photo Nirwana-Bannerm_zpsfb61fe90.jpg

Kamis, Februari 07, 2013
0



Mengapa perlu ansos?
Disekitar kita banyak sekali fenomena dan problem-problem sosial, seringkali ketika berhadapan dengan berbagai masalah sosial kita sulit untuk mengurai latar belakang masalah, pengaruh kepentingan serta implikasi logis yang mungkin muncul. Kesulitan memahami kaitan masalah sosial disebabkan karena keterbatasan kemampuan dalam memetakan variable yang saling mempengaruhi. Untuk itu, diperlukan kecerdasan dalam melakukan analisis sosial agar mampu membaca dan memahami realitas sosial secara utuh.
Organisasi mahasiswa, adalah bagian dari kehidupan sosial, senantiasa bersinggungan dengan realitas sosial, atau salah dalam memahaminya, maka perubahan sosial yang dilakukan tidak akan efektif, bahkan jauh dari sasaran.

Pengertian Ansos
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, structural dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial

Ruang lingkup ansos
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan visi atau misi organisasi. Secara umum objek sosial yang dapat di analisis antara lain;
Masalah-masalah sosial, seperti; kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas
Sistemsosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem pemerintahan, sitem pertanian
Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan.
Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.

Pentingnya teori sosial
Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta sosial, sementara fakta sosial akan mudah di analisis melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam realitas empiris.  Charles lemert (1993) dalam Social Theory; The Multicultural And Classic Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive.
Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam analisis sosial, pertama, analisis intitusional, yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan actor yang memperlakukan institusi sebagai sumber daya dan aturan yang di produksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial.

Langkah-Langkah Ansos
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain:

Memilih dan menentukan objek analisis
Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalsis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.

Pengumpulan data atau informasi penunjang
Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung dilapangan. Re-cek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.

Identifikasi dan analisis masalah
Merupaka tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.

Mengembangkan presepsi
Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternative sebagai kerangka tindak lanjut.

Menarik kesimpulan
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.

Peranan Ansos Dalam Strategi Gerakan PMII
Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut peka dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis), sekaligus terlibat aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif). Transformasi sosial yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan luas terhadap realitas sosial. Untuk dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan kemampuan analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).

REKAYASA SOSIAL
prolog: sebuah kasus awal
Mulanya biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah terpencil pinggiran hutan di Kalimantan adalah  komunitas adat yang setia terhadap warisan tradisi leluhur. Pemahaman mereka atas hutan, pohon dan tanah masih bersifat sakral dan berdimensikan transendental. Tapi sejak upaya modernisasi dari negara melalui proyek pembangunan dengan program transmigrasi, pengembangan kawasan desa hutan, pariwisata, dan apapun namanya, daerah tersebut mulai terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar komunitas adat, tak terkecuali masuknya Media Televisi melalui antena parabola.
Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai terlihat dengan persentuhan dengan masyarakat luar yang juga membawa serta bentuk-bentuk kebudayaan; dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja, masuknya televisi telah mampu merubah berbagai sistem nilai dan sistem makna yang terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum ada modernisasi (dan televisi) masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu bersosialisasi, berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika televisi baru memasuki desa dan jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru menjadi sarana yang memperkuat kebersamaan, karena tetangga yang belum mempunyai televisi boleh menumpang menonton. Namun ketika televisi semakin banyak dan hampir tiap keluarga memilikinya, maka kebersamaan itu segera berkahir, karena masing-masing keluarga melewatkan acara malam mereka di depan pesawatnya.
Tanpa disadari media telivisi telah merubah segalanya dalam struktur maupun kultur masyarakat tersebut. Peristiwa itu meminjam istilah Ignas Kleden[1][1] menunjukkan bahwa nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme) dan tingkah laku (berkumpul atau bersendiri), secara langsung dipengaruhi oleh hadirnya sebuah benda materiil. Parahnya, pola kehidupan yang menghargai kebersamaan beralih menjadi individualis, sifat gotong royong tergantikan sifat pragmatisme dalam memaknai segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya ketika memaknai tanah warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang lebih dimaknai bersifat ekonomis belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati-matian membela tanah warisnya, sekarang tergantikan kepentingan ekonomis untuk dijual kepada pengusaha dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-cafe dan apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat terpencil tersebut. Lambat laun, masyarakat tersebut sudah berubah citranya secara fundamental sebagai masyarakat adat dengan kearifan lokalnya menjadi masyarakat ’pinggiran’ berwajah metropolitan dengan segenap perubahan yang ada. Sayangnya, yang diuntungkan dalam kondisi masyarakat yang demikian ternyata tidak merata. Bahkan hampir sebagian besar masyarakat tetap menjadi ’penonton’ dalam perubahan struktur maupun kultur yang terjadi.
Dalam kondisi yang demikian, apa yang seharusnya dilakukan? Membiarkan berada dalam situasi ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian tersisihkan atau tergerus oleh kepentingan ekonomis-pragmatis atau ikut serta terlibat merancang sebuah strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat tersebut dapat direncanakan? 

Perubahan Sosial: awal dari rekayasas sosial
Prolog ini merupakan catatan awal untuk memberikan suatu preskripsi bahwa perubahan sosial merupakan keniscayaan yang menimpa suatu masyarakat, seberapapun dia tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan sosial tersebut dirancang dengan perencanaan, sehingga yang muncul dalam masyarakat yang berada dalam order (tatanannya); meskipun didalamnay berkelindan berbagai perubahan. Artinya; tiada masyarakat yang dapat steril dari perubahan sosial. Justru perubahan sosial memberikan suatu bukti terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut. Tanpa perubahan sosial, masyarakat tersebut adalah masyarakat yang ’mati’, stagnan, tanpa dinamika.
Terdapat dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned social change). Perubahan social yang terjadi terus menerus yang terjadi secara perlahan yang tanpa direncanakan yang biasanya diakibatkan oleh teknologi dan globalisasi. Perubahan dalam contoh di atas adalah salah satu bentuk adanya perubahan yang tidak disadari dengan hadirnya kebudayaan materiil, yakni televise. Kedua, perubahan social yang terencana (planned social change); yakni sebuah perubahan social yang didesain serta ditetapkan strategi dan tujuannya[2][2]. Nah, dalam kasus perubahan social di desa adapt tersebut di atas juga terjadi akibat sebuah desain matang (rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui proyek modernisasi yang berbalut ideologi pembangunanisme  (developmentalisme).
Lalu apa sesungguhnya perubahan social tersebut. Perubahan social adalah proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial[3][3]. Sementara Suparlan[4][4] menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup; sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, serta persebaran penduduk. Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting perubahan sosial, yakni (1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2) proses perubahan, dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan itu[5][5].
Menurut Jalaluddin Rahmat[6][6], ada beberapa penyebab terjadinya perubahan sosial. (1) bahwa masyarakat berubaha karena ideas; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai.
Max Weber adalah salah satu tokoh yang percaya bahwa ideas merupakan penyebab utama terjadinya perubahan sosial. Hal ini dia perlihatkan dalam menganalisis perubahan sosial dalam masyarakat Eropa dengan semangat etik protestanismenya sehingga memunculkan spirit kapitalisme. Diakui oleh Weber bahwa ideologi ternyata berpengaruh  bagi perkembangan dalam masyarakat. (2) yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam masyarakat juga terjadi dengan adanya tokoh-tokoh besar (the great individuals) yang seringkali disebut sebagai heroes (pahlawan), dan (3) perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan sosial). Yakni sebuah gerakan yang digalang sebagai aksi sosial, utamanya oleh LSM/NGO, yayasan, organisasi sosial, dsb serta
Lebih lanjut Kang Jalal[7][7] menyebut bahwa dalam perubahan sosial dibutuhkan berbagai strategi yang selayaknya dilakukan melalui berbagai cara, tergantung analisis situasi atas problem sosial yang ada. (1)  strategi normative-reeducative (normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti atuiran-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Norma tersebut termasyarakatkan lewat education, sehingga strategi normatif digandengkan denagn upaya reeducation (pendidikan ulan) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat lama dengan yang baru[8][8]. Cara atau taktik yang dilakukan adalah dengan mendidik, bukan sekedar mengubah perilaku yang tampak melainkan juga mengubah keyakinan dan nilai sasaran perubahan, (2) persuasive strategy (strategi persuasif). Strategi perubahan yang dilakukan melalui penggalangan opini dan pandangan masyarakat yang utamanya dilakukan melalui media massa dan propaganda. Cara yang dilakukan adalah dengan membujuk atau mempengaruhi lewat suatu bentuk propaganda ide atau hegemoni ide.(3) perubahan sosial terjadi karena revolusi atau people’s power. Revolusi dianggap sebagai puncak (jalan terakhir) dari semua bentuk perubahan sosial, karena ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial, dan mengudang gejolak dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.

Rekayasa sosial: gagasan konseptual
Berangkat dari realitas bahwa perubahan sosial tidak dapat dicegah sebagai sebuah keniscayaan sejarah, baik direncanakan maupun tidak direncanakan, tulisan ini berupaya lebih dilokalisir untuk mewacanakan perubahan sosial dengan perencanaan atau desain perubahan sosial. Istilah populernya adalah rekayasa sosial.
Istilah "rekayasa sosial (social engineering)" seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan untuk menunjuk perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa sosial" adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna upaya mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa sosial, dengan demikian, menunjuk pada suatu upaya mendesain atau mengkondisikan terjadinya perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana. Rekayasa sosial (social engineering) adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan berbudaya. Dalam prinsip berpikir sistem, perubahan yang signifikan hanya dapat dilakukan oleh individu dan masyarakat itu sendiri, bukan menunggu peran struktur saja. Untuk membentuk struktur yang kuat, diperlukan elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari individu dan komunitas yang sadar/belajar secara terus menerus (the lifelong learner). Komunitas ini dapat dirancang dengan menggunakan pendekatan dan penerapan beberapa prinsip organisasi pembelajaran (learning organisation) dan berpikir sistem (system thinking) yang dirajut dan dikonstruksi dalam konsep dan metode pembelajaran primer.

Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur Sosial hingga Aksi Sosial
Pada dasarnya rekayasa sosial hanya dapat diselenggarakan kepada masyarakat yang didalamnya  terdapat sejumlah problem (sosial). Problem-problem sosial tersebut memberikan dampak bagi perjalanan panjang (dinamika) dalam masyarakat.  Tapa ada problem sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Artinya, problem sosial menjadi faktor utama untuk segera diatas dalam melakukan rekayasa sosial.
Problem sosial biasanya muncul akibat terjadinya kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat (das sollen) dengan kondisi yang sebenarnya terjadi (das sein). Misalnya; awalnya masyarakat berharap agar arus lalu lintas di Metropolitan Surabaya berjalan aman, tertib dan lancar. Semua pengguna jalan raya berjalan dengan mentaati aturan yang berlaku, ada atau tidak ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan oleh masyarakat bertolak belakang dengan realitas yang terjadi. Betapa banyak pelanggaran lalu lintas terjadi akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan. Akibatnya terjadi perbedaan antara yang ideal dengan realitas. Kesenjangan tersebut merupakan suatu problem sosial yang mesti segera di atasi. Itulah sebabnya, dibuatlah sebuah skenario (strategi) sebagai bagian rekayasa sosial melalui kampanye safety riding[9]

Dengan demikian, dalam melakukan rekayasa sosial, analisis atas situasi (problem sosial) dalam masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Sebab, bisa jadi tanpa analisis situasi ini sebuah rekayasa sosial akan mengalami kegagalan. Ibarat sebuah adagium salah di tingkat hulu akan berakhir fatal di tingkat hilir. Salah dalam membaca sebab musabab sehingga terlahir problem sosial akan berakibat kesalahan dalam menentukan rekayasa sosial yang dijalankannya. Tanpa pembicaraan mengenai problem sosial ini, alih-alih melakukan rekayasa sosial untuk menyelesaikan problem sosial, kita mungkin malah menambah panjang munculnya problem sosial baru.       Dalam melakukan pemecahan atas problem sosial ada kalanya memang dituntut aksi sosial (aksi kolektif) yakni tindakan kolektif (bersama) untuk mengatasi problem sosial, sehingga perubahan sosial bisa digerakkan bersama sesuai dengan keinginan bersama.
Philip Kotler[10][10] memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi sosial yang dapat dilakukan dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause (sebab), yakni upaya atau tujuan sosial –yang dipercayai oleh pelaku perubahan- dapat memberikan jawaban pada problem sosial, (2) change agency (pelaku perubahan), yakni organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial, (3) Change target (sasaran perubahan); individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan, (4) Channel (saluran); media untuk menyampaikan pengaruh dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan, dan (5) Change strategy (strategi perubahan); teknik utama untuk mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.
Sebagai catatan tambahan, dalam melakukan rekayasa sosial hal lazim yang marak digunakan oleh LSM/NGO atau organisasi sosial- adalah melakukan analisis situasi dengan pendekatan analisis SWOT; yakni Streght (kekuatan), Weakness (kelemahan), Oppurtunity (peluang) dan Treath (ancaman). Analisis ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar kemampuan atau potensi kita dalam melakukan rekayasa sosial. Melalui analisa ini, minimal kita dapat menentukan bentuk-bentuk rekayasa sosial yang hendak dijalankan. Namun demikian, ada berbagai pendekatan dalam melakukan rekayasa sosial tergantung dari- gaya dan prototipe masing-masing pelaku perubahan sosial sekaligus masyarakat yang akan dirancang perubahan sosialnya.

Epilog [11]
Namun demikian dalam melakukan rekayasa sosial harus dihindarkan berbagai bentuk kesalahan (asumsi) yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir (fallacy). Artinya, harus dicermati dan diwaspadai juga, bahwa dalam masyarakat yang hendak dirancang rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya berbagai bentuk pola pikir yang dapat mengganggu jalannya rekayasa sosial. Misalnya, fallacy of dramatic instance (kecenderungan untuk melakukan over generalisasi), fallacy of Retrospektif Determinisme (kecenderungan yang menganggap bahwa masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang), argumentum ad populum (kecenderungan untuk menganggap bahwa pendapat kebanyakan masyarakat sebagai kebenaran), dsb.
Rekayasa sosial akan mendapat tantangan bisa jadi bukan berasal dari pihak luar atau kelompok sosial di luar, tetapi justru dalam masyarakat yang hendak dirancang perubahan sosial; masyarakat yang menjadi korban dari kelompok kepentingan. Dus, tanpa perencanaan yang matang bisa jadi bukan keberhasilan yang diperoleh justru kitalah menjadi penyebab kian melembaganya problem sosial.
Wassalam.


[1]Ignas Kleden,1988, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, hal. 172
[2] Jalaluddin Rahmat, 2000, Rekayasa Sosial, Bandung Rosdakarya, hal. 45.
[3] Rogers, Everet M., 1988, Social Change in Rural Society, Englewood Cliffs, NJ, Prentice Hall, hal. 7
[4] Suparlan, Parsudi, 1986, Perubahan Sosial dalam Manusia Indonesia, Individu, Kelaurga, Keluarga dan Masyarakat,Jakarta: Akademika Pressindo, hal 114-127
[5] Sumartono sebagaimana dikutip Setyo Yuwono Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudyaan,  Surabaya: Citra Wacana, hal. 9
[6]Ibid, halm 46-48
[7] Ibid,hal 55-56
[8] Dalam konteks ini asumsinya sederhana bahwa tidak perubahan tanpa diawali dengan perubahan cara berpikir. Lihatlah perubahan besar dalam peradaban besar umat manusia selalu diawali dengan perubahan dari cara berpikir masyarakatnya.
[9]Bisa juga yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya bekerjasama dengan harian Jawa Pos menggelar kegiatan Surabaya Green and Clean untuk mendorong masyarakat metropolis memiliki kesadaran dalam mengelola lingkungan sekitarnya.
[10] Sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, op cit, halm. 83
[11] Sebenarnya tidak tega betrul mengakhiri naskah (berantakan) ini, karena memang belum mau diselesaikan. Tapi karena kelelahan dan jumlah maksimal halaman berlebiha, maka dipakasa lagi utnuk diselesaikan

0 komentar:

Posting Komentar