photo Nirwana-Bannerm_zpsfb61fe90.jpg

Jumat, Desember 28, 2012
0

Penulisan Berita

1.      Struktur Tulisan

a.      Membuat Judul
Judul berita memang bukan hal yang urgen dalam penulisan berita. Tapi bisa menjadi hal yang vital. Sebelum membaca isi berita pembaca cenderung membaca judulnya lebih awal. Ketika judul tidak menarik, pembaca akan enggan untuk membaca isi berita.
Maka usahakan dalam membuat judul mudah dimengerti dengan sekali baca, juga menarik, sehingga mendorong pembaca mengetahui lebih lanjut isi berita/tulisan. Tapi judul yang menarik belum tentu benar dalam kaidah penulisan judul. Pada dasarnya judul seharusnya mencerminkan isi berita. Jadi disamping mencerminkan isi dan menarik, judul perlu kejelasan asosiatif setiap unsur subyek, obyek dan keterangan.
Selain itu dalam menuliskan judul juga bisa menggunakan kalimat langsung, artinya mengutip langsung ungkapan dari nara sumber. Biasanya suatu pernyataan itu mengarah pada subyek yang melontarkan, untuk menjelaskan subyek (nama nara sumber, atau sebuah kegiatan) maka digunakan kickers (pra-judul). Atau jika tidak menggunakan kickers, penulisan judul di dalam dua tanda petik.

b.      Lead
Lead merupakan paragraf awal dalam tulisan berita yang berfungsi sebagai kail sebelum masuk pada uraian dalam tulisan berita.
Ada beberapa macam lead yang biasa digunakan dalam menulis berita:
1.      Lead Ringkasan : Biasanya dipakai dalam penulisan “berita keras”. Yang ditulis hanya inti beritanya saja. Sedangkan interesting reader diserahkan kepada pembaca. Lead ini digunakan karena adanya persoalan yang kuat dan menarik.
2.      Lead Bercerita : Ini digemari oleh penulis cerita fiksi karena dapat menarik dan membenamkan pembaca dalam alur yang mengasyikkan. Tekniknya adalah membiarkan pembaca menjadi tokoh utama dalam cerita.
3.      Lead Pertanyaan : Lead ini efektif apabila berhasil menantang pengetahuan pembaca mengenai permasalahan yang diangkat.
4.      Lead Menuding Langsung : Biasanya melibatkan langsung pembaca secara pribadi, rasa ingin tahu mereka sebagai manusia diusik oleh penudingan lead oleh penulis.
5.      Lead Penggoda : Mengelabui pembaca dengan cara bergurau. Tujuan utamanya menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca habis cerita yang ditawarkan.
6.      Lead Nyentrik : Lead yang menggunakan puisi, pantun, lagu atau yang lain. Tujuannya menarik pembaca agar menuntaskan cerita yang kita tawarkan. Gaya lead ini sangat khas dan ekstrim dalam bertingkah.
7.      Lead Deskriptif : Menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang seorang tokoh atau suatu kejadian. Lead ini banyak digemari wartawan ketika menulis feature profil pribadi.
8.      Lead Kutipan : Lead yang mengutip perkataan, statement, teori dari orang terkenal.
9.      Lead Gabungan : Lead yang menggabungkan dua atau lebih macam lead yang sudah ada. Semisal lead kutipan digabung dengan lead deskriptif.


c.       Ending
Untuk penutup atau ending story, ada beberapa jenis :
1.      Penyengat : Penutup yang biasanya diakhiri kata-kata yang mengagetkan pembaca dan membuatnya seolah-olah terlonjak.
2.      Klimaks : Penutup ini ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis.
3.      Tidak Ada Penyelesaian : Penulis mengakhiri cerita dengan memberikan sebuah pertanyaan pokok yang tak terjawab. Jawaban diserahkan kepada pembaca untuk membuat solusi atau tanggapan tentang permasalahan yang ada.

2.   Bikin Kerangka dan Alur Tulisan
Umumnya, penulis pemula selalu percaya diri dengan kekuatan data. Penulis seperti biasanya cukup gegabah, ambil kertas, mesin ketik, dan langsung menulis apapun yang ada di isi kepala (berdasarkan data yang diperoleh). Tidak lama kemudian, setelah beberapa paragraf, ia tersesat. Tidak tahu apalagi yang harus ditulisnya.
Ini kesalahan besar. Sebab bagaimanapun menulis membutuhkan seninya sendiri. Cerita sebuah laporan berita, tidak dengan mudah bisa dituturkan secara detail dan runtut, manakala struktur cerita belum dirumuskan secara runtut dan beraturan. Maka, bikinlah kerangka. Ia adalah rumusan struktur cerita yang hendak disuguhkan kepada pembaca. Caranya :
1.      Memilih cerita awal.  Kerangka yang akan memberitahukan kita cerita mana yang wajar menempati awal tulisan, dan secara logis juga menentukan bagian cerita mana yang menjadi runtutannya. Kerangka dengan demikian merupakan pengorganisasian langkah-langkah wartawan menjelang proses penulisan. Syaratnya : data kuat, peta masalah dikuasai oleh penulisnya, dan penulis harus selalu disiplin untuk tidak melebarkan pembahasan yang keluar dari angle.
2.      Urut dalam berfikir dan bertutur. Apa maksudnya? Kerangka dibangun sedemikian berurutan sehingga tulisan tidak terkesan meloncat-loncat dari masalah satu ke masalah lainnya. Dalam jurnalistik, minimal kita bisa berpegangan pada dua kategori berurutan: kronologis dan logis.
ü  Alur kronologis umumnya dipakai untuk melukiskan alur cerita berdasarkan rentetan cerita itu sendiri. Namun tidak semua kasus bisa menggunakan urutan ini, terutama kasus yang memiliki suspens atau ketegangan.
ü  Alur Logis. Alur ini digunakan bila ternyata kita menjumpai kasus yang mengandung suspens, sebaiknya kita pilih urutan logis. Dalam urutan ini, penulis tidak hanya mengikuti bahan ceritanya, melainkan lebih aktif. Ia membentangkan suatu masalah. Penulis berita bisa memilih tiga alternatif dalam urutan logis ini: sebab-akibat, induktif, dan deduktif. Urutan sebab akibat berusaha melihat sebuah kasus secara detail, kemudian mencoba membicarakan akibat-akibatnya, akan yang sedang maupun yang akan terjadi. Urutan induktif umumnya berusaha membeberkan indikasi-indikasi, sampel-sampel, kejadian khusus, yang selanjutnya dibingkai dalam sebuah pandangan umum. Yang terakhir urutan deduktif, ia merupakan kebalikan dari urutan induktif.




3.      Bahasa Jurnalistik*
Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruang dan waktu yang relatif terbatas. Dengan demikian dibutuhkan suatu bahasa jurnalistik yang lebih efisien. Dengan efisien dimaksudkan lebih hemat dan lebih jelas.
Asas hemat dan jelas ini penting buat seorang jurnalis dalam usaha ke arah efisiensi dan kejelasan dalam tulisan.
Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan: (1) unsur kata, dan (2) unsur kalimat.

q  Penghematan Unsur Kata

1. Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti. Misalnya:
agar supaya     menjadi           agar, supaya
akan tetapi       menjadi           tapi
apabila             menjadi           bila
sehingga          menjadi           hingga
meskipun         menjadi           meski
walaupun         menjadi           walau
tidak                menjadi           tak 

2. Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari.
Misalnya:
“Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang”, menjadi “Keadaan lebih baik dari sebelum perang”. Tapi mungkin masih janggal mengatakan: “Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang”.

3. Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih pendek. Misalnya:
kemudian = lalu
Makin = kian
terkejut = kaget
sangat = amat
demikian = begitu
sekarang = kini
Catatan: Dua kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Jadi dalam soal memilih sinonim pendek perlu mempertimbangkan rasa bahasa.

q  Penghematan Unsur Kalimat
Lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.

1. Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat;
Misalnya:
  • Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman”. (Bisa disingkat: “Merupakan kenyataan, bahwa ...”)
  • Apa yang dikatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas”. (Bisa disingkat: “Yang dikatakan Wijoyo Nitisastro”).

2. Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
Misalnya:
  • “Apakah Indonesia akan terus tergantung pada bantuan luar negeri”? (Bisa disingkat: “Akan terus tergantungkah Indonesia“).
  • “Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak”.
(Bisa disingkat: "Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak").

3. Pemakaian dari sepadan dengan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan; juga daripada
Misalnya:
  • “Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan”. (Bisa disingkat: “Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan”.
  • “Sintaksis adalah bagian daripada tatabahasa”. (Bisa disingkat: “Sintaksis adalah bagian tatabahasa”).

4. Pemakaian untuk sepadan dengan to (lnggris) yang sebenamya bisa ditiadakan: Misalnya:
  • “Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India”. (Bisa disingkat: “Uni Soviet cenderung mengakui...).
  • “Pendirian semacarn itu mudah untuk dipahami”. (Bisa disingkat: “Pendirian semacam itu mudah dipaharni”).
  • “GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal” (Bisa disingkat: “GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbarui”).
Catatan:
Dalam kalimat: “Mereka setuju untuk tidak setuju”, kata untuk demi kejelasan dipertahankan.

5. Pemakaian adalah sepadan dengan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
Misalnya:
  • “Kera adalah binatang pemamah biak” (Bisa disingkat “Kera binatang pemamah biak”).
Catatan: Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: “Pikir itu pelita hati”. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menerjemahkan “Man is a better driver than woman”, bisa mengacaukan bila disalin: “Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita”.

6. Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu. Misalnya:
  • “Presiden besok akan meninjau pabrik ban Goodyear”. (Bisa disingkat: “Presiden besok meninjau pabrik”).
  • Tadi telah dikatakan.....” (Bisa disingkat: “Tadi dikatakan”)
  • Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri”. (Bisa disingkat: “Kini Clay mempersiapkan diri”).

7. Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan:
Misalnya:
  • “Gubemur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti”.
  • “Tidak diragukan lagi bahwa ia lah orangnya yang tepat”. (Bisa disingkat: “Tak diragukan lagi, ia lah orangnya yang tepat”).
Catatan: Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.

8. Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu.
Misalnya:
  • “Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari Australia”. (Bisa disingkat: “Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia”).
  • “Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia”.

9. Pembentukan kata benda (ke + .... + an atau pe + .... + an) yang berasal dari kata kerja atau kata sifat, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarya tak perlu.
Misalnya:
  •  “PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta”. (Bisa dirumuskan: “PN Sandang rugi Rp 3 juta”).
  • “Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya” (Bisa disingkat: "Ia telah tiga kali menipu saya”).

 

Kejelasan

Setelah dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
1.      Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2.      Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.

q  Kejelasan Unsur Kata
1. Berhemat dengan kata-kata asing.
Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi. Kata-kata itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.

Sebelum terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit,
technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan “cutbrai”) tetap perlu.

2. Menghindari sejauh mungkin akronim.
Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat. Dalam bahasa Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. “Hankam”, “Bappenas”, “Daswati”, “Humas” memang lebih ringkas dari “Pertahanan & Keamanan”, “Badan Perencanaan Pembangunan Nasional”, “Daerah Swantara Tingkat” dan “Hubungan Masyarakat”.

Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat ada yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di kalangan remaja sehari-hari: “ortu” untuk “orangtua”; atau di pojok koran: “keruk nasi” untuk “kerukunan nasional”) tapi ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik: (misalnya “Manikebu” untuk “Manifes Kebudayaan”, “Nekolim” untuk “neo-kolonialisme”, “Cinkom” untuk “Cina Komunis”, “ASU” untuk “Ali Surachman”).

Bahasa jumalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya “Djagung” untuk “Djaksa Agung”, “Gepeng” untuk “Gerakan Penghematan”, “sas-sus” untuk “desas-desus”. Karena akronim bisa mengaburkan pengerian kata-kata yang diakronimkan.

q  Kejelasan Unsur Kalimat
Seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat.



* Disarikan dari artikel Goenawan Mohammad: “Bahasa Jurnalistik Indonesia”

0 komentar:

Posting Komentar