Islam
Indonesia
Indikator
Memahami sejarah
Islam di Indonesia
Memahami
pengertian Islam Tradisi dan Isalm Indonesia
Membedakan
Tradisi dan Agama dalam pandangan PMII
Abstraksi
Berbagai agama dan keyakinan hidup di Indonesia.
Sebelum Islam masuk, Hindu dan Budha sempat menjadi kepercayaan mayoritas di
Nusantara. Keduanya, beserta kepercayaan asli penduduk Nusantara (Kepercayaan
Kapitayan, orang luar menyebutnnya Animisme dan Dinamisme) memberikan dasar
sosio-budaya yang kuat di dalam masyarakat. Konteks sosio-budaya yang telah
terbangun itu berbeda dengan konteks sosio-budaya yang berkembang di Arab.
Sehingga warna Islam yang hidup di Indonesia pun memiliki perbedaan dengan Islam
di Arab. Dalam konteks Madzhab, Islam Indonesia mayoritas menganut Syafi’i.
Islam didedahkan sebagai agama kearifan yang ajarannya senantiasa kontekstual
dalam altar kekinian dan kedisinian. Di sinilah proses reinventing ini
dilakukan dalam konteks dialektika antara Islam dan budaya lokal mengalami
proses take and give, saling memberi dan menerima, saling mengambil dan belajar
sebagai momentum menemukan Islam keindonesiaan dalam proses reinventing secara
simultan, bukan Arabisme.
Agama dan tradisi merupakan dua unsur penting dalam
masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah
komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama
di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan
agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki
adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau dakwah islam yang
dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan seg-segi budaya masyarakat
Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan
penyesuaian budaya setempat. Pada perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut.
Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus
diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan
bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang
ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan.
Islam dan Tradisi
Sebagaimana dimaklumi, sudah lama terjadi gesekan
antara kelompok Islam lokal dengan Islam Arab. Sejak era Perang Paderi yang
awalnya dipicu ketegangan antara orang Islam yang pro-Arabis (Tuanku Imam
Bonjol) dengan kelompok Islam Adat. Pada era berikutnya, kita melihat ada
kalangan anggota jamaah tabligh yang menggunakan pakaian seperti pakaian orang
Arab dan mereka menganggap itu adalah sunnah Nabi, dan menganggap orang yang
tidak berpakaian seperti mereka dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi. Kelompok
ini membedakan diri dengan komunitas Islam tradisi yang berkembang di
Indonesia, bahkan menilai tradisi keagamaan yang bersifat lokal sebagai yang
tidak Islam. Dalam masyarakat kita, memang terdapat banyak tradisi keagamaan
yang bersemai dalam tradisi lokal seperti sekaten, tahlilan, mauludan, ruwahan,
nyadran, peringatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari hingga haul, dan
lain-lain.
Pengertian tradisi.
Secara terminologis, ”tradisi” mengandung suatu pengertian tersembunyi
tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada
sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu, tetapi masih berwujud dan berfungsi
pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tradisi Islam secara tidak
sadar ia sedang menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan
ratusan atau ribuan tahun yang lalu tetapi masih hadir dan tetap berfungsi
sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini. Tradisi dalam pengertian
yang paling elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari
masa lalu ke masa kini. Pengertian tersebut cukup menolong, namun masih terlalu
umum untuk dipakai sebagai alat analisa. Tidak terungkap dari pengertian
tersebut apa yang diwariskan, sudah berapa lama diwarisi, dengan cara
bagaimana, lisan ataukah tulisan. Tentunya kita dapat menerima bahwa Taj Mahal
di India, Spinx di Mesir, atau Borobudur di Jawa Tengah adalah monumen-monumen
tradisional. Namun tentunya sulit diterima kalau bangunan-bangunan tersebut
dikatakan sebagai tradisi. Itu semua adalah produk dari suatu tradisi, tetapi
bukan tradisi itu sendiri.
Dalam hal ini definisi dalam Ensiklopedi Britanica memberikan pengertian
yang lebih jelas, yakni “kumpulan dari kebiasaan, kepercayaan dan berbagai
praktek yang menyebabkan lestarinya suatu bentuk pandangan hidupnya.” Berangkat
dari uraian tersebut kiranya cukup jelas bahwa tradisi adalah sesuatu yang
diwariskan dari masa lalu ke masa kini berupa non-materi, baik kebiasaan,
kepercayaan atau tindakan-tindakan. Semua hal tersebut selalu diberlakukan
kembali, tetapi pemberlakuan itu sendiri bukan tradisi karena justru mencakup
pola yang membimbing proses pemberlakuan kembali tersebut.
Tradisi dan Sunnah
Dalam bahasa Arab, kata tradisi diidentikkan dengan kata Sunnah yang secara
harfiah berarti jalan, tabi’at, atau perikehidupan. Hal ini sesuai dengan
hadits Nabi yang artinya: “Barang siapa yang mengadakan suatu kebiasaan yang
baik, maka bagi orang tua akan mendapat pahala, dan pahala bagi orang yang
melaksanakan kebiasaan tersebut.” Para ulama umumnya mengartikan bahwa yang
dimaksud dengan kebiasaan yang baik itu adalah segenap pemikiran dan
kreativitas yang dapat membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat. Yang
termasuk dalam tradisi tersebut adalah mengadakan peringatan maulid nabi
Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, tahun baru hijriyah dan sebagainnya.
Selanjutnya kata ”Sunnah” menjadi suatu istilah yang mengacu pada segala
sesuatu yang berasal dari Nabi, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun
ketetapan Nabi. Para ulama Muhadditsin, baik dari kalangan modern (khalaf)
maupun kuno (salaf) menyamakan pengertian Sunnah tersebut dengan al-hadits,
al-akhbar dan al-atsar. Atas dasar pengertian ini kaum orientalis Barat
menyebut sebagai kaum tradisionalis kepada setiap orang yang berpegang teguh
kepada al-sunnah Rasulullah SAW bahkan juga kepada mereka yang berpegang teguh
kepada Al-Quran (makanya, kita yang dituduh sebagai kaum tradisionalis jangan
khawatir karena ini hanya tuduhan Barat). Islam Tradisi merupakan model
pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan di
masyarakat. Sedangkan Islam post-tradisi, bemaksud mendialogkan tradisinya
dengan zaman modern.
Bagi PMII, tradisi adalah khazanah peradaban manusia. Tugas PMII adalah
menyatakan kembali atau merujukkan dengannya agar tetap survive dalam
konstelasi kehidupan masa kini, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian
seperlunya. Perbedaan kita dengan kaum fundamentalis terletak pada
penerimaannya pada tradisi. Ataupun dengan kaum modernis yang membuang tradisi
dan ingin meniru Barat. Bedanya, Islam Fundamentalis membatasi tradisi yang
diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin, sedang Islam Tradisi
melebarkan sampai pada salaf al-shalih, sehingga kita bisa menerima kitab-kitab
klasik sebagai bahan rujukan. Resikonya, memang terkadang bisa mengarah pada
keteguhan memegang prinsip. Orang luar menyebutnya ekslusif, subjektif dan
diterminis. Sedangkan kaum modernis ingin menafsirkan al-Qur’an dengan kerangka
rasionalitas dan metode modern. Sikap Islam Tradisi yang tetap memegang teguh
tradisi dan kemampuannya berdialog dengan modernisasi sebagaimana yang ditunjukkan
NU dan PMII membuktikan bahwa tuduhan orang luar mengenai kelompok Islam
tradisi tidak terbukti, sebab kita tetap bisa berdialog dengan modernitas, Cuma
beda dialognya dengan kaum fundamentalis dan kaum modernis.
a)
Sejarah
Perkembangan dan Pertumbuhan Islam Tradisi
Berbicara mengenai Islam tradisi adalah berbicara mengenai kaum salaf.
Dalam sejarahnya, Islam tradisi merupakan hasil cipta rasa dari kaum sunni
(aliran sunni atau ahlussunnah). Aliran ini muncul karena peristiwa-peristiwa
berikut:
1)
Fitnah pada saat
Rasulullah SAW wafat. Ketika Rasulullah Muhammad SAW wafat, maka terjadilah
kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan Anshar siapa yang selanjutnya
menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan mengakibatkan
perang saudara antar kaum muslimin Muhajirin dan Anshor. Setelah masing-masing
mengajukan delegasi untuk menentukkan siapa Khalifah pengganti Rasulullah.
Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu Bakar sebagai
Khalifah.
2)
Fitnah masa
khalifah ke-3. Pada masa kekhalifahan ke-3, Utsman bin Affan, terjadi fitnah
yang cukup serius di tubuh Islam pada saat itu, yang mengakibatkan terbunuhnya
Khalifah Utsman. Pembunuhnya ialah suatu rombongan delegasi yang didirikan oleh
Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak memberontak kepada Khalifah dan
hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba' berhasil membangun pemahaman yang sesat
untuk mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian
masyarakat banyak saat itu, terutama disponsori oleh para bekas pelaku
pembunuhan terhadap Utsman, berhasil membunuh beliau dengan sadis ketika beliau
sedang membaca al-Qur'an.
3)
Fitnah masa
khalifah ke-4. Segera setelah bai'at Khalifah Ali mengalami kesulitan
bertubi-tubi. Orang-orang yang terpengaruh Abdullah bin Saba' terus menerus
mengadu domba para sahabat. Usaha mereka berhasil. Para sahabat salah paham
mengenai kasus hukum pembunuhan Utsman. Yang pertama berasal dari janda
Rasulullah SAW, Aisyah, yang bersama dengan Thalhah dan Zubair berhasil diadu
domba hingga terjadilah Perang Jamal atau Perang Unta. Dan kemudian oleh
Muawiyah yang diangkat oleh Utsman sebagai Gubernur di Syam, mengakibatkan
terjadinya Perang Shiffin. Melihat banyaknya korban dari kaum muslimin, maka
pihak yang berselisih mengadakan ishlah atau perdamaian. Para pemberontak tidak
senang dengan adanya perdamaian diantara kaum muslimin. Kemudian terjadi usaha
pembangkangan oleh mereka yang pada awalnya berpura-pura/munafik. Merekalah
Golongan Khawarij.
4)
Tahun jama’ah.
Kaum Khawarij ingin merebut kekhalifahan. Tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyah,
sehingga mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij
berhasil membunuh Khalifah Ali pada saat khalifah mengimami shalat subuh di
Kufah, tapi tidak terhadap Muawiyah karena dijaga ketat. Bahkan Muawiyah
berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan
ketegaran kepemimpinannya. Karena belajar oleh berbagai pertumpahan darah, kaum
muslim secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Muawiyah.
Maka tahun itu, tahun 41 Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am
al-jama'ah).
5)
Sunnah madinah.
Kaum muslimin mendalami agama berdasarkan Al-Qur'an, dan memperhatikan serta
ingin mempertahankan sunnah Nabi di Madinah. Akhirnya ilmu hadits yang
berkembang selama beberapa abad, sampai tuntasnya masalah pembukuan hadis
sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir abad ke-3 hijriyah. Saat itu,
lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan al-Kutub al-Sittah (Buku Yang
Enam) yakni oleh al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273
H), Abu Dawud (w. 275), al-Turmudzi (w. 279 H), dan al-Nasa'i (w. 303 H).
Kemudian masa perkembangan Ahlus-Sunnah pada masa
kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat
dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah,
pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani
Abbasiyah. Yaitu madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i serta Hambali. Selanjutnya
praktek Islam tradisionalis juga dapat dijumpai di India, Mesir, turki, dan
juga Indonesia.
b)
Karakteristik
Islam Tradisi
Karakteristik (ciri-ciri atau corak pemikiran) Islam tradisi
adalah sebagai berikut:
1)
Memegang teguh
pada prinsip. Karena keteguhanya ini, orang luar terkadang salah paham dengan
menilainya eksklusif (tertutup) atau fanatik sempit, tidak mau menerima
pendapat, pemikiran dan saran dari kelompok lain (terutama dalam bidang agama).
Hal ini dikarenakan mereka mengganggap bahwa kelompoknya yang paling benar.
2)
Bersifat toleran
dan fleksibel. Karena sifat tolerannya terhadap tradisi maka orang luar
terkadang salah paham dengan menilainya tidak dapat membedakan antara hal-hal
yang bersifat ajaran dengan yang non-ajaran. Dengan ciri demikian, Islam
tradisionalis mengganggap semua hal yang ada hubungannya dengan agama sebagai
ajaran yang harus dipertahankan. Misalnya, tentang ajaran menutup aurat dan
alat menutup aurat berupa pakaian. Yang merupakan ajaran adalah menutup aurat,
sedangkan alat menutup aurat berupa pakaian dengan berbagai bentuknya adalah
bukan ajaran. Jika ajaran tidak dapat diubah, maka yang bersifat non-ajaran
dapat dirubah. Kaum islam tradisionalis tidak dapat membedakan antara keduanya,
sehingga alat menutup aurat berupa pakaian-pun dianggap ajaran yang tidak dapat
dirubah.
3)
Berpijak masa
lalu untuk masa depan. Islam tradisionalis menilai bahwa berbagai keputusan
hukum yang diambil oleh para ulama di masa lampau merupakan contoh ideal yang
harus diikuti. Hal demikian muncul sebagai akibat dari pandangan mereka yang
terlampau mengagungkan para ulama masa lampau dengan segala atributnya yang
tidak mungkin dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang muncul belakangan.
Walau demikian, pemahaman sebagai manhaj al-fikr juga membuka kemungkinan untuk
diadakan ijtihad baru terhadap permasalahan yang mengemuka di era sekarang.
4)
Hati-hati dalam
melakukan penafsiran teks agama. Keteguhan pada teks membuat kelompok ini
dituduh sangat tekstulis, padahal tuduhan itu tidak tepat karena apa yang
dilakukan kaum sunni ini adalah sikap kehati-hatiannya dalam mengambil hukum.
Sehingga orang luar sering menuduhnya memahami ayat-ayat al-Qur’an secara
tekstual tanpa melihat latar belakang serta situasi sosial yang menyebabkan
ayat-ayat al-Qur’an tersebut diturunkan, sehingga jangkauan pemakaian suatu
ayat sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu saja tanpa mampu
menghubungkannya dengan situasi lain yang memungkinkan dijangkau oleh ayat
tersebut.
5)
Cenderung tidak
mempersalahkan tradisi yang terdapat dalam agama. Pada waktu Islam datang ke
Indonesia, di Indonesia sudah terdapat berbagai macam agama dan tradisi yang
berkembang dan selanjutnya ikut mewarnai tradisi dan paham keagamaan yang ada.
Tradisi yang demikian itu kalau yang baik tidak dipermasalahkan yang penting
dapat menentramkan hati dan perasaan mereka. Sedangkan tradisi yang
bertentangan dengan Islam harus dihilangkan atau diganti dengan yang substansinya
sesuai dengan ajaran Islam.
Islam Tradisi di Indonesia
Islam Tradisi yang berkembang di Indonesia sudah lama
sejak era Walisongo.Pada kemudian hari kaum tradisionalis ini identik dengan
warga Nahdathul Ulama (NU) dimana akar kultur PMII berada
0 komentar:
Posting Komentar