Depok, 13 Mei 1996
Hari Minggu yang lalu ada undangan dari YPS untuk acara peluncuran buku Sketsa Kehidupan dan Surat-Surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi yang dieditori oleh Ridwan Saidi dan Hussein Badjerei. Saya datang, Mas Pram ternyata juga. Di samping Ibu Mahbub dan putrinya, Fairuz, banyak sekali (untuk ukuran yayasan itu) hadirin yang datang, khususnya mereka yang sudah beruban. Itu membuktikan bahwa Mahbub Djunaidi memang tokoh yang cukup dikenal dan dicintai.
Menurut undangan, yang berbicara adalah wakil panitia, wakil keluarga, wakil handai tolan, dan akhirnya doa seorang kyai. Sebagaimana lazimnya pembicaraan tentang seorang almarhum, seluruh sambutan berisi pujian. Dan acara berjalan penuh kedamaian.
Tapi tiba-tiba ada yang mengerikan, yaitu ketika Simon Tiranda dari YPS diminta sambutannya. Walau cukup dekat dengan almarhum –karena sama-sama pengurus yayasan tersebut- Simon merasa kurang cukup akrab dibandingkan dengan Karim D.P, Yusuk Isak, dan Uteh Riza Yahya. Maka ia pun minta kepada panitia untuk mempersilakan orang-prang yang disebut namanya itu memberikan sambutan masing-masing selama lima menit.
Dari ketiga orang itu, Yusuf memberikan keterangan yang (menurut orang sekarang) paling kontroversial. Ia katakan, semasa hidupnya alamarhum sangat menghargai dua orang, yaitu Soekarno dan Pramoedya Ananta Toer dan Soekarno. Dan ia menyebutkan kedua nama itu dengan urutan demikian!
Dikatakannya, ketika tetralogi Pram dibredel oleh Kejaksaan Agung, Mahbub minta Yusuf (editor buku-buku itu) memberinya satu set lagi.
“Ah, aku kan sudah kasih entah delapan atau sembilan set. Ke mana saja semua itu?” kata Yusuf.
“Sudahlah, ini perlu,” jawab Mahbub.
Ternyata Mahbub mengusahakan buku-buku itu untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad Hasan!
Seperti biasa, Yusuf berbicara penuh tekanan, penuh ekspresi, penuh semangat. Jadinya seoalah-olah kampanye buku Pram, kampanye anti pembredelan, kampanye anti sikap represif pemerintah, sampai-sampai topik nyaris bergeser dari Mahbub ke Mas Pram. Itulah ngerinya.
Seberapa besar sesungguhnya Mahbub menghargai Mas Pram, antara lain, memang dapat disimak dari wawancara Ridwan Saidi dengan almarhum, yang dimuat juga dalam buku yang diluncurkan di atas.
Diakatakan oleh Mahbub:
“Bukan hanya para politisi, bahkan pers juga tak lagi punya greget. Orang yang seperti Pramoedya cuma satu dimusuhi terus menerus. Padahal bahasa Pram mendidik kita. Nggak ada orang yang kemampuan berbahasanya seperti Pram.” (hlm. 79).
Di tempat lain, hlm.84, terjadi percakapan demikian:
Ridwan: Pernah tulisan Anda ditolak oleh koran?
Mahbub: Pernah, bahkan dua kali. Keduanya tulisan saya tentang Pram.
Ridwan: Bagaiamana perasaan Anda sebagai penulis saat tulisan Anda tidak dimuat?
Mahbub: Kesal sekali. Jengkel. Kadang-kadang pengawasan intern pers itu sendiri lebih galak dari pemerintah.
Terkesan dari percakapan itu bahwa tulisan Mahbub yang ditolak koran hanyalah dua tulisan itu ( tidak ada yang lain). Dan celakanya, justru itu tulisan tentang Pram (yang tentunya sangat dia harap dimuat).
Mungkin rasa menghargai Mas Pram yang disimpan Mahbub itu sangat mendalam. Kalau tidak, mustahil ia menulis sampai dua kali. Yang jelas, pasti lebih dua kali ia menulis tentang Mas Pram. Dan nada tulisan itu jelas tidak negatif, seperti dapat disimpulkan dari kutipan di atas.
Adapun rasa menghargai Mahbub dari pihak Mas Pram barangkali dapat saya ilustrasikan sedikit:
Beberapa tahun yang lalu saya diajak Mas Pram ke Bandung untuk beberapa keperluan, antara lain ke rumah Mahbub. Lama kami berputar-putar mencari alamatnya. Tapi akhirnya ketemu. Dan ketika ketemu, saya lihat tuan rumah dan tamunya berpelukan dengan diam demikian rupa, sehingga yang berbicara sesungguhnya pasti hanya hati mereka.
Tuan rumah waktu itu kelihatan lesu, kurang enak badan. Kalau saya tidak salah ingat, ia mengeluhkan jantungnya.
“Oo, itu gampang,” kata Mas Pram yakin. “Makan bawang putih. Pasti normal. Orang Arab suka makan bawang putih. Karena itu nggak ada orang Arab sakit jantung.”
Tuan rumah menerima informasi itu seperti mendapat hal yang baru, namun tidak serta-merta menerimanya. Ia menyinggung adanya obat apotek dengan merek “Garlic”. Tapi Mas Pram menyepelekannya.
“Sudahlah, makan bawang putih. Sudah beberapa orang saya beri nasihat. Dan mereka membenarkan khasiatnya. Dilalap saja. Tiap kali makan.”
Lama juga kami duduk di rumah itu mengobrol, sampai nyonya rumah sempat mengeluarkan hidangan makanan dan minuman, dan kami menikmatinya. Ini hal yang tak lazim buat Mas Pram. Dia tidak pernah jenak di rumah orang. Begitu duduk, kursi sudah seperti bara panas bagi dia.
Akhirnya kami minta diri. Dan kembali kedua orang itu berpelukan mesra, seperti tak kan bertemu lagi. Dari rumah Mahbub, Mas Pram memutuskan untuk tak ke tempat-tempat lain lagi. Langsung pulang ke Jakarta! Aneh sekali, padahal sudah diniatkan sebelumnya.
Kembali ke peluncuran buku. Tak dinyana-nyana, pembawa acara mempersilakan Mas Pram memberi sambutan.
Tidak ada ceritanya Mas Pram memberikan sambutan dalam suatu acara. Kalau ia diminta memberikan sambutan, pasti ia tolak sambil menggoyangkan telapak tangan dan mulut dikunci rapat-rapat dengan wajah penuh kesakitan. Mungkin karena ia terbiasa bicara sebagai pembicara utama. Atau mungkin ia beranggapan, sambutan selamanya tak ada isinya.
Tapi aneh, kali itu dengan gagah ia tampil ke depan. Ia bicara sangat singkat. Katanya, di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya satu orang yang membelanya, yaitu Mahbub. Untuk itu ia mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mahbub dan keluarga. Titik.
Kesan acara jadi betul-betul bergeser. Dan dioa sang kyai tak kuasa menghapuskan kesan itu.
Lalu seperti biasa, Mas Pram pulang duluan, walau hujan lebat melecut Jakarta.
Koesalah Soebagyo Toer
Sumber: buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar