PARADIGMA PERGERAKAN
Bukanlah pengecut orang yang tiarap
menghindarkan peluru mendesing; namun bodohlah orang yang menantang peluru
hanya untuk jatuh dan tidak kuasa bangkit kembali (Jose Rizal, Sastrawan
Filipina dalam Jangan Sentuh Aku)
Konsep
pengkaderan yang baik selalu berangkat dari kenyataan real sebuah zaman dan
selalu mengarah pada tujuan organisasi. Sehingga kader yang telah dididik oleh
organisasi mampu memahami keadaan zamannya, mampu mengambil pelajaran dan mampu
mengambil posisi gerak sesuai tujuan organisasi.
Selain
itu sebuah konsep pengkaderan yang baik juga senantiasa berorientasi untuk
meningkatkan tiga aspek utama, yakni Keimanan, pengetahuan dan ketrampilan.
Keimanan mendorong kader untuk berani dan tidak mau tunduk di hadapan segala
bentuk kemapanan serta ancaman duniawi. Pengetahuan membekali kader atas
keadaan zaman dimana dia bergerak, dan ketrampilan merupakan bekal bagi kader
agar mampu survive sekaligus bergerak
di zamannya.
Di
setiap zaman terdapat penanda-penanda yang membedakan satu zaman dengan zaman
lainnya. Penanda itu terdapat dalam kenyataan dan harus dibaca oleh organisasi
yang menginginkan kesambungan antara gerakan dengan zaman. Karena hanya dengan
mengerti kenyataan zamannya, cita-cita gerakan melakukan perbaikan terhadap
perikehidupan manusia dan masyarakat sesuai garis
Ilahiah mungkin diwujudkan. Tanpa
mengenali zaman sebagai medan geraknya maka organisasi akan ditampik oleh
zaman. Bahkan tanpa membubarkan diripun, organisasi semacam itu akan lumpuh
dengan sendirinya.
A. Refleksi Paradigma Pergerakan
Nalar gerak PMII secara teoritik
mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin
Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah
Paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan untuk menyatakan apa
yang oleh PMII disebut prinsip-prinsip
dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluraltas strategi sesuai
lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku berjudul Paradigma
Arus Balik Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma Pergerakan disambut
massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia. Paradigma
Pergerakan, demikian ‘judulnya’, dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota
pergerakan yang gerah dengan situasi sosial-politik nasional.
Dikemukakan dalam buku tersebut,
salah satu latar belakang Paradigma Pergerakan (atau populer dengan nama Arus
Balik) adalah kondisi sosio-politik bangsa yang ditandai oleh: 1) munculnya
negara sebagai aktor atau agen otonom yang peranannya “mengatasi” masyarakat
yang merupakan asal-usul eksistensinya, 2) menonjolnya peran dan fungsi
birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik, 3)
semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat – termasuk
intelektual, 4) diterapkannya model politik eksklusioner melalui jaringan
korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politik, dan 5) penggunaan
secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi
sistem politik yang ada. Lima ciri-ciri tersebut tidak jauh berbeda dengan
negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial
capitalist state) (1997; hal. 3).
Medan politik orde baru merupakan
arena subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara. Sikap perlawanan
tersebut didorong pula oleh konstruksi teologi antoposentrisme-transendental yang menekankan posisi khalifatullah fil-ardh sebagai
perwujudan penghambaan kepada Allah (‘abdullah).
Selain oleh teologi antroposentrisme-transendetal,
sikap perlawanan itu juga didorong dua tema pokok, pertama tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi
otoritas masyarakat dan kedua
menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan
masyarakat. (1997; hal. 17). Berikut ini ialah skema (Althusserian) yang lazim
digunakan untuk menjelaskan struktur penindasan negara.
Bagian penting lain dalam paradigma
tersebut adalah mengenai proses rekayasa sosial yang akan ditempuh PMII.
Rekayasa sosial oleh PMII diarahkan menjadi dua pola yaitu pasar bebas ide (free market
of ideas – FMI) dan Advokasi. FMI
mengasumsikan adanya transaksi
gagasan yang terjadi secara sehat yang dilakukan oleh individu-individu yang
bebas dan kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi. Dalam
FMI, individu diasumsikan telah
‘sampai’ pada penemuan dan kesadaran individualitasnya sebagai subyek yang
memiliki otoritas penuh di muka bumi – terlepas dari faktor di luar manusia
(heteronom) yang membelenggu individu.
Rekayasa sosial melalui advokasi dilakukan untuk segala korban
perubahan. Bentuk gerakannya ada tiga yakni sosialisasi wacana, penyadaran dan
pemberdayaan serta pendampingan. Cita-cita besar dari advokasi tidak lain adalah sebagai bagian dari pendidikan politik
masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society (1997; hal. 30). Kedua jalan rekayasa tersebut
memberikan energi yang luar biasa bagi PMII. Dikuatkan oleh bacaan tentang
kondisi sosio-politik, dasar teologis dan filosofis, PMII berada di garis
terdepan organisasi perlawanan terhadap negara. Lebih dari itu, di antara
organisasi mahasiswa Islam, PMII menjadi organisasi paling progresif dan
radikal dalam melakukan dekonstruksi teks-teks agama.
Pada periode sahabat Syaiful Bahri
Anshari, diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya
prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan Paradigma
Pergerakan. Titik bedanya terletak pada pendalaman teoritik paradigma serta
pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt (Frankfurt School) serta dari kritisisme
wacana intelektual Muslim seperti Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Ali Ashghar
Engiiner dll. Sementara di lapangan terdapat pola yang sama dengan PMII periode
sebelumnya; gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan
wacana-wacana kritis. Semangat perlawanan-oposisi (perang terbuka), baik dengan
negara maupun dengan kapitalisme global masih sangat mewarnai gerakan PMII.
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika KH
Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI pada november 1999. Para aktifis
PMII (dan aktifis civil society umumnya) mengalami kebingungan saat Gus Dur
yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society di Indonesia naik ke
tampuk kekuasan. Aktivis pro demokrasi mengalami dilema antara mendampingi Gus
Dur dari jalur ekstraparlemen, atau bersikap sama sebagaimana terhadap
presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada
kenyataan bahwa masih banyak unsur orba baik di legislatif maupun eksekutif
yang memusuhi presiden ke-4 tersebut. Namun pilihan tersebut akan memunculkan
pandangan bahwa aktivis prodemokrasi (termasuk PMII) menanggalkan semangat
perlawanannya. Meski demikian, secara nasional sikap PB PMII di masa
kepengurusan Sahabat Nusron Wahid secara tegas-terbuka mengambil tempat sebagai
pendukung demokrasi dan program reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh
presidan Gus Dur, sejalan dengan berbagai organisasi pro-dem yang lain.
Hanya titik persoalannya terletak pada paradigma gerakan
PMII itu sendiri. Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan
nuansa perlawanan frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas
negara (kapitalis internasional). Inilah yang ditemukan di tingkat
aktivis-aktivis PMII. Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita
gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis
PMII masih mudah terjebak-larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga
gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah
perkembangan Indonesia sendiri luput dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi
yang belum seberapa, aktivis PMII sering larut pada impian “membendung dominasi
negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga”. Efek besarnya, upaya
taktis-strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit
dilakukan.
Inilah mengapa kemudian dalam buku Membangun Sentrum Gerakan
di Era Neo Liberal yang diterbitkan pada era sahabat A. Malik Haramain (2004),
dikatakan bahwa dua paradigma di atas telah patah (2004: hal. 30). Kedua
paradigma di atas melanjutkan kagagapan PMII dalam bersinggungan dengan
kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan patahnya kedua
paradigma ini.
Pertama, keduanya
didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa
membaca kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan
perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai
contoh maraknya LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada
dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai rival USA dalam
kompetisi hegemoni dunia.
Kedua, dua paradigma di atas hanya menjadi bunyi-bunyian yang
tidak pernah secara real menjadi habitus
atau laku di PMII. Akibatnya bentuk
resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan.
Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor
utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus
berbuat apa.
Ketiga, pilihan dua paradigma di atas tidak didorong oleh
setrategi sehingga paradigma dianggap sebagai suatu yang baku. Mestinya ketika
medan pertempuran telah berganti, maka strategipun harus berbeda. Sayangnya
yang terjadi pada PMII, ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme orde
baru telah dilewati, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar
paradigma lama.
Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka
lebih bersifat teoritik-akademik (logos),
yakni diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang
berasal dari barat. Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis
kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektual
pun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme, yang di
level politik dan ekonomi maujud
dalam neoliberalisme. Dengan kata lain, dalam upaya melawan neoliberalisme,
banyak gerakan terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh
konsep-konsep liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society, sipil vs militer,
federalisme dll. difahami sebagai agenda substansial. Padahal dalam lapangan
politik dan ekonomi, kesemuanya tadi nyaris menjadi mainan negara-negara
neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak dari pikiran gerakan semacam itu memang
tidak akan pernah berhasil.
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma
berbasis kenyataan di PMII itu pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional
yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari
penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk sementara waktu organisasi akan
tersisih dari pergaulan gerakan mainstream. Gerakan harus mampu berkayuh di
antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap
terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita
yang rapuh. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.
B.
Indonesia Warga Habitat Global
Semenjak zaman Nusantara hingga zaman Negara-Bangsa,
perjalanan sejarah Indonesia selalu terkait dengan perkembangan di belahan
dunia lain. Hubungan dagang antara penduduk kerajaan-kerajaan di Nusantara
telah terjalin sejak abad ke-8 M dengan bangsa Tionghoa, India, Mesir, Persia.
Lalu mulai tahun 1511 hubungan dagang tersebut terjalin dengan bangsa Eropa
melalui armada Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’Albuquerque. Secara kasat
mata pula, itulah hubungan perdagangan asimetris pertama yang terjalin antara
kerajaan-kerajaan Nusantara dengan bangsa asing.
Bila ditelisik satu per satu, hampir tidak ada satupun
kerajaan Nusantara yang tidak terkait dengan perkembangan bangsa/kerajaan lain
di luar Nusantara. Sebagai misal, perjalanan sejarah Samudera Pasai berhubungan
dengan konflik politik-ekonomi-teologi antara Dinasti Fatimiah di Mesir yang
Syi’ah dan Shalahuddin Al-Ayyubi (Sunni/Syafi’i). Melalui Samudera Pasai,
Dinasti Fatimiah menguasai perdagangan lada. Menurut catatan sejarah, hasil
yang didapat dari perdagangan lada ketika itu mampu mengalirkan keuntungan yang
berlipat bagi dinasti tersebut.
Hingga saat Dinasti Fatimiah berhasil dikalahkan oleh
tentara Shalahuddin pada tahun 1168, hubungan Samudera Pasai dengan Mesir
terputus. Baru lebih dari satu abad kemudian (1285) Syi’ah di Samudera Pasai
berhasil digeser oleh kaum Sunni madzhab Syafi’i yang saat itu berpusat di
Mesir. Bahkan Sultan Malikul Saleh (Marah Silu) dilantik sebagai raja oleh
Syaikh Ismail, utusan Dinasti Mamluk, dan menjadi raja Samudera Pasai pertama
dari aliran Sunni. Keuntungan perdagangan lada dan berbagai jenis rempah-rempah
pun mengalir kembali ke Mesir.
Kerajaan lain seperti Sriwijaya, Malaka dan Majapahit juga
memiliki kecenderungan serupa. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu
pusat agama Buddha dan selalu dikunjungi oleh para pendeta yang berziarah ke
India. Untuk melindungi diri dari serangan kerajaan Siam, tahun 1403 raja
Parameswara (Malaka) meminta pengakuan kedaulatan dari Kaisar Yung-Lo
(Tiongkok/Dinasti Ming). Demikian pula Majapahit. Menjelang keruntuhannya, raja
Majapahit terakhir Prabu Girindrawardhana (1468-1527) bahkan berupaya untuk
mencari dukungan Portugis dalam melawan Demak.
Sejarah pembentukan negara-bangsa (nation-state) Indonesia bahkan lebih jelas lagi dalam menunjukkan
pengaruh gejolak di belahan dunia lain terhadap Indonesia. Kedatangan Portugis,
Spanyol, Belanda dan Inggris ke bagian-bagian Nusantara merupakan buah dari
persaingan dagang dan politik antar negeri-negeri Eropa tersebut. Salah satunya
adalah persaingan dagang antara Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian
Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bagian dengan Eropa sebagai titik
tengahnya. Bagian timur ‘dimiliki’ oleh Portugis dan sebelah barat ‘diserahkan’
kepada Spanyol.
Politik etis yang banyak melahirkan intelektual-nasionalis
generasi pertama Indonesia juga merupakan gelombang kesekian dari dinamika
politik dan ekonomi Belanda-Eropa. Termasuk Nasionalisme dan konsep
negara-bangsa (nation-state),
merupakan sublimasi teoritik-konseptual yang lahir dari pergulatan sosio
politik dan sosio ekonomi bangsa-bangsa di Eropa. Nasionalisme dikenal pertama
kali sebagai teori melalui catatan kuliah umum yang disampaikan oleh Ernest
Renan di Universitas Sorbonne Paris tahun 1882. Karya itu berjudul “Qu’est-ce qu’un nation?” (What is Nation?) yang berakar jauh dalam
sejarah sosial dan ekonomi Revolusi Perancis 1678.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 terjadi di
moment anti-klimaks Perang Dunia II, tepat ketika Negara-negara Sekutu berhasil
menundukkan negara-negara Axis. Dengan cerdik (dan berani) aktivis pergerakan
nasional mencuri moment untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Keawasan
mengamati gerak internasional, kecerdikan dan keberanian semacam itu ternyata
belum muncul kembali hingga dekade pertama abad XXI ini. Padahal dalam
periode-periode tersebut hingga saat ini, Indonesia tetap dipengaruhi oleh
perkembangan di balahan dunia lain dan oleh kenyataan global. Siapa yang dapat
menyangkal bahwa politik dan ekonomi Indonesia terpencil dari Perang Dingin
sepanjang tahun 1946 s.d. 1990? Dan siapa dapat membuktikan bahwa ekonomi dan
politik Indonesia terpisah dari gerak Sistem Dunia neoliberal pasca Perang
Dingin?.
Potret sejarah ringkas di atas menunjukkan bahwa Indonesia
tidak dapat dibaca tanpa mempertimbangkan dan menghitung alur gerak
internasional. Bahkan dalam konteks gerakan, menghitung gerak internasional
menjadi pra-syarat wajib dalam merumuskan gerakan di Indonesia. Ada pendapat
bahwa pembacaan gerak internasional dirasa muluk-muluk dan terkesan tidak
sambung dengan keadaan real sehari-hari orang per orang. Namun faktanya,
negara-bangsa Indonesia merupakan bagian kenyataan global. Sehingga dalam
konteks membangun gerakan, membaca kenyataan global dan posisi Indonesia di
dalamnya mau tidak mau harus dilakukan.
C.
Indonesia Di Tengah Pasar Bebas
Dalam
peradaban baru dunia global, kemajuan teknologi dan informasi menjadi
infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan ekonomi neoliberal. Melalui
teknologi informasi, pemegang modal raksasa di sektor keuangan dan industri
dengan mudah memindahkan modalnya dari satu negara ke negara yang lain hanya
dengan memencet mouse komputer.
Selain teknologi informasi,
sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh pemodal raksasa dari/dan
negera-negara dunia pertama. Tanpa menutup optimisme, andai kita jujur,
Indonesia dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global. Sebabnya, dalam
konsep international division of labour teori
world-system, negera-negara dunia
pertamalah yang menguasai sistem dunia saat ini sebagai negara-negara pusat (core) – muara aliran surplus ekonomi
yang bersumber dari negeri-negeri periphery
dan semi-periphery.
Negara-negara pusat
memainkan peran setrategis dalam setiap perumusan aturan internasional melalui
lembaga-lembaga internasional. Sebagai contoh adalah ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan
internasional dalam perdagangan barang lintas negara. Cara pandang penetapan
aturan dalam ISO mengacu pada cara pandang negara dunia pertama, yang jelas
berbeda dengan cara pandang negara-negara dunia ketiga. Aturan tersebut banyak
merugikan negara-negara dunia ketiga karena cenderung menghadapkan negara dunia
ketiga pada hukum besi mekanisme pasar.
Pola Historis Globalisasi Politik
Item
|
Pra Awal Modern (Abad
14-18)
|
Modern
(Abad 19-20)
|
Kontemporer
(1945 - ...)
|
Ekstensits
|
Sebagian besar bersifat
intra-teritorial dan intra-regional tetapi juga memulai ekspansi imperial.
|
Emperium
global;
Muncul sistem
negara bangsa
|
Sistem negara
global;
Muncul tataan
politik global;
Regionalisasi
politik dan inter-regionalisme
|
Intensitas
|
Volumenya
rendah, tetapi melonjak ketika para kompetitor politik atau ekonomi bertemu dan berbenturan
|
Volumenya
meningkat dan terjadi ekspansi hubungan
|
Terjadi
peningkatan drastis pada kesepakatan-kesepakatan internasional, jaringan dan
berbagai hubungan formal maupun informal.
|
Percepatan
|
Terbatas;
Sporadis
|
Meningkat
|
Terjadi percepatan
pada interaksi politik global seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi.
|
Pengaruh
(Negatif)
|
Sedikit;
tetapi terkonsentrasi
|
Meningkatnya
konsekuensi-konsekuensi institusional dan struktural
|
Tinggi:
saling terkait, sensitif dan rentan.
|
Infrastruktur
|
Minimal;
kerangka kerja amultilateral bergerak sangat lamban, mulai dari traktat
hingga konferensi organisasi
|
Munculnya
Organisasi dan rejim-rejim internasional maupun transnasional.
|
Perubahan
besar baik pada ukuran, bentuk, jumlah rejim, organisasi internasional dan
transnasinal serta mekanisme hukum.
Komunikasi
global “realtime” dan infrastruktur media.
|
Institusionalisasi
|
Minimal,
tetapi mulai ada diplomasi dan regularisasi jaringan kerja antar negara.
|
Perkembangan
rejim-rejim, peraturan-peraturan dan hukum internasional bersifat tentatif
tetapi rentan.
|
Ditandai
dengan pengembangan rejim, hukum internasional, dasar-dasar hukum
kosmopolitan serta struktur organisasi antar pemerintah maupun organisasi
transnasional (swasta).
|
Stratifikasi
|
Perkembangan
tatanan dunia yang Eropa sentris.
Organisasi
politik lemah, tersebar dan tidak merata melintasi batas teritotial.
|
Hirarki
kekuatan politik, militer dan ekonomi terkonsentrasi di Barat/Utara.
Kapabilitas
politik dikembangkan, tetapi hubungan yang tidak seimbang (asimetris) tetap
dipertahankan
|
Dari Dunia
yang Bipolar (perang dingin) ke Multipolar.
Kesenjangan
Utara dan Selatan mulai dikikis
seiring dengan munculnya NICs (Negara Industri Baru) dan aktor-aktor
non-negara.
|
Pola Interaksi
|
Persaingan;
perang-perang terbatas; Konfliktual/Koersif; Imperialis.
|
Teritorial;
Diplomatik; Geopolitik/Koersif; Imperialis; Konflik dan Kompetisi;
Pembentukan ke arah “total war”
|
Deteritorialisasi
dan reteritorialisasi.
“Reason of State” diupayakan dalam kerangka hubungan kerjasama (kooperatif) dan kolaboratif.;Kerjasama dan
Persaingan;Geo-ekonomik
dan End
of empire
|
Sumber : Global
Transformations; Politic, Economic and Culture, David Held
and Anthony McGrew, David Goldblatt and Jonathan
Perraton, Polity Press, UK, 1999.
Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak
untuk berinteraksi secara setara, sesungguhnya dapat diterima. Tetapi dalam
kenyataan sistem neoliberal saat ini, prinsip kesetaraan hanya mimpi belaka.
Prinsip perdagangan bebas yang dipandu dengan sistem moneter hampir-hampir
tidak menyisakan ruang bagi ekonomi negara dunia ketiga untuk bertahan, apalagi
menangguk laba. Dalam sistem-dunia saat ini para pemilik modal besarlah yang
mengambil untung.
Sementara Indonesia berada persis di tengah Pasar Bebas dan
terikat dengan berbagai perjanjian dagang baik di level regional maupun
internasional. Kita telah menandatangani keanggotaan WTO yang akan membentuk
dunia sebagai satu pasar pada tahun 2025. Dalam jangka yang lebih pendek,
selain telah membangun komitmen untuk mewujudkan Asia Tenggara sebagai pasar
bebas pada tahun 2015, Indonesia juga berkomitmen dalam perjanjian serupa
dengan negara-negara Asia Pasifi (APEC). Dengan kesepakatan-kesepakatan
tersebut, kemudian mencermati situasi sosial, politik dan ekonomi domestik saat
ini, tak seorangpun yang tidak akan gelisah membayangkan Indonesia kedapan.
Apabila kita melihat sejarah panjang Indonesia (1945-2006),
tampak bahwa negeri ini belum pernah sekalipun melakukan upaya serius untuk
mengkonsolidasikan kekuatan sosial, politik dan ekonominya menghadapi situasi
dunia pasca Perang Dingin. Dalam setiap kurun sejarah, telah terbukti Indonesia
menjadi bulan-bulanan negara-negara core
yang berebut sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan survival mereka sendiri. Upaya serius untuk menghitung bandul gerak
kenyataan global dan mencuri moment demi kepentingan bangsa seperti pernah
dilakukan tahun 1945, belum pernah terjadi. Bahkan dalam setiap moment
‘perubahan’ penting di Indonesia (1966, 1998), kita sama sekali tidak memiliki
skenario. Bila dicermati sungguh-sungguh baik pada tahun 1966 maupun 1998, kita
dihadapkan pada situasi yang secara faktual tidak kita mengerti sepenuhnya
sehingga kita tidak siap mengambil kendali.
Fakta tersebut, menurut kami, menunjukkan bahwa sampai hari
ini cara pandang kita sebagai bagian dari bangsa masih terlalu sempit, kalah
luas dan kalah awas dibanding kaum pergerakan generasi awal abad XX. Generasi
terdahulu, meski tetap bukan contoh sempurna, membaca gerak dunia sambil
mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan di ‘tikungan sejarah’. Sementara
kita cenderung membaca gerak dunia dalam perdebatan teoritik yang kental, dan terhisap
dalam perdebatan teoritik itu sendiri. Sehingga problem survival bangsa tidak
kunjung diantisipasi. Apabila fakta ini tetap dipertahankan, maka kita tidak
boleh marah atau mengeluh apabila 10, 15, 20 tahun kedepan, peran-peran
kepemimpinan yang menentukan survival bangsa kembali didominasi oleh kaum
teknokrat. Kita tidak boleh marah apabila kaum pergerakan yang (merasa)
memiliki pertaruhan nasib survival bangsa dalam jangka panjang justru
dipinggirkan. Dan memang kita tidak perlu marah apabila posisi tersebut
merupakan pilihan yang diambil secara sadar. Namun, tentu saja tidaklah
demikian.
Andai saja saat ini adalah lima puluh tahun silam dan kita
telah memiliki keawasan seperti saat ini, niscaya kita akan mengikuti Mao Tse
Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang
sudah kita pilih. Dengan merdeka sepenuhnya kita memiliki kesempatan untuk
berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri (tanpa persiapan)
dalam interaksi global yang asimetris sekarang ini. Di situ, politik isolasi
adalah pilihan yang mengandung konsekuensi tidak ringan. Bentuknya adalah
seperti apa yang telah dilakukan China (RRC), selama beberapa dekade sibuk
berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan
dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon dunia. Cina telah
membuktikan, there is an alternative
(TIA) selain blue-print AS yang telah jadi pakem bagi negeri-negeri pinggiran (periphery).
Konsolidasi politik negara-negara penganut demokrasi liberal
(Eropa dan Amerika) pasca Perang Dunia II ditujukan untuk menciptakan format
baru penjajahan dari bentuk lama kolonialisme dan imperalisme (lihat tabel di atas). Konsolidasi tersebut
memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi
multilateral, regulasi ekonomi internasional dan pembentukan
institusi-institusi global, seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International
Monetary Fund), dan institusi regional seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement).
Institusi-institusi internasional inilah yang menciptakan aturan main politik
skala global khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan
internasional. Perkembangan politik internasional tersebut telah menggerogoti
batas-batas teritori negara sehingga potensial untuk memunculkan rezim
internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan negara-negara yang
lain. Dampak lanjutannya, peran negara atas warganya semakin kecil, diganti
oleh sebuah rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik
sebuah negara.
Indonesia saat ini tidak akan
mungkin terhindar dari proses politik internasional tersebut, apalagi dengan
posisi geografis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik yang strategis baik secara
politik maupun ekonomi. Tanpa keawasan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi
aktor kecil dalam pentas dunia. Sementara, aktor non-negara mulai
dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin
memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional.
D. Mempertimbangkan Mahasiswa
Apakah bacaan atas kenyataan di
atas telah dapat ditangkap dalam langkah gerak mahasiswa selama ini? Melihat
perjalanan sejarah gerakan mahasiswa, khususnya sejak 1966, tampaknya belum.
Gerakan mahasiswa masih sering tersandung dalam jebakan issu dan heroisme yang
membutakan. Dalam hal ini, idiom ‘demokrasi’, ‘HAM’, ‘anti-militerisme’, ‘civil
society’ dll. lebih sering menjadi stimulan normatif yang berasal dari luar
yang mengobarkan psikologi perlawanan. Idiom-idiom mulia itu seringkali hanya
dipandang dari sisi normatifnya dan jarang dibaca dalam sebuah kenyataan
politik dunia. Kita akan membaca kecenderungan tersebut dalam tiga sub bab
berikut ini.
1. Cermin Sejarah Gerakan Mahasiswa
Perguruan tinggi masih dipandang sebagai institusi
independen sehingga banyak harapan akan adanya pemikiran-pemikiran baru tentang
ke-Indonesiaan yang dihasilkan oleh institusi ini. Sebagai bagian dari civitas
akademika, mahasiswa diharapkan mampu memberikan gagasan dan ide-ide
ke-Indonesiaan. Namun ternyata dinamika perpolitikan negara sangat mudah
mengerakkan mahasiswa sebagai kekuatan gerakan ekstra parlementer. Melalui
peran ini, mahasiswa hendak mengartikulasikan aspirasi politiknya untuk
mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di tingkat nasional.
Kesemuanya itu diniati sebagai artikulasi kepentingan rakyat, berbareng
bergerak bersama rakyat, sehingga diharapkan akan menjadi satu gerakan people
power yang masiff dan progresif.
Dalam fakta, cita-cita luhur mahasiswa Indonesia nyaris
menjadi utopi. Gerakan mahasiswa Indonesia sering hanya dijadikan alat dari
kelompok-kelompok kepentingan yang mengatasnamakan rakyat. Tiga fakta
menunjukkan kesimpulan itu.
Pertama gerakan
mahasiswa tahun 1945-1966, mahasiswa bangkit melihat kondisi negara yang sedang
mengalami kegoncangan. Sistem politik nasional selalu mengalami perubahan
bentuk pemerintahan, mulai dari Republik Indonesia Serikat (RIS), Demokrasi
Terpimpin dan kembali lagi ke Republik. Lantas mulai dominannya partai komunis
di pentas politik nasional juga membawa kekhawatiran bagi banyak kalangan di
Indonesia. Tampaknya hanya sedikit yang sadar, bahwa tahun-tahun tersebut
(1960-an) Indonesia menjadi panggung penting Perang Dingin.
Pada akhirnya mahasiswa memang ‘mampu’ mengulingkan
kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966. Namun kekuatan mahasiswa tidak muncul
dengan sendirinya. ABRI mulai berinfiltrasi dalam tubuh gerakan mahasiswa
melalui Badan Kerja Sama Pemuda Militer yang terbentuk tahun 1957. Sebagai
respon atas pertentangan ideologi ketika itu, ABRI melirik mahasiswa sebagai
kelompok independen untuk menjadi mitra. Dengan menggulingkan Soekarno,
mahasiswa telah membantu menaikkan Jenderal Soeharto untuk menduduki kursi presiden.
Namun kemudian mahasiswa justru harus berhadapan dengan strategi depolitisasi
oleh pemerintah, yang lebih tertarik untuk berkoalisi dengan intelektual dan
teknokrat murni yang selama ini tidak pernah concern dengan persoalan politik.
Kedua gerakan
mahasiswa tahun 1974/1975. Mahasiswa sempat terprovokasi oleh isu-isu anti
Jepang sehingga pada tanggal 15 Januari 1975 (Malari), terjadi pembakaran
produk-produk Jepang di Indonesia. Padahal gejolak politik ekonomi waktu itu
merupakan akibat dari pertarungan perebutan pasar antara AS dan Jepang. Akibat
Malari pemerintah mengeluarkan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan) yang membatasi aktivitas mahasiswa dalam kegiatan
minat-bakat.
Ketiga gerakan
Mahasiswa tahun 1998. Faktor signifikan yang mendorong Soeharto mundur adalah
fluktuasi kurs rupiah atas dollar AS dan berhentinya pasar modal dalam negeri.
Faktor tersebut muncul sebagai respon atas kekuasaan Soeharto yang hanya
berorientasi membangun istana ekonomi keluarga dan kroni, sehingga menutup
peluang investasi pengusaha-pengusaha asing khususnya AS dan dinilai mengancam
kepentingan internasional AS.
Situasi seperti ini, ditambah kondisi yang 32 tahun
dirasakan rakyat, memunculkan isu-isu populis yang kemudian terkenal dengan 6
visi reformasi (Adili Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Hapus KKN, Tegakkan
Supremasi Hukum, Otonomi Daerah dan Amandemen UUD`1945). Momentum gerakan
mahasiswa kemudian dimanfaatkan oleh elit tertentu. ”Gerakan reformasi ini telah dimanipulasi para elit politik, baik elit
politik yang lama maupun yang baru, yang masih berambisi meraih kekuasaan bagi
diri dan kelompoknya dengan cara saling kompromi diantaranya lewat pemilu yang
dilaksanakan tahun 1999” (Meluruskan
Arah Perjuangan Reformasi Dan Merajut kembali Merah-Putih Yang Terkoyak :
Iluni UI). Akankah kita para mahasiswa sekarang kembali akan menjadi alat dan
terprovokasi dengan isu-isu populis tertentu yang ternyata hanya menguntungkan
kelompok tertentu dan jauh dari kepentingan riil masyarakat ?
2. Mitos Gerakan Moral
Terlepas dari sejarah panjang perjalanan gerakan mahasiswa
di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi kelompok preasure group
yang ternyata didorong oleh kepentingan kelompok tertentu. Pada sisi lain
mahasiswa tidak mampu memberikan satu rumusan konseptual dan solusi atas
berbagai problematika transisi. Berbagai kegagalan harus kita akui sebagai
bentuk kelemahan kita bersama, salah satunya berasal dari keterjebakan kita
dalam stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.
Sejarah panjang mengenai peran gerakan mahasiswa di
Indonesia, memang telah menggoreskan sebuatan gerakan mahasiswa sebagai gerakan
moral. Hal ini dilatarbelakangi oleh ‘keberhasilan’ gerakan mahasiswa
menumbangkan presiden Soekarno tahun 1966, Soeharto tahun 1998 dan Gus Dur
tahun 2001. Latar belakang inil mempengaruhi kemunculan stigma gerakan
mahasiswa sebagai gerakan moral yang akan selalu menyuarakan kepentingan rakyat
banyak dengan tombak issu-issu demokrasi, HAM, supremasi sipil dan lain-lain. Rumusan
sederhananya, “dengan menurunkan
presiden, mahasiswa berarti berpihak kepada rakyat”.
Meminjam pandangan Ben Anderson dalam buku Revolusi Pemuda,
peran pemuda sangat besar dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Dalam
pepatah Arab disebut “syubhanul yaum rijaalul ghoddi (pemuda sekarang adalah
pemimpin masa depan)”. Hal tersebut di atas paling tidak menjadi landasan
epistimologi yang semakin menguatkan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan
moral, sebagaimana kuatnya memori kolektif masyarakat yang menyebut bahwa
pemuda Indonesia pada tahun 1928 telah mempunyai andil besar terhadap bangsa
Indonesia dengan keberhasilan menggelar sumpah pemuda.
Tahun 2001, Budiman Sudjatmiko dalam tulisannya di KOMPAS
berjudul Demoralisasi Gerakan Mahasiswa
mengartikan demoralisasi gerakan mahasiswa sebagai surutnya kekompakkan
berbagai elemen gerakan mahasiswa dalam merespon isu-isu yang berkembang.
Menarik disimak, Budiman mengartikan de- yang artinya ‘tidak’ atau
‘mengecil’ dan moral yang diartikan respon mahasiswa yang mengunakan
idiom-idiom demokratisasi, HAM, supremasi hukum dan lain-lain.
Di lapangan, gerakan mahasiswa sesungguhnya adalah gerakan
politik. Pertama, gerakan
mahasiswa dalam orientasinya yang ingin melakukan perubahan, selalu mengunakan
ukuran perubahan struktur atau lebih spesifik perubahan kebijakan sebagai
ukuran keberhasilannya. Fenomena tentang
perubahan struktur atau perubahan kebijakan yang terjadi di Indonesia selalu
dihasilkan dari proses gerakan politik bukan gerakan moral.
Kedua,
stigma gerakan moral tidak lain adalah bentuk justifikasi dari kebenaran
akademis yang kelahirannya
dilatarbelakangi oleh mitos independensi perguruan tinggi. Implikasinya
pada cara pandang bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan murni dan independen,
jauh dari kepentingan pragmatis dan kepentingan politik tertentu.
Ketiga, gerakan
mahasiswa yang mengklaim dirinya menyuarakan aspirasi rakyat dengan mengunakan
idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil, supremasi hukum dan yang lainnya,
telah menjadikan idiom-idiom tersebut
sebagai standar moral gerakan. Moral kemudian menjadi alat untuk mengukuhkan
eksistensi gerakan mahasiswa dan menyerang lawan (baca : negara). Sementara
pada sisi lain negara sebagai bentuk dari konsep trias politika (eksekuti,
legeslatif dan yudikatif) juga mengunakan legitimasi moral dalam menjalankan
tugas dan fungsinya.
Keempat moral
dalam gerakan mahasiswa sebenarnya hanya menyetuh pada aspek psikologi,
emosional dan romantisme, bukan moral yang menjadi élan gerakan. Kebangkitan
gerakan mahasiswa lebih signifikan dipengaruhi faktror eksternal seperti Badan
Kerja Sama Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk
infiltrasi politik ABRI. dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan
pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia, sebenarnya hanyalah akibat dari
pertarungan antara AS dan Jepang untuk memperebutkan pasar di Indonesia.
Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa tidak lain adalah
bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak mampu membebaskan
diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian membawanya dalam
komunitas gerakan mahasiswa. Tidak bebasnya belenggu disini meliputi:
Pertama, belenggu
moral dalam prespektif teologis yang mengikat relasi manusia dengan
Tuhan dalam menjalankan hukum agama dan kewajiban sebagai seorang hamba.
Individu tidak mampu keluar dari penilaian dosa-pahala dan halal-haram.
Kedua, belenggu
dalam perspektif norma yang mengikat hubungan antar individu dan masyarakat.
Individu tidak mampu keluar dari penilaian masyarakat terhadap perilaku,
bermoral atau amoral.
Dari penjelasan di atas, maka moral sebenarnya adalah system
nilai yang berlaku universal bagi individu bukan komunitas (baca gerakan)
dan menjadi alat mekanisme kontrol atas
perilaku individu dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
3.
Sejarah PMII & Mahasiswa Kontemporer
Saat didirikan, PMII merupakan
bagian integral dari organisasi (Partai) NU. PMII dilahirkan sebagai sayap
mahasiswa NU disamping GP Ansor di sayap pemuda, Muslimat di sayap ibu-ibu,
Fatayat di sayap remaja putri dan IPNU/IPPNU di sayap pelajar, SARBUMUSI di
sayap buruh dan LESBUMI di sayap seni. Maka keterlibatan PMII di masa-masa awal
berdirinya sebagai penyokong Partai NU adalah sebuah keharusan.
Pada tahun 1974 ketika NU dipaksa
melakukan fusi bersama partai-partai Islam lain dalam PPP, Deklarasi
Independensi Murnajati-Malang juga merupakan pilihan sejarah yang sangat
relevan. Dengan tegas PMII menyatakan independen dari NU karena PMII memang harus
menegaskan visinya sebagai organisasi yang lepas dari kepentingan partai
politik. Demikian pula, deklarasi interdependensi pada dekade 1980, yang
menegaskan kesaling-tergantungan PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak akan
dapat meninggalkan komitmennya terhadap jama’ah
Nahdliyyin.
Perdebatan tentang pola hubungan dependensi-independensi-interdependensi
ini mulai berhenti. Secara nasional PMII mulai fokus pada gerakan yang
mencita-citakan terjadinya perubahan sistem dalam jangka panjang. Dengan mencukupkan
perdebatan tersebut, PMII mulai menghindari jebakan primodialisme gerakan.
Apabila perdebatan tersebut berlanjut, kemungkinan yang paling nyata adalah
PMII tidak akan dapat pernah berperan sebagai agen transformasi di dalam NU,
namun malah akan menjadi bagian dari kemapanan NU yang membekukan.
Dengan demikian komitmen PMII
terhadap NU adalah komitmen yang mengambil bentuk class of struggle (kelas pejuang). Yakni menempatkan jama’ah Nahdliyyin sebagai bagian warga
dari negara-bangsa Indonesia kemana pertaruhan perjuangan-gerakan PMII
dialamatkan. Penegasan tersebut perlu dilakukan karena pusat keprihatinan PMII
bukanlah nasib kelompok tertentu, melainkan semata-mata negara-bangsa Indonesia.
Melalui penegasan itu, diharapkan gerakan PMII saat ini dan di kemudian hari
akan lebih ekstensif baik dalam ruang maupun bentuknya dan tidak monolitik
memusat dalam lingkaran Nahdlatul ‘Ulama.
Namun harus dicatat bahwa penegasan
tersebut bukan berarti PMII menegasikan ruang-ruang gerak kader PMII yang saat
ini telah tercipta. Menurut hemat kami, tidak ada yang perlu dikecam dan
dipersalahkan apabila dari fakta saat ini kader-kader PMII masih memusat di
lingkaran organisasi NU. Kita masih boleh berharap, bahwa pemusatan tersebut
akan bermakna strategis bagi gerakan di kemudian hari. Selain itu fakta
tersebut memang tercipta secara struktural ketika sejak dalam pikiran, kita
belum mampu untuk memilah antara misi–posisi–fungsi dalam gerakan. Fakta tersebut
juga tercipta ketika habitat pergaulan kita, ternyata, masih dibatasi oleh
sekat-sekat simbolik, bukan dijembatani oleh gagasan dan keahlian.
Bagi mahasiswa saat ini, gerakan
bukan istilah familiar yang dekat dengan kenyataah sehari-hari yang mereka
hadapi. ‘Gerakan’ mungkin hidup dalam imajinasi mereka setelah membaca
literatur sejarah nasional atau berita tentang aksi mahasiswa. Dari
masukan-masukan tersebut, ‘gerakan’ mendapat citra tersendiri beriringan dengan
citra tentang aktivis mahasiswa. Barangkali ini tantangan pertama yang harus
diterima oleh PMII.
Tantangan kedua, input kader PMII
saat ini tidak lagi hanya individu yang dibesarkan dalam tradisi santri dengan
kemampuan dasar agama dan semangat “tradisionalisme” yang tinggi. Meskipun unsur-unsur
tersebut masih didapati, namun latar belakang kader PMII semakin beragam. Mulai
banyak juga kader PMII yang bukan berasal dari kalangan santri, bukan pedesaan
dan sedikit memiliki bekal pengetahuan agama.
Ketiga, input kader PMII hakikatnya
memang masih membawa mentalitas agraris. Seberapapun sudah cukup ‘urban’
seorang kader PMII, dalam perilaku, mentalitas agraris masih tercermin. Misal,
meskipun secara verbal setiap kader PMII menginginkan ‘PMII profesional’, namun
dalam laku keseharian bentuk komunalisme masih menarik perhatian. Sehingga
konflik yang seringkali muncul di kalangan kader, lebih banyak berpangkal pada
konflik eksistensial-perasaan daripada konflik karena perbedaan visi, strategi
atau pandangan.
Keempat mahasiswa sekarang adalah generasi
mahasiswa yang dilahirkan tahun-tahun tengah dekade 1980 – sebentar lagi
mahasiswa kelahiran tahun 1990-an. Mereka menjadi remaja ketika situasi krisis
tengah berada di titik kulminasinya. Sehingga perwatakan (permukaan) mereka,
tidak mungkin disamakan dengan mahasiswa kelahiran tahun 1970-an. Ini tantangan
paling dekat yang berhubungan dengan rekruitmen sekaligus pengkaderan.
Empat tantangan di atas menuntut
PMII untuk banyak menata diri agar dapat diterima oleh mahasiswa saat ini
sehingga regenerasi pergerakan dapat berlangsung. Ekstensifikasi taktik
pendekatan di lapangan sangat dibutuhkan dalam hal ini. Dalam buku Pendidikan
Kritis Transformatif (PB PMII 2001) disebutkan taktik masuk dari pintu mereka, keluar dari pintu kita (2001: 58). Secara
konseptual tampaknya taktik inilah yang paling tepat dikembangkan dalam
menghadapi mahasiswa kontemporer yang makin beragam. Secara teknis, kami harus
jujur mengakui, kami belum dapat merumuskan secara detail. Harapan kami, konsep
tersebut dapat dikembangan di lapangan.
4.
Gerakan
PMII : Multy Level Strategy
Akhir abad XX dan awal abad XXI ini kita telah menyaksikan
maraknya gerakan anti globalisasi yang telah mengharu-biru Seattle hingga Genoa
dan terus menyebar ke negara-negara Dunia Ketiga. Bagaimanapun, ketahanan dan
kekuatan gerakan itu masih akan diuji oleh sejarah. Namun secara logis gerakan
konfrontatif semacam itu akan mengalami kegagalan dalam situasi seperti
sekarang, karena nalar anti globalisasi pada dasarnya sama dengan nalar
globalisasi. Di dalamnya tidak terdapat ruang strategi.
Di negara-negara maju gerakan semacam ini dimungkinkan
karena ditopang oleh kesadaran setrategis yang mendalam, sementara di
negara-negara pinggiran (periphery)
seperti Indonesia gerakan ini berubah menjadi semacam gerakan konsorsium LSM
anti globalisasi yang (justru) mengajukan diri untuk mendapatkan kucuran dana
dari funding agency. Padahal sudah
menjadi rahasia umum bahwa banyak dari funding
agency yang juga merupakan kepanjangan tangan dari rezim modal atau negara
dunia pertama.
Atau katakanlah gerakan itu benar-benar didasari oleh suatu
keyakinan bahwa globalisasi telah membunuh ekonomi masyarakat kecil, namun
apabila gerakan itu tidak mempertaruhkan sebuah skenario pasca perlawanan
(skenario sukses) maka gerakan itu akan hanya menjadi ajang heroisme
individu-individu belaka. Dalam keadaan demikian gerakan mudah dimanfaatkan
oleh para aktor politik untuk meraih keuntungan. Lantas apakah gerakan yang
tepat adalah gerakan pro atau anti globalisasi, bila kita lihat arus akuisisi
oleh Multi National Corporation di
Indonesia?
Gerakan pro globalisasi tanpa reserve berarti menghanyutkan diri dalam arus globalisasi tanpa
pengetahuan yang cukup bagaimana harus menepi, karena sekali tersedot arus maka
sulit untuk kembali. Bentuknya yang paling kongkrit adalah menjadi agen
kepentingan-kepentingan global dalam segala aras. Hanyut dalam arus
neoliberalisme berati menjadikan uang sebagai tanah air dan bangsa, karena
ideologi pasar bebas tidak mengenal batas-batas teritori negara-bangsa. Dalam
neoliberal hanya dikenal hambatan tarif, privatisasi, liberalisasi, deregulasi,
investasi. Dalam kenyataan neoliberal saat ini, semua itu merupakan pintu
aliran keuntungan bagi pemodal (swasta) raksasa dan negara dunia pertama. Di
antara warga bangsa ini mungkin akan ada yang menikmati keuntungan tersebut,
namun yang paling mungkin keuntungan itu hanya mampu membesarkan individu atau
keluarga tertentu, bukan negara-bangsa Indonesia.
Baik gerakan pro ataupun anti globalisasi akan mengalami
kegagalan karena tidak mempertaruhkan sesuatu yang lebih besar daripada sekedar
proyek politik isu tunggal yang selalu memancing heroisme. Gerakan ini tidak
didesain untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka panjang. Karena nalarnya
yang mediatik (tingkat keberhasilan diukur dari liputan media terhadap
aksi-aksinya) maka sangat jelas bahwa orientasinya hanya bersifat jangka
pendek. Gerakan-gerakan inilah yang justru didorong oleh struktur
neoliberalisme karena gampang dipatahkan dan diaborsi.
Mari kita mencoba melihat nalar masing-masing gerakan ini.
Gerakan anti globalisasi (jika sungguh-sungguh) didominasi oleh nalar anti
asing (xenophobia) yang melihat
setiap orang luar yang masuk ke dalam wilayahnnya sebagai ancaman tanpa mencoba
mengambil manfaat dari interaksi yang mungkin terjadi antara keduanya. Karena
globalisasi berintikan pemain-pemain asing yang dilihat sebagai ancaman, maka
untuk melawannya harus dengan gerakan anti globalisasi. Gerakan ini menafikan
interaksi dan komunikasi, pertukaran antara global
structure dengan local structure.
Nalar anti asing ini bermanfaat jika secara setrategis dapat digunakan untuk
membangkitkan semangat dan kreatifitas internal berhadapan dengan tantangan
global tadi. Tetapi dampak yang ditimbulkan oleh nalar semacam ini adalah
isolasi diri dari pergaulan dunia tanpa mencoba untuk belajar dari keberhasilan
negara-negara lain, walaupun tidak harus mengikuti jalan mereka.
Jika diletakkan dalam kondisi kerapuhan dan fragmentasi
struktur lokal seperti ditemukan saat ini, nalar para pendukung buta
globalisasi sesungguhnya adalah nalar agen (alias marsose). Ibarat hubungan antara tuan dengan hamba, nalar
agen berbentuk kepasrahan hamba untuk
melakukan apapun yang dipesan/diperintahkan oleh tuannya. Dalam nalar agen tidak ada kesetiaan hamba terhadap komunitas besar darimana ia berasal, sebaliknya
justru menghanyutkan diri dalam hiruk-pikuk kepentingan sang tuan.
Di level praksis, gerakan anti globalisasi akan dihadapkan
dengan bentuk nalar agen tersebut. Jadi medan pertempuran kedua gerakan ini
tetap di dalam kampung sendiri sehingga ketika pertempuran usai, yang tersisa
hanya puing-puing. Sementara barang-barang berharga milik kampungnya telah
dijarah oleh sang juragan.
Kedua model gerakan ini tidak memiliki rencana jangka
panjang (contingency plan) karena
memang tidak didesain untuk dapat survive,
ini dapat terlihat dari jalur-jalur produksi-distribusi-warring position (perebutan posisi). Gerakan seharusnya ditujukan
untuk kemajuan komunitas besar dari mana gerakan berasal. Kemajuan dalam
pengertian naik-kelas dari komunitas yang tidak dapat berbuat apa-apa menjdi
bersuara dan didengar oleh orang lain. Tentu naik-kelas di sini diukur dalam
level dunia, kerja-kerja gerakan adalah kerja-kerja sistem dunia (baca: peradaban)
sehingga para aktivis gerakan tidak terjebak dalam kenikmatan sesaat yang
ditawarkan oleh sistem yang hendak diubahnya sendiri.
Dalam situasi dan kondisi kuatnya penetrasi struktur global
di atas, yang dilancarkan pada fragmentasi struktur lokal, maka strategi
gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bermain di
tengah-tengah tekanan ini. Dari sini gerakan ini setidaknya melakukan perebutan
(warring position) di tiga front
sekaligus, yaitu local front, global
front dan internal-movement front.
Karena itu setrategi yang harus digunakan adalah multi level setrategy. Kita harus meninggalkan single setrategy yang selama ini kita gunakan dengan dalih
konsistensi gerakan. Sehingga bukan lagi anti-systemic
movement ala Wallerstein ataupun systemic movement yang bertujuan untuk
memperkuat sistem yang berjalan, karena keduanya mudah terpeleset menjadi
korban.
Kita memilih model non
systemic movement karena gerakan ini memungkinkan untuk berjalan dalam
sistem sambil menciptakan conditions of
possibilities untuk membangun sistem yang sama sekali berbeda. Ini terkait
erat dengan strategi gerakan multi-level dalam front yang berbeda. Dengan
demikian, gerakan ini meniscayakan multi
centers yang saling memahami posisi masing-masing, dalam tataran tertentu
memang diperlukan central-planner.
Gerakan di tiga front tersebut secara terpusat memerlukan
kelenturan yang luar biasa, ini terkait dengan energi di ketiga front. Pada
suatu ketika struktur global diperlukan untuk menghapuskan local structural constraints yang membahayakan gerakan. Demikian
pula struktur lokal juga diperlukan untuk menghambat gerak maju struktur global
tersebut. Di luar keduanya front dalam gerakan (internal-movement) menempati posisi yang paling penting dalam
kontinuitas gerakan membangun sistem, karena front ini adalah home-base bagi kedua yang lain. Justru
energi yang diperoleh dari perebutan di front lokal dan global tersebut harus
dipertaruhkan untuk memperkuat front ini. Di sinilah hidup mati gerakan.
Di tingkat operasional paradigma ini dapat dimulai dengan
hal-hal yang sangat sederhana. Untuk front global dapat dimulai dengan
membangun sebuah pusat kajian untuk pasar bebas, pusat kajian geopolitik, pusat
kajian Cina dan lain sebagainya.
Sementara untuk front lokal dapat dimulai dengan membangun
kajian tentang kerja-sama antar pulau (insular
cooperation) dan sebagainya untuk membuat jalur-jalur konvensional patah.
Pada gilirannya front dalam gerakan menyediakan mekanisme kaderisasi yang
secara terus menerus menyediakan para pemain untuk mendidtribusikan kader di
semua front. Sebagai home-base maka
front ini harus benar-benar aman secara total (totally secured), sehingga secara akumulatif-sirkular gerakan ini
akan memperbesar ruang pengaruhnya (sphere
of influence) untuk membangun tata peradaban baru di masa depan. Bagan di
atas ialah gambaran sederhana logika-sirkular dari “pemikiran masa depan” PMII
ini (lihat bagan di atas).
2.
Rangkuman dan Penutup
Narasi yang cukup panjang di muka kami maksudkan sebagai
ikhtiar kami dalam membaca kenyataan mutakhir Indonesia, dimana kita semua,
PMII hidup di dalamnya. Bacaan tersebut penting mengingat pengkaderan PMII yang
akan kami sampaikan di bab berikutnya, hakikatnya berlangsung dalam sebuah
kenyataan tertentu.
Paradigma Pergerakan tetap penting sebagai cara pandang PMII
terhadap medan gerakannya. Dalam kesempatan ini, mengenai paradigma pergerakan
kami wakilkan pada empat sub bab di atas, setelah pada Refleksi Paradigma
Pergerakan kami menyampaikan sketsa reflektif perjalanan paradigma di PMII.
Dalam temuan kami, paradigma memiliki pengaruh besar terhadap konsep Sistem
Pengkaderan. Materi-materi pengkaderan yang terdapat dalam buku Menuju Aksi
Sosial (PB PMII, 1997) merupakan turunan kurikulum dari prinsip-prinsip gerakan
yang tercantum dalam Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (PB PMII, 1997).
Pada kesempatan ini kami belum dapat secara langsung
menampilkan Paradigma Pergerakan PMII saat ini. Sebuah rumusan paradigma yang
berangkat dari kenyataan real perjalanan masyarakat dan bangsa Indonesia saat
ini tidak mudah untuk disusun. Semoga rumusan (atau: kodifikasi) tersebut,
seandainya diperlukan, dapat disusun di kesempatan lain mungkin oleh kami atau
generasi PMII berikut yang mampu menangkap dan membahasakan kenyataan secara
lebih jernih dan lugas. Menurut kami, sketsa kenyataan yang kami paparkan di
muka itulah yang menjadi titik tolak sekaligus medan gerakan kita.
Buku ini sendiri sesungguhnya hanya Buku ini adalah edisi
lanjutan (dengan upaya perbaikan di sana-sini) dari buku Membangun Sentrum Gerakan Di Era Neo Liberal (PB PMII, 2004).
Bahan-bahan utama buku ini berasal dari buku tersebut dan setelah mempelajari
sungguh-sungguh Pendidikan Kritis
Transformatif (PB PMII, 2002), Menjadi Kader Pergerakan (PB PMII &
KLIK-R Yogyakarta, 2000), Menuju Aksi
Sosial dan Paradigma Arus Balik
Masyarakat Pinggiran (PB PMII, 1997). Bahan empiris mengenai kondisi
pengkaderan diperoleh dari hasil-hasil Evaluasi
Nasional Kaderisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bertema “MEMPERTEGUH
SOCIAL MANDATORY PMII SEBAGAI
KADER BANGSA” yang
diselenggarakan oleh PB PMII di Graha Wisata Kuningan 6-10 April 2006.
Buku ini disusun dalam tiga bagian. Pertama bagian narasi
yang terdiri dari empat bab. Di bagian narasi kami perlu menyampaikan beberapa
topik penting mengenai Sistem Pengkaderan PMII. Di antaranya mengenai Sistem
Pengkaderan PMII, Pilar Penopang Materi PMII dan mengenai Pengkaderan Informal
dan Non Formal. Bagian kedua tentang kurikulum Pengkaderan Formal yang berisi
detail kurikulum pengkaderan formal PMII (MAPABA, PKD dan PKL). Pada bagian
terakhir kami sertakan lampiran-lampiran penting penopang pelaksanaan
Pengkaderan Formal.
0 komentar:
Posting Komentar