Di bilik rumah sebelah kanan, terdengar suara suamiku mengerang-erang kesakitan. Riuh rendah suaranya terbawa oleh hembusan udara yang memenuhi ruang depan. Rintihan-rintihan itu seakan seperti sembilu yang menyayat-nyayat kalbu. Rasa sakit yang berkepanjangan belum juga sampai ke muara kesembuhan. Pedih rasanya mendengar erangan suami yang menahan rasa sakit di luar kemampuannya. Suara itu semakin lama semakin keras hingga aku harus berdiri dan beranjak menghampiri suamiku yang masih tergolek di ranjang kamar.Sarung yang membungkus kepalanya perlahan kusingkap, lantas kuusap keringat yang mengucur deras di keningnya. Terasa di telapak tanganku suhu badan suamiku sangat panas. Lalu aku bergegas mencarikan kain kemudian kucelupkan di sebuah ember yang berisi air di samping suamiku. Kening yang mulai berkerut kukompres dengan kain yang sudah kubasahi air. Dengan rasa kasih sayang kuusap perlahan lelehan air mata yang mengalir dari matanya yang agak memerah karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.
Rasa iba pada suamiku menggelayut dalam pikiranku. Setiap aku bekerja di pasar berjualan kue basah selalu teringat penderitaan yang ia alami sejak penyakitnya kambuh. Sejak ia dipositifkan terkena liver, hampir setiap hari ia berbaring di ranjang. Badannya yang dulu tegap dan gagah mulai ringkih digerogoti penyakit yang tergolong ganas. Dan akhir-akhir ini perutnya semakin membesar. Jangankan untuk berjalan, bangun untuk duduk atau merebahkan tubuhnya kembali harus dibantu.
Kondisi suamiku yang dibekap penyakit seperti itu membangkitkan semangatku bekerja mencari nafkah. Setiap hari aku harus bangun tengah malam untuk membuat kue basah. Saat orang-orang sedang terpulas dalam dengkur, aku sudah bangun melembutkan beras yang kurendam sejak siang hari. Suara antan bertalu-talu menggilas butiran-butiran beras menjadi tepung dalam lesung. Tanganku yang dulu lembut karena tidak pernah bekerja berat kini tampak kekar seperti kaum pria. Antan setiap tengah malam kuangkat lalu kutumbukkan entah berapa ratus kali hingga beras-beras itu menjadi tepung.
Rasa kantuk tak kuhiraukan. Peluh dingin mengguyur tubuhku yang terbalut kebaya warna kusam kuusir dengan sekedar membuka kancing kebaya bagian atas. Sedikit terasa hembusan angin tengah malam mengusir resa gerah. Kemudian tungku yang menyala merah dengan jilatan-jilatan api membakar panci, kudiamkan saja hingga masakanku benar-benar matang. Satu persatu kue basah yang baru kuangkat dari panci kutiriskan di tampah agar cepat dingin. Hingga pada akhirnya aku sampai pada pagi yang menjanjikan.
“Pak, aku pamit dulu!” Suamiku tergeragap di tempat duduknya. Lantas ia memberikan isyarat izin kepadaku untuk pergi berjualan kue basah di pasar.
Anak-anakku sudah mulai terbiasa kutinggalkan dalam keadaan tidur. Jika mereka bangun, mereka sudah tidak merengek-rengek memanggilku. Mereka akan pergi ke kamar mandi tanpa harus disuruh atau dibentak-bentak seperti anak-anak pada umumnya. Setelah mandi mereka akan memakai seragam sekolah yang sudah kutaruh di dekat tempat belajarnya lalu sarapan pagi. Dua anak yang masih membutuhkan perhatian orang tua terpaksa harus belajar mandiri karena kesibukanku mencarikan nafkah buat mereka.
***
”Kue, kueeee….! kue, kueee…..!” suaraku beradu dengan suara pedagang-pedang lain yang menawarkan barang dagangan. Di tengah keramian pasar aku relas berdesak-desakkan sambil membawa tampah yang sarat dengan kue basah daganganku. Tangan kekarku selalu mendesak, mendorong orang-orang yang menghimpitku agar daganganku selamat. Sedangkan kedua kakiku selalu berderap seperti kaki-kaki kuda menerjang segala rintangan yang menghadang. Tanah berlumpur di tengah pasar kuterjang walau lumpur-lumpur itu membalut kaki hingga akan mencapai lutut.
Di tempat yang agak kering aku duduk lalu menjajar kue daganganku di tepi jalan yang selalu dilewati orang. Sambil duduk beralas daun jati yang kutaruh dalam keranjangku, aku sedikit bias bersitirahat melemaskan otot-otot kakiku yang kaku. Kulihat lalu-lalang pedagang dan pengunjung pasar tradisoanal saling berhimpitan. Ia beradu otot untuk saling menyingkirkan agar mereka bisa berjalan ke tujuan. Satu dua orang datang menghampiriku menanyakan harga daganganku. Dengan senang hati mereka kulayani.
”Ini, Bu jajannya,” kataku sambil menyodorkan bungkusan tas kresek berisi jajan kepada seorang ibu yang menggendong anaknya di punggung.
Saat matahari sudah nangkring di langit yang cerah, aku bergegas mengemasi barang daganganku yang tersisa. Sambil berjalan pulang, aku menawarkan daganganku pada orang-orang kampung. Dan syukur Alhamdulillah, saat sampai di rumah daganganku habis.
”Lho, kalian kok sudah pulang?” tanyaku pada anak-anakku.
”Ya, Bu. Aku dan adik disuruh minta uang oleh pak guru katanya kami belum membayar iuran sekolah,” kata anak pertamaku dengan lugas.
”Kok, masih membayar sekolah to? Kalian itu sudah dibayari pemerintah. Jadi sekolahnya gratis,” jelasku pada mereka.
”Ini buktinya!” jawab anak pertamaku sambil menyodorkan surat dari sekolah.
”Oooo, biaya Infaq to…! Kalau begitu, ayo, masuk rumah dulu!” ajakku pada mereka.
Jari-jemariku membuka kepingan uang yang kuletakkan di balik daun pisang yang mengalasi tampah. Kuhitung kepingan-kepingan itu lalu kuberikan pada anak-anakku.
”Terima kasih, Mak!” kata mereka sambil berlari kegirangan kembali ke sekolahnya.
”Buuuuu! Kemari, Buuu!” suara suamiku dari dalam kamar.
Aku melihat suamiku semakin melemah. Ia sepertinya tak kuasa menahan rasa sakit dari perutnya yang bertambah besar. Sebagai seorang istri yang lemah aku hanya dapat menatap penderitaan suamiku yang mengenaskan. Perutnya yang semakin membesar dan mengeras selalu ia pegang sambil merintih kesakitan.
”Ambilkan air, Buuu! Panasss!” keluhnya.
”Sabar, Pak, kuambilkan!”
Saat kukembali dari mengambilkan air, tiba-tiba suamiku tergolek lemas. Tangannya yang memegang perutnya kuraih dengan perlahan. Ia tak bereaksi. Waktu kuusap perutnya yang membesar dengan air, juga tak bereaksi. Aku jadi panik. Aku bingung menghadapi kondisi suamiku yang tak berdaya. Saat kutepuk-tepuk pundaknya ia juga diam tak merasakan tepukan tangan kekarku. Aku lantas memanggil Pak Kuslan, tetanggaku. Ia segera datang tergopoh-gopoh untuk memeriksa suamiku.
”Suamimu sudah tiada, Tin!”
”Masya Allah, Bapak……..!” teriakku keras hingga para tetangga yang lain datang ke rumahku.
Sesak dadaku karena larut dalam tangis kehilangan suami yang telah sakit hampir enam bulan kutahan. Air mataku yang sempat membanjiri pipiku segera kuusap dengan gendong yang baru saja kuletakkan di ranjang kamar. Aku berusaha tabah menghadapi cobaan yang selama ini membebani hidupku. Aku harus bisa menerima apa yang telah ditentukan oleh Allah dengan mengambil suamiku yang sangat kucinta. Aku tak mau saat anak-anakku pulang sekolah melihat diriku masih berlinangan air mata. Aku tak ingin mereka bersedih dan meratapi kepergian bapaknya yang mengasihi mereka. Aku harus bisa menjadi ibu yang mengasihi dan melindungi mereka. Aku akan membesarkan mereka hingga mencapai apa yang dicita-citakan. Aku akan berusaha mencarikan jalan kehidupan yang terbaik bagi mereka.
”Ibu….Bapak kenapa?” Aku kaget oleh kedatangan anak-anakku. Aku tergagap menjawab pertanyaan anak sulungku. Aku hanya mampu merangkul keduanya sambil membisikkan kata-kata kematian yang bisa diterima oleh mereka. Kepeluk dan kubelai rambut yang beraroma orang aring.
”Ikhlaskan kepergian ayah kalian, biar nanti bisa tenang di sisiNya!” bisikku pada anak-anakku.
Menjelang pemakaman, kedua anakku diberi kesempatan oleh Pak Modin untuk melihat jasad ayahnya yang terbungkus kain kafan. Mereka lantas berdoa dan memberikan ucapan selamat jalan pada ayahanda tercinta.
Seminggu kemudian, suasana duka dalam keluargaku perlahan mencair oleh kesibukanku sebagai ibu rumah tangga. Aku harus kembali berdagang ke pasar demi masa depan anak-anakku yang masih mentah. Mereka membutuhkan bekal yang banyak untuk mengarungi kehidupan yang semakin ganas. Mereka harus bisa bersekolah walau dengan biaya pas-pasan hasil dari kerjaku berjualan kue basah.
Pada pagi hari saat aku berangkat ke pasar dengan membawa tampah penuh dengan kue basah, ada seseorang yang menghentikan perjalananku. Aku pun berhenti. Eh, ternyata kepala sekolah anak-anakku. Dia memberi kabar kepadaku bahwa anak-anakku mendapatkan beasiswa dari sekolah. Aku menyambut kabar tersebut dengan bersyukur kepada Allah. Aku mengucapkan rasa terima kasih kepada kepala sekolah. Hingga pada akhirnya matahari sudah tak sabar lagi memberikan penerangan bagi jalanku untuk mendidik anak-anakku yang masih belia.
Cerpen karya Ahmad Zaini*
* Pembina SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Berdomisili diWanar Pucuk Lamongan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar