Dek, Kau Tetap Istriku
Cyber Komunis Lamongan, Sugio - Dalam sujudku di keheningan malam. Aku persimpuh kepada tuhan ilaihi robbi. Dialah tempatku memohon, meminta, dan mengadu di setiap keluh kesah hatiku. Tanganku pun tengadah memohon kemurahan Allah pencipta alam ini. Semoga keluargaku diberi rahmat penuh keberkahan dalam menjalani hidup. Semoga anakku menjadi anak yang solehah. Sehingga kebahagiaan dan rasa syukur selalu menyelimuti keluargaku. Akupun tak lupa mendoakan alharhuma istriku yang paling aku cinta. kesetiaannya sepenuhnya diabdikan untuk bersamaku, menuruti apa yang aku ucapkan hingga akhir hayatnya.
Istriku adalah sosok yang mengerti suami. Hatinya seperti malaikat. Kesabaran dan keikhlasanya menemaniku tak mampu aku ungkapkan dengan kata-kata. Telalu kasar jika aku hakimi kesetiaannya dengan kata-kata. Dialah perempuan yang mengabdikan jiwa raganya demi aku. Lelah dan letihnya tak mampu menghalangi langkah untuk melayaniku. Istriku adalah malaikat yang dilahirkan kedunia menemani hari-hariku tanpa membantah setiap perintahku.
Kerelaannya menjadi istri sangatlah ikhlas. Di kala sedihku tentang kegagalan dalam pekerjaan, istrikulah yang selalu memberi semangat untuk tetap sabar. Di kala aku sakit, istrikulah yang menjadi obat untuk selalu tegar dan kuat. Aku melihat sosok perempuan yang tak kenal lelah dan paling tegar yang sebelumnya tak perah aku temui. Dibalik kelembutan tubuhnya yang sederhana tersimpan kekuatan yang tak mampu aku terka. Dialah obat segala penyakit. Susah, sedih, lelah, terasa nikmat jika bersamanya. Senyumnya dan prilakunya begitu ikhlas, sehingga melihatnya terasa nyaman, tentram, penuh semangat, seperti saat aku mandi di telaga belakang rumahku di saat cuaca panas penuh keringat seketika hilang berganti kesegaran. Ini yang membuatku tetap menduda dan tak sanggup berpaling ke wanita lain. Meski lima belas tahun sudah istriku menghadap tuhan pencipta alam raya ini. Betapa hatiku sangat merindukan belai kasihnya yang lama tak kurasakan.
Tak terasa tubuhku yang bersimpuh di atas sajadah pakaianku telah basah. Dengan tangan masih tengadah, tubuhku yang bersimpuh di atas sajadah aku, melanjutkan doaku. Meski ingatan tentang istriku membuatku mengalirkan air mata sahi pakaianku yang tak sanggup aku bendung di pelupuk mata lagi, ditambah sesak nafas yang mengiringi tangisku. Doa-doa tetap ku panjatkan seperti yang telah diajarkan istriku untuk tetap tabah menghadapi cobaan hidup. Meski tak sekuat istriku dalam menghadapi cobaan, aku harus berusaha tetap semangat meneruskan sisa umurku.
Lelah tak menghalangi untuk tetap melangkah. Ya Allah ya tuhan ku. Kau yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untukku dan almarhum istriku. Kau juga yang maha mengampuni segala salahan dan kekhilafan. Apunilah dosa istriku. Tempatkanlah dia di tempat yang terbaik. Jangan sesatkan dia saat menghadapMu. Berikanlah petunjuk ke arah rahmatMu. Pertemukanlah aku dengan istri dan anakku di surgamu nanti. Hanya kepadamu aku meminta dan hanya kepadamu aku kembali.
Ku akhiri doaku di keheningan malam di dalam kamarku. sambil merapikan sajadahku yang kuletakkan di hanger kamar. Aku menghapus air mata di pipi dan kurapikan pakaianku yang basah oleh air mata. Aku menuju ke Dipan dimana anakku telah tertidur. Aku memandangi wajahnya yang polos. Wajahnya sangat mirip dengan almarhuma ibunya.
Karena anakku inilah istri tercinta meninggalkanku. Saat itu istriku melahirkan putriku di rumah bidan yang dinas di kampungku. Karena terlalu besar bayi yang dilahirkan dan keterbatasan alat medis. Bidan yang menangani persalinan istri tercintaku menyuruhku untuk membawa ke rumah sakit terdekat. Saat itu, rumah sakit yang paling dekat sekitar 25 KM. Akupun membawanya ke rumah sakit dengan mobil yang kusewa diri luar kampung. Istriku merintih kesakitan saat aku angkat ke mobil. Baru kali itu perempuan yang kukenal paling tegar, paling kuat, menagis merintih-rintih di depanku dan air matanya mengalir ke pipi yang sebelumnya tak pernah kulihat, kecuali saat memanjatkan doa kepada ilaihi robbi.
Betapa hatiku bingung bercampur sedih tak karuan. Andai sakit itu bisa kupindahkan, aku ingin mengantikan sakit yang dirasakan istriku. Tak tega aku melihat rintihan istriku dan darah yang keluar dari rahimnya yang dengan cepat menutupi betis sampai mata kaki. Aku memeluk istriku mencoba membuatnya tenang. Aku pun mecoba tegar di mata istriku dan kubisik di telinganya “sabar ya dek, semua akan baik-baik saja.” Aku merasa tak berdaya menjadi suami yang tak dapat meringankan sakit yang diderita istriku. Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya meluapkan emosi. Rintihan istriku itu mencabit-cabit hatiku. Dia mengadu kepadaku kesakitan dengan jeritan yang tertahan-tahan. Dia tak tahan lagi dengan sakit yang dirasa. Aku menjadi binggu sekali saat itu, tak tega aku melihannya. Aku hanya bisa berdoa “ya Allah apa dosa istriku sehingga kau menghukumnya. Jadikanlah aku sebagai gantinya.”
“Mas, sakit mas” keluh istrku dengan tangis tertahan-tahan.
“tahan sebentar dek, sebentar lagi sanpai rumah sakit
“aku sudah tidak kuat, Mas” rintihnya lagi.
“sabar ya dek, semua akan baik-baik saja” hiburku.
Kurang dari lima belas menit kami sampai di rumah sakit. Istriku langsung aku angkat di kasir aku meminta kepada penjaganya untuk segera menangani istriku. Penanganan pun langsung dilakukan. Istriku di bawa ke ruang operasi. Sementara aku menunggu di luar ruang operasi dengan harap-harap cemas. “Ya Allah semoga baik-baik saja istri dan anakku. Tabahkanlah hati istriku.” Satu jam kemudian dokter keluar dan mengatakan “maaf bapak kami sudah berusaha sebaik mungkin anak bapak selamat tapi istri bapak tidak bisa kami selamatkan akibat terlalu banyak darah yang keluar.” Betapa remuk hatiku mendengarkannya. Rasa sedih, kecewa, marah yang aku simpan dari istriku tak mampu aku bendung. Aku menangis, berteriak sekuat dan semampuku.
Jika aku mengingat kisah ini, air mataku tak mampu terbendung dan mengalir secara otomatis seakan ada putaran kran yang jika diputar maka air keluar dengan derasnya. Aku mengusap-usap rambut anakku dan sesekali menepuk nyamuk di badanya. Begitu nyeyak tidurnya meski nyamuk telah menghisap darahnya.
Beberapa hari ini ia sakit panas yang tadi sore baru turun panasnya. Sehingga maklum jika malam ini tidurnya pulas. Akupun tak tega membangunkan mengajaknya solat malam. Mataku mulai ngantuk dan aku sandarkan tubuhku di samping anakku.
Suara adzan subuh terdengar. Aku bangkit dari tempat putriku tidur untuk mengambil wudlu di belakang rumah. Aku melihat anakku masih tertidur dengan nyenyak. Aku solat sendirian. Terntu saja diakhir witir aku tak lupa berdoa meminta rahmat dan kekuatan menjalankan hidup dijalan Allah. Tak lupa juga memohon agar disembuhkan anakku dari penyakitnya.
Sebenarnya anakku sudah tiga kali aku bawa berobat ke bidan yang dulu pernah membantu persalinan istriku. Namun putriku belum sembuh juga, penyakitnya begitu kerasan sekali singgah ditubuh putriku. Sejak sakit, anakku sesah sekali disuruh makan. Perlu menggujuknya agar dia makan. Makanya kini putriku semakin kurus.
Kini sang surya telah menampakkan wujudnya. Dari langit timur sang surya itu muncul. Aku membangunkan anakku yang tidur begitu nyeyaknya sejak tadi malam. Namun susah sekali aku membangunkanya. Beberapa kali anakku membangunkannya namun tak ada reaksi anakku untuk segera bangun. Akupun menjadi heran, tidak biasanya putriku susah dibangunkan. Dia tidak bergerak sedikit pun. Wajahnya pucat pasi. Aku letakkan tellingaku di dadanya tapi tidak ada detak jantungnya. Aku mulai khawatir aku cek hidungnya apakah masih ada nafasnya apa tidak. Ternyata nafasnyapun telah hilang. Aku menjadi tak binggung, pikiranku tak karuan dengan bertanya-tanya dalam hati. Kenapa dengan anakku?
Akhirnya aku sadar apa yang terjadi dengan anakku. Putriku telah meninggal. Secepat itu aku menangis tersedu-sedudu menangisi kepergian anakku, meratapi nasib yang aku alami. Putriku yang selama ini menjadi kekuatan dan semangat menjalani hari-hariku. Kenapa singkat sekali di menemaniku? Kenapa dia yang lebih dulu meninggal? Kenapa tidak aku saja?
Aku tidak boleh sedih. Ini adalah jalanku yang diberikan Allah. Aku harus menerima dan merelakannya. Harus ikhlas. Semoga anakku diterima disisiNYA. Aku akan selalu mendoakannmu, nak. Tunggu bapak di surga bersama ibumu. Bapak pasti menyusulmu. Kita akan berkumpul kembali. Menjadi keluarga yang selalu bahagia yang setiap saat ada canda dan tawa diantara kita. Tak akan kita kenal yang namanya kesedihan, kehampaan, kekecewaa, kepahitan hidup. Semua berubah menjadi kebahagiaan.
Pengarang: supendi
Nama pena : Maspend
Bekerja di SMA Darul Ulum Sugio.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar