Manajemen
Konflik
Realita kehidupan
tidak pernah selalu berjalan dengan mulus sesuai dengan yang diharapkan. Banyak
faktor yang mempengaruhi baik buruknya kualitas hubungan antar manusia.
Konflik, yang menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti percekcokan,
pertentangan, atau perselisihan, merupakan salah satu penyebab tidak
harmonisnya human relations. Namun demikian konflik adalah suatu hal yang tidak
bisa tidak akan selalu ada di mukabumi ini, selama di dalamnya masih terdapat
makhluk hidup yang memiliki nafsu.
Demi menciptakan
suatu hubungan yang baik, kondusif dalam mewujudkan suatu "tujuan
tertentu" maka ibarat hukum kekekalan energi, "…..bahwa energi tidak
dapat dimusnahkan, tetapi dapat dirubah kedalam bentuk lain", konflik pun
dapat diarahkan sebagai suatu khasanah yang justru bisa mendukung pada
terciptanya suatu tujuan. Sedangkan manajemen menurut kamus besar bahasa
Indonesia adalah "proses penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan". Karenanya, konflik sebenarnya tidak perlu sampai
mengganggu apalagi melumpuhkan jalannya fungsi-fungsi. Konflik yang fungsional
(yang di manage dengan baik) justeru dapat menimbulkan motivasi yang lebih
untuk unggul dan lebih kreatif, konflik itu bisa berbentuk persaingan yang
sehat antarpribadi maupun antarkelompok. Konflik fungsional juga dapat membantu
seseorang untuk mengembangkan kepribadiannya, rasa tanggung jawab, atau standar
prestasi intern, suatu dorongan untuk unggul, kreativitas individu dan perasaan
otonomi.
Untuk dapat
me-manage dengan baik, maka perlu diketahui akar permasalah dari timbulnya
konflik tersebut. Menurut Udai Pareek dalam Perilaku Organisasi: Kearah Proses
Komunikasi Antarpribadi dan Motivasi Kerja", setidaknya ada 7 (tujuh)
sumber konflik antarpribadi maupun antarkelompok, antara lain tampak dalam
tabel dibawah ini, beserta persepsi dari para anggotanya.
2
|
3
|
4
|
5
|
|
SumberKonflik Potensial
|
Persepsi dalam Konflik Cara
Peningkatan
|
Orientasi yang
Dihasilkan
|
Perspektif dalam KonflikPencegahan
dan Penyelesaian
|
Orientasi yang Dihasilkan
|
Perhatian
Pada Diri (self)
|
Sempit
(sendiri)
|
Perpektif
Jangka Pendek
|
Lebih
Luas
|
Perspektif
Jangka Panjang
|
Berbagai
Tujuan
|
Bertentangan
|
Individualistis
|
Melengkapi
|
Super
Ordinat
|
Soal-soal
Sumber Daya
|
Terbatas
|
Berkelahi
|
Dapat
Dikembangkan
|
Saling
Membagi
|
Soal
Kekuasaan
|
Terbatas
|
Tidak
Ada Kepercayaan
|
Dapat
Dibagi
|
Kepercayaan
|
Ideologi
yang Berbeda
|
Bertentangan
|
Membuat
Stereotipe
|
Beranekaragam
|
Mengerti
|
Beranekaragam
Norma
|
Harus
Seragam
|
Tidak
Toleran
|
Bermacam-macam
& Berkembang
|
Toleransi
|
Hubungan
|
Tergantung
|
Dominasi/Tunduk
|
Saling
Tergantung
|
Empati
& Kerjasama
|
Tabel diatas merupakan gambaran Beberapa Kemungkinan
Sumber Perselisihan dalam Suatu Kelompok dan Persepsi Para Anggota Kelompok,
dimana kolom 2 dan 4 memperlihatkan bagaimana para anggota kelompok menanggapi
berbagai sumber konflik masing-masing dengan 2 cara : peningkatan konflik dan
penyelesaian konflik.
Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan
dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran
yang ingin dicapai teori ini adalah:
•
Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang
mengalami konflik.
•
Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman
yang ada di dalamnya.
Menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang
ingin dicapai teori ini adalah:
•
Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi
dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan
negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu
yang sudah tetap.
•
Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak
atau semua pihak.
Teori Kebutuhan Manusia
Berasumsi
bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia –
fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan,
identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti
pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
•
Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan
mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan
pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
•
Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi
kebutuhan dasar semua pihak.
Teori Identitas
Berasumsi
bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar
pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
•
Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik
mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang
mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di
antara mereka.
•
Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
Teori Kesalahpahaman Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain.
• Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.
• Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
Teori Transformasi Konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.
•
Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak
yang mengalami konflik.
•
Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan,
keadilan , perdamaian, pengampunan , rekonsiliasi dan pengakuan.
Keterangan:
1. Perhatian terhadap diri sendiri
Konflik mungkin terjadi jika perhatian utama para anggota
kelompok diarahkan pada diri sendiri.
Akibatnya, perspektif mereka menjadi sempit dan orientasi mereka jangka
pendek. Kelompok akan tetap berkonflik kecuali jika para anggotanya dapat
memperluas perspektif mereka, yang disebut dengan tujuan super ordinat,
yaitu tujuan yang amat penting bagi para anggota kelompok dan dapat dicapai
bila para anggota kelompok itu bekerjasama.
2. Berbagai Tujuan
Konflik juga dapat terjadi jika para anggota kelompok
merasakan tujuan mereka saling bertentangan.
Daripada bersikap individualistis dengan lebih mementingkan kepentingan
pribadi, para anggota kelompok hendaknya berusaha untuk mencapai beberapa
tujuan sekaligus. Hal ini sebenarnya
tidaklah sukar, karena tujuan-tujuan itu sering saling melengkapi, asalkan bisa
berpikir jernih dan tidak memaksakan kehendak. Beberapa orang harus bersedia
untuk menangguhkan tujaunnya demi kepentingan kelompok.
3. Soal-Soal Sumber Daya
Kesukaran membagi sumber daya yang tersedia. Para anggota
kelompok merasakan keterbatasan sumber daya dan cenderung untuk memperjuangkan
siapa harus mendapatkan apa. Tetapi,
jika para anggota kelompok sadar bahwa sumber daya dapat diperluas atau dikembangkan,
tenaga para anggota dapat digunakan dalam usaha untuk membaginya, dan
menikmatinya bersama.
4. Soal Kekuasaan
Kekuasaan juga sering dirasakan terbatas. Hal ini dapat
menyebabkan kurangnya kepercayaan diantara para anggota dan menimbulkan
konflik. Jika kedudukan ketua - sebagai
penguasa dianggap dapat dibagi, bisa jadi kepercayaan di antara para anggota
akan tumbuh dan benar-benar menambah kekuasaan semua anggota.
5. Ideologi yang Berbeda-beda
Stereotipe bisa muncul salahsatunya karena adanya konflik
ideologi dalam suatu kelompok, dimana dan orang-orang akan memainkan
“peranan” mereka masing-masing, dan
bukannya bekerjasama demi kebaikan keseluruhan.
Jika para anggota dapat menerima gagasan bahwa ideologi dapat
beranekaragam dan bahwa tiap-tiap orang dapat bekerjasama meskipun berlainan
ideologi, hal ini akan menyebabkan adanya pengertian.
6. Beranekaragam Norma
Banyak kelompok bekerja untuk mencapai norma-norma atau
standar perilaku yang seragam, namun harapan akan keseragaman dapat menimbulkan
sikap yang tidak toleran terhadap perbedaan.
Jika para anggota kelompok menyadari bahwa selalu terdapat bermacam-macam
norma pada permulaan kehidupan kelompok dan bahwa pada waktunya beberapa norma
umum akan berkembang bersama, maka mereka dapat belajar bersikap toleran
terhadap bermacam-macam norma, yang akan mendorong pada tercapainya
tujuan-tujuan kelompok.
7. Hubungan
Dalam kelompok antarbudaya, yang menjadi sumber konflik
adalah hubungan interpersonal antara satu dengan lainnya dalam suatu struktur
yang hierarkis. Saat orang merasa
nyaman-nyaman saja mendapat peran bawahan, yang orang lain berjuang keras untuk
memperoleh kedudukan yang berkuasa.
Harapan agar orang lain menjadi bawahan sering menyebabkan konflik. Perlu ditentukan terlebih dahulu bagi tiap
anggota sebelum kelompok mulai bekerja.
Jika hubungan dianggap saling tergantung, akan lebih besar kemungkinannya
orang merasa empati satu sama lain dan akan bekerjasama dalam menyelesaikan
persoalan.
Secara singkat dapat
dikatakan bahwa untuk mengatasi konflik perlu dilakukan cara-cara:
- Menghindari persoalannya
- Mendekati persoalannya dan berusaha mencapai
suatu penyelesaian
- Mencairkan (defuse) keadaan dan bersama-sama
berusaha menyelesaikan persoalan
Sikap-sikap ini dapat
diletakkan dlam suatu rangkaian kesatuan mulai dari penghindaran sampai
pendekatan
Delapan Gaya Manajemen Konflik
Para anggota kelompok
cenderung untuk memupuk pandangan “kita” lawan “mereka” dalam suatu
konflik. Kadang-kadang kelompok “luar”
dianggap bertentangan dengan kepentingan kelompok “dalam”. Jika kelompok luar dianggap suka berkelahi,
konflik seolah-olah menjadi tidak dapat dihindarkan. Tetapi jika kelompok itu hanya dianggap tidak
memihak atau bingung, dapat dihadapi dengan 2 cara berlainan :
- dianggap keterlaluan (dalam hal mana tidak
ada harapan untuk penyelesaian) atau
- dianggap dapat diajak bicara (dalam hal mana
masih mungkin ada penyelesaian).
Diantara 8 gaya manajemen konflik
tersebut antara lain:perkelahian, arbitrasi, kompromi, perundingan, pasrah,
isolasi, menarik diri, atau pun menyembunyikan.
Teknik Pendekatan dalam Menangkal
Konflik
Terdapat beberapa teknik
pendekatan dalam menangkal konflik antara lain:
Mengadakan pendekatan atas konflik dapat mengambil bentuk
agresif atau bentuk yang lebih positif.
·
Jika kelompok “dalam” menganggap kelompok “luar” bertentangan kepentingannya
dan keterlaluan, maka para anggota kelompok dapat memilih cara berkelahi untuk
mendapatkan penyelesaian yang menguntungkan mereka.
·
Jika kelompok luar dianggap menghendaki perdamaian, tetapi masih bersikap
keterlaluan, akan diusahakan cara untuk kompromi. Kedua kelompok kemudian akan membagi
keuntungan, tetapi tidak diperolehpenyelesaian untuk konflik itu.
·
Sebaliknya, jika kelompok luar dianggap suka berkelahi, tetapi tidak
keterlaluan, mungkin akan diusahakan suatu arbitrasi oleh pihak ketiga untuk
menaksir keadaan secara objektif.
Perselisihan tidak terselesaikan, namun ditunda untuk beberapa waktu.
·
Penyelesaian yang paling memuaskan hanya daapt timbul jika kedua kelompok itu
menghadapi masalahnya melalui perundingan.
Gaya Perundingan : Menuju Penyelesaian Konflik
Perundingan sebagai cara menyelesaikan konflik merupakan gaya yang paling
dewasa. Perundingan hanya mungkin
dilakukan jika kelompok luar dianggap menghendaki perdamaian dan dapat diajak
bicara. Perundingan memerlukan interaksi
dan dialog terus-menerus antarkelompok untuk menemukan suatu penyelesaian
maksimal yang menguntungkan kedua belah pihak.
Melalui perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan ditentukan penyelesaian
yang paling memuaskan. Gaya perundingan untuk memanajemeni konflik
dapat digambarkan dalam beberapa langkah.
Langkah-langkah tersebut diuraikan berikut ini secara berurutan, tetapi
urutannya tidak perlu diikuti secara tepat.
1.
Pencairan
Dua
kelompok yang sedang berkonflik mungkin “beku” dalam suatu hubungan yang
stereotipe. Kecuali jika harga-harga dan
pola-pola dalam hubungan ini dicairkan, tidaklah mungkin diadakan suatu aksi
menuju perundingan. Untuk menjadikan
suasana lebih lunak, para anggota
kelompok dapat membangkitkan citra yang mereka punyai tentang para
anggota kelompok sendiri dan para anggota kelompok lainnya. Perundingan yang terjadi dapat memberikan
peluang bagi para anggota kedua kelompok
itu untuk mengungkapkan banyak hal yang kalau tidak demikian tidak
mungkin mereka katakan. Atau, para
anggota dari kedua kelompok dapat dicampur untuk membicarakan beberapa
masalah. Dengan cara demikian,
orang-orang akan menambah pengertian mereka tentang perspektif masing-masing.
2.
Keterbukaan
Para anggota kelompok
mungkin tertutup satu sama lain dan mungkin memerlukan pengembangan norma-norma
untuk mengemukakan segi pandangan yang berbeda atau berbagai alternatif, tanpa
takut akan akibatnya. Keterbukaan biasanya
paling sulit, jika konflik itu melibatkan soal-soal kritis dan suasananya
emosional. Namun keterbukaan bahkan
lebih penting lagi pada waktu-waktu itu.
3.
Belajar Empati
Para anggota kelompok
mungkin hanya melihat segi pandangan mereka sendiri, tetapi dapat memperoleh
empati orang lain dengan mengetahui keprihatinan utama mereka, kecemasan
mereka, atau tujuan mereka. Saling
pengertian dan pemahaman seperti itu dapat membantu orang-orang untuk
memperoleh pengertian baru tenatng diri mereka sendiri dan tenatng orang lain.
4.
Mencari Tema Bersama
Kelompok-kelompok
yang terlibat dalam konflik dapat dibantu mencapai tujuan-tujuan bersama atau
bidang-bidang lain yang saling isi dengan membuat daftar harapan, kecemasan,
persepsi, tujuan mereka, dan sebagainya.
5.
Menghasilkan Alternatif
Setelah
kelompok-kelompok itu menyadari perpektif yang satu dengan yang lain, mereka
dapat menghasilkan beberapa alternatif untuk menyelesaikan beberapa dari
persoalan mereka. Jika kedua kelompok
ikut serta menyusun berbagai alternatif, mungkin akan merasa sama-sama
bertanggung jawab untuk menemukan suatu penyelesaian.
6.
Menanggapi Berbagai Alternatif
Setelah
beberapa alternatif disusun, para anggota kedua kelompok hendaknya
mempelajarinya dan memberikan tanggapan mereka.
Harus diadakan segala usaha untuk melihat persoalan secara positif, cara
yang mengarah pada penyelesaian persoalan.
Hendaknya dihindari penolakan mentah-mentah dari alternatif itu, tetapi
semuanya hendaknya dibicarakan oleh seluruh kelompok demi kejelasan dan
pemikiran bersama.
7.
Mencari Penyelesaian
Sejumlah
alternatif daapt dijelajahi secara mendalam oleh kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari beberapa anggota dari kedua kelompok besar. Kelompok-kelompok kecil itu daapt mencaapi
konsensus atas suatu penyelesaian, lalu melapor kepada kelompok yang lebih
besar. Karena banyak segi pandangan
diwakili dalam sub kelompok itu, mereka mungkin akan datang dengan beberapa
kemungkinan alternatif.
8.
Membuka Jalan Buntu
Kadang-kadang
kelompok-kelompok yang kecil itu begitu terlibat secara emosional sehingga
mereka tidak dapat berpikir konstruktif menuju penyelesaian sendiri. Dalam hal demikian, pihak ketiga yang
objektif dan berpengalaman dengan masalah seperti itu dapat diikutsertakan.
9.
Mengikat Diri kepada Penyelesaian di dalam Kelompok
Setelah
dihasilkan penyelesaian oleh sub-sub kelompok, kelompok-kelompok dapat
memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian ini dan mengikatkan diri pada
penyelesaian itu. Keterbukaan di antara
para anggota kelompok akan membantu adanya keikatan yang sungguh-sungguh. Semua keragu-raguan harus dihilangkan dan
dikesampingkan pada titik ini.
10.
Mengikat Seluruh Kelompok
Tahap
akhir dari suatu penyelesaian konflik adalah penerimaan kedua kelompok
bersama-sama atas suatu penyelesaian,
dan secara terbuka menyatakan keikatan mereka untuk
melaksanakannya. Para
anggota kelompok dapat saling memberitahukan mekanisme yang akan mereka tempuh
untuk mengadakan tindakan lanjutan terhadap keikatan itu. Pada titik ini juga dapat diadakan persiapan
bagi tinjauan bersama atas masalah-masalah yang masih tertinggal di kemudian
hari.
Menyelesaikan konflik melalui perundingan memerlukan
usaha yang terus-menerus dari semua pihak.
Untuk membangun suasana perundingan bergantung kepada usaha para anggota
kedua kelompok untuk mengembangkan berbagai keterampilan kelompok mereka
sendiri. Proses perundingan itu sendiri
menyumbang kepada perkembangan kelompok itu.
Proses yang sulit, tetapi
sangat berguna
Partisipasi dan
Kerjasama : Menuju Pencegahan Konflik
Mencegah konflik juga merupakan cara pendekatan. Pencegahan berarti menaksir kemungkinan
adanya penyebab konflik, dan mengambil tindakan segera untuk mengubahnya
menjadi daya positif demi pengertian dan kerjasama yang lebih baik. Dua strategi utama mencegah konflik diperikan
berikut ini :
·
Siapapun yang bersangkutan dalam suatu tugas bersama harus ikut serta berusaha
mengurangi biang konflik. Bilamana
timbul persoalan, semua orang harus ikut serta menemukan penyelesaian
alternatif. Partisipasi seperti itu, dan
rasa tanggung jawab bersama untuk mendapatkan penyelesaian membantu mencegah
konflik. Penyelesaian yang dicapai
melalui pengambilan putusan partisipatif mungkin lebih pragmatis dan mudah
diterima daripada putusan yang datangnya dari atas. Kelompok-kelompok yang mewakili berbagai
tingkat orang dapat dibentuk untuk menangkal keluhan, norma-norma kerja dan
penyimpangan daripadanya, prosedur-prosedur
penilaian individu, kriteria prestasi dan sebagainya, sebelum
persoalan-persoalannya timbul, atau mencegah konflik yang tidak sehat.
·
Tekanan pada kerjasama dan pembinaan kelompok juga membantu mengubah
kemungkinan biang konflik menjadi positif untuk kerjasama. Tekanan utama atas kerjasama perencanaan
strategi guna mencapai tujuan, melalui kerjasama.
Melihat
model-model gaya
dari Manajemen Konflik diatas, tampak bahwa sesungguhnya pula konflik dapat
digunankan dalam mengarahkan pada tercitanya suatu tujuan, asalkan terhadap
konflik ini dilakukan manajemen konflik yang tepat dengan situasi dan
kondisinya.
* Referensi :
Organisasi
:Pedoman Ke arah Pemahaman Proses Komunikasi Antarpribadi dan Motivasi Kerja,
Udai Pareek. 1991.
Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta
Komnasham
Tempo
0 komentar:
Posting Komentar