967 dipertegas dengan ketetapan MPRS Tap
XXXIII/MPRS/1967 sebagai pejabat presiden.
Langkah-langkah yang kemudian di
ambil Suharto antara lain: mengubah susunan MPRS dan sebagai pijakan
pemerintahannya mulai menjalankan kebijakan-kebijakan stabilitasi dan
pembangunan ekonomi. Sampai dengan 1973 ORBA menunjukkan perkembangan yang
positif di bidan stabilitas dan ekonomi. H.C Ricklefs menulis, toleransi
beragama menguat, tingkat inflasi menurun (!(66:600%, 1967:100%, 1968:85 %,
1964:10 %). Sebagian besar keberhasilan ini dimungkinkan karena besarnya
bantuan dari luar negeri (IGGI). Ekspor minyak Indonesia mengalami kenaikan
harga dari 2,96 dolar AS perbarel menjadi 4,75 Dolar AS perbarel. Pada tahun
1974 minyak merupakan 74 % dari nilai ekspor sebelumnya pada tahun 1966 hanya
30 %.
Di masa-masa awal Orba
peran-peran politik organisasi mahasiswa mulai luntur. Mereka labih disibukkan
dengan permasalahan intern. Secara politis upaya untuk menghalangi gerak KAMI juga dilakukan oleh pemerintah. Sampai
dengan 1970 bahkan tidak ada langkah yang berhasil untuk memperbiki kondisi
KAMI. Pada musyawarah Nasional Indonesia di Bogor 14-21 Desember 1970
menghasilkan keputusan bahwa wadah fisik belum perlu dibentuk, karena belum
kelihatan mendesak betul (H.C Ricklefs,1981).
Langkah pembangunan Orba dimulai
dengan pembentukan BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional). Rencana
pembangunan direalisasikan dalam Repelita I yang dilaksanakan mulai 1969-1974.
Titik berat pembangunan pada sarana dan prasarana pertanian dengan tetap
memperhatikan kepentingan industri.
Legitimasi kekuasaan Suharto
tercapai dengan lebih sempurna setelah pemilu 1971. 9 Partai yang mengikuti
Pemilu antara lain: PKRI, PSII, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PWI, PNI, Perti,
IPKI, dan Golkar. Kemenangan mutlak diperoleh Golkar dengan mendapatkan 236
kursi (masih ditambah 25 berdasarkan pengankatan. Golkar kemudian memegang
peranan besar dengan mendominasi jumlah kursi baik di DPR maupun MPR.
Permasalahn sosial yang dihadapi
ORBA sejak awal adalah korupsi dan penyelundupan (Indonesia abad 20 II, 1988).
Perkembangan ini terus dipantau oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia. Mereka
bersuara melalui laskar Ampera. Gerakan anti korupsi seperti “mahasiswa
menggugat”, “Komite Anti Korupsi”, “Angkatan Pelajar Indonesia”, dicetuskan leh
mahasiswa dan pelajar. Ini ditanggapi pemerintah dengan dibentuknya Tim
Pemberantasa Korupsi (TPK) pada 17 Desember 1967.
Tim tersebut selama 5 bulan
menghasilkan 7 buah surat kepada Suharto yang dikirim tgl 27 Februari dan 30 Juni 1970. Laporan dan
sasaran yang dikemukakan meliputi kerja kejaksaan Agung dan TPI, PN; Pertamina,
Bulog, penyederhanaan struktur/administrasi serta kebijakan di bidang
pemberantasa korupsi.
Anti korupsi dan penghematan dana
menjadi tema GM di tahun 70-an. Pemerintah berusaha meredamnya dengan
mangadakan operasi-operasi penertiban. Aksi-aksi mereda. Kegiatan kemudian
lebih pada konseptualisasi berupa seminar-seminar dan diskusi.
Pertemuan-pertemuan serius kemudian melahirkan kelompok cibulan. Furom ini
membahas permasalahan-permasalahn bangsa. Dari diskusi Cibulan lahirlah
kelompok cipayung 22 Januari 1972 yang disepakati oleh Akbar Tanjung (Ketua
Umum PB HMI), Suerjadi (Ketua Umum DPP GMNI), Chris Siner Key Timu (Ketua
Presidium PP PMKRI), Dan Binsar Sianipar
(Ketua Umum PP GMKI). PMII masuk pada pertemuan Cipayung III pada Januari 1976.
Kritik atas masuknya modal-modal
asing juga mewarnai dunia kampus. Peranan perusahaan-perusahaan Jepang yang
kian besar mengundang perhatian massa. Gelombang protes ini memuncak diawal
1974 yang kemudian dikenal dengan peristiwa MALARI. Pembakaran dan pengrusakan
terjadi diseluruh pelosok Jakarta sebagai ekses dari protes terhadap kedatangan
perdana menteri Jepang, Kakui Tanaka.
Sementara itu, kebutuhan akan
adanya organ pemersatu mahasiswa makin terasa dibutuhkan. Upaya ini dirintis
mulai tahun 1972 dari PNPKB (panitia Nasional Pemuda Untuk Seminar-Seminar
Keluarga Berencana). Pertemuan-pertemuan mahasiswa dilaksanakan beberapa kali
di Jakarta. Konsolidasi terus berlangsung sampai terbentuknya KNPI di tahun
1973. Proses terbentuknya KNPI diikuti oleh Pemuda Ansor, GPM, Pemuda
Muhamadiyah, GPI,HMI,GMNI,PMKRI,GMKI,PMII, dan Koordinasi Pemuda Golkar
GM 1978-1997
Pasca pemilu 1977, empat kota
besar di Indonesia diwarnai serangkaian aksi mahasiswa. Sejumlah mahasiswa
Bandung membentuk gerakan anti kebodohan (GAK) dan berhasil merangsang
mahasiswa-mahasiswa lain memainkan kembali peran politiknya. Namun tindakan
represif yang diberikan ABRI tidak bisa ditolak. Sejumlah kampus diduduki
militer dan dewan mahasiswa semua universitas dibekukan Kopkamtib. Kekuatan
politik mahasiawa semakin terpuruk dengan munculnya NKK/BKK.
Pada tgl 19 April 1978, Menteri P&K, Prof.
Daoed Joesoef, mengeluarkan SK. No. 0156 /U/1978 tentang normalisasi kehidupan
kampus (NKK). Selanjutnya pada tgl 24 Februari 1979 menyusul SK. No. 037/U/1979
yang mengatur organisasi kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi
Departemen P&K. Setiap kegiatan mahasiswa berada di bawah pengawasan
rektor. Adapun dalam merencanakan
kegiatan mahasiswa, rektor dibantu badan koordinasi kemahasiswaan (BKK).
Dengan segala cara pemerintah
berusaha “menjinakan” mahasiswa. Aparat birokrasi kampus tidak lain adalah
perpanjangan tangan pemerintah perguruan tinggi untuk mengontrol kampus.
Mahasiswa telah “dikandangkan”. Siapa yang berani keluar, skorsing dan drop out
(DO) tidak segan-segan menghampiri mahasiswa. Rupanya upaya pemerintah
“menjinakan” mahasiswa masih kurang. Menteri P&K mengeluarkan SK. No. 0124
yang mewajibkan pemberlakuan system kredit semester (SKS) di setiap perguruan
tinggi. Mahasiswa dituntut focus pada
kuliahnya, dengan kewajiban menyelesaikan sejumlah beban studi untuk setiap
semester. Hal ini mengahambat jalannya aktivitas moral mahasiswa. Mereka disibukan
dengan kuliah dan “dibentuk” menjadi mahasiswa berpikiran pragmatis. Sehingga
tidak sedikit mahasiswa yang apolitis.
Di tingkat dunia, terjadi krisis
ekonomi sebagai dampak dari Oil Shock 1971. namun dampaknya lebih banyak
menimpa negara-negara industri maju dan negara-negara lain pengimpor minyak.
Sebagai negara pengekspor migas, Indonesia mengalami boom oil.
Memasuki awal 1980, melalui Tap
MPR No. 11/MPR/1978 pemerintah memberlakukan penataran P-4. Dengan metode
indoktrinasi, diharapkan masyarakat menghayati dan mengamalkan ideologi
pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal.
Sebagai organisasi ekstra universitaas, HMI
menolak pancasila sebagai ideology tunggal, yang berbuntut pada pecahnya HMI
menjadi HMI DIPO dan HMI MPO. Penerapan asas tunggalpun berlaku pada ORMASS dan
ORPOLL. Bermula dari pidato Presiden Soeharto
di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 16 Agustus
1982, menyusul Sidang Umum MPR 1983 yang menetapkan bahwa organisasi social
politik wajib menganut hanya ideology pancasila. Perkembangan selanjutnya
organisasi keagamaanpun diwajibkan menganut asas tunggal, Pancasila. Asas tunggal tidak lain adalah alat yang
digunakan orde baru untuk melihat “mana kawan-mana lawan.” Yang tidak
menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya ideology sudah jelas menjadi lawan
Orba.
Dengan ketetapan asas tunggal,
mudah sekali untuk menyingkirkan lawan. Ormas dan Orpol yang tidak menggunakan
pancasila sebagai satu-satunya asas dengan mudah di bubarkan. Tindakan represif
pemerintah pada 1978 telah membangkitkan mahasiswa untuk bergerak di luar
kampus. Era 1980-1990-an muncul format baru dalam GM (GM). Secara
sembunyi-sembunyi mahasiswa melakukan aktivitas politiknya dengan membentuk
kelompok studi, diskusi dan ada juga yang gabung dalam lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Berbagai ide yang tergolong “controversial” dikembangkan.
Gerakan–gerakan di luar kampus ini semakin menjamur. Pemerintah tidak berhasil
melacak keberadaan mereka, sehingga pemerintah tidak bisa mengawasi bahkan
mengatur idealisme mahasiswa.
Pertengahan 80-an, di
kampus-kampus bermunculan terbitan-terbitan kritis. Lembaga pers mahasiwa (LPM)
dalam peranannya sebagai pers “moral” menghadirkan pemikiran-pemikiran
kritis-konseptual di kalangan mahasiswa disamping terjun dalam pengorganisasian
protes. Sayangnya usaha pers mahasiswa (Persma) ini tidak bisa bertahan lama.
Tindakan represif pemerintah dimunculkan kembali melalui Permenpen RI No.
01/Per/menpen/1975 dan surat edaran Dikti No. 849/D/T/1989, mengenai penerbitan
kampus di perguruan tinggi. Permenpen menggolongkan bahwa persma sebagai
penerbitan khusus yang bersifat non-pers. Dampak yang dirasa aktivis persma
adalah pembatasan terhadap persoalan yang boleh diangkat. Selain persoalan
akademik (kampus), jangan harap persma dapat leluasa.
Daya kritis mahasiswapun
mengalami hambatan. Tidak sedikit pembredelan dilakukan pemerintah karena tidak
sejalan dengan kebijakan orde baru. Seperti; pembredelan pers kampus IAIN
Sunankalijaga, ARENA, pembredelan majalah OPINI FISIP UNDIP, majalah
DIALOGE FISIP UNAIR Sebagai salah satu
unsure utama prodemokrasi, sangat disayangkan dalam perkembangan selanjutnya
LSM justru menciptakan kelas-kelas dalam tubuhnya sendiri; dibentuknya BINGO,
MINGO, dan LINGO. Mekanisme kerja LSM-LSM besar yang hanya sibuk dengan urusan
birokrasi, mendapat sorotan dan kritik dari kalangan aktivis. Walaupun
banyak mahasiswa yang masuk, LSM
dinilai eksklusive dan kurang menyeluruh dalam persoalan-persoalan
kemahasiswaan dan kerakyatan.
Kesan “elitis”pun dilekatkan pada
kelompok-kelompok studi. Mereka dikritik bahwa gerak mereka hanya sebatas
diskusi dan diskusi. Isu-isu yang diangkatpun parsial, seperti clean
government, kemandirian bangsa, korupsi dan sebagainya. Berbeda dengan komite
aksi (student movement) yang langsung
mengarah pada pengelolaan isu yang menjadi pilar utama orde baru, seperti Dwi
fungsi ABRI, 5 Paket UU Politik dan lain-lain. Konsekuensi dari kelompok aksi
adalah turun ke jalan untuk mendapat dukungan dari masyarakat. Untuk mengurangi
pertentangan antara kelompok studi dengan kelompok aksi yang hanya akan
merugikan mahasiswa itu sendiri, dibentuklah koalisi antara kelompok studi,
aksi dan persma. Format baru inilah yang dapat bertahan dalam perkembangan
organ perlawanan mahasiswa pada 90-an.
Pada pertengahan 80-an, struktur
ekonomi Indonesia dipegang oleh swasta. Dari kalangan elite negara banyak
bermunculan pemilik modal baru yang mempunyai posisi dan pengaruh di
pemerintahan. Pemilik modal baru itu berwenang atas kontrak-kontrak serta berbagai
konsesi dengan cara mentransformasikan dana kedalam bentuk investasi modal.
Seiring dengan resesi perekonomian dunia pada 80-an, harga migas turun dan
harga minyak bumi mencapai US$ 12/barel. Maka penerimaan migas turun 36% yang
berdampak pada merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia 1982 pada tingkat 2,2%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
kembali bangkit; harga migas naik hingga mencapai diatas US$ 15/barel. Upaya
pemerintah telah dilakukan sejak 1983 dengan pembaharuan system perpajakan dan
dan deregulasi moneter. Arah yang diambil adalah liberalisasi ekonomi, dengan
tanda-tanda1; pertama, proses ekonomi
makin mengikuti mekanisme pasar bebas, kedua, system perekonomian makin
terintegrasi kedalam perekonomian dunia atau makin masuk kedalam proses
globalisasi, dan ketiga, peranan swasta sebagai pelaku ekonomi berkurang, Salah
satu fenomena menarik untuk diamati adalah munculnya kelas-kelas menengah di
perkotaan.
Kelas-kelas baru ini lahir dari
industrialisasi yang cepat. Pemerintah melakukan pembangunan luar biasa dengan
mengabaikan hak-hak politik rakyat dan HAM. Era 80-an ditandai dengan masuknya
globalisasi ke Indonesia. Informasi lebih mudah menembus masyarakat dan
mahasiswa berkembang dengan wacana-wacana kritis dari luar. GM 80-an mulai
bersentuhan dengan masyarakat. Isu-isu bertema kerakyatan mulai tampak.
Demikian juga dengan kecenderungan membangun jaringan dan koordinasi antar kota
untuk mendampingi kasus kedung ombo dan kasus tanah di Kaca Piring Jawa Barat.
Menjelang pertengahan
1980-1990-an NKK/BKK berakhir. Melalui PP No. 30/1990 yang diikuti dengan SK
No. 0457/U/1990 diberlakuan Ormawa Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT).
Wadah tunggal di tingkat universitas kembali diberlakukan. Dalam perjalanannya
SMPT tidak bisa membawa aspirasi mahasiswa. Kampus masih mempunyai otoritas
tertinggi dalam pemberian izin kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan mahasiswa.
Mengenai dana SMPT masih tergantung pada universitas. Hal ini menambah kuat
keotoritasan universitas terhadap SMPT. Apa boleh buat, hanya melalui SMPT-lah
aspirasi mahasiswa dianggap legal.
Bersamaan dengan munculnya SMPT,
GM 90-an mengalami penurunan. Selain itu di kalangan aktivis GM pun banyak
terjadi perpecahan yang disebabkan ketidaksepakatan terhadap isu-isu yang
diangkat. Perpecahan terjadi pada FKMY (Forum komunikasi Yogyakarta) yang
melahirkan faksi DMPY dan faksi SMJ (solidaritas mahasiswa Jakarta) dan PIJAR
(pusat informasi jaringan aksi reformasi). Namun kecenderungan GM 90-an dalam
mengangkat isu, adalah seputar isu kampus, isu keadilan social dan ekonomi, isu
HAM, hukum dan kekerasan. Selain isu-isu diatas, ada pula isu-isu tambahan yang
menjadi perhatian mahasiswa, yaitu isu-isu moral, lingkungan, dan
internasional.
Aktivis mahaiswa 90-an kebanyakan
menggunakan tema “rakyat” dalam mengangkat isu ketidak adilan social ekonomi,
seperti Komite Pergerakan Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia (KPMURI). Orde baru
mulai menampakkan “watak aslinya.” Tindakan represif berupa penangkapan,
pengadilan, tuduhan “subversif” ditujukan terhadap mahasiswa. Maraknya kasus
SDSB mendorong aktivis mahasiswa Islam bergabung dalam aliansi PMIB (persatuan
mahasiswa islam bandung) untuk mengadakan aksi protes pada bulan oktober 1992.
Kemunculan PRD, STN, JAKKER, SMID, dan PBI menandakan perlawanan GM yang radikal.
Malahan, PRD membuat partai yang nampak sekali melawan rejim Orba.
Kebangkitan aktivis Islam membuat
Orba melirik dan mendekati. Terlebih lagi hubungannya dengan militer semakin
memburuk. Namun pembentukan ICMI pada 6 desember 1990 membawa angin segar bagi
Soeharto. ICMI tidak lain adalah organisasi yang disponsori Soeharto dan
dirancang untuk memobilisasi dukungan umat Islam pada saat satu segmen militer
menentang Soeharto2. Kemenangan GOLKAR
dalam setiap Pemilu tidak lepas dari dukungan militer. Nah, untuk menghadapi
Pemilu 1992, Orba mendekati kalangan muslim.
Pada awal 90-an, janji manis Orba
tentang keterbukaan diulang kembali pada pidato kenegaraan menyongsong tahun
1994. Ironisnya Orba masih melancarkan tindakan represif terhadap lawannya. Hal
itu tebukti atas pembredelan yang dilakukan terhadap beberapa media massa, seperti DETIK, Tempo dan Editor
Setelah peristiwa Malari 1974,
kerusuhan 27 Juli 1996 (kuda tuli-red)
merupakan huru-hara yang luar biasa. Banyak korban berjatuhan dan gedung-gedung
dibakar. PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan dan dianggap sebagai bentuk lain
OTB. Kalau meminjam istilah Hefner, gaya politik Orba adalah “gaya politik
belah bamboo,” yaitu melawankan kawan dengan kawan. Orba berhasil melawankan
PDI-Mega dengan PDI-Soerjadi. Namun untuk “mencuci tangan,” PRD menjadi sasaran
“pengkambinghitaman.”
Menjelang Pemilu 1997, mahasiswa
kembali bergejolak. Mereka mengangkat isu menolak Pemilu 1997 disamping isu-isu
lainnya (isu HAM, isu keadilan social, isu internal kampus). Sementara di
Jogja, isu kampanye “golput” mulai marak. Selain isu penolakan pemilu,
mahasiswapun menuntut; pencabutan paket 5 UU politik, UU Subversi, pencabutan
Dwi fungsi ABRI. Semakin mendekati pemilu, aksi-aksi menolak pemilu terus
merebak. Pada 20 Mei’97 di Jogja, KMAP (komite mahasiswa anti penindasan)
menyatakan menolak pemilu ’97, menuntut paket 5 UU politik, UU anti subversi
dan Dwi fungsi ABRI. Pasca pemilu’97 aksi mahasiswa berlanjut. Di Semarang,
FARI (front aksi rakyat Indonesia) menuntut agar pemilu diulang.
Agustus 1997, Indonesia mengalami
krisis moneter atau krisis mata uang. Nilai rupiah merosot terhadap dolar AS.
Sumber krisis berawal dari utang swasta. Berdasarkan data Lee Kuan Yew, mantan
perdana menteri Singapore, sekitar 800 debitur berutang sekitar US$ 68-US$ 69
miliar. Diawal krisis rupiah, pemerintah telah meminta bantuan IMF, dengan
harapan dapat mencegah krisis uang. Namun, bantuan IMF hanya “menjerat” dan
memperparah krisis. Harga dolar terus meroket, sehingga nilai utang dalam rupiah
semakin membengkak. Mendengar kabar kalau Indonesia mengalami krisis, pasar
mengalami “kelangkaan” sembako. Masyarakat berlomba-lomba menimbun sembako,
khawatir terjadi kenaikan harga. Namun, hal itu malah membuat harga semakin
melambung. Karena, ya itu tadi pasar mengalami “kelangkaan”. Tidak hanya
sembako, kenaikan juga terjadi pada BBM, obat-obatan, pendidikan dan
lain-lain.
Nining
Kondisi politik
1998
Agen-agen
neolib yang ingin menjadikan dunia ke tiga sebagai ajang perampasan atau perampokan
menemui kendala yang sangat serius di Indonesia, yaitu adanya monopoli penguasa
yang otoriter dan keluarganya. Tapi hal itu tidak menjadi kendala bagi negri
penjajah (barat) untuk tetap menyerang pasaran di negri ini, karena di
Indonesia merupakan pasar yang sangat strategis untuk dapat meraup keuntungan
yang sebanyak-banyaknya. Salaha satu yang dilakukan oleh agen neoliberal di
Indonesia yaitu tepatnya pada paruh kedua 1997 adalah menarik dolar dari
pasaran, yang mengakibatkan bencana ekonomi Indonesia, ditandai oleh melemahnya
nilai rupiah.
International Monetary
Fund (IMF) mengumumkan paket bantuan keuangan senilai $ 23 miliyar pada oktober
1997, lalu di ikuti oleh pemerintah melikuidasi 16 bank pada I November 1997
sampai Januari 1998, krisis mulai memburuk. Nilai rupiah sudah sangat lemah,
dari sekitar Rp 4000 menjadi Rp 11.000 per $1. RAPBN (Rancangan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara) yang dibacakan Suharto pada 6 Januari 1998 tidak
menunjukkan kesungguhan rezim deru (Orde Baru) untuk melakukan reformasi
ekonomi dan masih mengatakan bahwa badai pasti berlalu.
Kritik keras dari IMF
pada konsistensi pemerintah Indonesia segera memunculkan rumor di dalam dan
diluar negri bahwa IMF akan menghentikan pencairan dana bantuan tahap ke dua
sebesar $ 3 miliyar, akibatnya pada menilai negatif dan rupiah semakin melemah
menjadi 12.000. Sementara itu kebutuhan-kebutuhan pokok dipasaran semakin
melangit harganya, bahkan banyak perusahaan yang gulung tikar akibat krisis
ini, PHK terjadi besar-besaran, angka pengangguran dan kemiskinan pun naik
drastis.
Realitas
Gema ( GM).
Keresahan masyarakat
atas melambungnya harga-haraga sembilan bahan pokok (sembako) dan ancaman putus
kuliah serta masa depan yang suram dikalangan mayoritas mahasiswa, menjadi
faktor penggerak tersendiri bagi kalangan kampus, mahasiswa dan civitas
akademica untuk menyatakan keprihatinanya. Aksi mimbar bebas dan keprihatinan
di kampus menyerukan tuntutan menurunkan harga-harga barang, terutama sembako,
diikuti oleh tuntutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi lainya, yakni agar
penimbun barang ditindak, masalah pengangguran yang semakin meluas ditangani,
dan tuntutan agar kebijakan ekonomi lebih berpihak pada kepentingan mayoritas
rakyat. Pada Februari 1998 kuantitas massa aksi demonstrasi mahasiswa memang
semakin meningkat. Di luar Jawa mahasiswa mulai aktif; Palu, Bima, Lahat,
Samarinda, dan yang terbanyak Ujung Pandang. Sementara itu di kota-kota lain GA
deru ( Gerakan Anti Orde Baru) mahasiswa semacam Bandung, Solo, Jakarta,
Surabaya, Jogjakarta, Semarang juga semakin meningkat baik kuantitas maupun
kualitasnya. Turunkan harga justru yang
menjadi isue politik utama selama Februari 1998, yaitu 31 kasus dan yang Tolak
Suharto (6 kasus).
Pelaku baru gerakan protes dan
perlawanan mahasiswa yang oleh beberapa kalangan disebut GK deru (Gerakan
Koreksi Orde Baru) mulai menonjol pada akhir Februari 1998. Aksi-aksi GM tidak
lagi digerakkan oleh kelompok-kelompok radikal yang mempunyai tradisi
perlawanan dan pemikiran yang sangat kuat juga sudah lama terjun melawan
kekerasan pemerintahan otoriter deru ( Orde Baru ). Yaitu sejak akhir 80-an
sampai era 90-an.
Kalangan aktivis kampus dari
organisasi resmi semacam SMTP (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi ), BEM ( Badan
Eksekutif Mahasiswa) dan organ setengah resmi KM (Keluarga Mahasiswa) atau
Presidium senat mahasiswa fakultas-fakultas, yang menyebut gerakan mereka
sebagai gerakan moral, dengan format aksi keprihatinan didalam kampus, mulai
muncul dan meluas. Elmen GM (Gema) yang baru ini kebanyakan didukung oleh staf pengajar dan pimpinan
perguruan tinggi, yang dinamakan Gema civitas academika. Mimbar terbuka
diantaranya di UI yang dihadiri atau didukung beberapa tokoh dan mantan rektor
UI Prof. Mahar Maharjono dan beberapa Guru Besar lainya. Mimbar terbuka ini
ditutup dengan tindakan simbolis mahasiswa UI yaitu “ Kampus Perjuangan Orde
Baru” yang terpampang dibaliho besar didepan kampus ini menandai berkurangnya
dukungn civitas academika UI terhadap deru (Orde Baru). Kejadian dikampus UI
tersebut juga melanda beberapa kampus besar lainya, diantaranya 5 Maret 1998 di
Unair Surabaya, 6 Maret 1998 di Universitas Yarsi Jakarta, 7 Maret Unpad
Bandung, 9 Maret di Universitas Pasundan, Undip Semarang, UNS Solo, 10 Maret di
Unila Lampung dan di UII Jogjakarta, 11 Maret di UGM. Pada kurun waktu maret
terjadi 15 aksi di 10 kota yang melibatkan Dosen, Guru Besar, pejabat Dekanat
dan Rektorat.
Rezim Suharto
tampaknya menyadari gawatnya keadaan politik, berkaitan dengan GM yang terus
membesar meskipun sudah dilakukan pemberangusan pasca 27 juli 1996. Rezim yang
begitu percaya pada teori dalang beranggapan bahwa para pimpinan GM yang masih
aktif dan cenderung radikal harus dilenyapkan agar gerakan itu bisa dihentikan,
maka dibentuklah tim mawar dari Kopassus yang waktu itu dipimpin oleh menantu
Suharto. Belasan aktivis diculik, sebagian besar adalah aktivis mahasiswa.
Penculikan ini malahan memperbesar demonstrasi mahasiswa, terbukti pada bulan
Maret 1998. Dari aksi mahasiswa pada Februari 1998 langsung melonjak mencapai
247 aksi pada Maret 1998. Aksi mahasiswa merata di 20 kota dari 10 Provinsi.
Rekor terbanyak di buat oleh mahasiswa Surabaya kurang lebih(35 aksi), Ujung
Pandang kurang lebih(32 aksi), Jogjakarta kurang lebih (25 aksi), Solo kurang
lebih (19 aksi), Malang kurang lebih (17 aksi), dan Semarang kurang lebih ( 16
aksi), aktivis dikota-kota lain juga memulai aksi demonstrasinya.
Aksi-aksi yang
dilakukan oleh kalangan mahasiswa kian dapat memobilisasi massa semakin besar,
rekor terbesar dilakukan oleh KM UGM yang berhasil memobilisasi massa kurang
lebih sampai Lima Belas Ribu pada Maret 1998. Dalam aksianya mahasiswa yang
mengangkat isue anti Suharto semakin meluas. Ada 14 aksi yang tercatat secara
eksplisit tolak Suharto, lainya isue yang diangkat adalah masalah pergantian
kepimimpinan nasiosal, tolak pertanggungjawaban presiden ( ITS Surabaya 6 Maret
1998), aktivis-aktivis organisasi resmi kampus baik KM, BEM, Senat, KB lebih
merupakan pernyataan sikap kprihatinan atas krisis ekonomi, politik yang
melanda Indonesia sejak 1998. Tuntutan dan isue politiknya pun umum dan
mengambang yakni reformasi ekonomi dan politik. Selain itu tuntutan mereka
adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa, turunkan harga sembako, tolak
kekerasan militer, audit kekayaan pejabat, kembalikan kedaulatan rakyat,
menolak IMF. Pada bulan April 1998 aksi demonstrasi semakin meningkat yakni
kurang lebih 299 aksi. Aksi semakin merata dan meluas ke lebih dari 33 kota
dari 17 provinsi, kota Jogjakarta dan Bandung mencatat rekor paling tinggi,
masing-masing 40 aksi, diikuti Jakarta 38 aksi, Ujung Pandang 36 aksi, Semarang
19 aksi, Solo 16 aksi, Banjarmasin dan Medan masing-masing 12 aksi, Surabaya
dan kota-kota lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah 20 aksi. Selain aksi di
kota-kota dan kampus-kampus besar demonstrasi juga semakin mewabah ke kota atau
kampus-kampus kecil yang selama ini tidak pernah aksi. Kalangan birokrat dan
staf pengajar juga ikut mendukung aksi yang dilakukan oleh GM, salah satunya
adalah Prof. Dr. Ichlasul Amal yang menjadi rektor UGM waktu itu.
Situasi politik
Indonesia semakin terpuruk, GM tidak menunjukkan tanda berhentinya, bentrokan
aparat dan massa aksi terjadi setiap hari, membuat Pangab Wiranto ingin
mengadakan dialog dengan mahasiswa, bulan April isue tolak dialog juga menjadi
landasan beberapa organ pergerakan untuk aksi. Aksi menuntut reformasi yang
digulirkan oleh para mahasiswa dan masyarakat Indonesia membuahkan hasil dengan
mundurnya Presiden otoriter RI H.M. Suharto pada tgl 21 mei 1998 pukul
09:02:45. Ini bukan berarti berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Hal itu dapat
ditangkap dari beberapa aksi mahasiswa pasca 21 Mei 1998, yang masih
meneriakkan tuntutan reformasi total.
Pengumuman pelimpahan
wewenang dari Suharto ke wakil Presiden waktu itu Habibie sebagai presiden baru.
Tolak Habibie menggema dibeberapa kota selama 21 dan 22 Mei 1998. Ribuan massa
dari FAMPR ( Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat) membentuk barisan dan berpawai
sepanjang 2 Km. Di Solo Dua Puluh Ribu massa dari DRMS( Dewan Reformasi
Mahasiswa Surakarta) berkumpul di depan kantor DPRD kota Solo untuk menolak
Habibie, menuntut pembubaran DPR/MPR nasionalisasi kekayaan Suharto, cabut
paket 5 UU politik dan hapus Dwi Fungsi ABRI. Di Denpasar ribuan massa rakyat
yang bergabung dengan mahasiswa Udayana, dikampus menolak Ida Bagus Oka sebagai
mentri dan tolak 3H (Harmoko, Hartono dan Habibie). Di Jakarta ribuan mahasiswa
Forkot dan Front Nasional memasuki gedung DPR/MPR Senayan sambil menuntut
Habibie turun, percepat pemilu ulang, usut kekayaan Suharto. Disisi lain
tuntutan reformasi total yang bagi mahasiswa GA deru (Gerakan Anti Orde Baru)
berarti juga penolakan terhadap Habibie, ternyata menghadapkan mereka dengan
kelompoklain yang mendukung Habibie. Situasi ini terlihat jelas saat ribuan
massa Forkot dan Front Nasional hampir bentrok dari massa aksi dari pendukung
Habibie yang diantaranya Pendekar Banten, GPI, Yayasan Pedagang Muslim
Sukabumi, GPA, GPII, PPII, HMII, DDII, IMM, PII di pelataran gedung MPR/DPR
Senayan pada 22 Mei 1998.
Proses perubahan
politik yang terjadi dimanapun pasti menghadapi dua pokok persoalan yaitu
stabilisasi dan legitimasi. Kondisi sosial politik menyusul kenaikan Habibie
justru meperlihatkan meluasnya aksi-aksi massa akibat tersumbatnya seluruh
jalur politik konvensional dimasa Orde Baru. Aksi-aksi mahasiswa pada
pertengahan bulan Mei sampai menjelang SI MPR bulan September 1998
memperlihatkan kecenderungan peningkatan tuntutan untuk membentuk pemerintahan
transisi. Bagi aktivis Gerakan Anti Orde Baru (GA deru), persoalan legitimasi
pemerintahan Habibie merupakan awal untuk menyatakan tuntutan-tuntutan
selanjutnya. Sejak 21 sampai akhir Mei 1998, tercatat 90 aksi mahasiwa di
berbagai daerah, dengan isue utama Tolak Habibie, percepat SI MPR, pemilu
ulang. Dari jumlah total demonstrasi bulan itu sebanyak kurang lebih 536 kali.
Memasuki bulan Juni kurang lebih 274 demonstrasi, dengan isue utama SI MPR
segera, adili Suharto.
Aksi-aksi menuntut
perbaikan ekonomi dan politik juga terjadi di beberapa daerah. Mahasiswa tidak
lagi turun ke jalan sendirian tetapi sekarang banyak yang melibatkan rakyat. Di
tingkat lokal rakyat dan mahasiswa menuntut pemberantasan KKN didalam unsur-unsur pejabat Pemda dan
perubahan struktur pemerintah daerah. Buruh menuntut pembubaran organisasi
profesi buatan Orde Baru, kenaikan upah, serta ganti rugi bagi ribuan karyawan
yang terkena PHK. Salah satunya adalah yang dilakukan AMRS di Semarang, aksi
demo yang diikuti oleh Seribuan massa didepan kantor Gubernur seraya menuntut
terhdap pengadilan Suharto, perbaikan ekonomi rakyat. Bulan Juni dan Juli
banyak dipenuhi oleh aksi-aksi menuntut mundurnya pejabat-pejabat pemerintah
yang dinilai tidak bersih secara politik, yang cukup menonjol adalah tuntutan
mundur terhadap pejabat yang dinilai ikut andil dalam kasus 27 Juli 1996, ini
juga terjadi di Ujung Pandang dengan massa aksi dari berbagai elmen masyarakat
antara lain mahasiswa, pengacara, aktivis prodemokrasi, aktivis mapala. Di
Jogjakarta pada saat yang sama mahasiswa ISI bersama wartawan Bernas menuntut
mundur Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo karena dituduh terlibat dalam kasus
pembunuhan Udin wartawan Bernas. Memasuki bulan Oktober aksi menuntut
dihapusnya Dwi Fungsi ABRI mengiringi peringatan ulang tahun ABRI yang ke-53,
pada 5 Oktober 1998.
Demontrasi secara
menyeluruh dilakukan oleh berbagai kelompok aksi baik di Jakarta sebagai pusat
pemerintahan maupun di daerah-daerah. Umumnya disertai tuntutan agar ABRI
bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM, ketidakmampuan ABRI mengatasi
kerusuhan sosial di Jakarta selama 13 sampai 15 Mei1998, keputusan sanksi
administratif bagi pelaku penembakan pada waktu tragedi Trisakti,
ketidakjelasan nasib 14 aktivis prodemokrasi yang hilang, berbagai tindakan
atas nama keamanan, ketertiban stabilitas nasional kesemuanya mengkristal dalam
satu tuntutan, cabut Dwi Fungsi ABRI.
Banyak pengamat
politik menyimpulkan bahwa GM akan kebingungan, gagap dan terpecah setelah
Suharto tidak lagi berkuasa, kelompok-kelompok pergerakan memang tidak pernah
berada dalam satu wadah tunggal, bahkan cenderung menolaknya. Ini dilakukan
supaya aparat pemerintah tidak mudah
mematikan atau mengkooptasi gerakan mereka. Selama satu dasawarsa
membangun basis di kampus-kampus maupun diluar kampus, musuh bersama bagi kaum
gerakan dan aktivis prodemokrasi yang dapat mempersatukan gerakan sepintas lalu
adalah isu turunkan Suharto. Isue bersama tersebut bersumber dari serangkaian
perdebatan yang menghasilkan kesimpulan bahwa akumulasi pembusukan politik,
sosial, budaya, yang mengkristal menjadi
keresahan dan kebangkrutan nasional yang disebabkan oleh pemerintahan Orde
Baru, karena itu dia harus bertanggung jawab atas chaos politik setelah berada
32 tahun dikursi kekuasaan. Kemunculan partai-partai baru dan tokoh-tokoh lama
yang loyalis terhadap Orde Baru yang mendadak berwajah reformis serta saling
berlomba mengklaim sebagai paling reformis, kali ini siap menggantikan peran
aktivis yang berada di garis depan menuntut perubahan total.
Berbagai
macam Gerakan
Dalam GM 1998 menurut
banyak kalangan dapat digolongkan menjadi dua tipologi berdasarkan sikap dasar
mereka terhadap rezim Orde Baru yaitu Gerakan Anti Orde Baru (GA deru) dan
Gerakan Koreksi Orde Baru (GK deru), semakin menemukan format gerakan mereka
setelah Suharto turun. Gerakan moral atau Gerakan politik merupakan alternatif
yang mengemuka kembali di dalam kalangan para aktivis pasca Suharto. Gerakan
moral memandang krisis multi dimensi yang dihasilkan oleh sistem Orde Baru
semata-mata merupakan salah urus dan ketidakmampuan perangkat pemerintah
menjalankan fungsinya. Mereka tidak menolak sistem politik yang ada, namun
mengedepankan koreksi terhadap praktek politik Orde Baru. Inilah GM yang
dikatagorikan sebagai Gerakan Koreksi Orde Baru (GK deru), gerakan ini umumnya
yaitu gerakan resmi kampus KM,BEM, Senat mahasiswa, atau semacam gerakan yang
sudah mapan pada waktu Orde Baru berkuasa, semacam FKSMJ (Forum Komunikasi
Mahasiswa Jakarta), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), HMI MPO
yang terdiri dari kumpulan mahasiswa dari pergerakan Ekstra kampus.
Aktivis yang radikal
dan independen lebih melihat salah urus yang ada sebagai kesenjangan yang
dilakukan secara sistematik, produk desain Orde Baru yang mengebiri hak rakyat,
konsistensi mereka tetap terlihat pada era pasca Suharto. Yaitu hantaman
terhadap pilar-pilar utama Orde Baru, cabut Dwi Fungsi ABRI dan paket lima UU
politik, masih bergema pada aksi-aksi setelah Habibie menjadi Presiden. Gerakan
ini disebut sebagai Gerakan Anti Orde Baru (GA deru), gerakan ini kebanyakan
diwakili oleh aktivis tradisional yang sudah matang dalam tataran wacana maupun
praksis, dan juga mendukung adanya demokrai (Prodemokrasi),ini semacam PPPY
Jogjakarta, FAMPR Purwokerto, Formosal Salatiga, Semesta Semarang, Gempur
Jakarta, Famred Jakarta, APR Surabaya, Ampera Wonosobo, KPMB Bandung, FKMM
Malang, KKPS Probolinggo, Formajo Jombang, FPPHR Bogor. Bagi aktivis GK deru
turunya Suharto adalah terget antara dari perubahan menyeluruh, karena itu
seluruh elmen-elmen Orde Baru seharusnya tidak lagi bertengger dalam struktur
pemerintahan baru. Kekecewaan karena naiknya Habibie sebagai kepanjangan tangan
Suharto terlihat ketika Forkot, Front Nasional, serta kelompok GA deru lainya
berteriak selama berhari-hari setelah 21 Mei. Meskipun demikian, dalam
aksi-aksi menuntut turunya Suharto kedua kelompok tersebut tidak saling
menegasikan, dan juga mempunyai kontribusi sama pentingnya dalam mempercepat
laju proses reformasi dan tergulingnya Suharto.
Perpecahan demikian
sering kali disebutkan oleh pengamat politik dikalangan aktivis dan organ GM
pasca Suharto, tidak dapat disimpulkan semata-mata perbedaan isue politik yang
muncul, meskipun isue dapat dijadikan agenda bersama. Selain itu kompleksitas
organ gerakan itu sendiri berbeda-beda, maka kondisi gerakan di Jakarta
misalnya, tidak bisa dijadikan parameter, sehingga diperoleh kontribusi GM
tidak satu suara, atau ungkapan sejenis lainya. Kontinuitas atau diskontinuitas
berkorelasi dengan berbagai faktor, diantaranya seberapa jauh organ tersebut
membangun wacana dan tradisi gerakan, serta proses dialektika yang terjadi
didalamnya. Aktivis kelompok mahasiswa yang mempunyai sejarah pergerakan yang
panjang di kencah pertarungan konsep maupun praksis, tidak akan rela terjebak
pada aktivisme belaka. Pergulatan pemikiran melalui intensitas diskusi dalam
rapat-rapat, bahkan tur politik, untuk merumuskan ideologi, platfrom dan visi
gerakan memerlukan rentang waktu yang lama. Memahami konteks ini bisa dihindari
kecenderungan labelisasi atau tuduhan, bahkan pengkultusan terhadap GM.
Selama rezim Orde Baru,
perbedaan pendapat selalu di tekan, sedangkan dibawah pemerintahan Habibie
keterbukaan tampaknya cukup kondusif bagi pertarungan politik. Mulai terlihat
kepentingan kelompok diutamakan dari pada langkah-langkah konkrit yang dapat
memulihkan negara dari krisis multi dimensi. Pertarungan kepentingan tersebut
akhirnya menyeret GM dalam arti berkaitan dengan kepentingan politik
dimasing-masing pihak, dan bahkan semata-mata sebagai perbedaan politik.
Disamping itu muncul pelaku politik baru yang cenderung mengiterupsi mahasiswa,
yaitu partai-partai politik baru yang siap menjalankan proses politik lebih
demokratis.
Keterbukaan politik
yang merupakan konsesi pemerintah baru disatu sisi membuka partisipasi politik
bagi rakyat. Tetapi, pemerintah baru ternyata segera mengeluarkan rambu-rambu
untuk mencegah kekuatan terutama dianggap mengganggu jalanya proses reformasi.
Watak Orde Baru yang anti perubahan muncul kembali dalam berbagai tindakan
represivitas aparat dalam mengahadapi berbagai demonstrasi, kejadian bentrok
antara massa aksi dengan aparat pada bulan Maret terjadi kurang lebih 11 aksi,
April kurang lebih 34 kali, Mei kurang lebih 40 kali. Menyusul dikeluarkanya UU
No. 9/1998 mengenai unjuk rasa. Pemerintahan baru menerjemahkan tuntutan
reformasi total, khususnya oleh Gerakan Anti Orde Baru (GA deru), sebagai upaya
makar, untuk menggulingkan kekuasaan, dan mengumumkan bahaya kebangkitan
komunis, serta stigma ekstrim lainya terhadap para aktivis. Politik kambing
hitam yang menempatkan mahasiswa sebagai elmen penggagu stabilitas secara
konsisten juga dilakukan yaitu memperlawankan mahasiswa dengan massa yang
dimobilisasi dengan menggunakan atribut tertentu, dalam hal ini diwakili
kekuatan yang menggunakan atribut Islam.
Bagi pemerintahan
baru, komunis adalah hantu yang bisa muncul setiap saat, jadi logika Orde Baru
aksi mahasiswa akan surut sendirinya jika di tuding sebagai anti Islam,
komunis, dan memaksakan kehendak, disamping asumsi bahwa rakyat mulai
kehilangan simpati terhadap aksi mahasiswa, karena bisa diprovokasi dan
menyulut kerusuhan.
Pemilu yang digelar
tahun 1999 oleh pemerintahan Habibie menurut banyak kalangan adalah pemilu yang
paling demokratis dibanding dengan pemilu yang pernah digelar dinegera ini.
Semua komponen masyarakat ikut serta dalam mengawal jalanya pemilu ini,
termasuk mahasiswa. Didalam pemilu ini mahasiswa diuji apakah mereka tidak akan
larut melebur ke dalam salah satu partai
kontestan pemilu, atau malahan ingin menjadi seperti character murni yang
mereka miliki, yaitu sebagai sosok yang dinamis, idealis, intelektual, memiliki
komitmen terhadap masa depan bangsa dan memiliki orientasi yang utuh terhadap
masyarakat bangsanya, dengan semua atribut budaya yang dimilikinya, ataukah
diam dan hanya melihat permainan politik para elit politik dinegri ini,
diantaranya adalah orang-orangnya orde baru yang telah mereka gulingkan ditahun
1998.
Naiknya Abdurrahman
Wahid sebagai presiden RI yang ke-4 telah mengecewakan beberapa pihak yang
merasa paratainya menang tetapi tidak bisa mengegolkan Capres nya. Ini
dikarenakan koalisi antar partai terjalin dengan baik dan di perkuat lagi
melalui pendapat para kalangan Islam yang tidak menyetujui adanya seorang
pemimpin perempuan, walaupun ada alasan politik lain yang juga sangat berpengaruh.
Sejak Gus Dur
menduduki jabatan presiden, sejak itu pulalah pintu kebebasan terbuka lebar.
Setelah lebih dari 50 tahun dibawah cengkraman dua orang diktator ( Sukarno dan
Suharto), Gus Dur tampil sebagai penyelamat bangsa dari penyakit kronis “ kepemimpinan
yang cenderung diktatorial”. Tekanan batin selama 50 tahun lebih tanpa
kebebasan itu meledak tiba-tiba begitu Gus Dur membuka pintu hati manusia
Indonesia yang ingin berkata dan berpendapat sejak 1945, termasuk para
mahasiswa.
Dalam menjalankan roda
pemerintahanya, Gus Dur menganut pendekatan yang sangat bertentangan dengan
pendekatan pendahulunya. Suakarno menggunakan pendekatan nasionalisme dan
patriotisme untuk menghipnotis orang agar tetap tunduk dan taat kepada
pimpinanya. Sedangkan Suharto menggunakan pendekatan keaman dengan dalih “demi
pembangunan yang berkesinambungan”
dengan menutup semua pintu lain yang bertentangan dengan pendekatanya.
Suharto telah membuat orang lain untuk harus setuju dengan apa yang
dikatakanya dan dibuatnya. Keduanya bisa
disebut diktator, karena mereka berdua bersama-sam lebih menonjolkan
kepribadian dan golongan mereka atas nama nasionalisme dan pembangunan.
Gus Dur tampil sebagai bapak reformasi dan
membangun tahtanya dengan kemanusiaan dan demokrasi, bukan sekedar pembangunan
dan nsionalisme. Gus Dur pernah mengatakan bahwa dia telah sukses melaksanakan
revolusi sosial. Sukarno, 50 tahun lebih yang lalu pernah mengatakan Indonesia
perlu revolusi simultan dan revolusi multi complex, tetapi menurut saya beliau
hanya berhasil dengan revolusi sosial dan revolusi politik. Setelah bertahta
selama 20 tahun Indonesia ditinggalkan sebelum revolusi itu tuntas, kerajaan
Suahrto muncul dan pembantaian api-api revolusi ini yang dilakukan oleh
pemerintahanya. Gus Dur tampil dengan revolusi ulang dari revolusi sosial. Dia
telah mengambil langkah untuk revolusi politik, rupanya langkah yang
dilakukanya telah meruntuhkan kerajaan yang dibangun atas dasar kemanusiaan
edan demokrasi. Ketidak sepahaman antara pemerintah Gus Dur dengan agen-agen
neoliberalisme di negara ini atau orang-oarng Orde Baru yang masih bertengger
di pemerintahan menyebabkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Gus Dur
berbeda jauh sekali dengan harapan para orang-orang disekitarnya, salah satunya
adalah kecondongan Gus Dur yang telah menjalin atau membuka hubungan dagang
dengan pemerintahan China. Lembaran baru yang dilakukan Gus Dur ini sangat
menyimpang dengan kebiasaan para pendahulunya, dan yang dilakukanya ini adalah
penggeseran peta perekonomian dari timur (Jepang) agak geser sedikit ke barat.
Selain itu, Gus Dur juga sangat
getol dalam membombardir kekuatan militer yang terkenal sangat tiran dalam
mengendalikan tampuk kekuasaan, terlihat ketika ABRI pecah menjadi dua yaitu
POLRI dan TNI, atau memburu para koruptor besar. Ini sangat bertentangan sekali
degan apa yang dikehendaki para kawan politiknya seperti (poros tengah), karena
masih banyak sekali orang-orang Orde Baru yang terlibat KKN melakukan kerjasama
dengannya, dari sini mungkin awal perpecahan suatu koalisi para elit politik
dimulai. Pertikaian antar elit plitik akhirnya pun terjadi, Gus Dur di serang
oleh isue tentang ketrlibatanya dalam masalah Bulogate I.
Memang dalam menegakkan sebuah
negara yang berlandaskan demokrasi membutuhkan waktu yang tidak pendek dan
korban yang tidak begitu sedikit. Orang yang adil akan selalu tersingkirkan
dari komunitas manusia yang sudah terbiasa dengan korupsi, orang yang jujur
akan selalu tersingkir dari komunitas manusia yang tidak jujur, apakah kita rela,
sebagai generasi muda bangsa dikatakan bahwa itu adalah salah satu dari
kebudayaan bangsa kita.
Realitas
GM
Setelah melewati masa-masa yang
sulit (32 tahun) akhirnya mahasiwa berhasil keluar dari sarangnya dan berhasil
juga dalam menggulingkan sebuah rezim yang otoriter yaitu Orde Baru. Dalam
kontek gerakan reformasi waktu itu, nampaknya mahasiswa tidak saja memerankan
agen kontrol sosial tetapi juga sebagai agen pembaharu. Mahasiswa telah
menjembatani kekosongan yang terjadi antara kepentingan rakyat dan penguasa.
Pada saat itu GM merupakan lambang kekuatan moral yang bersih dan dalam
melakukan kontrol sosial tidak dilatar belakangi unsur politik. Idealisme
mereka terjaga dengan baik. Selain itu hubungan komunikasi antar organ
pergerakan cukup solid, sehingga memungkinkan mereka melakukan koordinasi
dengan baik. Keberhasilan ini juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor
pendukung. Pertama ; Mahasiswa memiliki satu musuh bersama, Kedua; Banyaknya
dukungan dari beberapa unsur masyarakat mengenai gerakan mereka, Ketiga;
Kenyataan persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Selain dari faktor yang saya
paparkan ini, mungkin masih banyak faktor-faktor lain yang ikut andil dalam
masalah penggulingan pemerintahan Suharto.
Tetapi itu semua sirna ketika
terbentuk pemerintahan yang dipilih secara demokratis, yaitu ketika
pemerintahan Abdurrahman Wahid berjalan kurang lebih satu tahun. GM mulai
mengalami kemunduran ideologi, ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
gerakan yang sudah setahun biasanya mengalami fragmentasi. Fragmentasi gerakan
ini biasanya terurai, mungkin dari gerakan moderat sampai ekstrem.kemunduran GM
ini karena terjadinya radikalisasi gerakan. Dalam kasus ini biasanya berbagai
rambu-rambu prinsip demokrasi sering dilupakan dan dilanggar. Kedua, adanya
perubahan latar gerakan itu sendiri. Semula gerakan bersandar pada kekuatan
moral perlahan-lahan berubah menjadi kekuatan politik. Ketiga, terjadi
pergeseran dalam ideologi GM.
Pertikaian yang terjadi antar
kelompok di dalam pemerintahan telah berimbas pada GM, terlihat nyata sekali
dalam menyikapi isue keterlibatan presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus Bulogate I, padahal Abdurrahman
Wahid sendiri tidak terbukti terlibat pada masalah kasus tersebut, ini menunjukkan
isue penentangan terhadap Gus Dur, kurang matang dalam membaca isue politik
yang dilancarkan oleh para elit musuh politik politik Gus Dur. GM pada saat itu
terpecah antar yang pro dengan yang kontra. Gerakan yang pro kebanyakan adalah
GM yang pro demokrasi atau seperti yang pada 1998 disebut GK deru ( Gerakan
Anti Orde Baru), dalam aksinya tidak
langsung mengatasnamakan mahasiswa tetapi lebih banyak yang bergerak dibelakang
gerakan massa yang mendukung jalanya pemerintahan Gus Dur, Seperti pengerahan
massa dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, walaupun ada sedikit yang
mengatasnamakan langsung dari mahasiswa. Gerakan yang kontra melibatkan
beberapa elmen mahasiswa antara lain adalah GM yang terkena monay politic dari
lawan politik Presiden dipemerintahan atau yang pada 1998 sering disebut GK
deru ( Gerakan Koreksi Orde Baru) dan gerakan yang tidak puas dengan
terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI (karena partai pemenang
pemilu tidak bisa mengegolkan Capres nya sebagai presiden).
Isue sentral yang diangkat oleh
beberapa elmen mahasiswa waktu itu juga berbeda. PMII, Forkot, Famred dan
beberapa elmen kiri mahasiswa atau gerakan yang pro demokrasi mengangkat isue
tentang pembubaran Golkar, pengadilan Suharto dan percepat pemilu, karena
mereka menganggap bahwa masih banyak orang-oarang yang dulu pada masa Orde Baru
sangat loyal sekali pada Suharto, dan setelah Suharto jatuh mereka
berlomba-lomba mencuci tangan dan menyebut diri mereka paling reformis.
Sementara itu gerakan kanan yang diwakili oleh KAMMI, HMI, BEMSI, KM atau
gerakan yang pada waktu 1998 sering disebut GK deru ( Gerakan Koreksi Orde
Baru)mengusung isue tuntutan turun terhadap Gus Dur, seperti yang terjadi
ketika Gus Dur mau berkunjung kekampus UGM, tapi dihadang oleh mahasiswa yang
mengatasnamakan dari Keluarga Mahasiswa UGM, alasan mereka adalah tidak ingin
kampus mereka dimasuki oleh kekuatan politik dari pihak manapun, padahal
kejadian ini malah justru ditunggangi oleh kekuatan elit politik yang menjadi
musuh Gus Dur didalam pemeritahan. Sebaliknya kelompok ini akan mengangkat isue
lain ketika elit mereka terlibat dalam masalah KKN, seperti ketika Akbar
Tanjung yang terlibat dalam kasus Buloget II, mereka malah mengangkat isue
menentang kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Lucu sekali macam
GM waktu itu apabila mereka menyebut dirinya sebagai gerakan moral, tetapi
malahan sangat kelihatan sekali dalam membela elit mereka sendiri.
Pada saat itu sejumlah pengamat
sosial politik mengingatkan para aktivis mahasiswa agar tidak ikut terjebak
dalam lingkaran kekerasan dengan melakukan dialog-dialog diantara sesama
mereka. Imbauan itu diserukan sehubungan dengan peningkatan eskalasi aksi-aksi
mahasiswa yang mulai menghadapkan antara satu GM dengan GM lainya. Bentrok
antar mahasiswa berlangsung hari kamis (8/2) malam usai dialog mahasiswa dengan
presiden Abdurrahman Wahid.
Ini adalah gambaran GM dari waktu
ke waktu, mereka tidak bisa lepas dari politik praktis yang dimainkan oleh para
elit politik. Sangat sulit sekali mencari GM yang memang murni dari gerakan
moral, tidak terlibat dalam aksi dukung-mendukung, dan lebih mengedepankan
isue-isue yang sama dalam gerakanya. Dalam sejarahnya, kata M. Hatta mahasiswa
yang banyak mewakili pemuda adalah harapan bangsa dan pelopor setiap
perjuangan.
Pernyataan Hatta tersebut sangat
relevan sekali bila digunakan dalam keadaan waktu itu atau sekarang, khususnya
sebagai pemecut semangat dan progresifitas GM yang cenderung melemah. Oleh
karena itu tidak ada alasan lagi bagi GM untuk tidak bergerak dan menyatukan
langkah dalam menegakkan kebebasan dan keadilan. Pada dasarnya, GM merupakan
sebuah gerakan budaya, karena itu mempunyai dampak politik yang sangat luas.
Oleh sebab itu mereka tidaklah cepat boleh puas dengan hasil yang dicapai.
Gerakan mereka juga harus senantiasa menegakkan asas kebenaran politik dan
pengungkapan kebenaran publik sekaligus. Maka, budaya Indonesia yang cenderung
cepat puas dengan keadaan tidak perduli perkembangan karena sibuk sendirian,
tidaklah patut menjadi paradigma gerakan.
Agar GM menjadi progresif,
dinamis, revolusioner, dan inklusif. GM meniscayakan hal berikut ini. Pertama,
proaktif merespon keadaan dan teguh pendirian. GM harus bersatu dalam visi
penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan saling
memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan agenda aksi dan
GM haruslah bersifat independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para
seniornya. Karena hal ini biasanya hanya akan menimbulkan friksi dikalangan
sendiri dan saling merebutkan proyek demontrasi. Kedua, melakukan dialog
transformatif-meminjam istilah Jurgen Habermas untuk menciptakan masyarakat
komunikatif dan demokratis. Ketiga, mendorong para aktivisnya untuk membentuk
kapasitas intelektual yang memadai dan berjiwa intelektual organik meminjam istilah
Gramsci. Hal ini berguna agar para aktivis gerakan tidak hanya sibuk
dilapangan, kurang melakukan refleksi dan cenderung bergerak secara
pragmatis.
1 Raharjo, M. Dawam, Orde Baru dan Orde Transisi: Wacana Kritis atas
penyalahgunaan kekuasaan dan krisis ekonomi, Yogya: UII Press’99, Hal. 52
2 Hefner, W. Robert, Civil Islam: Muslims and Democratization in
Indonesia, Yogya: Institut Studi Arus Informasi’01, Hal. 22
0 komentar:
Posting Komentar