RESOLUSI
JIHAD NU - Fakta Sejarah di balik Perang Surabaya 1945
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William H. Frederick (1989) sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif -- yang tiga minggu di antaranya – sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia, secara kronologis sejarah tidak bisa dipisahkan dari Perang Rakyat dalam bentuk Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang berlangsung sangat brutal selama tiga hari, tanggal 27 – 28 – 29 Oktober 1945 dengan kesudahan sekitar 2000 orang pasukan Brigade ke-49 tewas termasuk Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang terbunuh tanggal 31 Oktober, di mana Perang Rakyat selama tiga hari itu tidak terlepas sama sekali dari Resolusi Jihad NU yang dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya. Itu berarti, lima hari setelah Resolusi Jihad NU pecah Perang Rakyat tiga hari pada 27 – 28 – 29 Oktober 1945 dan 12 hari setelah Perang Rakyat itu atau 17 hari setelah Resolusi Jihad NU itu pecah perang besar 10 November 1945 yang dikenang oleh pihak Inggris sebagai perang paling mencekam yang diperingati dengan satu kalimat singkat “Once and Forever.”
Lahirnya Resolusi Jihad NU saat itu, bukanlah peristiwa insidental yang muncul tanpa perhitungan matang, apalagi hanya berdasar pertimbangan situasional. Para pimpinan NU seperti KH Hasyim Asy’ari, yang sejak keluar dari Penjara Koblen Surabaya tidak kembali ke Tebuireng tetapi tinggal di Surabaya, cukup dekat dengan kalangan pergerakan dan memperoleh informasi cukup banyak tentang perkembangan situasi politik, termasuk peta kekuatan kalangan nasionalis pasca kekalahan Jepang. Bahkan secara khusus, KH Hasyim Asy’ari mengetahui seberapa besar kekuatan para santri Nahdliyyin di tubuh TNI dan badan-badan perjuangan. Dan yang paling menentukan, adalah pembacaan terhadap semangat rakyat yang meluap-luap semenjak akhir bulan September sampai pertengahan bulan Oktober yang butuh suatu kanalisasi yang bermuara kepada perlawanan terhadap siapa pun di antara kekuatan kulit putih yang akan kembali menjajah Indonesia.
Sebagaimana telah diketahui bahwa tanggal 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No.44 tentang pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65 Daidan (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap Daidan beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho (komandan batalyon) pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat Chudancho. Setiap Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin seorang Chudancho (komandan kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan terdiri dari 3 shodan yang dipimpin seorang shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat letnan. Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin seorang bundancho (komandan regu) pangkat setingkat sersan. Dari 65 batalyon itu, 20 orang komandan dan kepala stafnya adalah para kyai di mana akibat banyaknya kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?”
Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan oleh pemuka agama yang didukung petani, perajin, tukang, pedagang yang dipersenjatai yang di dalam peperangan menggunakan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern di mana sebagian besar umat Islam dilatih langsung oleh tentara-tentara professional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda yang didukung sekutu dalam pertempuran di Laut Jawa.
Setahun kemudian, pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai muda dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K. Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji’un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto), K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
KH Hasyim Asy’ari menyambut baik pembentukan paramiliter Hizbullah ini. Itu tercermin pada sambutan tertulis beliau selaku syuumubutyo (Kepala Jawatan Agama) yang dibacakan oleh KH Abdul Kahar Muzakkir, dalam penutupan latihan pemimpin Hizbullah se-Jawa pada 20 Mei 1945, yang isinya sebagai berikut:
“Saya yakin bahwa pemuda yang telah rela memasuki barisan Hizbullah dan yang sabar mengatasi segala kesukaran dalam latihan ini, adalah pemuda-pemuda Islam pilihan di seluruh Jawa. Maka pada saat bangsa Indonesia menghadapi suatu kejadian yang penting sekali, yakni timbulnya bangsa yang merdeka, yang dapat menegakkan agama Allah, sungguh besar kewajibanmu sebagai harapan bangsa. Bangsa Indonesia kini sedang berjuang, untuk membentuk dan menyelenggarakan negara Indonesia yang merdeka. Kamu harus menjadi tenaga yang sebaik-baiknya untuk mencapai cita-cita itu. Buktikanlah kepada segenap dunia, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih hidup dan umat Islam di Indonesia adalah umat yang masih hidup pula.”
Sebulan setelah latihan pemimpin Hizbullah, diselenggarakan pula latihan seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki yang dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945. Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Mayor Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki.
Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Para kyai di pesantren-pesantren pun membentuk satuan-satuan paramiliter baru yang disebut Sabilillah. Para santri dan warga sekitar pesantren, adalah anggota utama dari pasukan Sabilillah ini. Sementara masyarakat arek yang tinggal di kawasan Surabaya – Gresik – Lamongan – Tuban - Bojonegoro – Mojokerto – Jombang – Pasuruan - Malang ditambah masyarakat Tapal Kuda yang secara kultural memiliki akar yang sama dengan NU, adalah komunitas yang selama pendudukan Jepang mendapat latihan-latihan militer lewat Tonari Gumi dengan kinrohoshi, Chokai dengan keibodan, dan seinendan. Keibodan yang dipersenjatai takiyari (bambu runcing) di seluruh Jawa dengan jumlah ditaksir lebih dari satu juta orang. Sementara pemuda pelajar yang dilatih dalam Seinendan diperkirakan jumlahnya sekitar lima juta orang.
Situasi Surabaya Menjelang Resolusi Jihad
Sejak kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan Republik Indonesia dibentuk pada 18 Agustus 1945, para elit pemimpin di berbagai daerah sibuk membentuk pemerintahan dengan pijakan kepentingan individu yang kuat dengan menjalin kekuasaan kelembagaan yang dibutuhkan, sampai pembentukan tentara nasional pun terabaikan. Keadaan inilah yang menjadi salah satu penyulut tindakan kekerasan di tengah masyarakat yang ditandai bermunculannya kelasykaran-kelasykaran sepanjang awal bulan September 1945. Bahkan kalangan pelajar pun, lepas dari kendali untuk bisa diatur, sebagaimana terlihat pada kasus 3 September 1945 di mana para pemuda dengan kasar menolak untuk diatur-atur oleh elit agar mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah. Dan itu dibuktikan dengan pawai raksasa di Tambaksari tanggal 11 September 1945. Dan 19 September 1945 pecah insiden bendera di Hotel Oranye.
Tanggal 21 September 1945 Doel Arnowo adakan rapat terbuka di GNI Surabaya dihadiri anggota KNID. Dr Moestopo yang sudah memanggil mantan anggota PETA ke Surabaya bersumpah bahwa ia dan pasukannya akan mengambil alih markas sekutu. Ini adalah reaksi terhadap pembentukan markas RAPWI di Hotel Oranye yang dipimpin seorang perwira Belanda bernama P.G. de Back pada tanggal 21 September 1945 itu. Bahkan tanggal 23 September 1945, sebuah tim di bawah Kepala kantor Belanda Untuk Urusan Orang-orang Terlantar, D.L.Asjes, masuk ke kota surabaya di bawah perlindungan pasukan kehormatan Jepang. Hari itu datang juga perwira Belanda P.J.G.Huijer yang berbicara langsung dengan Panglima AD dan panglima AL Jepang sebagai wakil Belanda dan Inggris.
Tanggal 27 September 1945 mulai terjadi konfrontasi antara warga kampung dengan tentara Jepang. Perkelahian yang berlangsung di gerbang-gerbang masuk kampung itu selalu berakhir dengan tentara Jepang lari atau tewas terbunuh dan senjatanya diambil warga kampung. Menurut kesaksian warga yang terlibat perkelahian dengan tentara Jepang, salah satu pemicu keberanian warga menyerang tentara Jepang karena semua sudah diberitahu para sesepuh bahwa waktu habisnya kekuasaan Jepang sudah datang (titi wanci) sesuai Ramalan Jayabaya. Selain itu, takiyari (bambu runcing) milik mereka sudah diberi ‘asma oleh para kyai.
Tanggal 29 September 1945 di dekat Pasar Blauran terjadi insiden di mana kendaraan militer yang membawa seorang perwira Jepang menabrak dokar. Kusir dan penumpang dokar luka-luka. Dalam sekejap perwira Jepang dan sopirnya itu dikeroyok massa. Untung diselamatkan PRI sehingga tidak terbunuh. Tapi malam hari, patroli Jepang dicegat dan diserang massa. Tentara Jepang lari meninggalkan truk dan senjata yang dirampas massa. Menurut kesaksian, yang mengordinasi penduduk untuk menyerang tentara Jepang adalah Pemuda Ansor yang tergabung dalam barisan Hizbullah pimpinan Cak Achyat.
Tanggal 30 September 1945 massa dari berbagai kampung sekitar Blauran bergerak menuju ke Don Bosco, kawasan Sekolah Katholik yang menjadi barak-barak Tentara Jepang. Sambil berteriak-teriak, massa mengepung tentara Jepang yang dicekam ketegangan. Untung cepat datang Kepala Polisi Khusus M. Jasien, wakil-wakil KNID, BKR dan PRI yang menenangkan massa dengan menjadi juru runding dengan pihak Jepang. Massa tetap meminta agar Jepang menyerahkan semua senjata, pakaian, makanan, dan bahan-bahan lain kepada mereka. Akhirnya, Jepang menyerah dan memenuhi keinginan massa.
Keberhasilan Don Bosco dijadikan “rumus” oleh massa untuk melucuti Jepang. Demikianlah, pool kendaraan AD Jepang, fasilitas pemancar utama kota, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas lainnya dialihkan kepada wakil-wakil dari pemerintahan wilayah. Sepanjang tanggal 30 September 1945 selain terjadi pengepungan terhadap kekuatan Jepang yang berakhir dengan menyerahnya pihak Jepang, juga beredar desas-desus yang diikuti poster-poster tentang bakal diserangnya Jepang pada 1 Oktober 1945.
Tanggal 1 Oktober 1945 wilayah Surabaya pusat dibanjiri penduduk yang membawa bendera, poster, pedang, takiyari, dan senjata api. Didukung massa yang beringas ini wakil-wakil KNID, BKR, Polisi Khusus menekan pihak Jepang untuk menyerah. Pihak Jepang yang enggan menyerah diserang. Salah satu pihak yang menolak untuk menyerah adalah markas Kenpetai. Dalam aksi pertempuran antara massa rakyat dengan Kenpetai selama 36 jam, pada 2 Oktober 1945 kantor yang dikenal paling horor itu menyerah. 24 orang pemuda gugur. 40 orang Kenpetai tewas dan luka-luka serta ratusan tentara Jepang digiring ke kamp tawanan Koblen.
Ke-24 orang pahlawan itu dimakamkan di bekas Lapangan Canaalan pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan penghormatan militer dari polisi khusus. Penduduk datang berduyun-duyun sambil mengibarkan bendera merah putih. Para kyai hadir membacakan doa bagi para pahlawan. Upacara pemakaman ditutup dengan teriakan-teriakan “Hidup Indonesia!” dan “Indonesia Merdeka!”. Lalu tersebar kabar bahwa Kenpetai dikeluarkan dari penjara Koblen. Massa beramai-ramai ke penjara Koblen dan mendapati kerumunan massa lain sudah mengepung penjara tersebut. Saat itulah terjadi pelampiasan amarah massa yang membantai sebagian dari tawanan-tawanan Jepang tersebut. Anggota PRI dengan susah payah memasukkan kembali tawanan-tawanan itu ke penjara.
Memasuki pekan awal Oktober 1945, tentara Jepang di Semarang dan Bandung yang sudah dilucuti rakyat merebut kembali kota Semarang dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkan kepada Inggris. Pemerintah Republik Indonesia yang telah terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945 menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan mengharapkan penyelesaian kasus itu secara diplomatik. Pemerintah tampaknya menerima saja ketika melihat bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Tindakan Jepang yang menguntungkan Inggris itu membuat marah para pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU.
Tanggal 6 Oktober 1945 massa dari kampung-kampung Surabaya dalam jumlah tak terhitung berkerumun di luar markas PRI di Simpang Club. Mereka marah karena PRI memasukkan kembali orang-orang Jepang ke penjara. Mereka menuntut agar tawanan Jepang dilepaskan. Tiga orang pimpinan PRI tanpa daya digiring ke penjara Koblen. Ternyata, penjara Koblen sudah penuh dengan kerumunan massa yang sedang marah-marah dengan aparat oemerintah yang kebanyakan anggota KNID seperti Sudirman, Bambang Suparto, Doel Arnowo, Angka Nitisastro, Bambang Kaslan, Dr Soewandhi, Sumarsono, Hardjadinata, dan lain-lain.
Ketika pimpinan PRI dan KNID sedang membahas langkah terbaik mengatasi kemarahan massa, sekumpulan orang menerobos penjagaan PRI yang mengamankan penjara. Di bawah todongan pedang, beberapa orang Jepang yang dikenal sebagai anggota Kenpetai diseret ke tengah kerumunan massa dan dieksekusi di bawah kemarahan. Bahkan akibat kemarahan tak terkendali, orang-orang bergantian meminum darah Kenpetai Jepang yang mereka sembelih itu. Setelah itu, kawanan pembunuh dengan membawa pedang berlumur darah menghadap para pemimpin dan meminta mereka untuk menjilat darah di pedang tersebut.
Tanggal 10 – 11 Oktober 1945 ketika PRI menggeledah kantor RAPWI dan perumahan Eropa tersiar kabar bahwa ditemukan banyak bukti tentang rencana serangan, perangkat radio, peta sistem komunikasi, instruksi dari pemerintah NICA di Australia, dan sejumlah besar mata uang Jepang. Padahal informasi menunjuk bahwa Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 14 Oktober 1945. Suasana di Surabaya pun memanas. Lalu dengan alasan untuk menghindari aksi massa, tanggal 15 Oktober 1945 sekitar 3500 orang Belanda dan Indo Belanda yang sudah dilepas dari interniran Jepang, diam-diam oleh PRI dinaikkan truk-truk dan dibawa ke penjara Kalisosok (werfstraat) untuk ditahan serta ditempatkan di sejumlahntempat yang aman. Sebagian truk yang membawa para tawanan itu dihadang massa di depan Simpang Club dan para tawanan dihakimi massa secara brutal.
Tanggal 15 Oktober 1945, Soetomo memproklamasikan terbentuknya BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dengan tujuan memangkas pengaruh PRI yang dicurigai bermain-mata dengan pihak Belanda. Tanggal 16 Oktober 1945, Radio Pemberontakan yang menyiarkan propaganda mulai mengudara. Radio Pemberontakan selain menyiarkan berita, juga menyiarkan aneka macam dorongan keberanian dan bahkan hasutan untuk melawan Belanda. Teriakan “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” sebelum dan setelah siaran, dengan cepat menarik umat Islam Surabaya. Banyak pengamat mencatat bahwa Soetomo, yang terkenal dengan nama Bung Tomo memiliki hubungan khusus dengan tokoh-tokoh Islam. Ia bahkan diketahui mendapat kepercayaan dan dukungan dari KH Wachid Hasyim.
Resolusi Jihad dan Pengaruhnya
Kabar bakal mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA makin keras terdengar di tengah penduduk Surabaya yang dicekam kemarahan menunggu kedatangan tentara Belanda yang membonceng pasukan Inggris itu. Atas dasar berbagai pertimbangan – salah satunya momentum semangat melawan masyarakat terlatih yang tak tersalurkan – membuat PBNU mengundang konsul-konsul NU di seluruh jawa dan madura agar hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”
Dalam tempo singkat, Surabaya guncang oleh kabar seruan jihad dari PBNU. Dari masjid ke masjid dan dari musholla ke musholla tersiar seruan jihad yang dengan sukacita disambut penduduk Surabaya. Atas dasar pertimbangan politik, Resolusi Jihad tidak disiarkan di radio. Namun dari pidato Bung Tomo tanggal 24 Oktober 1945 yang berbeda dari biasanya, terlihat jelas pesan yang disampaikan agar tidak arek-arek Surabaya jangan gampang berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat di Surabaya. Isi pidato Bung Tomo tersebut, adalah sebagai berikut:
“Kita ekstrimis dan rakyat sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”
“Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Dengan mencermati detik-detik setelah dimaklumkannya Resolusi Jihad Fii Sabilillah oleh PBNU, terlihat sekali bagaimana rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya mengatur persiapan tersendiri dalam menyambut rencana pendaratan pasukan Sekutu di Surabaya, yang sebagian besar di luar perkiraan pemerintah RI di Jakarta. Bahkan pada sore hari, tanggal 24 Oktober 1945, sewaktu diadakan perundingan di Modderlust antara utusan Sekutu yang diwakili Colonel Carwood dan pihak TKRL diwakili Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan Nizam Zachman terjadi jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak. Malam hari jam 20.00 terdengar pidato Drg Moestopo, yang mengaku sebagai Menhan RI yang tegas-tegas menolak Sekutu untuk mendarat dan menyebut Sekutu sebagai NICA. Dan pidato Drg Moestopo itu dibalas oleh pemancar radio dari kapal yang isinya,”We don’t take any order from anybody, we don’t have the command of a dental surgeon!”
Tindakan Drg Moestopo yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta itu tidak bisa dicegah, termasuk setelah pemerintah mengirimkan Mr Soedarpo, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono agar bersedia membiarkan Sekutu menjalankan tugasnya. Akhirnya Drg Moestopo ditelpon langsung oleh Presiden Soekarno agar tidak menembak Sekutu.
Tanggal 25 Oktober 1945 HMS Wavenley bersandar di dermaga Modderlust dan mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur. Dengan siasat mengundang jamuan minum teh sambil berunding, Sekutu memanfaatkan kunjungan Drg Moestopo untuk melihat tawanan di Kalisosok dengan mendaratkan pasukan secara besar-besaran. Tindakan ini mengudang reaksi keras penduduk. Lalu diadakan perundingan antara Drg Moestopo dengan Kolonel Pugh. Hasilnya, pasukan Sekutu berhenti pada garis batas 800 meter dari pantai ke arah kota.
Tanggal 26 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak RI yang diwakili oleh wakil gubernur Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution, dan wakil Drg Moestopo, Jenderal Mayor Muhammad dengan pihak Sekutu yang diwakili A.W.S. Mallaby beserta staf. Dalam perundingan, pasukan sekutu diperbolehkan menggunakan beberapa bangunan di dalam kota. Markas Brigade ke-49 Mahratta ditempatkan di Kayoon. Dengan persetujuan itu, Sekutu membangun pos-pos pertahanan yang menebar dari kawasan pantai hingga ke bagian tengah dan selatan kota.
Tanggal 27 Oktober 1945 Sekutu mendaratkan lebih banyak pasukan untuk memperkuat pos-pos pertahanannya. Kira-kira jam 11.00 di atas langit Surabaya melesat pesawat Dakota yang menebarkan selebaran yang berisi perintah kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan peralatan Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada orang membawa senjata akan langsung ditembak di tempat. Tindakan Sekutu itu dijawab penduduk dengan memasang barikade-barikade di seluruh jalan kota. Lalu pertempuran pun pecah di depan Rumah Sakit Darmo yang merembet ke daerah Kayoon, Simpang, Ketabang, Jembatan Merah, dan Benteng di Ujung. Aliran listrik, telepon dan air minum diputus. Jalur logistik terhenti. Kota pada malam hari gelap gulita. Dropping logistik dari udara justru jatuh ke tangan rakyat.
Tanggal 28 Oktober 1945 yang merupakan hari peringatan Sumpah Pemuda ditandai dengan pertempuran sengit para pemuda melawan Sekutu. Menurut kesaksian para pelaku sejarah, salah satunya Brigjen Barlan Setiadijaya, pertempuran tanggal 28 Oktober 1945 itu sangat membingungkan sekutu. Sebab lawan mereka bukan tentara yang bertempur menggunakan pola operasi militer, melainkan gerakan rakyat yang fanatik dengan senjata apa saja menyerang pasukan sekutu dari kampung-kampung sekitar pos-pos pertahanan sekutu. Bahkan menurut arek-arek Surabaya seperti Luthfi Rachman, Perang Tiga Hari pada tanggal 27 – 28 -29 Oktober 1945 itu bukanlah perang, melainkan semacam tawuran massal karena rakyat Surabaya bertempur tidak ada yang mengkomando. Sepanjang hari, penduduk keluar dari kampung-kampung sambil meneriakkan takbir, menyerang pasukan Sekutu dari berbagai arah seperti semut mengerumuni bangkai. Tentara Sekutu yang lari menyelamatkan diri diburu dan begitu tertangkap beramai-ramai dibantai meski tentara-tentara asal India meminta ampun dan mengaku muslim, tetap saja dibunuh.
Pertempuran baru berhenti setelah tanggal 30 Oktober 1945 Bung Karno dan Bung Hatta datang ke Surabaya untuk meredam pertempuran. Gencatan senjata dilakukan. Namun dalam rangka sosialisasi gencatan senjata, tiba-tiba Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas dilempar granat dalam sebuah insiden di Hotel Internatio. Demikianlah, semangat Resolusi Jihad yang harusnya meredah dengan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta, ternyata makin menyala-nyala dan meledak menjadi bara api Perang Surabaya 10 November 1945 yang berlangsung selama 100 hari.
Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William H. Frederick (1989) sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif -- yang tiga minggu di antaranya – sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia, secara kronologis sejarah tidak bisa dipisahkan dari Perang Rakyat dalam bentuk Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang berlangsung sangat brutal selama tiga hari, tanggal 27 – 28 – 29 Oktober 1945 dengan kesudahan sekitar 2000 orang pasukan Brigade ke-49 tewas termasuk Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang terbunuh tanggal 31 Oktober, di mana Perang Rakyat selama tiga hari itu tidak terlepas sama sekali dari Resolusi Jihad NU yang dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya. Itu berarti, lima hari setelah Resolusi Jihad NU pecah Perang Rakyat tiga hari pada 27 – 28 – 29 Oktober 1945 dan 12 hari setelah Perang Rakyat itu atau 17 hari setelah Resolusi Jihad NU itu pecah perang besar 10 November 1945 yang dikenang oleh pihak Inggris sebagai perang paling mencekam yang diperingati dengan satu kalimat singkat “Once and Forever.”
Lahirnya Resolusi Jihad NU saat itu, bukanlah peristiwa insidental yang muncul tanpa perhitungan matang, apalagi hanya berdasar pertimbangan situasional. Para pimpinan NU seperti KH Hasyim Asy’ari, yang sejak keluar dari Penjara Koblen Surabaya tidak kembali ke Tebuireng tetapi tinggal di Surabaya, cukup dekat dengan kalangan pergerakan dan memperoleh informasi cukup banyak tentang perkembangan situasi politik, termasuk peta kekuatan kalangan nasionalis pasca kekalahan Jepang. Bahkan secara khusus, KH Hasyim Asy’ari mengetahui seberapa besar kekuatan para santri Nahdliyyin di tubuh TNI dan badan-badan perjuangan. Dan yang paling menentukan, adalah pembacaan terhadap semangat rakyat yang meluap-luap semenjak akhir bulan September sampai pertengahan bulan Oktober yang butuh suatu kanalisasi yang bermuara kepada perlawanan terhadap siapa pun di antara kekuatan kulit putih yang akan kembali menjajah Indonesia.
Sebagaimana telah diketahui bahwa tanggal 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No.44 tentang pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65 Daidan (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap Daidan beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho (komandan batalyon) pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat Chudancho. Setiap Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin seorang Chudancho (komandan kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan terdiri dari 3 shodan yang dipimpin seorang shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat letnan. Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin seorang bundancho (komandan regu) pangkat setingkat sersan. Dari 65 batalyon itu, 20 orang komandan dan kepala stafnya adalah para kyai di mana akibat banyaknya kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?”
Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan oleh pemuka agama yang didukung petani, perajin, tukang, pedagang yang dipersenjatai yang di dalam peperangan menggunakan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern di mana sebagian besar umat Islam dilatih langsung oleh tentara-tentara professional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda yang didukung sekutu dalam pertempuran di Laut Jawa.
Setahun kemudian, pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai muda dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K. Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji’un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto), K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
KH Hasyim Asy’ari menyambut baik pembentukan paramiliter Hizbullah ini. Itu tercermin pada sambutan tertulis beliau selaku syuumubutyo (Kepala Jawatan Agama) yang dibacakan oleh KH Abdul Kahar Muzakkir, dalam penutupan latihan pemimpin Hizbullah se-Jawa pada 20 Mei 1945, yang isinya sebagai berikut:
“Saya yakin bahwa pemuda yang telah rela memasuki barisan Hizbullah dan yang sabar mengatasi segala kesukaran dalam latihan ini, adalah pemuda-pemuda Islam pilihan di seluruh Jawa. Maka pada saat bangsa Indonesia menghadapi suatu kejadian yang penting sekali, yakni timbulnya bangsa yang merdeka, yang dapat menegakkan agama Allah, sungguh besar kewajibanmu sebagai harapan bangsa. Bangsa Indonesia kini sedang berjuang, untuk membentuk dan menyelenggarakan negara Indonesia yang merdeka. Kamu harus menjadi tenaga yang sebaik-baiknya untuk mencapai cita-cita itu. Buktikanlah kepada segenap dunia, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih hidup dan umat Islam di Indonesia adalah umat yang masih hidup pula.”
Sebulan setelah latihan pemimpin Hizbullah, diselenggarakan pula latihan seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki yang dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945. Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Mayor Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho), dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki.
Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Para kyai di pesantren-pesantren pun membentuk satuan-satuan paramiliter baru yang disebut Sabilillah. Para santri dan warga sekitar pesantren, adalah anggota utama dari pasukan Sabilillah ini. Sementara masyarakat arek yang tinggal di kawasan Surabaya – Gresik – Lamongan – Tuban - Bojonegoro – Mojokerto – Jombang – Pasuruan - Malang ditambah masyarakat Tapal Kuda yang secara kultural memiliki akar yang sama dengan NU, adalah komunitas yang selama pendudukan Jepang mendapat latihan-latihan militer lewat Tonari Gumi dengan kinrohoshi, Chokai dengan keibodan, dan seinendan. Keibodan yang dipersenjatai takiyari (bambu runcing) di seluruh Jawa dengan jumlah ditaksir lebih dari satu juta orang. Sementara pemuda pelajar yang dilatih dalam Seinendan diperkirakan jumlahnya sekitar lima juta orang.
Situasi Surabaya Menjelang Resolusi Jihad
Sejak kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan Republik Indonesia dibentuk pada 18 Agustus 1945, para elit pemimpin di berbagai daerah sibuk membentuk pemerintahan dengan pijakan kepentingan individu yang kuat dengan menjalin kekuasaan kelembagaan yang dibutuhkan, sampai pembentukan tentara nasional pun terabaikan. Keadaan inilah yang menjadi salah satu penyulut tindakan kekerasan di tengah masyarakat yang ditandai bermunculannya kelasykaran-kelasykaran sepanjang awal bulan September 1945. Bahkan kalangan pelajar pun, lepas dari kendali untuk bisa diatur, sebagaimana terlihat pada kasus 3 September 1945 di mana para pemuda dengan kasar menolak untuk diatur-atur oleh elit agar mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah. Dan itu dibuktikan dengan pawai raksasa di Tambaksari tanggal 11 September 1945. Dan 19 September 1945 pecah insiden bendera di Hotel Oranye.
Tanggal 21 September 1945 Doel Arnowo adakan rapat terbuka di GNI Surabaya dihadiri anggota KNID. Dr Moestopo yang sudah memanggil mantan anggota PETA ke Surabaya bersumpah bahwa ia dan pasukannya akan mengambil alih markas sekutu. Ini adalah reaksi terhadap pembentukan markas RAPWI di Hotel Oranye yang dipimpin seorang perwira Belanda bernama P.G. de Back pada tanggal 21 September 1945 itu. Bahkan tanggal 23 September 1945, sebuah tim di bawah Kepala kantor Belanda Untuk Urusan Orang-orang Terlantar, D.L.Asjes, masuk ke kota surabaya di bawah perlindungan pasukan kehormatan Jepang. Hari itu datang juga perwira Belanda P.J.G.Huijer yang berbicara langsung dengan Panglima AD dan panglima AL Jepang sebagai wakil Belanda dan Inggris.
Tanggal 27 September 1945 mulai terjadi konfrontasi antara warga kampung dengan tentara Jepang. Perkelahian yang berlangsung di gerbang-gerbang masuk kampung itu selalu berakhir dengan tentara Jepang lari atau tewas terbunuh dan senjatanya diambil warga kampung. Menurut kesaksian warga yang terlibat perkelahian dengan tentara Jepang, salah satu pemicu keberanian warga menyerang tentara Jepang karena semua sudah diberitahu para sesepuh bahwa waktu habisnya kekuasaan Jepang sudah datang (titi wanci) sesuai Ramalan Jayabaya. Selain itu, takiyari (bambu runcing) milik mereka sudah diberi ‘asma oleh para kyai.
Tanggal 29 September 1945 di dekat Pasar Blauran terjadi insiden di mana kendaraan militer yang membawa seorang perwira Jepang menabrak dokar. Kusir dan penumpang dokar luka-luka. Dalam sekejap perwira Jepang dan sopirnya itu dikeroyok massa. Untung diselamatkan PRI sehingga tidak terbunuh. Tapi malam hari, patroli Jepang dicegat dan diserang massa. Tentara Jepang lari meninggalkan truk dan senjata yang dirampas massa. Menurut kesaksian, yang mengordinasi penduduk untuk menyerang tentara Jepang adalah Pemuda Ansor yang tergabung dalam barisan Hizbullah pimpinan Cak Achyat.
Tanggal 30 September 1945 massa dari berbagai kampung sekitar Blauran bergerak menuju ke Don Bosco, kawasan Sekolah Katholik yang menjadi barak-barak Tentara Jepang. Sambil berteriak-teriak, massa mengepung tentara Jepang yang dicekam ketegangan. Untung cepat datang Kepala Polisi Khusus M. Jasien, wakil-wakil KNID, BKR dan PRI yang menenangkan massa dengan menjadi juru runding dengan pihak Jepang. Massa tetap meminta agar Jepang menyerahkan semua senjata, pakaian, makanan, dan bahan-bahan lain kepada mereka. Akhirnya, Jepang menyerah dan memenuhi keinginan massa.
Keberhasilan Don Bosco dijadikan “rumus” oleh massa untuk melucuti Jepang. Demikianlah, pool kendaraan AD Jepang, fasilitas pemancar utama kota, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas lainnya dialihkan kepada wakil-wakil dari pemerintahan wilayah. Sepanjang tanggal 30 September 1945 selain terjadi pengepungan terhadap kekuatan Jepang yang berakhir dengan menyerahnya pihak Jepang, juga beredar desas-desus yang diikuti poster-poster tentang bakal diserangnya Jepang pada 1 Oktober 1945.
Tanggal 1 Oktober 1945 wilayah Surabaya pusat dibanjiri penduduk yang membawa bendera, poster, pedang, takiyari, dan senjata api. Didukung massa yang beringas ini wakil-wakil KNID, BKR, Polisi Khusus menekan pihak Jepang untuk menyerah. Pihak Jepang yang enggan menyerah diserang. Salah satu pihak yang menolak untuk menyerah adalah markas Kenpetai. Dalam aksi pertempuran antara massa rakyat dengan Kenpetai selama 36 jam, pada 2 Oktober 1945 kantor yang dikenal paling horor itu menyerah. 24 orang pemuda gugur. 40 orang Kenpetai tewas dan luka-luka serta ratusan tentara Jepang digiring ke kamp tawanan Koblen.
Ke-24 orang pahlawan itu dimakamkan di bekas Lapangan Canaalan pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan penghormatan militer dari polisi khusus. Penduduk datang berduyun-duyun sambil mengibarkan bendera merah putih. Para kyai hadir membacakan doa bagi para pahlawan. Upacara pemakaman ditutup dengan teriakan-teriakan “Hidup Indonesia!” dan “Indonesia Merdeka!”. Lalu tersebar kabar bahwa Kenpetai dikeluarkan dari penjara Koblen. Massa beramai-ramai ke penjara Koblen dan mendapati kerumunan massa lain sudah mengepung penjara tersebut. Saat itulah terjadi pelampiasan amarah massa yang membantai sebagian dari tawanan-tawanan Jepang tersebut. Anggota PRI dengan susah payah memasukkan kembali tawanan-tawanan itu ke penjara.
Memasuki pekan awal Oktober 1945, tentara Jepang di Semarang dan Bandung yang sudah dilucuti rakyat merebut kembali kota Semarang dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkan kepada Inggris. Pemerintah Republik Indonesia yang telah terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945 menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan mengharapkan penyelesaian kasus itu secara diplomatik. Pemerintah tampaknya menerima saja ketika melihat bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Tindakan Jepang yang menguntungkan Inggris itu membuat marah para pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU.
Tanggal 6 Oktober 1945 massa dari kampung-kampung Surabaya dalam jumlah tak terhitung berkerumun di luar markas PRI di Simpang Club. Mereka marah karena PRI memasukkan kembali orang-orang Jepang ke penjara. Mereka menuntut agar tawanan Jepang dilepaskan. Tiga orang pimpinan PRI tanpa daya digiring ke penjara Koblen. Ternyata, penjara Koblen sudah penuh dengan kerumunan massa yang sedang marah-marah dengan aparat oemerintah yang kebanyakan anggota KNID seperti Sudirman, Bambang Suparto, Doel Arnowo, Angka Nitisastro, Bambang Kaslan, Dr Soewandhi, Sumarsono, Hardjadinata, dan lain-lain.
Ketika pimpinan PRI dan KNID sedang membahas langkah terbaik mengatasi kemarahan massa, sekumpulan orang menerobos penjagaan PRI yang mengamankan penjara. Di bawah todongan pedang, beberapa orang Jepang yang dikenal sebagai anggota Kenpetai diseret ke tengah kerumunan massa dan dieksekusi di bawah kemarahan. Bahkan akibat kemarahan tak terkendali, orang-orang bergantian meminum darah Kenpetai Jepang yang mereka sembelih itu. Setelah itu, kawanan pembunuh dengan membawa pedang berlumur darah menghadap para pemimpin dan meminta mereka untuk menjilat darah di pedang tersebut.
Tanggal 10 – 11 Oktober 1945 ketika PRI menggeledah kantor RAPWI dan perumahan Eropa tersiar kabar bahwa ditemukan banyak bukti tentang rencana serangan, perangkat radio, peta sistem komunikasi, instruksi dari pemerintah NICA di Australia, dan sejumlah besar mata uang Jepang. Padahal informasi menunjuk bahwa Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 14 Oktober 1945. Suasana di Surabaya pun memanas. Lalu dengan alasan untuk menghindari aksi massa, tanggal 15 Oktober 1945 sekitar 3500 orang Belanda dan Indo Belanda yang sudah dilepas dari interniran Jepang, diam-diam oleh PRI dinaikkan truk-truk dan dibawa ke penjara Kalisosok (werfstraat) untuk ditahan serta ditempatkan di sejumlahntempat yang aman. Sebagian truk yang membawa para tawanan itu dihadang massa di depan Simpang Club dan para tawanan dihakimi massa secara brutal.
Tanggal 15 Oktober 1945, Soetomo memproklamasikan terbentuknya BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dengan tujuan memangkas pengaruh PRI yang dicurigai bermain-mata dengan pihak Belanda. Tanggal 16 Oktober 1945, Radio Pemberontakan yang menyiarkan propaganda mulai mengudara. Radio Pemberontakan selain menyiarkan berita, juga menyiarkan aneka macam dorongan keberanian dan bahkan hasutan untuk melawan Belanda. Teriakan “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” sebelum dan setelah siaran, dengan cepat menarik umat Islam Surabaya. Banyak pengamat mencatat bahwa Soetomo, yang terkenal dengan nama Bung Tomo memiliki hubungan khusus dengan tokoh-tokoh Islam. Ia bahkan diketahui mendapat kepercayaan dan dukungan dari KH Wachid Hasyim.
Resolusi Jihad dan Pengaruhnya
Kabar bakal mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA makin keras terdengar di tengah penduduk Surabaya yang dicekam kemarahan menunggu kedatangan tentara Belanda yang membonceng pasukan Inggris itu. Atas dasar berbagai pertimbangan – salah satunya momentum semangat melawan masyarakat terlatih yang tak tersalurkan – membuat PBNU mengundang konsul-konsul NU di seluruh jawa dan madura agar hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”
Dalam tempo singkat, Surabaya guncang oleh kabar seruan jihad dari PBNU. Dari masjid ke masjid dan dari musholla ke musholla tersiar seruan jihad yang dengan sukacita disambut penduduk Surabaya. Atas dasar pertimbangan politik, Resolusi Jihad tidak disiarkan di radio. Namun dari pidato Bung Tomo tanggal 24 Oktober 1945 yang berbeda dari biasanya, terlihat jelas pesan yang disampaikan agar tidak arek-arek Surabaya jangan gampang berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat di Surabaya. Isi pidato Bung Tomo tersebut, adalah sebagai berikut:
“Kita ekstrimis dan rakyat sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”
“Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Dengan mencermati detik-detik setelah dimaklumkannya Resolusi Jihad Fii Sabilillah oleh PBNU, terlihat sekali bagaimana rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya mengatur persiapan tersendiri dalam menyambut rencana pendaratan pasukan Sekutu di Surabaya, yang sebagian besar di luar perkiraan pemerintah RI di Jakarta. Bahkan pada sore hari, tanggal 24 Oktober 1945, sewaktu diadakan perundingan di Modderlust antara utusan Sekutu yang diwakili Colonel Carwood dan pihak TKRL diwakili Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan Nizam Zachman terjadi jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak. Malam hari jam 20.00 terdengar pidato Drg Moestopo, yang mengaku sebagai Menhan RI yang tegas-tegas menolak Sekutu untuk mendarat dan menyebut Sekutu sebagai NICA. Dan pidato Drg Moestopo itu dibalas oleh pemancar radio dari kapal yang isinya,”We don’t take any order from anybody, we don’t have the command of a dental surgeon!”
Tindakan Drg Moestopo yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta itu tidak bisa dicegah, termasuk setelah pemerintah mengirimkan Mr Soedarpo, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono agar bersedia membiarkan Sekutu menjalankan tugasnya. Akhirnya Drg Moestopo ditelpon langsung oleh Presiden Soekarno agar tidak menembak Sekutu.
Tanggal 25 Oktober 1945 HMS Wavenley bersandar di dermaga Modderlust dan mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur. Dengan siasat mengundang jamuan minum teh sambil berunding, Sekutu memanfaatkan kunjungan Drg Moestopo untuk melihat tawanan di Kalisosok dengan mendaratkan pasukan secara besar-besaran. Tindakan ini mengudang reaksi keras penduduk. Lalu diadakan perundingan antara Drg Moestopo dengan Kolonel Pugh. Hasilnya, pasukan Sekutu berhenti pada garis batas 800 meter dari pantai ke arah kota.
Tanggal 26 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak RI yang diwakili oleh wakil gubernur Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution, dan wakil Drg Moestopo, Jenderal Mayor Muhammad dengan pihak Sekutu yang diwakili A.W.S. Mallaby beserta staf. Dalam perundingan, pasukan sekutu diperbolehkan menggunakan beberapa bangunan di dalam kota. Markas Brigade ke-49 Mahratta ditempatkan di Kayoon. Dengan persetujuan itu, Sekutu membangun pos-pos pertahanan yang menebar dari kawasan pantai hingga ke bagian tengah dan selatan kota.
Tanggal 27 Oktober 1945 Sekutu mendaratkan lebih banyak pasukan untuk memperkuat pos-pos pertahanannya. Kira-kira jam 11.00 di atas langit Surabaya melesat pesawat Dakota yang menebarkan selebaran yang berisi perintah kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan peralatan Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada orang membawa senjata akan langsung ditembak di tempat. Tindakan Sekutu itu dijawab penduduk dengan memasang barikade-barikade di seluruh jalan kota. Lalu pertempuran pun pecah di depan Rumah Sakit Darmo yang merembet ke daerah Kayoon, Simpang, Ketabang, Jembatan Merah, dan Benteng di Ujung. Aliran listrik, telepon dan air minum diputus. Jalur logistik terhenti. Kota pada malam hari gelap gulita. Dropping logistik dari udara justru jatuh ke tangan rakyat.
Tanggal 28 Oktober 1945 yang merupakan hari peringatan Sumpah Pemuda ditandai dengan pertempuran sengit para pemuda melawan Sekutu. Menurut kesaksian para pelaku sejarah, salah satunya Brigjen Barlan Setiadijaya, pertempuran tanggal 28 Oktober 1945 itu sangat membingungkan sekutu. Sebab lawan mereka bukan tentara yang bertempur menggunakan pola operasi militer, melainkan gerakan rakyat yang fanatik dengan senjata apa saja menyerang pasukan sekutu dari kampung-kampung sekitar pos-pos pertahanan sekutu. Bahkan menurut arek-arek Surabaya seperti Luthfi Rachman, Perang Tiga Hari pada tanggal 27 – 28 -29 Oktober 1945 itu bukanlah perang, melainkan semacam tawuran massal karena rakyat Surabaya bertempur tidak ada yang mengkomando. Sepanjang hari, penduduk keluar dari kampung-kampung sambil meneriakkan takbir, menyerang pasukan Sekutu dari berbagai arah seperti semut mengerumuni bangkai. Tentara Sekutu yang lari menyelamatkan diri diburu dan begitu tertangkap beramai-ramai dibantai meski tentara-tentara asal India meminta ampun dan mengaku muslim, tetap saja dibunuh.
Pertempuran baru berhenti setelah tanggal 30 Oktober 1945 Bung Karno dan Bung Hatta datang ke Surabaya untuk meredam pertempuran. Gencatan senjata dilakukan. Namun dalam rangka sosialisasi gencatan senjata, tiba-tiba Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas dilempar granat dalam sebuah insiden di Hotel Internatio. Demikianlah, semangat Resolusi Jihad yang harusnya meredah dengan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta, ternyata makin menyala-nyala dan meledak menjadi bara api Perang Surabaya 10 November 1945 yang berlangsung selama 100 hari.
0 komentar:
Posting Komentar