SEJARAH
PEMIKIRAN IDEOLOGI KAPITALISME
[PRAWACANA: PENGANTAR
IDEOLOGI<PENGERTIAN DAN ASUMSI
DASAR KAPITALISME<SISTEM
KAPITALISME GLOBAL<GAGASAN DASAR KAPITALISME<AKAR
HISTORIS KAPITALISME<GLOBALISASI DAN SEJARAH EKONOMI INTERNASIONAL<FAKTOR
PENDORONG GLOBALISASI<GLOBALISASI DAN KRISIS MASYARAKAT KAPITALISME]
Oleh:
Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Disampaikan pada
Acara Pelatihan Kader Dasar (PKD)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Komisariat UNISDA Lamongan
26 April 2013
Nur Sayyid Santoso
Kristeva, M.A. [Penulis] lahir di Cilacap, 27 Juli 1980,
Alumnus (S.1) UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta, Alumnus Program Pascasarjana (S.2) Sosiologi FISIPOL UGM,
Dosen Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, Aktivis Angkatan ’99 Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) D.I. Jogjakarta, Pernah Menjabat
Sekjend DEMA UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Menjabat Ketua Himpunan
Mahasiswa Cilacap di Jogjakarta (HIMACITA), Lakpesdam NU Cilacap, LBMNU &
LTNU Kabupaten Cilacap, PC GP Ansor Kabupaten Cilacap, Direktur pada Lembaga
Kajian Sosiologi Dialektis (LKSD) Cilacap-Jogjakarta/ Institute for
Philosophycal and Social Studies (INSPHISOS) Cilacap-Jogjakarta/ Komunitas
Diskusi Eye on The Revolution + Fordem Cilacap, sampai sekarang masih melakukan
pendampingan intelektual kader pada organisasi intra & ekstra kampus serta
mengisi forum-forum ilmiah di jaringan inti ideologis PMII wilayah Jabar,
Jateng dan Jatim.
Hp. 085 647 634 312,
E-mail: nuriel.ugm@gmail.com
Website:
www.negaramarxis.blogspot.com
³³³³³³³³³³³³
Hand-Out Discussion
SEJARAH
PEMIKIRAN IDEOLOGI KAPITALISME
Oleh:
Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Alumnus
Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM Jogjakarta, Aktivis Angkatan ’99 PMII Daerah
Istimewa Jogjakarta. Hp. 085 647 634 312,
E-Mail: nuriel.ugm@gmail.com, Website:
www.negaramarxis.blogspot.com
BAGIAN
SATU: PRAWACANA: PENGANTAR IDEOLOGI
1.
Pengertian Ideologi
Pada dasarnya ideologi berasal dari
bahasa latin yang terdiri dari dua kata: ideos artinya pemikiran, dan logis
artinya logika, ilmu, pengetahuan. Dapatlah didefinisikan ideologi merupakan
ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita.[1]
Ideologi merupakan kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup
diantara manusia terutama kaum muda, khususnya diatara cendekiawan atau
intelektual dalam suatu masyarakat.[2]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan rumusan alam pikiran
yang terdapat diberbagai subyek atau kelompok masyarakat yang ada, dijadikan
dasar untuk direalisasikannya. Dengan demikian, ideologi tidak hanya dimiliki
oleh negara, dapat juga berupa keyakinan yang dimiliki oleh suatu organisasi
dalam negara, seperti partai politik atau asosiasi politik, kadang hal ini
sering disebut subideologi atau bagian dari ideologi. Ideologi juga merupakan mythos
yang menjadi political doctrin (doktrin politik) dan political
formula (formula politik).[3]
Ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam
yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang
sebaliknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku
mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.[4]
Ideologi juga memiliki arti: konsepsi manusia mengenai politik, sosial, ekonomi
dan kebudayaan untuk diterapkan dalam suatu masyarakat atau negara.[5]
2.
Ideologi dalam Ilmu Sosial
Persoalan ideologi merupakan pusat
kajian ilmu sosial.[6]
Menurut Frans Magnis Suseno,[7]
ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap
dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat
dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok
sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu
bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi
mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat.
Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana
seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat
apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi
menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang
seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah
yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini
berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian
yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai
sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya. Menurut Antonio
Gramsci,[8]
ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis
memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’
manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan
kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
3. Logika Dasar Ideologi
Ideologi
adalah kumpulan ide atau gagasan[9].
Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18
untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi
yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung),
secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah
filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh
kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan
perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran
abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah
publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap
pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai
sistem berpikir yang eksplisit. (definisi ideologi Marxisme). Ideologi sama
pentingnya dengan silogisme (baca: logika berfikir yang benar) bagi setiap
proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat. Ideologi secara etimologis
berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun
diatas pemikiran-pemikiran (cabang). Ideologi adalah pemikiran mendasar dan
patokan asasi tingkah laku. Dari segi logika Ideologi adalah pemahaman mendasar
dan asas setiap peraturan.
4.
Proses Kelahiran Ideologi
Tentang bagaimana ideologi lahir, pada
dasarnya ideologi terumuskan dengan sejumlah kemungkinan:
Pertama, ideologi
lahir karena diinspirasikan oleh sosok tokoh yang luar biasa, dalam sejarah
bangsanya. Ia hadir membawa sekaligus mampu memberikan inspirasi serta pengaruh
kuat terhadap orang lain secara luas. Pada keadaan ini, gagasan seseorang yang
‘luar biasa’ itu atas kehendak pelaku dan dukungan pengikut, alam pemikirannya
mengenai cita-cita masyarakat yang diperjuangkan dalam gerakan politik diakui
dan dirumuskan secara sistematis, telah menjadi ideologi. Ideologi itu lahir
dari pemikiran seseorang.
Kedua, berdasarkan
alam pikiran masyarakat, ideologi itu dirumuskan oleh sejumlah orang yang
berpegaruh dan merepresentasikan kelompok masyarakat kemudian disepakati
sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bilaperlu
diciptakan mitos-mitos untuk mendapatkan pengakuan legal dan kultural dari
masyarakat bersangkutan sehingga mereka tunduk dan meyakini.
Ketiga, berdasarkan
keyakinan tertentu yang bersifat universal, ideologi itu lahir dan dibawa oleh
orang yang diyakini sebagai kehendak Tuhan, dengan pesan untuk melakukan
pembebasan dan memberikan bimbingan dalam mengatur kehidupan yang sebenarnya
serta konsekuensi moral dikemudian hari yang akan diterima bila melanggarnya.
Ideologi ini syarat dengan pesan moral yang sesuai dengan nurani serta dasar
primordial manusia. Oleh sebab itu, ideologi yang lahir dari suatu keyakinan
Iman dan bersifat universal akan hidup secara permanen tidak akan goyah dan
mati. Biasanya ideologi ini lahir diinspirasikan oleh spirit agama.[10]
Namun demikian, terlepas dengan cara apa dan bagaimana suatu ideologi itu
lahir, pada dasarnya ideologi sering disamakan sebagai suatu keyakinan, sebab
ia mengandung suatu mitos dan cita-cita yang harus direalisasikan dan memiliki
nilai kebenaran. Bagi pengikutnya tidak hanya diakui dan diikuti, lebih dari
itu dihayati sebagai sesuatu yang memiliki spirit hidup serta perjuangan dalam
menjawab tantangan yang dirasakan.[11]
5.
Dimensi dan Tahapan Ideologi
Ada tiga dimensi yang perlu dipenuhi
oleh suatu ideologi agar tetap mampu mempertahankan relevansinya sebagai
berikut: Pertama, dimensi realitas, adalah kemampuan ideologi untuk
mencerminkan realitas dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakatnya. Karena hanya dari situlah anggota masyarakat akan merasa bahwa
ideologi itu memang miliknya. Kedua, dimensi idealisme, adalah kemampuan
dasar ideologi yang terkandung di dalam nilai-nilai dasar ideologi itu. Ketiga,
dimensi fleksibilitas, dimensi ketiga ini menuntut kemampuan ideologi bukan
saja untuk melandasi dan meneropong perubahan atas pembaruan masyarakat, tetapi
juga sekaligus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu.[12]
Ali Syariati memberikan argumentasi atau
pendapatnya bahwa suatu ideologi dalam mengoperasionalisasikan nilai-nilai
dalam masyarakat sebagai suatu kebenaran untuk dapat diperjuangkan menjadi
keyakinan atau pandangan hidup dalam kolektif masyarakat memiliki
tahapan-tahapan sehingga terbentuk sebuah ideologi, ini meliputi: Pertama, adalah
cara kita melihat dan mengungkapkan alam semesta, eksistensi, dan manusia. Kedua,
cara khusus dalam kita memakai dan menilai semua benda dan gagasan atau
ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kita, Ketiga,
mencakup usulan, metode sebagai pendekatan dan keinginan yang kita manfaatkan
untuk mengubah status quo yang kita tidak puas.[13]
Pada tahap ketiga inilah ideologi mulai menjalankan misinya dengan memberikan
para pendukungnya pengarahan, tujuan dan cita-cita serta rencana praktis sebagai
dasar perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.[14]
6.
Akar Ideologi dari Tiga Pendekatan Filsafat
Semenjak masa kelahiran para pemikir di
Yunani, Romawi, Kelahiran kejayaan Yudea-Kristiani, kemudian Islam dan Abad
Pencerahan di Eropa Konstruk Filsafat yang melahirkan ideologi-ideologi besar
dunia sesungguhnya berakar dari tiga pendekatan filsafat, yakni:
Pertama,
Filsafat Idealisme (philosophy of idealism), ini mengedepankan faham
rasionalisme dan individualisme, yang dalam kehidupan berpolitik telah
melahirkan ideologi Liberalisme dan Kapitalisme. Ide yang menjadikan kekuatan
dasar menempatkan manusia sebagai pusat di alam semesta (centre of nature),
manusia sebagai titik pangkal terjadinya perubahan sejarah. Ini melahirkan
faham dalam membangun kehidupan kenegaraan dalam konteks hubungan agama dengan
negara adalah terpisah (separation) walau dalam hal-hal ceremonial dan
ritual agama masih diberikan peran. Pandangan kehidupan yang berdasar ideologi
liberalisme-kapitalisme, melahirkan faham Sekulerisme-Moderat[15]
dalam mengatur kehidupan politik-kenegaraan.
Kedua, Filsafat
Materialisme (philosophy of materialism), ini mengedepankan faham
emosionalisme berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivisme, yang
dalam kehidupan berpolitik telah melahirkan ideologi Sosialisme-Komunisme.
Materi (ekonomi), yang menjadi kekuatan dasar menempatkan kondisi ekonomi
sebagai faktor penentu terjadinya perubahan sejarah. Ini melahirkan faham dalam
membangun kehidupan kenegaraan dalam
konteks hubungan agama dengan negara adalah dipertentangkan (conflic).
Agama dianggap sebagai faktor penghambat, candu bagi masyarakat, karena itu
tidak diberikan peran sama sekali. Pandangan kehidupan yang berdasar ideologi
Sosialisme-Komunisme melahirkan faham Sekularisme-Radikal[16]
dalam mengatur kehidupan politik-kenegaraan.
Ketiga, Filsafat
Teologisme (philosophy of teologism). Dalam faham ini masih dibagi
menjadi dua: 1] faham agama yang menempatkan ajaran Tuhan memegang peran
sentral dalam kehidupan politik-kenegaraan, tetapi dalam konstruk politiknya,
menjadikan pemuka agama sebagai tokoh yang dikultuskan. 2] faham agama yang
memang menempatkan ajaran Tuhan sebagai sumber inspirasi, motivasi dan
ekspresi. Ini menempatkan ajaran Tuhan sebagai faktor integratif dan pencerahan.
Dalam hubungannya dalam kehidupan politik-kenegaraan, agama sebagai suatu yang
suci kekuatannya bukan di pengkultusan dan pemistikan melainkan agama sebagai
pembimbing (guidens). Agama dapat didialogkan untuk terlibat sebagai
wacana sekaligus sumber etika, moral dan hukum, maka dalam kehidupan
politik-kenegaraan itu dapat dikatakan agama bersifat dinamis, dapat disebut
pula sebagai filsafat teologisme-dinamis.[17]
7.
Tiga Kategorisasi Ideologi
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno[18]
mengemukakan tiga kategorisasi ideologi.
Pertama,
ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam
arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan
sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna
sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana
suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli
elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi,
bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan
berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim
atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan
mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan
ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam
arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar,
sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan
dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam
praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan
harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan
demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat
dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam
arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam
keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan
bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit
saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu
sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan
melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas
sosial terhadap kelas sosial yang lain.
8. Fungsi dan Faktor Pendukung
Ideologi
Ideologi
adalah suatu sistem keyakinan yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa
yang bersifat menyeluruh yang mendalam mengenai segala segi kehidupan
kenegaraan, kemasyarakatan, dan kebagsaan. Ideologi mengandung kehendak dan
cita-cita tentang suatu kehidupan masyarakat yang ideal yang diyakini
kebenarannya dan harus diperjuangkan agar terwujud dengan kongkrit. Oleh karena
itu ideologi merupakan panduan bagi penganutnya untuk melakukan
tindakan-tindakan secara praktis dan strategis untuk mewujudkan kehendak dan
cita-cita yang terkandung dalam ideologi tersebut. Ideologi mempunyai beberapa
fungsi sebagai berikut:
1.
Fungsi
Etis, yaitu sebagai panduan dan sikap serta perilaku kelompok masyarakat
dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
2.
Fungsi
Integrasi, yaitu nilai yang menjadi pengikat suatu bangsa atau
masyarakat.
3.
Fungsi
Kritis, yaitu sebagai ukuran nilai yang dapat digunakan untuk melakukan
kritik terhadap nilai atau keadaan tertentu.
4.
Fungsi
Praxis, yaitu sebagai acuan dalam memecahkan masalah-masalah kongkrit.
5.
Fungsi
Justifikasi, yaitu ideologi sebagai nilai pembenar atas suatu tindakan
atau kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh suatu kelompok tertentu.[]
BAGIAN
DUA: PENGERTIAN DAN ASUMSI DASAR KAPITALISME
1.
Pengertian Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian
yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya,
termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus,
1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang
menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan
kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978)
memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi. Menurut Ayn
Rand (1970), kapitalisme adalah “a social system based on the recognition of
individual rights, including property rights, in which all property is
privately owned”. (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas
hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik
privat) Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi
sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu
pada gerakan-gerakan dan
perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan
konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah “formasi
sosial” yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen
Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme
sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme,
post-kapitalisme).
2.
Sejarah Perkembangan Kapitalisme
Robert E. Lerner dalam Western
Civilization (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada
dunia modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme.
Direduksi kepada pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi,
distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan
kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah
sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati
batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis
mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan
bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner
ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan
tangan dari kapitalisme. Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai
berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan
Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The
Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik
yang mengekspresikan gagasan “laissez faire” dalam ekonomi. Bertentangan
sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan
negara.
Smith berpendapat bahwa jalan yang
terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu
mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan
perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988). Awal abad 20 kapitalisme
harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan
sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi
birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh
segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi
mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang
anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena
intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab
pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi
terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein,
dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan
ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state)
yang oleh Ebenstein disebut sebagai “perekonomian campuran” (mixed economy)
yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara
untuk kemakmuran sosial.
Habermas memandang transformasi itu
sebagai peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late
capitalism. organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation
Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated capitalism
(nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses
konsentrasi ekonomi seperti korporasi-korporasi nasional dan internasional yang
menciptakan struktur pasar oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam
pasar. Untuk melegitimasi intervensi negara yang secara esensial kontradiktif
dengan kapitalisme liberal, maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi
massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi massa dalam masyarakat kapitalis
liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi formal.
3.
Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand
Ayn Rand dalam Capitalism (1970)
menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b)
kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas. Menurut Rand, kebebasan
individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami
tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk
keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu
memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia
hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain.
Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar
bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang
natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan “the invisible hand” dari
Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang senantiasa berkembang
dan selalu menuntut yang terbaik atau paling rasional. Smith pernah berkata: “...free
marker forces is allowed to balance equitably the distribution of wealth”.
(Robert Lerner, 1988).
4.
Sistem Perekonomian/ Tata Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian
yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan
kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan
barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian
untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang
berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam
perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai
dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh
laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan
persaingan bebas dengan berbagai cara.[]
BAGIAN
TIGA: SISTEM KAPITALISME GLOBAL
1.
Gagasan
Dasar Kapitalisme
Membincarakan
dasar teori ekonomi kapitalisme, sosok Adam Smith dengan buku termasyhurnya, The
Wealth of Nations, dapat di sebut sebagai Bapak Kapitalisme. Dalam membahas teori dasar
kapitalisme adalah dengan mengetahui ciri dasar sistem tersebut, yaitu
pemaksimalan keuntungan individu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang
dimaksudkan membantu kepentingan publik.
Makna kapitalisme untuk kepentingan publik tersebut, oleh
Adam Smith diilustrasikan dengan sangat jelas: “Apa yang kita harapkan untuk
makan malam kita tidaklah datang dari keajaiban dari si tukang daging, si
pemasak bir atau si tukang roti, melainkan dari apa yang mereka hormati dan
kejar sebagai kepentingan pribadi. Malah seseorang umumnya tidak berkeinginan
untuk memajukan kepentingan publik dan
ia juga tidak tahu sejauh mana ia memiliki andil untuk memajukannya. Yang ia
hormati dan ia kejar adalah keuntungan bagi dirinya sendiri. Di sini ia
dituntun oleh tangan-tangan yang tak terlihat (the invisible hands) untuk
mengejar yang bukan bagian dari kehendak sendiri. Bahwa itu juga bukan
merupakan bagian dari masyarakat, itu tidak lantas berarti suatu yang lebih
buruk dari masyarakat. Dengan mengejar kepentingan sendiri, ia kerap kali
memajukan kepentingan masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan jika ia
sungguh-sungguh bermaksud memajukannya. Saya tidak pernah menemukan kebaikan
yang dilakukan mereka yang sok berdagang demi kepentingan publik”.[19]
Penjelasan ilustratif tersebut sebenarnya tidak bermaksud
lain kecuali kehendak untuk memaknai kapitalisme dengan memadukan kepentingan
individu di satu pihak dan kepentingan publik di pihak yang lain. Dari premis
itu ialah bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang lebih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi secara individu. Meskipun
demikian, orientasi individu tetap merupakan tahapan awal bagi kepentingan
publik atau sosial. Motif
sosial yang tersembunyi (hidden social motive) yang disebut Smith
sebagai the invisible hands.
Kehendak untuk memadukan kepentingan privat dan publik
ini selanjutnya dijelaskan bahwa setiap manusia, dengan demikian, dipimpin
langsung oleh kepentingan dan tindak tanduk ekonominya. Manusia yang
bersangkutanlah yang mengetahui apa kepentingan mereka sesungguhnya. Oleh sebab
itu, dialah yang dapat memenuhi kepentingan dengan sebaik-baiknya. Hal ini
bukan dimaksudkan untuk mengesampingkan kepentingan bersama, tetapi mereka
berfikir bahwa kepentingan bersama ini akan dapat diperhatikan dengan
sebaik-baiknya pula apabila setiap individu mendapat kesempatan untuk memenuhi,
memuaskan, dan mengekspresikan kepentingannya masing-masing tanpa restriksi.
Setelah
ia menulis The Wealth of Nations, Smith sudah mengemukakan dalam Theory
of Moral Sentiments sebagai dasar filsafat teori ekonominya. Ia menentang dengan tegas
pendapat de Mandeville bahwa privet vice makes public benevit. De Mandeville
memandang bahwa kemewahan atau pengejaran keuntungan ekonomi itu dosa, meski
dosa itu sendiri diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Smith justru
melihat sebaliknya, dengan meniru gurunya Francis Hutcheson, ia mengatakan
bahwa kebajikan adalah pengendali nafsu dan bukan sebuah antipati yang mutlak. Dalam The Wealth of Nations sendiri,
Smith pernah mengatakan bahwa: “The nature and causes of the wealth of
nations is what is properly called political economy”. Ini menunjukkan
bahwa nama bukunya saja sudah cukup untuk menjelaskan apa sesungguhnya yang
menjadi tujuan dari aktifitas ekonomi.[20]
Mempelajari paradigma dan ide dasar kapitalisme juga bisa
dilakukan dengan membuat interpretasi-interpretasi karya Smith seperti yang
banyak dilakukan. Kita memahami bahwa masterpiece Smith tersebut
sesungguhnya hanya meletakkan gagasan-gagasan cemerlangnya secara umum saja.
Sjahrir (1995) menerjemahkan The Wealth of Nations yang membidani
lahirnya teori kapitalisme itu dengan membuat rincian sederhana seperti, apa
yang harus diproduksi dan dialokasikan, bagaimana cara memproduksi dan
mengalokasikan sumber daya, serta bagaimana cara mendistribusikan sumber daya
dan hasil produksi.[21]
Pemahaman lain tentang ide dasar kapitalisme juga
diberikan oleh Max Weber[22].
Ia mendefinisikan kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi berdasarkan
kerja berupah untuk dijual dan diperdagangkan guna mencari keuntungan. Ciri
produksi berdasarkan upah buruh itu merupakan karakter mendasar bagi
kapitalisme. Bagi Weber, ciri kapitalisme yang lebih mendasar lagi adalah pada
sistem pertukaran di pasar. Sistem di pasar ini menimbulkan konsekuensi logis
berupa rasionalisasi yang mengacu pada bagaimana cara meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya. Dengan kata lain, bagaimana melakukan akumulasi kapital
secara terus menerus. Akumulasi kapital itu dimaksudkan untuk melakukan
produksi barang atau jasa yang lebih menguntungkan (more profitable). Keuntungan
inilah yang secara dominan bagi rasionalitas tekhnologi.
Sedangkan bagi Marx, kapitalisme tidak didefinisikan oleh
motif atau orientasi kaum kapitalis. Apapun motif yang mereka sadari, mereka
sebenarnya didorong oleh logika sistem ekonomi untuk memupuk modal. Kapitalisme
bagi Marx suatu bentuk masyarakat kelas yang distrukturasikan dengan cara
khusus di mana manusia diorganisasikan untuk produksi kebutuhan hidup.[23]
Sejalan dengan zaman, kapitalisme terus berkembang,
bergerak dan beradaptasi dengan sejarah. Jorge Larrain mengemukakan,
“Kapitalisme dicirikan oleh dominasi obyek atas subyek, modal atas pekerja,
kondisi produksi atas produsen, buruh mati atas buruh hidup. Bahkan menurut
Marx, kapitalisme adalah hasil dari praktek reproduksi manusia. Marx
menganalisa hal tersebut tidak hanya untuk mengetahui bagaimana sistem itu
bekerja dan memproduksi diri sendiri, tetapi juga untuk menunjukkan kondisi
yang mampu menggantikannya”.[24]
Kapitalisme yang dibuat oleh Lorens Bagus, berasal dari bahasa
Inggris, capitalism atau kata latin, caput yang berarti kepala.
Kapitalisme itu sendiri adalah sistem perekonomian yang menekankan peranan
kapital atau modal.[25] Poin-poin penting yang
bisa dilihat dan biasa digunakan untuk mengartikan kapitalisme adalah: Pertama,
kapitalisme adalah ungkapan kapitalisme klasik yang dikaitkan dengan apa yang
dimaksud oleh Adam Smith sebagai permainan pasar yang memiliki aturan sendiri.
Ia yakin bahwa dengan kompetisi, pekerjaan dari tangan yang tidak kelihatan
akan menaikkan harga pada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja atau modal
mengalami pergeseran dari perusahaan yang kurang menguntungkan. Ini berarti
kapitalisme merupakan usaha-usaha kompetitif manusia yang akan dengan
sendirinya berubah menjadi kepentingan bersama atau kesejahteraan sosial (social
welfare). Kedua, kapitalisme merupakan ungkapan Prancis laissez-faire,
laissez-passer, yang berarti ‘semaunya’, yang dilekatkan sebagai ungkapan
penyifat. Ungkapan laissez-faire menekankan sebuah pandangan bahwa dalam
sistem ini, kepentingan ekonomi dibiarkan berjalan sendiri agar perkembangan
berlangsung tanpa pengendalian Negara dan dengan regulasi seminimal mungkin. Ketiga,
kapitalisme adalah ungkapan Max Weber bahwa ada keterkaitan antara
bangkitnya kapitalisme dengan protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk
sekuler dari penekanan protestanisme pada Individualisme dan keharusan
mengusahakan keselamatan sendiri.
2.
Akar
Historis Kapitalisme
Sistem perekonomian kapitalisme muncul dan semakin
dominan sejak peralihan zaman feodal ke zaman modern. Kapitalisme seperti
temuan Karl Marx menjadi sistem yang
dipraktekkan di dunia bermula di penghujung abad XIV dan awal abad XV.
Kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia terkait erat dengan kolonialisme.
Pada zaman kolonialisme ini akumulasi modal yang terkonsentrasi di Eropa
(Inggris) didistribusikan ke penjuru dunia, yang menghadirkan segenap
kemiskinan di wilayah jajahannya.
Kelahiran kapitalisme ini dibidani oleh tiga tokoh besar,
yaitu Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik, Benjamin Franklin yang
memberi dasar-dasar filosofik dan Adam Smith yang memberikan dasar-dasar
ekonominya. Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik adalah seorang
Jerman yang melakukan gerakan monumentalnya, 31 Oktober 1571 dengan menempelkan
tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak menerima kenyataan praktik
pengampunan dosa yang diberlakukan gereja Roma. Kemudian ia meletakkan ajaran
dasarnya, yaitu: “Manusia menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya
dan semata-mata lewat perbuatan dan karya yang lebih baik saja mereka dapat
menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”. Sedangkan bagi Benjamin Franklin
yang memberi dasar-dasar filosofik, mengajak orang untuk bekerja keras
mengakumulasi modal atas usahanya sendiri. Kemudian Franklin mengamanatkan:
“Waktu adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya dan
tarcantum dalam buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth
Nations, Adam Smith lebih mengkongkretkan spirit kapitalismenya dalam
sebuah konsep sebagai mekanisme pasar. Basis folologisnya adalah laissez-faire,
laissez-passer. Ia mengatakan bahwa barang langka akan menyebabkan harga
barang tersebut menjadi mahal sehingga menjadi sulit didapatkan terutama oleh
mereka yang berpenghasilan rendah. Tetapi menurut Smith bahwa yang harus
dilihat adalah perilaku produsen. Ketika harga barang mahal, maka keuntungan
akan meningkat. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas barang tersebut tinggi,
maka banyak produsen yang memproduksinya. Sehingga dengan demikian kelangkaan
barang tersebut akan terpenuhi dan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat akan
terpenuhi. Sehingga masalah yang
terjadi di masyarakat akan diselesaikan oleh the invisible hands.
Banyak pakar memberikan penjelasan bahwa kapitalisme
sebagai sistem perekonomian dunia baru dimulai sejak abad XVI. Menurut Dudley
Dillard pada zaman kuno sebenarnya sudah terdapat model-model ekonomi yang
merupakan cikal-bakal kapitalisme. Bagi Dillard, kapitalisme tidak saja
dipahami sebagai sistem ekonomi pasca abad XVI. Kantong-kantong kapitalisme
sebagai cikal-bakal dan ruh kapitalisme justru mulai berkembang diakhir abad
pertengahan. Dillard membagi urutan perkembangan kapitalisme menjadi tiga
tahapan.[26] Secara kronologis dalam
tahapan sejarah perkembangannya: Kapitalisme Awal, Kapitalisme Klasik dan
Kapitalisme Lanjut.
a)
Kapitalisme
Awal (1500-1750).
Kapitalisme untuk periode
ini masih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan
kehadiran industri sandang di Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Meski
industri sandang tersebut masih menggunakan mesin pemintal yang sangat
sederhana, pada gilirannya mampu meningkatkan apa yang disebut sebagai surplus
sosial. Seperti dijelaskan Dillar, dalam prakteknya industri sandang mengahadapi
banyak problem dan kesulitan. Namun demikian, berbagai kendala tersebut tak
mampu menjadi penghalang bagi kesuksesan industri tersebut. Bahkan di beberapa
wilayah pelosok Inggris, industri tersebut terus berkembang pesat selama kurun
waktu abad XVI sampai XVII. Surplus sosial yang didapatkan terus menerus secara
produktif ternyata mampu menjadikan kapitalisme mampu bersaing dengan sistem
ekonomi sebelumnya. Kelebihan itu didayagunakan untuk usaha perkapalan,
pergudangan, bahan-bahan mentah, barang-barang jadi dan variasi untuk kekayaan
yang lain.
Perluasan demi perluasan
dengan argumentasi produktifitas yang dilakukan selanjutnya mengahdirkan
fenomena dramatis dengan munculnya kolonisasi atau imperealisme ke
daerah-daerah lain yang tak memiliki keseimbangan produksi. Lebih lanjut pada
informasi yang sama, Dillar juga pernah menguraikan bahwa perkembangan
kapitalisme pada tahapan ini didukung oleh tiga faktor yang sangat penting
yaitu: (1) dukungan agama dengan menanamkan sikap dan karakter kerja keras dan
ajuran untuk hidup hemat, (2) hadirnya logam mulia terhadap distribusi
pendapatan atas upah, laba dan sewa, serta (3) keikutsertaan Negara dalam
membantu membentuk modal untuk berusaha.
Studi Russel, Modes of
Productions individu Wolrd History London and New York, Routledge, 1988,
menjelaskan bahwa kapitalisme pada fase ini tidak bisa tidak menyebut bahwa
Eropa dan Inggris abad ke-12 adalah sebagai lokasi awal perkembangan
kapitalisme. Russel menunjuk wilayah perkotaan untuk mencontohkan bahwa
saudagar kapitalis menjual barang-barang produksi mereka dalam suatu perjalanan
dari satu tempat ke tempat lainnya. Mula-mula mereka hanya menjual barang
kepada teman sesama saudagar perjalanan. Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi perdagangan publik.
b)
Kapitalisme
Klasik (1750-1914).
Pada fase ini terjadi
pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya perdagangan publik, ke
wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Transformasi dari
dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri yang seperti itu
merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris. Perubahan dalam cara menentukan
pilihan tekhnologi dan cara berorganisasi berhasil memindahkan industri dari
pedesaan ke sentra-sentra perdagangan lama di perkotaan selama Revolusi
Industri. Akumulasi kapital yang terus menerus membengkak selama dua atau tiga
abad mulai menunjukkan hasil yang baik pada abad XVIII. Penerapan praktis dari
ilmu pengetahuan teknis yang tumbuh selama berabad-abad dapat sedikit demi
sedikit dilakukan. Kapitalisme mulai menjadi penggerak bagi perubahan tehnologi
karena akumulasi modal memungkinkan penggunaan berbagai inovasi.
Tepat pada fase ini
kapitalisme mulai meletakkan dasarnya yaitu laissez-faire, laissez-passer sebagai
doktrin mutlak Adam Smith. Dillar menerangkan bahwa perkembangan kapitalisme
pada fase kedua ini semata-mata menggunakan argumentasi ekonomis. Perkembangan
ini tentu saja menjadi parameter keberhasilan bagi kaum borjuis dalam struktur
sosial masyarakat. Kesuksesan ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang
politik, yaitu hubungan antara kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan
kapitalisme terutama dalam penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi dan perluasan
daerah kekuasaan sebagai lahan distribusi produksi. Periode kapitalisme klasik
erat kaitannya dengan karya Adam Smith An Inquiry into The Nature and Causes
of The Wealth Nations (1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa
kapitalisme kuno sudah berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.
c)
Kapitalisme
Lanjut (Pasca 1914).
Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad
XIX, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama. Abad XX
ditandai oleh perkembangan kapitalisme yang sudah tidak lagi bisa disebut
sebagai kapitalisme tradisional. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa
penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum. Pertama,
pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya
kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai
ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu
dengan perlawanan. Ketiga, Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat
meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan
kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial,
bentuk pemerintahan dan kemapanan agama. Dari sana kemudian muncul ideologi
tandingan, yaitu komunisme.
Kapitalisme abad XX berhasil tampil meliuk-liuk dengan performance
yang selalu bergerak mengadaptasikan kebutuhan umat manusia pada zaman dan
situasi lingkungannya. Bagi Daniel Bell,[27] fleksibilitas ini sukses
membawa kapitalisme sebagai akhir ideologi (The End of Ideology) yang
mengantarkan umat manusia tidak hanya menuju gerbang yang penuh pesona ekstasi
melainkan juga pada gerbang yang berpeluang besar untuk kehancuran umat
manusia.
Budiman (1997; 86) menyebut bahwa kapitalisme seolah
menjadi pesolek tanpa tanding dalam merebut perhatian para teoritisi sosial
dunia. Salah satu hal yang membuat kapitalisme bertahan adalah kelenturan
produk yang ditawarkan. Produk-produk yang disediakan bersifat adaptif dengan
zamannya. Citra-citra yang disodorkan tidak pernah dibiarkan begitu saja dan
menjadi sebentuk kesombongan ideologis yang menjenuhkan, melainkan disesuaikan
dengan berbagai desakan pluralisasi wacana kehidupan. Kapitalisme berhasil
tetap bertahan karena ia mampu menghadirkan demokrasi ekonomi dan politik
sebagai bentuk keinginan umat manusia yang paling mutakhir, tapi sebatas citra,
demokrasi yang semu. Produk kapitalisme yang menggairahkan tersebut dipandang
Guy Debord sebagai trap, bahwa saat ini kapitalisme sedang menyiapkan
perangkat kebudayaan yang mengantarkan umat manusia pada kondisi komoditi yang
final dan melelahkan.[28]
Produk lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme lanjut
adalah sedemikian menjamurnya korporasi-korporasi modern. Korporasi sudah tidak
lagi bergerak di bidang industri manufaktur, melainkan jasa dan informasi. Ia
berusaha mendominasi dunia dengan kecanggihan tekhnologi serta orientasi
menghadapi ekonomi global. Ia
lazim berbentuk MNC/TNC (MultiNational Corporation/Trans National
Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa pelaku aktifitas
ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara, melainkan para pengusaha
bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi
apa dan di mana saja.
Dengan semakin pentingnya modal, peranan Negara menjadi
tereduksi, tapi juga hilang sama sekali. Negara hanya sekedar menjadi aktor
pelengkap (Complement Actor) saja dalam percaturan ekonomi dunia, meski
dalam beberapa kasus peran Negara tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk
mendukung roda ekonomi yang sedang diputar kapitalis. Inilah yang dinubuat
Galbraith dengan mengatakan bahwa korporasi modern menerapkan kekuasaan melalui
pemerintahan. Para kapitalis ini tetap membutuhkan keterlibatan Negara untuk
memfasilitasi setiap produk yang dipasarkan. Hubungan simbiosis mutualisme ini
selanjutnya menjadi karakter dasar dari kapitalisme lanjut. Peristiwa ini
menyebabkan para pakar menyebut bahwa kapitalisme lanjut adalah kapitalisme
monopoli (monopoly capitalism) atau kapitalisme kroni (crony
capitalism).[29]
Korporasi modern dan Negara menjalin hubungan yang
didasarkan pada distribusi kekuasaan dan profit. Hubungan yang berkembang
antara korporasi modern dan birokrasi publik, seperti kapitalis yang membuat
mobil dan Negara yang membangun jalan raya, kapitalis yang membuat pesawat
tempur dengan Negara yang mengendalikan Departemen Udara dan sebagainya.[30] Selain hal itu, apa yang
diungkap Galbraith sebagai kapitalisme lanjut adalah pemfungsian institusi
Negara sebagai jaminan kontrol dari doktrin mekanisme pasar. Bahkan para
kapitalis dengan sengaja berani membiayai dan merekayasa Negara. Tujuannya
adalah untuk mengatasi kemungkinan terjadinya disintegrasi sistem soaial dalam struktur
masyarakat yang diakibatkan oleh kontradiksi-kontradisi dalam tubuh kapitalisme
itu sendiri. Asumsi ini diperkuat oleh fakta pertumbuhan industri-industri
kapitalisme hingga menciptakan sindroma korporasi-korporasi modern ternyata
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kekuasaan politik.
Dalam hal ini Galbraith memperkuat argumentasinya dengan
uraian yang mendalam tentang keterkaitan Negara dalam dimensi politis dan
kapitalis dalam dimensi ekonomis. Semakin menguatnya campur tangan institusi Negara
ke dalam aktifitas-aktifitas ekonomi acap mendisfungsionalisasikan fungsi dari
Negara itu sendiri. Hal itu bisa ditunjukkan dengan merosotnya atensi Negara
yang bersangkutan terhadap persoalan-persoalan lain di luar masalah teknis
administratif.
Sementara menurut pandangan Clauss Offe dalam Habermas,
sejauh kegiatan Negara diarahkan pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi,
politik selalu menampilkan sifat negatif yang khas. Politik diarahkan untuk
mengatasi disfungsionalitas dan menghindari resiko-resiko yang membahayakan
sistem. Politik tidak diupayakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan
pada pemecahan masalah-masalah teknis. Kegiatan Negara dibatasi hanya pada
persoalan-persoalan teknis yang bisa dipecahkan secara administratif sehingga dimensi
praksisnya hilang.[31] Hubungan faktor
politik-kapitalis dengan melakukan kolaborasi adalah cara pandang Keynes, dan
persoalan itu susah untuk dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada keseluruhan
adegan sosial dan politik yang diproduksi secara bersamaan. Ia memandang teori
ekonomi sebagai suatu alat kebijakan politik. Ia membelokkan apa yang disebut
metode ilmu ekonomi klasik yang bebas nilai untuk melayani tujuan dan target
mental, dan untuk itu ia membuat ilmu ekonomi menjadi persoalan politik dengan
cara yang berbeda.
Keterkaitan Negara-kapitalis yang ditunjukkan dengan
bergesernya mekanisme kapitalisme bisa dipahami dari Negara Amerika. Yang
terjadi di Amerika dewasa ini bukanlah paham kapitalisme yang asli yang
menganut paham laissez-faire, laissez-passer, melainkan suatu sistem
ekonomi yang tetap menggunakan prinsip dasar kapitalisme yang disesuaikan
dengan berbagai rambu hukum yang membatasi penguasaan resaources dan
konsumsi yang berlebihan, baik secara individual maupun pada tingkat
perusahaan.[32] Nilai-nilai yang berlaku
pada sistem kapitalisme Amerika selalu mempertimbangkan beberapa aspek.
Pertama, asas kebebasan (freedom), dengan
pengertian, bebas berkonsumsi dan berinvestasi (free entry individu
consumption and investment) serta pembatasan investasi pemerintah sekaligus
mengikhtiarkan model politik yang demokratis. Kedua, asas keseimbangan (equality),
dengan pengertian, adanya difusi antara kekuatan politik dan ekonomi; adanya bargaining
power yang sama untuk produsen dan konsumen serta adanya kesempatan yang
sama sekaligus upaya untuk menciptakan pemerataan. Ketiga, asas keadilan
(fairness), dengan pengertian, sebuah upaya untuk menghindari praktik
yang tidak adil seperti adanya upah buruh yang tidak memenuhi standar; hubungan
tuan dan majikan yang eksploitatif dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap
praktek ekonomi harus dilandasi dengan sikap yang penuh dengan kejujuran dan
keterbukaan (full honesty and disclosure). Keempat, asas
kesejahteraan (welfare), dengan pengertian, adanya pertimbangan efisiensi
alokasi dan produksi. Parameter kesejahteraan bisa diketahui melalui pengawasan
pemerintah terhadap stabilitas harga serta upaya untuk menciptakan kondisi
ketenagakerjaan yang bersifat full employment. Kesehatan dan keselamatan
lingkungan hidup juga mendapat perhatian yang besar. Kelima, asas
pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth) yang indikasinya
adalah pertumbuhan pendapatan riil dan kemajuan tekhnologi. Ada beberapa
kebijaksanaan pemerintah Amerika yang menjadi prioritas dalam menjamin
kebesaran kapitalisme. Di
antaranya adalah kebijaksanaan yang menjamin terciptanya kompetisi seperti
terciptanya UU Anti Trust (Sherman Act and Clayton Act). Tujuannya untuk mencegah
persaingan yang tidak sehat diantara pihak yang bersaing. Peraturan ini secara
teknis bertujuan untuk menjamin kebebasan dan keamanan dalam berinvestasi (free
exit and entry). Kemudian kebijaksanaan yang mengatur ke mana arah
kompetisi digerakkan.
Pengaturan-pengaturan ini berfungsi untuk melindungi
konsumen dan produsen. Hal itu bisa dilakukan dengan menetapkan etika
periklanan dan standarisasi barang-barang dari segi kualitas maupun kuantitas.
Perlindungan merk dagang dan hak cipta juga mendapatkan perhatian yang cukup
serius. Selain itu, adanya kebijaksanaan yang menjadi jaminan bagi distribusi
pendapatan, yakni melalui pajak. Pajak bisa difungsikan sebagai sarana
pemerataan, insentif serta regulator untuk mempengaruhi alokasi produksi maupun
konsumsi.
Yang penting lagi adalah adanya kebijaksanaan yang
mengatur public utility. Ide dasar kapitalisme klasik laissez-faire,
laissez passer dan jargon the invisible hand merupakan asas
fundamental yang terus-menerus diperbaiki dan digunakan untuk mencirikan
kapitalisme. Mereka berpandangan bahwa teori ekonomi secara jelas menunjukkan
bahwa mekanisme pasar tidak akan mampu menyelesaikan proses alokasi
barang-barang publik seperti hukum, pertahanan dan lingkungan. Padahal
barang-barang ini merupakan sesuatu yang vital bagi terjaminnya hidup manusia.
Jika mekanisme pasar dibiarkan dengan sendirinya untuk menentukan alokasi
barang-barang publiknya, maka penyediaannya akan cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan permintaan masyarakat (socially desirealible).
Karenanya diperlukan peranan pemerintah untuk menyediakannya. Tindakan ini
menjamin produksi barang-barang kebutuhan dasar (merit goods) diproduksi
pada tingkat optimal secara sosial.[33]
Suasana lain dari kapitalisme lanjut adalah kompetisi (competition),
dan kompetisi dalam kapitalisme Amerika merupakan poin penting dari buku The
New Industrial State (1971) yang ditulis Galbraith. Menurutnya, dalam ilmu
ekonomi klasik persaingan adalah banyaknya penjual yang memperoleh bagian yang
kecil dari pasaran. Galbraith kemudian mengatakan bahwa model persaingan klasik
ini sebagian besar sudah lenyap karena banyak pasar yang dikuasai oleh beberapa
perusahaan. Galbraith juga mengatakan bahwa dalam perkembangan kapitalisme,
timbul institusi yang berusaha mengimbangi kelas kapitalis, yang disebutnya
sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power). Kekuatan tersebut
bisa berupa lembaga konsumen yang mengontrol perilaku dan pengaruh produsen,
himpunan buruh yang mengimbangi kekuatan kelas pemilik modal dan kelas manajer.
Lembaga pelindung konsumen, pelindung alam serta organisasi-organisasi volunteer
lain yang berusaha untuk mempertahankan sekaligus memperjuangkan kepentingan
golongan lemah (marginal) dalam masyarakat, yang tentunya mayoritas.
Deskripsi awal dengan menyebut Amerika sebagai pusat segala sesuatu untuk
mengkaji kapitalisme lanjut harap dimaklumkan mengingat kita tidak bisa menolak
bahwa Amerika adalah sentral kapitalisme dunia dari pasca perang dingin atau
awal abad XIX sampai detik ini. Namun sample ini bukan serta merta ingin
menunjukkan bahwa kapitalisme lanjut hanya terbatas (limited) seperti
yang tercermin di Amerika.
Seorang sejarawan peranakan Jepang, Francis Fukuyama,
yang kemudian tenar dengan karyanya, The End of History and Last Man,
menyatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme Amerika merupakan titik
akhir dari perkembangan ideologi manusia.[34] Fukuyama menjelaskan
bahwa sejarah manusia ini sudah berhenti pada satu titik yang ekstrim, yakni
kapitalisme. Karenanya akhir sejarah akan merupakan saat yang menyedihkan.
Tatkala keberanian, semangat, imajinasi, idealisme dan humanisme mulai
digantikan dengan perhitungan-perhitungan ekonomi yang rasional. Pada saat itu
pula manusia akan terjebak pada pemecahan masalah teknis yang tidak ada
habis-habisnya. Kapitalisme sibuk merancang kebutuhan konsumen yang bercita
rasa melangit. Sehingga Galbraith dalam karya yang sama juga menuturkan bahwa
selama paruh terakhir abad ini hampir tidak ada topik lain yang dibahas secara
serius dan mendalam kecuali tentang masa depan kapitalisme (The Future of
Capitalism).[35]
Akumulasi modal sekarang tidak sekedar menjadi kebiasaan.
Ia telah menjadi sebuah hukum, di balik nuansa ini, tersimpan keniscayaan akan
adanya alienasi bagi mereka, para kelompok mayoritas seperti buruh, petani dan
perempuan. Kita menyadari bahwa kapitalisme model baru menyimpan keniscayaan
atas penindasan kelompok mayoritas. Segitiga konspirasi ala O’Donnel sampai
hari ini masih relevan dalam menjelaskan mekanisme ketertindasan struktural
rakyat. Secara empiris konspirasi itu dapat dilihat dari bagaimana
kebijakan-kebijakan Negara terbentuk atas pengaruh kepentingan TNC.
Tiga pilar neo klasik, TNC/MNC, World Bank/IMF, dan WTO
berjalan linier, sevisi, setujuan menuju kepentingan yang sama, yakni
liberalisasi pasar. Di samping itu ketiga institusi itu adalah kekuatan
terbesar dunia abad ini. Sehingga kita tidak pernah menemukan kebijakan
internasional yang tanpa memuat kepentingan ketiganya.
Kita memang bisa menyadari bahwa kapitalisme lanjut tidak
hanya dipahami sesederhana itu. Jika hujatan terpedas hari ini pada kapitalisme
diserangkan oleh kelompok Marx dengan asumsi konflik kelas, sesungguhnya saat
ini kita juga menyaksikan bagaimana kapitalisme menghadapinya dengan dada
terbuka. Cita-cita Marx yang tertuang dalam kata-kata msayarakat tanpa kelas,
justru secara mengejutkan, bukan terjadi dalam masyarakat komunisme, melainkan
dalam masyarakat kapitalisme. Konsep pilihan publik (public choice) yang
mencoba mengagregasikan kebutuhan-kebutuhan individu berhadapan dengan Negara,
justru pada akhirnya mampu menciptakan masyarakat tanpa kelas. Maka pada saat
kapitalisme, dalam kaitannya dengan Negara, mampu memelihara Negara dengan
mengupayakan reinventing government, bukan barang mustahil apabila
masyarakat tanpa kelas adalah milik kapitalisme, bukan komunisme. Masyarakat
tanpa kelas ternyata gagal dipraktekkan oleh komunisme. Barangkali inilah yang
disebut sebagai akhir sejarah itu, threshold capitalism.
3.
Globalisasi
dan Sejarah Ekonomi Internasional
Globalisasi kegiatan ekonomi dan persoalan pengelolaannya
sering dianggap baru muncul setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun
1960-an. Masa sesudah tahun 1960-an adalah masa munculnya perusahaan
multinasional (MNC) dan berkembangnya perdagangan internasional. Kemudian,
setelah sistem nilai tukar setengah-tetap Bretton Woods ditinggalkan pada tahun
1971-1973, investasi dalam bentuk surat-surat berharga internasional dan
pemberian kredit oleh bank mulai berkembang dengan cepat, seiring dengan
meluasnya pasar modal ke seluruh dunia, yang menambah rumit hubungan ekonomi
internasional dan membuka jalan bagi globalisasi ekonomi dunia yang
terintegrasi dan saling tergantung.
Sejarah meluasnya kegiatan perusahaan ke seluruh dunia
adalah sejarah yang teramat panjang, dan bukannya baru dimulai pada tahun 1960.
kegiatan dagang, misalnya, telah ada sejak zaman peradaban kuno, tetapi pada
Abad Pertengahan, barulah di Eropa, muncul kegiatan dagang yang teratur lintas
Negara, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sifatnya korporasi swasta,
meski seringkali mendapat dukungan dan bantuan yang besar dari pemerintahannya.
Pada abad ke-14, para pedagang petualang memperdagangkan wol dan tekstil yang
dihasilkan Inggris ke Belanda, Belgia, Luxemburg, dan Negara-negara lain.
Selain itu, di Italia, perusahaan-perusahaan dagang dan bank-bank memainkan
peran penting dalam kegiatan perdagangan ke seluruh dunia pada masa-masa awal
Renaissance. Pada akhir abad ke-14, di Italia, ada sekitar 150 bank yang sudah
melakukan kegiatan di berbagai Negara (Duning, 1993, hlm. 97-98). Dalam abad ke-17 dan ke-18 dukungan oleh Negara
meluas dengan berdirinya perusahaan-perusahaan dagang besar kolonial, seperti
Dutch East India Company, British East India Company, Muscovy Company, Royal
Africa Company dan Hudson Bay Company. Semua perusahaan ini mempelopori
perdagangan berskala besar di wilayah yang kelak menjadi wilayah jajahan yang
penting.
Tetapi, penyebaran industri ke seluruh dunialah, sebagai
akibat dari revolusi industri, yang paling dekat dengan perusahaan
multinasional di zaman modern. Di sini peranan perusahaan Inggris sebagai
perusahaan multinasional pertama penghasil barang pabrik tampak jelas.
Mula-mula Amerika Utara dan Amerika Selatan membuka peluang untuk penanaman
modal yang paling menguntungkan, disusul kemudian oleh Afrika & Australia.
Muncul perdebatan apakah “investasi kolonial” dapat dianggap pendahulu
penanaman modal asing, tetapi yang pasti produksi untuk pasar lokal mulai
dengan cara ini. Perkembangan teknik & organisasi setelah tahun 1870-an
memungkinkan berbagai jenis barang yang sama dapat dihasilkan di dalam & di
luar negeri oleh perusahaan yang sama, eksplorasi & pengelolaan bahan
tambang & bahan baku lainnya juga menarik penanaman modal asing dalam
jumlah besar (Dunning, 1993, Bab 5).
Namun, salah satu masalah dengan klasifikasi yang berlaku
surut seperti itu adalah konsep model “penanaman modal asing” di satu pihak
(ada pengendalian dari luar) dan investasi “potofolio” di pihak lain (jual beli
surat berharga yang diterbitkan lembaga luar negeri untuk mendapat keuntungan
tanpa ikut serta mengendalikan atau mengelola) baru pada tahun 1960-an muncul,
bersamaan dengan munculnya istilah MNC (multinational corporation).
Meski tidak ada klasifikasi data yang konsisten, pada umumnya disepakati, MNC
sudah ada dalam ekonomi dunia setelah pertengahan abad ke-19 dan berdiri kokoh
tidak lama sebelum Perang Dunia I. kegiatan bisnis intenasional tumbuh pesat
pada tahun 1920-an ketika perusahaan multinasioanl yang benar-benar
terdiversifikasi dan terintegrasi kokoh, tetapi kemudian menurun selama masa
depresi tahun 1930-an, hancur lebur karena perang pada tahun 1940-an, dan
bangkit kembali setelah tahun 1950.[36]
Sejarah bangsa-bangsa adalah sejarah perang berbasis
kepentingan ekonomi. Perang meliputi perang senjata, perang ekonomi, dan perang
budaya. Perang senjata adalah perangnya antar Negara penjajah dalam
memperebutkan daerah jajahan yang kaya sumberdaya alam. Perang yang demikian
adalah perwujudan dari kerakusan sistem kapitalisme-kolonialisme dalam
akumulasi modal melalui peperangan, akibatnya adalah Negara-negara terjajah bangkit
rasa nasionalismenya melawan penjajah dan melahirkan Negara-negara merdeka,
yang lazim disebut Negara Sedang Berkembang (NSB).[37]
Kapitalisme sebagai suatu sistem dunia bermula pada akhir
abad 15 dan awal abad 16 ketika orang-orang Eropa yang menguasai pengetahuan
pelayaran jarak jauh, menghambur keluar dari sudut kecil dunia mereka dan
mengarungi tujuh lautan, untuk melanklukan, merampas dan berniaga. Sejak itu
kapitalisme terdiri dari dua bagian yang berbeda tajam: di satu pihak ada
sejumlah kecil Negara-negara dominan yang memeras, dan di pihak lain, dengan
jauh lebih besar Negara-negara yang dikuasai dan diperas. Keduanya terjalin
secara tak terpisahkan dan tidak ada kejadian dalam kedua Negara itu yang dapat
dimengerti jika dilihat terpisah dari sistem itu yang menjadi sebuah keharusan.
Penting untuk menekankan bahwa hal itu benar, baik untuk “kapitalisme
modern”, dalam arti sistem kapitalisme masa kini, maupun ketika ia masih
merupakan kapitalisme merkantilis dari masa sebelum revolusi industri.[38]
Seperti sejarah yang mengalir mengikuti perubahan zaman,
pola eksploitasi kapitalisme internasional pun mengalami perubahan wujud
eksploitasinya. Pada awal abad ke-16 di Inggris terjadi revolusi industri yang
memacu laju perkembangan kapitalisme awal. Proses ini didorong lagi oleh
munculnya revolusi Prancis pada tahun 1789, yaitu revolusi yang mengakhiri
hegemoni kaum feodal di Eropa Barat dan mendorong matangnya kekuasan kaum
borjuis. Di tangan para borjuis Eropalah kapitalisme mulai menanamkan kuku eksploitasinya
sampai ujung dunia.[39]
Ketika di Eropa Barat terjadi over-produksi akibat
maraknya industrialisasi, maka yang kemudian harus dilakukan oleh Negara-negara
Eropa adalah ekspansi ke daerah-daerah terbelakang seperti Asia, Afrika,
Pasifik dan Amerika. Maka lahirlah pembagian kekuasaan atas wilayah-wilayah
tersebut untuk memasarkan hasil industri dari Eropa dan juga untuk mengambil
bahan-bahan mentah bagi kepentingan industrialisasi di Eropa. Daerah-daerah ini
adalah daerah-daerah yang ketika itu belum mengalami proses perubahan sejarah
masyarakat seperti Eropa Barat zaman itu. Karena perubahan kepentingan pula,
maka dua Perang Dunia dihasilkan oleh kepentingan kapitalisme internasional,
Perang Dunia Pertama pada tahun 1918-1939 dan kemudian Perang Dunia Kedua pada
tahun 1940-1945 adalah sejarah nyata di mana kapitalisme Vs kapitalisme
berperang untuk menanamkan pengaruhnya terhadap wilayah-wilayah jajahannya.
Jadi perang yang dilakukan antara Blok Sekutu dan Blok Fasis adalah perang
antara dua kapitalis yang ingin melebarkan sayap eksploitasinya terhadap
Negara-negara dunia ketiga.
James Petras mengatakan bahwa globalisasi telah dimulai
pada abad 15, yaitu sejak mulai berkembangnya kapitalisme yang ditandai dengan
ekspansi, penaklukan dan penghisapan Negara-negara di Asia, Afrika, Amerika
Latin dan bahkan Amerika Utara dan Australia oleh kekaisaran global pada waktu
itu, Spanyol dan Portugis. Karena itulah globalisasi selalu diasosiasikan
dengan imperialisme, yaitu hubungan global yang didasarkan pada akumulasi untuk
Eropa, penghisapan dunia ketiga untuk akumulasi dunia pertama.[40] Menururt Pieterse,
globalisasi dimulai sejak 1950-an. Menurut Marx dimulai 1500-an dengan tema
kapitalisme modern. Wallerstein mencatat mulai 1500-an dengan tema sistem dunia
baru. Robertson menilai globalisasi mulai 1870-1920-an dengan tema
multidimensional, Giddens tahun 1800-an dengan tema modernitas, dan Tomilson
tahun 1960-an dengan tema planetarisasi budaya.[41]
Sementara Scholte, menyatakan bahwa globalisasi
berlangsung sejak tahun 1960-an, hal ini telah membantu memperluas jangkauan
dalam tiga komodifikasi dalam tiga wilayah. Pertama, konsumerisme
yang terhubungkan dengan produk-produk global yang diperluas oleh kapitalisme
industri. Kedua, pertumbuhan lembaga-lembaga yang beroperasi
dalam lingkup global (supra territorial) seperti global banking
dan global securities sehingga memperluas jangkauan modal uang. Ketiga,
globalisasi telah mendorong perluasan komodifikasi dalam wilayah baru yang
melibatkan informasi dan komunikasi sebagai akibatnya, item-item software
komputer dan telepon panggil telah menjadi objek akumulasi.[42]
Sebenarnya sejak Bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional (IMF) berdiri pada tahun 1944 serta GATT (sekarang WTO) pada
tahun 1947, praktis dunia sudah memasuki globalisasi ekonomi, karena masalah
pembangunan menjadi tanggung jawab internasional. Bank Dunia mengucurkan dana
pinjaman berbunga rendah bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai Negara
untuk memajukan ekonominya, sedangkan IMF memberikan pinjaman bagi Negara-negara
yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri dan GATT berfungsi
untuk mengatur perdagangan global.[43]
Pada fase pasca PD II, strategi ekonomi politik yang
dilancarkan oleh AS dan para sekutunya adalah strategi Developmentalisme[44] (pembangunanisme),
untuk mengamankan investasi modalnya, kapitalisme internasional memberikan
dukungan bagi orang-orang kuat di sejumlah negara dunia ketiga yang berasal
dari jajaran militernya. Di Amerika Latin kita jumpai sejumlah regime yang
dipimpin oleh militer (otoriter), di Asia Tenggara dan Selatan juga dijumpai
regime otoriter yang kebanyakan dipimpin oleh militer. Militer pada zaman ini
adalah anak emas yang dibesarkan oleh kapitalisme dengan tujuan mengamankan
investasi modal. Pada fase ini (1960-1970-an)[45] dekolonisasi ditawarkan
pada sejumlah Negara-negara jajahan Eropa Barat dan Amerika Serikat di Asia,
Afrika dan Pasifik serta sebagian Negara-negara Amerika Latin.[46]
Setelah perang dingin berakhir, komunis runtuh, Uni
Sovyet pudar dan blok komunisme hancur, secara riil AS menghadapi musuh
barunya: Negara-negara Eropa. Kelompok politik dan ekonomi ini telah menjadi
musuh baru AS, sebab di satu sisi mereka memang mempunyai kemampuan untuk
menyaingi AS dalam perdagangan dunia. Di sisi lain, Negara-negara Eropa itu
telah mulai bergerak untuk menggabungkan Negara-negara Eropa Timur ke dalam Uni
Eropa setelah Negara-negara itu berpindah dari sosialisme ke sistem
kapitalisme.
Pergeseran dan perubahan konstelasi politik internasional
itu telah mendorong AS untuk mengumumkan kelahiran Tata Dunia Baru. Prinsip
utama Tata Dunia Baru di bidang ekonomi, tak lain adalah perdagangan bebas dan
pasar bebas. Prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi
perdagangan dan pendapatan AS. Untuk mewujudkan strategi ekonominya ini, AS
berupaya memperlemah dan memperlambat gerak pasar bersama Eropa dengan
membentuk blok-blok perdagangan baru, menghidupkan kesepakatan-kesepakatan lama
dan mengaktifkan kembali, mendirikan NAFTA yang beranggotakan Canada, AS, dan
Mexiko dan juga, membentuk APEC.
Pada bulan November 1992, atas undangan Presiden Clinton,
telah diadakan pertemuan puncak untuk membentuk organisasi kerjasama ekonomi
bagi Negara-negara Asia Pasifik itu (APEC). Pendirian organisasi ini bertujuan
untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas, membuka pasar-pasar, dan menekan
bea masuk. Pendiriannya tidak dimaksudkan untuk mewujudkan kesatuan ekonomi dan
mata uang sebagaimana pasar bersama Eropa. Pendirian APEC justru untuk tetap
mengamankan pasar Asia Pasifik bagi AS dari persaingannya dengan pasar bersama
Eropa.[47]
AS melihat bahwa Uni Eropa merupakan saingan kuat untuk
menantang dan menyaingi AS di bidang ekonomi. Alasan-alasan AS itu adalah: Pertama,
kesatuan Eropa secara politik dan ekonomi. Kedua, Eropa memiliki
kemampuan bersaing di bidang perdagangan, sebab Eropa mempunyai kemampuan
tinggi dalam produksi barang dan jasa. Ketiga, setelah
berakhirnya perang dingin dan hancurnya Uni Sovyet, lenyaplah momok komunisme
yang sebelumnya digunakan AS untuk mengancam Eropa. Eropa seluruhnya lalu
berkonsentrasi dan bersiap-siap dengan serius untuk terjun ke dalam kancah
ekonomi internasional. Diantara persiapan Eropa nampak dari fakta bahwa seluruh
Eropa yang merupakan Negara-negara industri yang produktif telah menghilangkan
hambatan bea masuk di antara mereka, membuka tapal batas Negara masing-masing
untuk memudahkan pemindahan tenaga kerja, dan berusaha mewujudkan kesatuan mata
uang.[48] Hal ini kemudian
mendorong Eropa untuk memasuki pasar-pasar di Asia dan Afrika, di samping
faktor utama bahwa Eropa memang mempunyai kapabilitas untuk bersaing dalam
pasar bebas. Di samping itu AS terdorong pula untuk memperkokoh pasarnya di
Asia dan Eropa dengan membentuk kelompok-kelompok ekonomi seperti APEC. Dan AS
pun dalam hal ini telah sukses pula menunggangi WTO (World Trade Orgazation)
untuk semakin melicinkan jalannya menguasai ekonomi dunia.
APEC mulai muncul ke permukaan sejak tahun 1989 atas
prakarsa Australia. APEC menghimpun 17 negara yang berasal dari tiga benua; AS,
Canada, Mexiko, Australia, Selandia Baru, RRC, Jepang, Hongkong, Papua Nugini,
Taiwan, Brunei, Malaysia, Indonesia, Singapura, Philipina, Korea Selatan, dan
Thailand. Organisasi ekonomi internasional ini menggabungkan keanggotaan dua
kelompok ekonomi besar, yaitu NAFTA yang beranggotakan Negara-negara Amerika
Utara, dan ASEAN yang beranggotakan Negara-negara Asia Tenggara.
Negara-negara anggota APEC menguasai 40 % dari
keseluruhan volume perdagangan dunia, sekaligus merupakan pasar yang jumlah
konsumennya mencapai lebih dari 1 milyar jiwa. Dari seluruh penjelasan
tersebut, nampak bahwa AS telah berhasil mencapai target-targetnya untuk
merealisasikan prinsip-prinsip yang menjadi landasan ekonominya. AS nampak
terus mengembangkan dan membangunnya hingga stabil dan mantap, bahkan
menjadikan prinsip-prinsipnya itu sebagai realitas global yang tidak bisa
dihindari lagi. Akan tetapi, terwujud dan terbukanya pasar bebas secara
internasional itu, niscaya akan menambah semangat untuk bersaing secara
internasional pula. Di samping itu, produksi melimpah dari banyak Negara dan
blok ekonomi akan terus melestarikan sikap saling bersaing, mendominasi, dan
menguasai, yang didukung oleh kekuatan militer dan perluasan pengaruh untuk
melindungi penimbunan-penimbunan produk yang melimpah.[49]
Dalam analisis Friedman, dunia saat ini adalah dalam era
globalisasi kedua, yang dimulai sejak tahun 1989 setelah AS, Inggris dkk,
memenangkan perang dingin. Jadi setelah era perang dingin itulah tonggak
globalisasi dengan tahapan yang lebih massif. Globalisasi kedua hakikatnya
adalah suatu proses dunia menjadi satu atap di bawah hegemoni dan dominasi
pemenang perang dingin. Negara-negara dunia ketiga atau Negara-negara sedang
berkembang mau tidak mau harus menerima kenyataan yang demikian, yaitu menjadi
bawahan AS dkk. Thomas L Friedman menyatakan bahwa globalisasi diberi makna
modernitas (the lexus) di mana masyarakat harus berpersepsi fungsional
melalui solidaritas organik[50] yaitu menempatkan manusia
(bangsa) sebagai fungsi manusia lain (bangsa lain) untuk mencapai tujuannya.
Lawan dari the lexus (modernisasi) adalah the olive tree yaitu
masyarakat yang berpersepsi mistis, di mana mereka merasa menikmati hidup dalam
kungkungan tradisi. The lexus adalah symbol dari Negara-negara maju
(Canada, AS, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggris) dan the olive tree
adalah symbol dari negara-negara sosialis dan Negara-negara sedang berkembang.
The olive tree harus menyesuaikan diri dengan the lexus, jika
mereka ingin tetap eksis.[51]
Globalisasi kedua ini ditandai oleh lahirnya revolusi
tekhnologi, revolusi telekomunikasi, dan revolusi informasi. Ketiga revolusi
itu mengakibatkan biaya produksi kapitalis rendah dan kapital bisa menjelajah
dunia tanpa kendala sehingga kapital dan komoditi Negara-negara maju (the lexus)
dapat menguasai dunia. Bagi dunia kedua (blok sosialis) dan dunia ketiga harus
menerima kenyataan ini. Anthony Giddens, bahkan mengatakan jika globalisasi
yang ditopang oleh revolusi tekhnologi komunikasi tersebut tidak hanya baru,
melainkan revolusioner.[52]
Akhirnya, globalisasi adalah bentuk baru hegemoni
ekonomi, legitimasi baru terhadap pasar, kompetisi dan profit. Setelah
dekolonisasi dan runtuhnya blok sosialis, globalisasi menjadi bentuk baru
hegemoni atas nama pasar bebas, revolusi informasi, dunia sebagai satu dunia
dan lain sebagainya. Akhir sejarah juga merupakan legitimasi baru kapitalisme
setelah runtuhnya komunisme, seolah-olah sejarah berhenti dan waktunya habis.
Revolusi informasi merupakan dalih baru untuk menyatukan dunia atas nama tekhnologi
komunikasi baru, dunia sebagai satu desa dan hukum pasar.[53]
4.
Faktor
Pendorong Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses yang menempatkan
masyarakat dalam saling keterhubungan dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
dan budaya. Paham yang demikian itu disebut globalisasi atau neo-liberalisme.
Beberapa faktor pendorong globalisasi yaitu: Pertama, kekuatan kaum
kapitalis internasional, yaitu Negara-negara imperialis pusat, Negara menjadi
motor penggerak globalisasi karena ia memiliki kekuasaan dalam mengatur
formulasi strategis globalisasi, alokasi sumber daya ekonomi pada aktor-aktor
global termasuk MNC. MNC yang mampu beroperasi hampir di seluruh dunia, dan
merupakan sumber kekuatan dari globalisasi itu sendiri dikemudian hari yang
pada akhirnya peran MNC dalam dinamika globalisasi ini begitu kuatnya
seolah-olah MNC telah menjadi parasit yang memakan induk semangnya dan menjadi
lebih kuat dan lebih besar. Kekuatannya ini didukung oleh Bretton Woods
Institution, yaitu: Bank Dunia (World Bank, Dana Moneter
Internasional (IMF) dan GATT/WTO kemudian diaplikasikan pada tiga sistem yaitu
liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi. Kedua, perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, khususnya di bidang telekomunikasi. Ketiga,
dukungan pemerintah Negara-negara sedang berkembang (NSB) terhadap ekspansi
kaum kapitalis internasional di Negara mereka.
a) Kekuatan Kaum Kapitalis
Internasional
Sejak lima abad yang lalu
perusahaan-perusahaan di Negara-negara yang perekonomiannya telah maju, telah
meluaskan jangkauannya melalui aktivitas produksi dan perdagangan, yang semakin
intensif di masa penjajahan ke berbagai belahan dunia. Namun, sejak dua atau
tiga dekade yang lalu, globalisasi ekonomi telah semakin mempercepat perluasan
jangkauan tersebut sebagai akibat dari berbagai faktor, seperti perkembangan
tekhnologi dan terutama kebijakan-kebijakan liberalisasi yang telah menjalar ke
seluruh dunia.
Liberalisasi perdagangan
berarti menghilangkan segala peraturan yang bersifat melindungi industri dan
pasar domestik. Menurut logika neo-liberal, ekonomi Negara akan berkembang bila
ada kebebasan pasar. Liberalisasi ini juga berarti penghapusan beban-beban yang
harus ditanggung oleh swasta. Liberalisasi berarti kebebasan yang
seluas-luasnya bagi kapitalis untuk mengeruk keuntungan.[54] Aspek-aspek terpenting
yang tercakup dalam proses globalisasi ekonomi adalah runtuhnya
hambatan-hambatan ekonomi nasional, meluasnya aktivitas-aktivitas produksi,
keuangan dan perdagangan secara internasional serta semakin berkembangnya
kekuasaan perusahaan-perusahaan transnasional dan institusi-institusi Moneter
Internasional. Walaupun globalisasi ekonomi merupakan proses yang terjadinya
tidak secara merata, dengan peningkatan perdagangan dan investasi hanya
terfokus di segelintir Negara saja, namun hampir semua Negara di dunia sangat
dipengaruhi oleh proses tersebut. Sebagai contoh, sebuah Negara berpendapatan
rendah yang pangsa perdagangannya sangat kecil dalam perdagangan dunia, namun
perubahan permintaan atau harga komoditas-komoditas ekspornya atau kebijakan
untuk secara cepat menurunkan bea-bea impornya dapat secara sosial dan ekonomi
berpengaruh besar pada Negara tersebut. Negara tersebut mungkin hanya memiliki
peran yang kecil dalam perdagangan dunia, namun perdagangan dunia memiliki pengaruh
yang sangat besar atas Negara tersebut, yang mungkin saja pengaruhnya jauh
lebih luas dibandingkan dengan pengaruhnya atas perekonomian-perekonomian yang
telah maju.[55]
Liberalisasi eksternal
dari perekonomian nasional mencakup penghapusan hambatan-hambatan nasional atas
aktivitas ekonomi, meningkatkan keterbuakaan dan integrasi dari Negara-negara
ke dalam pasar dunia. Di kebanyakan Negara, hambatan-hambatan nasional dalam
bidang moneter dan pasar uang, perdagangan dan investasi asing langsung secara
umumnya telah dihapus. Liberalisasi moneter adalah persoalan yang paling
mendapat perhatian. Selama ini telah terjadi liberalisasi yang ekstensif dan
progresif atas berbagai kontrol terhadap aliran dan pasar uang. Gugurnya sistem
Bretton Woods pada tahun 1972-1973, telah membuka peluang perdagangan valuta
asing, dan kegiatan tersebut telah berkembang secara spektakuler. Volume yang
diperdagangkan di pasar valuta asing dunia meningkat dari $ 5 milyar per hari
di tahun 1973 menjadi melebihi $ 900 milyar di tahun 1992, dan saat ini bahkan
telah melampaui $ 1000 milyar. Banyak dari transaksi tersebut merupakan
transaksi spekulatif, dan diperkirakan hanya sebagian kecil (kurang dari 2 %)
dari total valuta asing yang diperdagangkan digunakan sebagai pembayaran perdagangan.
Sehubungan dengan saling terkaitnya antara pasar uang, sistem moneter dan
aliran uang yang sangat besar, secara umum terdapat keprihatinan yang semakin
meningkat mengenai kerentanan dan ketidakstabilan maupun resiko dari melemahnya
bagian-bagian atau keseluruhan sistem yang ada, pada suatu saat kesalahan
terjadi dan berkembang di satu bagian dunia atau suatu bagian sistem, dan
dampaknya dapat tersebar luas.
Nilai tukar mata uang
telah menciptakan ketidakstabilan nilai tukar yang sangat tajam yang berbalik
mendorong terciptanya sebuah masa yang sangat besar pada dunia uang. Uang
tesebut tidak memiliki eksistensi di luar ekonomi global dan itu adalah
pasar-pasar uang utama. Hal itu belum pernah ada sebelumnya dalam praktek
ekonomi tradisional mengenai definisi uang, apakah itu standar ukurannya,
muatan nilainya, atau media pertukarannya. Benar-benar baru, tidak dikenal. Hal
tersebut tampak maya (virtual) dibanding dengan hal yang nyata (real).
Tetapi kekuatannya begitu nyata. Volume peredaran uang dunia begitu besar
pergerakannya yang masuk maupun yang keluar, mata uang memiliki dampak yang
besar dan jauh dibandingkan arus keuangan di sektor perdagangan, atau
investasi. Dalam satu hari uang maya (virtual money) yang diperdagangkan
senilai dengan seluruh uang yang dibutuhkan dalam transaksi keuangan sektor
perdagangan dan investasi selama satu tahun penuh. Virtual money
ini memiliki daya gerak yang sangat tinggi karena tidak terkait dengan
fungsi-fungsi ekonomi yang sudah ada. Masalah tersebut dimungkinkan karena hal
tersebut tidak memiliki kaitannya dengan fungsi ekonomi maupun fungsi keuangan
sama sekali, uang ini bahkan tidak mengikuti logika ekonomi maupun hal-hal yang
rasional. Hal itu begitu rentan dan mudah panik oleh isu-isu dan rumor atau
sesuatu peristiwa yang tidak diperkiraan. Satu contoh adalah ketika dollar
Amerika diburu pada musim gugur 1995 yang membuat tekanan terhadap Presiden
Clinton mengabaikan rencana dia tentang rencana pengeluaran dan neraca belanja
seimbang. Kekacauan dimulai oleh kegagalan para politikus Partai Republik di
senat untuk meloloskan amandemen konstitusi mengenai neraca belanja. Meskipun
amandemen tersebut lolos hal itu tidak akan berarti apa-apa. Hal tersebut akan
sulit karena harus melalui upaya ratifikasi di 38 negara bagian untuk dibuat
menjadi peraturan yang biasanya akan memakan waktu selama satu tahun. Tentu
saja hal itu membuat para pedagang mata uang menjadi panik dan mulailah
kekacauan dollar Amerika. Virtual money selalu muncul sebagai
pemenangnya, ini membuktikan bahwa ekonomi global telah menunjukkan
kemampuannya menjadi penengah yang baik disektor keuangan dan kebijakan dalam
sektor fiskal. Kekacauan mata uang, bagaimanapun juga bukan hal yang baik bagi
ketidakstabilan fiskal suatu Negara. Kasus di Mexico sesuatu yang mengerikan
telah terjadi yang konon lebih parah dari epidemik penyakit. Pada tahun 1995
kekacauan yang menimpa Peso menghempaskan perjuangan ekonomi selama enam tahun
yang berhasil mengangkat Mexico dari Negara miskin menjadi Negara yang makmur.
Sejauh ini belum ada yang dapat mengontrol ketidakstabilan fiskal.[56]
Satu-satunya sistem yang
dapat bekerja ialah kebijakan fiskal dan keuangan satu Negara yang terbebas
dari hutang jengka pendek. Mudah berubahnya uang yang mampu menutupi defisit.
Jelas ini sepertinya membutuhkan suatu neraca seimbang atau sesuatu yang lebih
cenderung ke bentuk keseimbangan, selama tiga atau lima tahun periode berjalan.
Dan hal ini lalu menempatkan keterbatasan kepada otonomi kebijakan keuangan dan
fiskal nation-state yang pada tahun 1973 nilai tukar mengambang telah
terlepas sepanjang masa. Proses perbaikan di tingkat non nasional dan
supranasional sedang berjalan. Bahwa keputusan ekonomi yang mendasar diputuskan
oleh pengaruh ekonomi global daripada pengaruh yang terjadi di dalam negeri nation-state.
Bentuk tidak mengekangnya keuangan dan kedaulatan kebijakan keuangan yang
diberikan nation-state dalam nilai tukar mengambang 25 tahun yang lalu
sama sekali tidak baik lagi bagi pemerintah. Terjadi pemindahan pengaruh,
pengambil keputusan bukan lagi pemerintah tetapi malah para kelompok yang lebih
khusus. Sehingga pemerintah kehilangan kewibawaannya dan hal itu tentu saja
mengganggu jalannya kebijakan-kebijakan yang lain. Dan itu hampir terjadi di
setiap Negara di dunia. Ada fenomena menarik, yaitu ketika nation-state
kehilangan kedaulatan atas sistem keuangan dan fiskal malah terjadi penguatan.[57]
Keprihatinan-keprihatinan
terhadap kemungkinan krisis moneter global diperkuat oleh krisis keuangan di
Asia Timur, yang dimulai pada paruh kedua tahun 1997 dan menjalar hingga Rusia,
Brasil dan Negara-negara lain, menyebabkan kekacauan moneter dan resesi ekonomi
terburuk dalam periode pasca Perang Dunia II.
Liberalisasi perdagangan
juga meningkat secara gradual, namun tidak seperti yang terjadi pada
liberalisasi moneter. Peran perdagangan yang meningkat dibarengi dengan
pengurangan tarif secara umum, baik di Negara-negara maju maupun di NSB (Negara
sedang berkembang), sebagian sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan otonom dan
sebagian lagi sebagai akibat dari babak-babak putaran perdagangan multilateral
di bawah GTT (General Agreement on Tariff and Trade). Namun demikian,
tarif-tarif yang tinggi tetap masih muncul di Negara-negara maju, dalam
sektor-sektor seperti pertanian, tekstil dan produk-produk manufaktur tertentu,
yang merupakan sektor dimana (NSB) memiliki keunggulan komparatif. Lebih jauh
lagi, terdapat peningkatan penggunaan hambatan non tarif yang mempengaruhi
akses dari NSB ke pasar Negara-negara maju.[58]
Juga telah terjadi
pertumbuhan yang mantap dalam liberalisasi investasi asing langsung (FDI),
meski pada skala yang lebih kecil dari aliran moneter internasional. Kebanyakan
FDI dan peningkatannya merupakan akibat dari aliran-aliran dana invstasi
langsung di antara Negara-negara maju. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990-an,
aliran FDI ke NSB telah meningkat secara relatif, dari rata-rata 17 % pada
tahun 1981-1990 menjadi 32 % pada tahun 1991-1995. Hat tersebut sejalan dengan
liberalisasi kebijakan-kebijakan investasi asing di kebanyakan NSB dalam waktu
belakangan ini. Namun, banyak dari FDI tersebut memusat hanya di beberapa NSB.
Secara khusus, Negara-negara terbelakang (Least Developed Countries)
menerima bagian yang sangat kecil dari aliran-aliran FDI tersebut, meskipun
mereka telah meliberalisasi kebijakan-kebijakannya. Dengan demikian, FDI bukan
merupakan suatu sumber keuangan eksternal yang signifikan kebanyakan NSB, yang
benar, kemungkinan masih tetap berlangsung dalam beberapa tahun mendatang.
Ciri utama dari
globalisasi adalah peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumberdaya dan
kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maupun oleh
perusahaan-perusahaan keuangan dan dana global. Proses ini sering diistilahkan
sebagai transnasionalisasi, di mana semakin sedikit perusahaan transnasional
yang mampu meraih pangsa besar atau peningkatan proporsi secara cepat dari
pembagian sumberdaya ekonomi, produksi dan pangsa pasar. Jika dulu perusahaan
multinasional mendominasi pasar dari sebuah produk tunggal, saat ini perusahaan
transnasional yang besar secara khusus memproduksi dan menjual berbagai produk,
pelayanan di bidang-bidang yang kian beragam. Melalui marger dan akuisisi,
makin sedikit perusahaan transnasional yang saat ini mampu menguasai pangsa
pasar global yang lebih besar, baik dalam komoditas, barang-barang manufaktur
ataupun jasa.
b) Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Tekhnologi
Pada permulaan abad 21
ini, trend global semakin variatif. Barang, uang, manusia, tekhnologi, dan
informasi dalam era globalisasi telah menyebar secara luas melewati batas
Negara (nation state cross border), yang berimplikasi terhadap semakin
saling terhubungnya setiap dinamika perubahan global saat ini, dan mengikat
semakin kuat membentuk suatu komunitas tunggal yang terintegrasi dan dalam hal
ekonomi telah menjadi semacam pasar tunggal. Hal ini telah menjadikan dunia
sebuah global village. Kehadiran tekhnologi komputer yang merupakan
terobosan baru sebagai infrastruktur global, bahkan sampai saat ini komputer
telah menyandang sebagai simbol kedua dari globalisasi. Tidak ada satu arenapun
(ekonomi, politik, sosial dan budaya) di dunia ini yang kebal dari tekhnologi
komputer.[59] Pada saat ini lebih dari
400 juta komputer digunakan di dunia,[60] dan pertumbuhan
penggunaan komputer saat ini menembus angka 18 sampai 20 juta pertahun. Salah
satu penyebab utama dari pertumbuhan itu adalah tekhnologi mikroarsitektur yang
memungkinkan komputer dapat dibuat dengan ukuran mini yang praktis.
Perusahaan multinasional
(MNC) merupakan salah satu topik yang menarik dalam wacana kompetisi global.
Karakteristik utama dari sebuah MNC adalah pengelolaan jaringan bisnis yang
rumit dan mempunyai skala global oleh perusahaan induk, agar perusahaan cabang
dapat melakukan proses-proses produksi dan juga pemasaran sehingga tercapai
suatu bisnis secara global.[61] MNC sebagai salah satu
pemain terbesar dalam kompetisi global tumbuh dengan cepat setelah era Perang
Dunia II, kunci keberhasilan itu adalah temuan berbagai inovasi tekhnologi yang
selalu direspon dengan positif oleh mereka.[62] Tekhnologi informasi
sebagai perkembangan terbaru dalam dunia tekhnologi juga mendapatkan tempat
yang strategis dalam dunia bisnis berskala global, seperti yang dilakukan oleh Microsoft
Corporation. Dengan adanya tekhnologi komunikasi yang memungkinkan
terjadinya globalisasi komunikasi, telah menyebabkan berakhirnya dominasi
Negara-negara dalam melakukan monopoli dalam dunia telekomunikasi,[63] dengan adanya internet
perusahaan dapat menyelenggarakan sistem informasi mereka sendiri secara lebih
efisien tanpa campur tangan yang berarti dari Negara. Pemotongan birokrasi
dalam proses-proses perdagangan antar Negara yang dapat dilakukan oleh
tekhnologi ini akan berimplikasi terhadap efisiensi yang cukup tinggi.
Sistem syaraf digital yang
merupakan suatu upaya eksplorasi tekhnologi informasi yang dibangun Microsoft
layak disebut sebagai salah satu infrastruktur terjadinya globalisasi, karena
sistem tersebut dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan hubungan
komunikasi secara global dengan sistem yang tunggal yang melewati batas-batas
Negara tanpa campur tangan yang berarti dari Negara yang bersangkutan. Di masa
datang jika sistem syaraf digital dapat di bangun dengan sempurna, maka akan
terciptalah pola hubungan yang sangat komplek antar manusia di bumi di mana
kegiatan sekelompok orang, individu maupun sebuah institusi di tempat lain
dapat dipantau dengan kecepatan tekhnologi informasi tersebut. Di sinilah
kemudian akan terjadi apa yang disebut complex interdependence, di mana
jika sudah mencapai tahap interlocking, kehidupan manusia di bumi harus
senantiasa selaras dengan meminimalisasi konflik, sebab jika pada tahap ini
terjadi sebuah konflik yang besar akan memicu sebuah efek yang destruktif.
Era digital atau sering
disebut dengan abad informasi yang ditandai dengan kehadiran tekhnologi
internet, telah merubah segalanya, dan salah satu perubahan itu terjadi pada
dunia bisnis. Terobosan-terobosan yang dapat dilakukan oleh tekhnologi
informasi telah terbukti mampu meningkatkan kinerja sebuah perusahaan.
Tekhnologi ini kemudian dijadikan sebagai salah satu infrastruktur utama di
sebuah perusahaan ataupun pemerintahan suatu Negara dalam rangka menyusun
strategi kompetisi global. Tekhnologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat
pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
seluruh proses globalisasi ini.
Mulai dari wahana TI yang
paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan
telepon genggam dengan protocol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir
dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang. Perubahan
informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam,
melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham
sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang
dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar
yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah
dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka.
Hal ini akhirnya menuju
pada sebuah Global Brain yang memungkinkan akselerasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi di dunia. Dunia penelitian, bisnis, industri
dimungkinkan untuk menggunakan suberdaya manusia maupun fasilitas lainnya tanpa
terikat pada dimensi-dimensi ruang dan batas-batas Negara.[64]
Sebuah Negara, perusahaan,
ataupun organisasi untuk memikirkan sebuah alternatif dalam tingkat persaingan
yang tinggi yaitu mengembangkan sistem informasi dan menggunakan tekhnologi
informasi semaksimal mungkin sebagai alat untuk melakukan persaingan dengan
yang lainnya. Karena di era global ini setiap informasi yang didapat tidaklah
dapat dilepaskan dari rantai tekhnologi, informasi adalah hasil pengolahan data
mentah, sedangkan tekhnologi informasi merupakan tulang punggung pengolahan dan
penyimpanan informasi tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Hanya pihak yang menguasai
tekhnologi informasilah yang dapat eksis dalam era revolusi global saat ini.
Joseph S. Nye menjelaskan bahwa globalisasi bukan menyengsarakan masyarakat
miskin, tetapi justru menguntungkan. Dengan adanya perkembangan tekhnologi
informasi dan modal internasional, manusia bisa mendapatkan keuntungan besar.
Argumen ini dikuatkan oleh beberapa hasil penelitian di beberapa Negara berkembang,
misalnya perbandingan antara Korea Selatan dan Ghana, pada tahun 1960-an kedua
Negara tersebut mempunyai pendapatan perkapita yang sama, tetapi sekarang Korea
Selatan lebih mampu memanfaatkan globalisasi, sehingga lebih kaya 30 kali lipat
disbanding Ghana, dan dapat menghilangkan ketimpangan tingkat kesejahteraannya,
dapat mengirit ongkos dan mempermudah informasi dengan Negara-negara industri
yang telah lama maju.[65] Meskipun globalisasi
berhasil mengembangkan berbagai tekhnologi dan komunikasi yang memudahkan atau
dapat memecahkan persoalan-persoalan, tak urung pula secara faktual
keberhasilan tersebut makin mempertajam kemiskinan, baik ditingkat nasional
maupun hubungan antar Negara.
c) Dukungan Pemerintah
Negara-negara Sedang Berkembang
Pelaku utama dari
globalisasi adalah Negara imperialis yang berkuasa[66] artinya Negara yang
mempunyai prinsip ekonomi world competitive dan mereka tidak mempunyai
kerugian apa-apa karena semua biaya yang dikeluarkan berasal dari pembukaan
pasar (open market). Kelompok ini hendak memperjuangkan globalisasi yang
bebas (unrestricted globalization), mereka cenderung untuk membuka
perekonomian mereka dan sebagai gantinya mereka juga menuntut Negara lain agar
membuka perekonomiannya. Kelompok kedua yang pro globalisasi adalah
Negara-negara pelayan (clients) dari kelompok pertama. Kelompok kedua
(NSB) ini mengkhususkan dirinya pada ekspor barang-barang agromineral,
kelautan, dan kehutanan yang semua itu mendukung produk dan memberi keuntungan
bagi kelompok pertama.[67]
Negara imperialis juga
memainkan peran penting dalam membuka pintu perekonomian dunia dengan
menciptakan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF dan
GATT/WTO. Lembaga-lembaga ini dikontrol oleh orang-orang yang ditunjuk oleh
Negara imperialis di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa.
Fungsi mereka adalah menggantikan peran pasar domestik dan produsen lokal serta
menghancurkan lembaga sosial setempat dengan tujuan memfasilitasi masuknya MNC
dan terjaminnya ekspor barang-barang kebutuhan Negara dunia pertama. Negara
imperialis memainkan peran penting dalam pembangunan kembali ekonomi
perusahaan-perusahaan raksasa, mereka memberikan bantuan militer dan
perlindungan politik bagi perluasan MNC, sementara MNC tersebut membiayai
lembaga keuangan internasional yang bertugas untuk membuka pasar baru dan
tempat investasi yang baru. Di bawah bayang-bayang modal multinasional
korporasi, Negara imperialis juga ikut mensubsidi dan membiayai ekspansi modal,
sementara di sisi lain penghisapan terhadap pasar domestik terus dilakukan
untuk membiayai ekspansi tersebut.[68]
Kebijakan domestik maupun
internasional pemerintah Negara-negara berkembang itu ditransformasikan melalui
introduksi dan adopsi semacam reformasi liberalisasi ekonomi yang diniatkan
untuk menata kembali peran dan keterlibatan Negara dalam ekonomi.[69] Reformasi ini didukung
dengan berbagai derajat antusiasme yang berlainan di berbagai Negara
berkembang, tapi jelas efeknya mengarah pada sebuah reduksi internasional
terhadap intervensi pemerintah dalam perekonomian, mengarah pada meningkatnya
kepercayaan atas mekanisme pasar dan kebebasan yang lebih besar bagi sektor
swasta, yaitu makin banyak dianutnya marketisasi dan privatisasi. Bahkan di
Negara seperti India, Brasil, dan Nigeria di mana nasionalisme ekonomi mengakar
secara historis, investor asing tidak hanya disambut dengan penghapusan
pembatasan penanaman modal asing, melainkan juga dengan tawaran insentif bagi
investasi baru.[70]
Sementara itu di Dunia
Ketiga, peran Negara tidak bisa dihilangkan. Ada relasi yang dialektis antara
peran Negara di pasar domestik dan proses globalisasi. Dengan kebijakan upah
rendah, pengurangan subsidi, dan pemupukan modal swasta, Negara Dunia Ketiga
mengonsentrasikan pendapatannya untuk ekspansi ke luar (globalisasi ataupun capital
relocation). Proses ini sudah terlihat jelas dalam program yang dikenal
dengan istilah Struktural Adjustment Programs (SAPs) atau program
pengetatan ekonomi. Program ini dirancang oleh Bank Dunia dan IMF yang bekerja
sama dengan elite Negara Dunia Ketiga, tujuannya adalah meningkatkan arus
keluar modal dan kesediaan pasar nasional untuk melakukan swastanisasi bagi
kepentingan MNC.[71] Berikut adalah contoh
beberapa persyaratan SAP:[72]
1.
Penghapusan tarif-tarif yang membantu
industri-industri kecil lokal agar tetap mampu bertahan hidup berhadapan dengan
perusahaan-perusahaan besar global. Padahal, tarif-tarif tersebut sesungguhnya memberi
ruang bernafas bagi Negara-negara miskin untuk berkembang secara internal dalam
menghadapi pesaing-pesaing yang lebih besar dan lebih kaya.
2.
Penghapusan berbagai peraturan dalam negeri yang
mungkin dapat menghambat atau terlalu banyak mengatur masuknya investasi luar
negeri. Dengan demikian ini memungkinkan para pemodal dan
korporasi global untuk secara bebas masuk dan dengan mudah menguasai
bisnis-bisnis di tingkat lokal, bahkan tak jarang di seluruh lini perekonomian.
3.
Penghapusan kontrol harga (bahkan berkenaan dengan
kebutuhan pokok seperti pengadaan air sekalipun) dan secara tidak adil
mewajibkan pemberlakuan terhadap kontrol atas upah. Alhasil, sudah dapat
dipastikan para pekerja yang upahnya sudah teramat kecil, menjadi semakin
kecil kemampuannya untuk bertahan hidup.
4.
Pengurangan secara drastis berbagai pelayanan
sosial dan badan-badan yang menjalankannya, seperti pelayanan
kesehatan, perawatan medis, pendidikan, bantuan pangan, bantuan usaha kecil,
angkutan, sanitasi, air dll. Kerap kali berbagai pelayanan tersebut
diprivatisasi sehingga bantuan yang sebelumnya diterima Cuma-Cuma oleh rakyat,
kini memerlukan biaya yang ujung-ujungnya harus dibayarkan kepada korporasi
global. Akibatnya, begitu banyak orang tidak mampu membayarnya, sehingga secara
otomatis mereka tersingkir keluar dari sistem.
5.
Penghancuran secara agresif atas program-program
rakyat, yang menjadi sarana bagi bangsa-bangsa untuk bisa
mencapai kemandirian dalam hal kebutuhan pokok. Tentu saja, korporasi-korporasi
global tidak bisa mendapatkan keuntungan jika bangsa-bangsa mampu memecahkan
persoalan dalam negeri mereka sendiri, keuntungan korporasi global itu sendiri
berasal dari pengembangan proses-proses penciptaan nilai tambah, khususnya
melalui perdagangan global.
6.
Perubahan yang dilaksanakan secara cepat atas
perekonomian dalam negeri untuk menekankan produksi ekspor, yang biasanya dikelola tanpa
ketatalaksanaan langsung dari investor asing dan korporasi global. Produksi
yang terdiversifikasi secara lokal dan berskala kecil, seperti dalam bidang
industri atau pertanian, akan digantikan dengan produksi berorientasi ekspor
uang terspesialisasi dalam skala besar. Dalam hal ini, teori yang berlaku
adalah ketika Negara-negara memusatkan produksi mereka pada sejumlah kecil
produk ekspor, maka mereka akan mendapatkan cadangan devisa (foreign
exchange) dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dengan demikian mereka akan
mampu membeli barang-barang kebutuhan mereka di pasar-pasar asing.
5.
Globalisasi
dan Krisis Masyarakat Kapitalisme
Dampak perkembangan konstelasi politik-ekonomi
internasional adalah efek globalisasi yang telah masuk ke segala sendi
kehidupan manusia di dunia internasional. Dampak dari perkembangan ilmu
pengetahuan telah timbul berbagai masalah. Ternyata perkembangan ilmu
pengetahuan tidak mampu mengatasi, jurang yang besar antara Negara kaya dan
miskin, masyarakat marginal, kelaparan, kemiskinan internasional, dan masalah
perkembangan indigeneous technology di dunia ketiga.[73] Jelaslah bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan, dinamik yang menguasai jurusan-jurusan
pertumbuhannya serta pilihan-pilihan masalahnya seperti juga tekhnologi, tidak
berdiri sendiri, merupakan bagian dari sistem sosial, lengkap dengan
tujuan-tujuan, kepentingan, prioritas, serta sistem nilainya.[74] Oleh karena itu pilihan
tekhnologi tidak boleh diambil hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
mengenai implikasi sosialnya.[75]
Dalam hal ini ilmu pengetahuan dalam bidang tekhnologi
informasi memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan globalisasi
dan pada akhirnya menimbulkan krisis di masyarakat kapitalisme. Untuk
memberikan gambaran lebih jelas tentang masyarakat kapitalisme, penulis
paparkan lebih mendetail perihal relasi Negara, globalisasi dan logika
neo-liberalisme. Karena paham tersebut merupakan sebuah ideologi sebagai dampak
dari krisis kapitalisme. Dan tentunya seluruh sistem sosial.
Globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor
globalisasi yakni perusahaan-perusahaan transnasional (TNC, Trans-National
Corporations) dan Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat di World Trade
Organization (WTO, Organisasi Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu
ideologi yang dikenal dengan sebutan “neo-liberlisme”. Neo-liberalisme pada
dasarnya tidak ada bedanya dengan liberalisme. Para penganut neo-liberlisme
percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah hasil normal “kompetisi bebas”. Mereka
percaya bahwa ‘pasar bebas” itu efisien, dan cara yang tepat untuk
mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Harga barang dan jasa menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau
masih banyak. Kalau harga murah, berarti persediaan memadai. Harga mahal
artinya produksinya mulai langka. Harga tinggi maka orang akan menanam modal ke
sana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. Itulah
alasan mengapa neo-liberalisme tidak ingin pemerintah ikut campur tangan dalam
ekonomi. “Serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar”, demikian keyakinan
mereka. Keputusan individual atas interes pribadi diharapkan mendapat bimbingan
dari invisible hand (tangan yang tidak tampak), sehingga masyarakat akan
mendapat berkah dari ribuan keputusan individual tersebut. Kekayaan yang
dikuasai oleh segelintir orang tersebut pada akhirnya akan trickle down
(menetes ke bawah) kepada anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit
orang tersebut perlu difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlu jangan dipajaki.
Krisis berkepanjangan yang menimpa kapitalisme awal abad
19, yang berdampak depresi ekonomi 1930-an berakibat tenggelamnya paham
liberalisme. Pendulum beralih memperbesar pemerintah sejak Roosevelt dengan “New
Deal” tahun 1935. Tetapi dalam perjalanan kapitalisme, di akhir abad 20
pertumbuhan dan akumulasi kapital menjadi lambat. Kapitalisme memerlukan
strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi
yang ditempuh adalah menyingkirkan segenap rintangan investasi dan pasar bebas,
dengan memberlakukan perlindungan hak milik intelektual, good governance
(pemerintahan yang baik), penghapusan subsidi dan program proteksi rakyat,
deregulasi, penguatan civil society, program anti-korupsi, dan lain
sebagainya. Untuk itu diperlukan suatu tatanan perdagangan global, dan sejak
itulah gagasan globalisasi dimunculkan. Dengan demikian globalisasi pada
dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali paham liberalisme, suatu paham yang
dikenal sebagai neo-liberalisme. Neo-liberalisme sesungguhnya ditandai dengan
kebijakan pasar bebas, yang mendorong perusahaan swasta dan pilihan konsumen,
penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta
menyingkirkan birokrat dan “parasit” pemerintah, yang tidak akan pernah mampu
meskipun dikembangkan. Aturan dasar kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan
perdagangan dan keuangan”, “Biarkan pasar menentukan harga”, “Akhiri inflasi,
Stabilisasi ekonomi-makro, dan privatisasi”, “Pemerintah harus menyingkir dari
menghalangi jalan”. Paham inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “consensus”
yang dipaksakan yang dikenal dengan “Globalisasi”, sehingga terciptalah suatu
tata dunia. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The
Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para pembela ekonomi
swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan
menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi
informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.
Pokok-pokok pendirian neo-liberal meliputi, pertama,
bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan
pemerintah dari campur tangan di bidang perburuhan, investasi, harga serta
biarkan perusahaan itu mangatur diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan
kawasan pertumbuhan. Kedua, hentikan subsidi Negara kepada rakyat karena
bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Negara harus melakukan
swastanisasi semua perusahaan Negara, karena perusahaan Negara dibuat untuk
melaksanakan subsidi Negara pada rakyat. Ini juga menghambat persaingan bebas. Ketiga,
hapuskan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang
masih banyak dianut oleh masyarakat “tradisional” karena menghalangi
pertumbuhan. Serahkan manajemen sumberdaya alam kepada ahlinya, bukan kepada
masyarakat “tradisional” (sebutan bagi masyarakat adaptif) yang tidak mampu
mengelola sumberdaya alam secara efisien dan efektif.[]
Referensi
Primer:
Adelman dan C.
Morris, Economics Growth and Social Equaity in Developing Countries,
Standford, Standford University Press, 1973.
Anthony Giddens, Runway
World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003.
Adam Smith, The
Wealth of Nations, New York: The Modern Library, 1973.
Daniel Bell,The
Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976.
Francis Fukuyama, The
End of History and Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992.
Fredric Jameson, Postmodernism
or The Cultural of The Late Capitalism, London, Verso, 1990.
Heru Nugroho, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan,
Magelang, Indonesiatera, 2004.
Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Pendekatan
Baru dalam Melihat HAM, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2003.
Jerry Mander, Debi Barker & David Korten,
Globalisasi Membantu Kaum Miskin, dalam Globalisasi Kemiskinan &
Ketimpangan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003.
Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi,
Jakarta: LP3ES, Tahun 1990.
Martin Khoor, Globalisasi Perangkap Negara-negara
Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2000.
Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar & Pustaka Averroes, 2000.
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Menakutkan
Mesin-mesin Kekarasan dalam Jagat Raya Chaos, Mizan, Bandung, 2001.[]
[1] Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim (Yogyakarta:
Salahuddin Press, 1982) hlm. 7.
[2] Ibid., hlm. 145.
[3] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah,
Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007) hlm. 238.
[4] Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1981) hlm. 187.
[5] Sukarna, Suatu Studi Ilmu Politik Ideologi (Bandung:
Alumni, 1981) hlm. 113.
[6] Jorge Lorrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996)
hlm. 10.
[7] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
(Yogyakarta: Kanisius, 1991) hlm. 230.
[8] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 83.
[9] Anthony Downs dalam buku An Economic System of Democracy (New
York: Harper & Row, 1957) hlm. 96. mendefinisikan ideologi sebagai “a
verbal image of the good society, and of the chief means of constructing such a
society.” Menurut Austin Ranney, setiap ideologi adalah seperangkat ide
yang saling bertautan secara logis dan memiliki titik beda dengan ideologi
lain. Gagasan yang terangkum dalam sebuah ideologi mencakup nilai-nilai (values),
visi kemasyarakatan yang ideal (vision of the ideal polity), konsep
asal-usul manusia (conception of human nature), strategi tindakan (strategies
of actions), dan siasat politik (political taktics); lihat Austin
Ranney, Governig; An Introduction to Political Science (7th
Edition; London: Prentice Hall International, Inc., 1996) hlm. 71-73.
Sementara dalam bahasa yang agak lebih sederhana, pranarka menjelaskan ideologi
yang menurut hakikat dan sifatnya adalah sebuah pegangan untuk perjuangan;
lihat A.M.W. Pranarka, “Pasal 33 UUD 1945: Wawasan Dasar dan Konstruksi
Operasionalnya, Suatu Tinjauan Ideologis,”dalam Analisa CSIS, Tahun
IV, No. 12, Desember 1986, Penjelasan tentang ideologi-ideologi dunia yang
cukup komprehensif; lihat William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-isme
Dewasa ini, terj. Alex Jemadu (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994). Lihat
catatan kaki dalam A. Effendi Khoirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme
Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003) hlm. 22.
[10] Firdaus Syam, op. cit., hlm. 240-241.
[11] Ibid., hlm. 241.
[12] Ali Syariati, op. cit., hlm. 148.
[13] Firdaus Syam, op. cit., hlm. 242.
[14] Ali Syariati, op. cit., hlm. 148.
[15] Sekulerisme-Moderat melihat agama sebagai urusan pribadi
yang berkaitan dengan masalah-masalah ruhani manusia, dan karena itu tidak
boleh mencampuri urusan publik yang berkaitan dengan politik serta menyangkut dunia
materi. Dalam Amien Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Bandung:
Mizan, 1999) hlm. 124.
[16] Sekularisme-Radikal melihat agama sebagai musuh, karena
dianggap sebagai perintang kemajuan. Ibid.
[17] Firdaus Syam, op. cit., hlm. 242-244.
[18] Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 232.
[19] Premis ini di kemukakan Adam Smith
dalam The Wealth of Nations pendahuluan dan catatan pinggir oleh Edwin
Cannan, New York: The Modern Library, 1973, hlm. 14, 423.
[20] L. J.
Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat tentang Ekonomi, Bandung: N.V.
Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage, 1995, hlm. 42-43. Edisi Indonesia
dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku aslinya yang berjudul Geschiedenis
Van Het Economisch Denken.
[21] Sjahrir, Formasi
Mikro-Makro ekonomi Indonesia, Jakarta, UI Press, 1995, hlm. 113-114.
[22] Max Weber, The Protestant ethic of
Spirit Capitalism, New York, Scribner, 1958, Edisi Inggrisnya dikerjakan
oleh Talcot Parson dengan Pengantar RH Tawney.
[23] Pada tahun
1887, muncullah Das Capital-nya Marx yang amat termashur itu. Marx
mengatakan bahwa kapitalisme itu mempunyai ciri mutlak, yakni borjuis dan
eksploitasi. Oleh karenanya, begitu Marx, dengan revolusi kekerasanlah
pemerintah sosialis harus didirikan. Demi terjaminnya stabilitas sistem ini,
maka ia harus dijaga oleh sistem kepemimpinan yang diktator proletariat.
[24] Lihat Jorge Larrain, The Concept of
Ideology, Forteword by Tom Bottomore, First Published, Australia:
Hotchinson Publishing Group, 1979, versi Indonesia oleh Ngatawi al Zastrouw
(editor) dan Ryadi Gunawan (penerjemah), Yogyakarta: LKPSM, 1997, hlm. 55.
[25] Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm.391.
[26] Sudono
Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses, Makalah dan Dasar Kebijaksanaan,
Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1985, hlm. 10.
[27] Penjelasan
ini sekaligus mengawali kajian tentang Kapitalisme fase lanjut atau kapitalisme
mutakhir seperti yang diratapi oleh Daniel Bell. Beberapa kajian dalam poin ini sepenuhnya mengacu ke sana. Untuk
memperjelas keterangan ini periksa karya Bell seperti (1) The End of
Ideology, New York: Free Press, 1960; (2) The Coming of Post Industrial
Society, New York: Penguin Books Edition, 1973; (3) The Cultural
Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976. Sedangkan untuk
edisi Indonesia, karya Bell ini dapat diperhatikan di Y.B. Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi
dan Dampak Lingkungannya, Volume II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985;
atau Daniel Bell dan Irving Kristol (ed.), Model dan Realita di Dalam Wacana
Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1988.
[28] Guy Debord, The Society of The
Spectacle, seperti dikutip oleh Fredric Jameson, Postmodernism or The
Cultural of The Late Capitalism, London, Verso, 1990, hlm. 8.
[29]
Kapitalisme monopoli sebagai bentuk dari kapitalisme fase lanjut seringkali
diberi pengertian yang merujuk pada peran penting dari kolaborasi di tingkat
birokrat Negara dan pengusaha kapitalis untuk menguasai lahan produksi yang
ditujukan pada kepentingan-kepentingan publik.
[30] Lihat John Kenneth Galbraith, The
New Industrial State, New York: Mentor Book Paperback Edition, 1972, hlm.
258. Periksa juga Budiman, Op. Cit.
[31] Jurgen
Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990,
hlm. 76-77.
[32] Dalam
banyak hal, pembahasan kapitalisme fase lanjut tidak bisa dilepaskan begitu
saja dari pembahasan tentang sistem ekonomi kapitalisme yang ada di Amerika.
Sebab seperti yang sudah dijelaskan terdahulu bahwa salah satu ciri pokok yang
mendasari kapitalisme fase lanjut adalah pergeseran modal dari kapitalisme
klasik yang didominasi oleh Negara-negara Eropa menuju kapitalisme Amerika.
Posisi Amerika sebagai pusat perdagangan dunia (world trade center),
dengan demikian, bisa dijadikan referensi dan parameter perkembangan
kapitalisme global selanjutnya.
[33] Ini
semakin memperjelas bahwa teori mekanisme pasar tidak bisa dibiarkan sebebas
apa yang sudah didoktrinkan dalam teori ekonomi kapitalisme klasik. Pemerintah
atau Negara dibutuhkan kehadirannya dalam mengurusai bidang-bidang yang
bersangkut-paut dengan kebutuhan publik seperti penjelasan di atas. Dengan
demikian, hadirnya Negara sebagai wasit adalah berfungsi untuk mengatur pasar.
[34] Lihat Francis Fukuyama, The End of
History and Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992. bandingkan dengan
pandangan-pandangan dalam literatur abad ke-19 yang dikenal sebagai abad
ideologi (the age of ideology). Bandingkan juga dengan literatur abad
ke-20 yang dianggap sebagai abad: (1) Akhir Ideologi (The End of Ideology)
karya sosiolog Daniel Bell, (2) Akhir Alam Semesta (The End of Nature)
karya Paul MacKiben.
[35] Lihat Galbraith, Op. Cit.
[36] Paul Hirst & Grahame Thompson , Globalisasi
Adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001. Hlm. 31-34.
[37] Liaht
Darsono P, dalam Globalisasi Suatu Strategi Penjajahan Bentuk Baru,
http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2006-november/000189.htm.
[38] Paul M
Sweezy, “Kapitalisme Modern”, dalam Kapitalisme: Dulu dan Sekarang: Kumpulan
Karangan dari berbagai sumber asing, LP3ES, Jakarta, 1987, hlm. 5
[39] Lihat
www.westpapua.net/doc/paper/paper6/capitalism.htm
[40] Lihat, Links, International Journal of
Sosialist Renewal, No. 7 tahun 1996, hlm. 59
[41] Jan Nederveen Pieterse, “Globalization
as Hybridization”, individu Mike Featherstone et all. Edt, Global
Modernities, Sage Publications, London, 1995, hlm. 47
[42] Budi Winarno, “Ekonomi Global dan
Krisis Demokrasi”, dalam Jurnal Hubungan Internasional, Edisi 1,
Februari 2004, hlm. 7
[43] Lihat
http://www.theindonesianinstitute.org/gglob02.htm.
[44] Dalam
bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi pembangunanisme.
Developmen-talisme adalah sebuah istilah ekonomi-politik. Sebuah konsep atau
kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dicetuskan pada masa
Presiden Harry S Truman pada tahun 1949 untuk menjawab berbagai permasalahan
kemiskinan atau keterbelakangan (Underdevelopment) yang terjadi di
Negara-negara dunia ketiga, sekaligus sebagai alat ideologi untuk membendung
sosialisme.
[45] Fase di
mana dekolonisasi ditawarkan bagi dunia ketiga dan terjadi proses eksploitasi
kapitalisme dari yang bersifat kolonilistik kepada fase yang bersifat lunak
[46] Lihat
www.westpapua.net/doc/paper/paper6/capitalism.htm
[47]
http://www.al-islam.or.id/tampil.php?halaman=buletin&id=24
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Istilah yang digunakan Talcot Person.
[51] Thomas L Friedman, The Lexus and The
Oleive Tree, Harper Collins Publisher, London, 2000, hlm. 31
[52] Anthony Giddens, Run Way World:
Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2000, hlm. 5
[53] Hasan Hanafi, Cakrawala Baru
Peradaban Global: Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme
Antar Peradaban, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003, hlm. 69
[54] Lihat
http://www.pds.or.id/globalisasi_penghisapan_rakyat_htm.
[55] Martin
Khoor, Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Cindelaras Pustaka
Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2000, hlm. 10.
[56] Ibid.
[57] Ibid.
[58] Martin Khoor, Op. Cit., hlm. 11
[59] Charles W. Kegley, Jr & Eugene R.
Wittkopt, World Politics: Trend and Transformation 7th Edition,
Worth Publishers, London, 1999, hlm. 249
[60] Kompas, “Lengser a’la Bill
Gates”, 22 Januari 2000
[61] Charles W. Kegley & Eugene R.
Wittkopt, Op. Cit, hlm. 196
[62] David Held & Anthony Mc Grew, David
Goldblat & Jonathan Peraton, Global Transformation: Politics, Economics
and Culture, Polity Press, Great Britain, 1999, hlm. 260
[63] Ibid. hlm. 253
[64] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/28/nasional/280846.htm
[65] Lihat. Kita,
Dunia dan Globalisasi: Menelisik Pemikiran Joseph S. Nye, dalam
http://isac.blogdrive.com/archive/10.htm
[66] Dari
Negara-negar imperialis inilah muncul korporasi-korporasi global yang menjadi
pelaku utama juga pada saat ini, dan agen utama eksploitasi berbagai sumberdaya
di berbagai belahan dunia ketiga, yang pada akhirnya hasilnya dibawa kembali ke
Negara-negara metropolis
[67] Lihat:
James Petras, “Negara Sebagai Agen Imperialis”, dalam Globalisasi Perspektif
Sosialis, Ali Sugihardjanto, dkk, Penerbit Cubuc, Jakarta, 2001, hlm. 164
[68] Ibid, hlm. 166
[69] Stephan Haggard & Robert R.
Kaufman, ed., Introduction: Institution and Economic Adjustment,
Princeton University Press, Princeton, NJ, 1992, hlm. 3
[70] Thomas J Bierstecker., “The Logic of
Unfulfilled Pomise of Privatization individu Developing Countries”, individu
Louis Puterman & Dietrich Ruescameyer, eds, State and Market individu
Development: Sinergy of Rivalry?, Bouldera, CO: Liene Riener, Publisher,
Inc, 1992, hlm. 106
[71] James Petras, Negara Sebagai Agen
Imperialis, Op. Cit., hlm. 1666-167
[72] Jerry Mander, Debi Barker & David
Korten, “Globalisasi Membantu Kum Miskin”, dalam Globalisasi Kemiskinan
& Ketimpangan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003, hlm.
10-12
[73]
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan tentang Agama Kebudayaan
Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, LP3ES, 1984. hlm. 277.
[74] Ibid.
[75] Ibid, hlm. 282.
0 komentar:
Posting Komentar