Banyak orang berpendapat bahwa sejak
krismon 1997 Indonesia telah menjadi korban arus besar “globalisasi” yang
telah menghancur-leburkan sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral
bangsa. “Diagnosis” tersebut menurut pendapat kami memang benar dan kami ingin
menunjukkan di sini bahwa kecemasan dan keprihatinan kami sendiri sudah berumur
23 tahun sejak kami menyangsikan ajaran-ajaran dan paham ekonomi Neoklasik
Barat yang memang cocok untuk menumbuhkan ekonomi (ajaran efisiensi) tetapi
tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan (ajaran keadilan). Pada waktu itu
(1979) kami ajukan ajaran ekonomi alternatif yang kami sebut Ekonomi
Pancasila. Pada tahun 1981 konsep Ekonomi Pancasila dijadikan “Polemik
Nasional” selama 6 bulan tetapi selanjutnya digemboskan dan ditenggelamkan.
Kini 21 tahun kemudian, kami mendapat banyak undangan
ceramah/seminar tentang ekonomi kerakyatan yang dianggap kebanyakan
orang merupakan ajaran baru setelah konsep itu muncul secara tiba-tiba pada era
reformasi. Kami ingin tegaskan di sini bahwa konsep ekonomi kerakyatan bukan
konsep baru. Ia merupakan konsep lama yaitu Ekonomi Pancasila, namun
hanya lebih ditekankan pada sila ke 4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Inilah asas demokrasi
ekonomi sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal 33 UUD 1945, yang oleh
ST MPR 2002 dijadikan ayat 4 baru.
Mengapa
tidak dipakai konsep Ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah kata Pancasila telah
“dikotori” oleh Orde Baru yang memberi tafsiran keliru dan selanjutnya
“dimanfaatkan” untuk kepentingan penguasa Orde Baru. Kini karena segala ajaran
Orde Baru ditolak, konsep Ekonomi Pancasila juga dianggap tidak pantas untuk
disebut-sebut lagi.
Pada
buku baru yang kami tulis di AS bersama seorang rekan Prof. Daniel W. Bromley “A
Development Alternative for Indonesia”, bab 4 kami beri judul The New
Economics of Indonesian Development: Ekonomi Pancasila, dengan isi (1)
Partisipasi dan Demokrasi Ekonomi, (2) Pembangunan Daerah bukan Pembangunan di
Daerah, (3) Nasionalisme Ekonomi, (4) Pendekatan Multidisipliner dalam
Pembangunan, dan (5) Pengajaran Ilmu Ekonomi di Universitas. Kesimpulan kami
tetap sama seperti pada tahun 1979 yaitu bahwa hanya dalam sistem Ekonomi
Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat
dicapai yaitu melalui etika, kemanusiaan, nasionalisme,
dan demokrasi/kerakyatan. Berikut kami sampaikan terjemahan bab terakhir
(bab 5) Summary and Implications dari buku kami tersebut.
Ringkasan dan Implikasi
Kami
telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan. Kegusaran
utama kami adalah bahwa kebijaksanaan
pembangunan Indonesia telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh
oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam
ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru
menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk
secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas
tidak tepat sebagai obat bagi
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.
Pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan
ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”, pulang ke negerinya dengan penguasaan peralatan
teori ekonomi yang abstrak, dan serta merta merumuskan dan menerapkan kebijakan
ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang menurut mereka juga akan membawa
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
Para “teknokrat” ini bergaul akrab dengan pakar-pakar
dari IMF dan Bank Dunia, dan mereka segera tersandera ajaran dogmatis tentang
pasar, dengan alasan untuk menemukan “lembaga dan harga-harga yang tepat”, dan
selanjutnya menggerakkan mereka lebih lanjut pada penelitian-penelitian dan
arah kebijaksanaan yang memuja-muja persaingan atomistik, intervensi pemerintah
yang minimal, dan menganggung-agungkan keajaiban pasar sebagai sistem ekonomi
yang baru saja dimenangkan. Doktrin ini sungguh sangat kuat daya pengaruhnya
terutama sejak jatuhnya rezim Stalin di Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni
Soviet. Nampaknya sudah berlaku pernyataan “kini kita semua sudah menjadi
kapitalis”. Sudahkah kita sampai pada “akhir sejarah ekonomi?”. Belum tentu.
Keprihatinan kita yang kedua adalah bahwa pertumbuhan
pendapatan nasional per kapita sebenarnya merupakan indikator paling buruk dari
kemajuan serta pembangunan ekonomi dan sosial yang menyeluruh. Bagi mereka yang
bersikukuh bahwa Indonesia harus terus mengejar pertumbuhan ekonomi sekarang,
dan baru kemudian memikirkan pembagiannya dan keberlanjutannya, kami ingin
mengingatkan bahaya keresahan politik yang sewaktu-waktu bisa muncul. Kami
secara serius menolak pendapat yang demikian. Suatu negara yang kaya dan maju
berdasarkan sebuah indikator, jelas bukan negara yang ideal jika massa besar
yang terpinggirkan berunjuk rasa di jalan-jalan. Keangkuhan dari pakar-pakar
ekonomi dan komitmen mereka pada kebijakan ekonomi gaya Amerika merupakan
kemewahan yang tak dapat lagi ditoleransi Indonesia. Praktek-praktek perilaku
yang diajarkan paham ekonomi yang demikian, dan upaya mempertahankannya
berdasarkan pemahaman yang tidak lengkap dari perekonomian, hukum, dan sejarah
bangsa Amerika, mengakibatkan terjadinya praktek-praktek yang keliru secara
intelektual yang harus dibayar mahal oleh Indonesia. Komitmen pada model-model
ekonomi abstrak dan kepalsuan pengetahuan tentang proses pembangunan, mengancam
secara serius keutuhan bangsa dan keserasian politik bangsa Indonesia yang
lokasinya terpencar luas di pulau-pulau yang menjadi rawan karena sejarah,
demografi, dominasi dan campur tangan asing, dan ancaman globalisasi yang
garang. Kami khawatir Indonesia telah menukar penjajahan fisik dan politik
selama 3½ abad, dengan 3½ dekade “imperialisme intelektual”. Sungguh sulit
membayangkan kerugian yang lebih besar lagi.
Gerakan Anti Globalisasi
Dalam
13 tahun terakhir sejak “Washington Concensus" [2] (1989) mengkoyak-koyak perekonomian
negara-negara berkembang dari mulai Amerika Latin, bekas Uni Soviet, dan
negara-negara Asia Timur, di mana-mana muncul gerakan untuk melawannya, yang
disebut gerakan anti-globalisasi. Gerakan ini mengadakan unjukrasa
(demonstrasi) menentang pertemuan-pertemuan WTO, IMF, dan Bank Dunia, mulai
dari Seattle (1999), Praha (2000), sampai di Genoa Italia (2001). Dan berbagai
LSM tingkat dunia (NGO) menerbitkan buku-buku yang menganalisis secara ilmiah.
Terakhir terbit buku Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (Norton,
2002) yang diresensi di mana-mana karena Stiglitz kebetulan adalah penerima
hadiah Nobel Ilmu Ekonomi 2001 dan justru pernah menjadi Wakil Presiden Senior
Bank Dunia (1997-2000).
Washington Consencus adalah judul sebuah “kesepakatan” antara IMF, Bank Dunia, dan
Departemen Keuangan Amerika Serikat yang tercapai di Washington DC berupa resep
mengatasi masalah ekonomi negara-negara Amerika Latin yang dirumuskan oleh John
Williamson sekitar tahun 1989 yaitu 10 kebijakan/strategi: (1) fiscal
discipline, (2) A redirection of public expenditure priorities towards fields
with high economic returns and the potential to improve income distribution,
such as primary health care, primary education, and infrastructure, (3) Tax
reform (to lower marginal tax rates and broaden the tax base), (4) Interest
rate liberalization, (5) A competitive exchange rate, (6) Trade liberalization,
(7) Liberalization of FDI inflows, (8) Privatization, (9) Deregulation (in the
sense of abolishing barriers to entry and exit), dan (10) Secure
property rights.
Dari
segi teori, perlawanan terhadap “imperialisme intelektual” ilmu ekonomi
Neoklasik sudah lebih lama meskipun juga menjadi lebih relevan dan legitimate
(syah) sejak “Washington Consensus”. Selanjutnya Paul Ormerod (The
Death of Economics, 1992) menyatakan ilmu ekonomi Neoklasik ortodoks harus
dianggap sudah mati, dan Steve Keen “menelanjanginya” dalam Debunking
Economics (2001).
Di
Indonesia perlawanan terhadap teori ekonomi Neoklasik dimulai tahun 1979 dalam
bentuk konsep Ekonomi Pancasila, tetapi karena pemerintah Orde Baru yang
didukung para teknokrat (ekonomi) dan militer begitu kuat, maka konsep Ekonomi
Pancasila yang dituduh berbau komunis lalu dengan mudah dijadikan musuh
pemerintah, dan masyarakat seperti biasa mengikuti “arahan” pemerintah agar
konsep Ekonomi Pancasila ditolak. Namun reformasi 1997-98 menyadarkan bangsa
Indonesia bahwa paradigma ekonomi selama Orde Baru memang keliru karena tidak
bersifat kerakyatan, dan jelas-jelas berpihak pada kepentingan konglomerat yang
bersekongkol dengan pemerintah. Maka munculah gerakan ekonomi kerakyatan
yang sebenarnya tidak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila, tetapi karena
kata Pancasila telah banyak disalahgunakan Orde Baru, orang cenderung alergi
dan menghindarinya. Jika Ekonomi Pancasila mencakup 5 sila (bermoral,
manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial), maka ekonomi kerakyatan
menekankan pada sila ke-4 saja yang memang telah paling banyak dilanggar
selama periode Orde Baru.
UGM
telah memutuskan membuka Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) untuk
menghidupkan kembali tekadnya mengembangkan sistem Ekonomi Pancasila yang
berawal pada tahun 1981 ketika Fakultas Ekonomi UGM mencuatkan dan menggerakkan
pemikiran-pemikiran mendasar tentang moral dan sistem ekonomi Indonesia.
Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila dimaksudkan untuk benar-benar mengkaji
dasar-dasar moral, ilmu, dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ideologi
Pancasila, karena UGM sudah lama dikenal sebagai pengembang gagasan Pancasila
dan sudah memiliki Pusat Studi Pancasila.
Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Sistem
Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan
pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan
ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan sampai 57 tahun
Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak berjalannya sistem
ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik,
mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Moral
Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial
mencakup:
1.
peningkatan
partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan
otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab;
2.
penyegaran
nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan
ekonomi;
3.
pendekatan
pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.
4.
pencegahan
kecenderungan disintegrasi sosial;
5.
penghormatan
hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat;
6.
pengkajian ulang
pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi.
Srategi
pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan
demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah
pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih
diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat
ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi
manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah
pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka
yang paling miskin dan tertinggal.
Kesimpulan
Globalisasi
bukan momok tetapi merupakan kekuatan serakah dari sistem
kapitalisme-liberalisme yang harus dilawan dengan kekuatan ekonomi-politik
nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat. Semasa krismon kekuatan ekonomi
rakyat telah terbukti mampu bertahan. Ekonomi rakyat benar-benar tahan banting.
Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) 3 (Juni –
Desember 2000) membuktikan hal itu dengan menunjukkan 70% rumah tangga
meningkat standar hidupnya. Krismon memang lebih menerpa orang-orang kota dan
menguntungkan orang-orang desa. Bagi kebanyakan orang desa tidak ada krisis
ekonomi. Kesan krisis ekonomi memang dibesar-besarkan oleh mereka yang tidak
lagi mampu “berburu rente” (rent seekers) yang bermimpi masih dapat
kembalinya sistem ekonomi “persaingan monopolistik” yang lebih menguntungkan
sekelompok kecil orang/pengusaha kaya tetapi merugikan sebagian besar golongan
kecil ekonomi rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar