Ahlussunnah
Wal Jam’aah (ASWAJA)
Indikator
Memahami
pengertian ASWAJA
Memahami sejarah
ASWAJA
Memahami dan
mengimplementasikan nilai-nilai ASWAJA
Apa yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal
jamaah ? Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al-Kawakib
al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan
definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa
komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal
akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh Abdul Qodir
Al-Jaelani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80
mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan
assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan,
perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian
jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW
pada masa empat Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
“Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi
terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan.
Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu.
Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW
menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu
Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:
“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr
as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah
SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku
al-khulafa’ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.
Sejak kapan istilah golongan Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) muncul ?
Paling mudah melacak periode awal kelahiran terminologi (istilah) Aswaja
dimulai dengan lahirnya madzhab (tauhid) al-Asy’ari dan abu Manshur al-maturidi.
Tetapi kelahiran madzhab Aswaja di bidang kalam ini tidak dapat dipisahkan
dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode ‘Ali bin Abi Thalib KW.
Sebab dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak
zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada
saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib KW, karena jasanya menentang
penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qodariyah
tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk. Di masa tabi’in juga tercatat
ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah
Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang
beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja,
seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan
kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barohimah” .
Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata “Idza uthliqo ahlus sunnati wal jama’ati fal muroodu bihi al asya’irotu wal maturidiyyah; Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham.
Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata “Idza uthliqo ahlus sunnati wal jama’ati fal muroodu bihi al asya’irotu wal maturidiyyah; Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham.
Kemudian secara eksplisit para Ulama mengformulasikan konsep-konsep Aswaja
kedalam beberapa criteria yang merupakan intisari dari konsep aswaja yang telah
dijelaskan secara global di atas, yaitu:
1. Tawassuth; Bisa diartikan berdiri ditengah, moderat,
tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khoirul umur ausatuha
(moderat adalah sebaik-baik suatu perkara)
2. Tasamuh; Yaitu sikap toleran, tepa selira. Konsep
tasamuh merupakan sebuah landasan yang bingkai yang secara eksplisit sangat
menghargai perbedaan tanpa memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Yaa
ayyuhalladziina aamanu laa yaskhar qaumun min mqaumin ‘asaa an yakuuna khoiron
minhum (Hai orang-orang yang beriman janganlah satu kaum mengolok-olok kaum
yang lain karena boleh jadi kaum yang diolok-olok itu lebih baik daripada yang
mengolok-olok)
3. Tawazun; Berarti keseimbangan dalam bergaul dan
berhubungan baik horizontal maupun vertikal (sesama manusia, manusia dengan
alam serta manusia dengan Tuhannya). Dengan dibekali akal manusia diharapkan
bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi maupun tugas sebagai hamba
yaitu beribadah kepada Allah. Sebagaimana ajaran kitab suci”wabtaghi fiima
aataakallaahud daaral aakhiraah walaa tansa nashibakaminad dunya” carilah apa
yang telah dikaruniakan Allah kepadamu untuk bekal hidup di akhirat akan tetapi
janganlah engkau lupakan bagianmu du dunia.
4. Ta’adul; Yaitu keadilan, yang merupakan ajaran
universal Islam. Pemaknaan yang sangat ditekankan dalam hal ini adalah keadilan
sosial yang mencakup keseluruhan dimensi kehidupan manusia dalam ranah
publik(public areas). Begitu pentingnya prinsip keadilan sampai Ibnu taymiyah
berkata: Addunya taduumu ma’al ‘adli wal kufr * walaa taduumu ma’adzdzulmi wal
islam (Dunia bisa berdiri kokoh dengan keadilan meskipun bangsanya kafir * akan
tetapi bisa hancur ketika yang ada hanya kedzaliman meskipun bangsanya muslim)
ASWAJA DALAM KONTEKS NUSANTARA
Awal mula kemunculan sejarah aswaja nusantara
berbarengan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia, terlepas dari
perdebatan kapan tepatnya Islam masuk Indonesia tapi yang pasti tonggak
kehadiran Islam di Indonesiasangat tergantung pada dua hal: pertama, Kesultanan
pasai di Aceh yang berdiri pada abad ke-13, dan kedua, Wali Sanga di Jawa yang
mulai hadir pada abad ke-15bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun dalam
perkembangan selanjutnya yang lebih berpengaruh adalah Wali Sanga yang
dakwahnya tidak hanya terbatas di wilayah Jawa tetapi menggurita kepelosok
Nusantara. Hal ini dikarenakan dakwah yang dilakukan Wali Sanga bersifat lentur
dan fleksibel yaitu dengan menggabungkan nilai-nilai Islam dengan budaya yang
telah mengakar kuat dalam kehidupan tanpa mengurangi nilai-nilai Islam yang
esensial-substansial dengan demikian mudah diterima oleh masyarakat. Yang
penting untuk dicatat pula bahwa mayoritas sejarahwan sepakat bahwa Wali Sanga
lah yang dengan sangat brilian mengkontekstualisasikan aswaja dengan kebudayaan
masyarakat Indonesia sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, yang sampai
saat ini menjadi basis bagi golongan tradisionalis, termasuk PMII.
Telah kita ketahui dari pemaparan di atas bahwa
golongan aswaja adalah golongan yang berpegang pada Imam Abu al-Hasan
Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi(teologi), Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hambali(fiqih), Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan
ulama’-ulama’ lain yang sepaham(tasawuf). Dalam konteks Indonesia kita dapat
menyaksikan bahwa kriteria aswaja yang paling sesuai dengan kriteria di atas
adalah golongan Islam Tradisionalis yang selama ini kerapkali dicap terutama
oleh golongan Islam modernis ataupun kelompok puritan yang kecenderungan
membaca teks-teks suci(al quran dan hadist) secara literal tekstual sebagai
golongan ahlul bid’ah wal jama’ah, tahayul, khurafat dan segudang tuduhan tak
senonoh lainnya yang mana sikap keberagamaan seperti itu sangat dilaknat oleh
Rasulullah SAW “man kaffara akhaahu al muslim fahuwa kaafirun; barabg siapa
yang mengkafirkan saudaranya yang muslim maka hakikatnya dialah yang kafir”
naudzubillah!
0 komentar:
Posting Komentar