SEKILAS TENTANG INVESTIGASI
Moh. Kodim*)
Investigasi sebagai suatu strategi penggalian data –untuk sebuah pemberitaan—belakangan ini menjadi diskursus yang ramai dibicarakan. Dan pada gilirannya, ia menjadi perangkat alternatif yang digemari, khususnya di kalangan pers. Perangkat yang satu ini memang punya nilai keistimewaan sendiri dibanding perangkat klasik yang dipakai selama ini. Sebab, selain pilihan obyeknya –yang dituntut punya nilai publik tinggi—ia juga mengedepankan kedalaman dan kedetailan sebuah fakta. Serta yang tak kalah penting adalah; cara ini menuntut keberanian yang luar biasa dan seorang investigator harus ekstra hati-hati selama menjalankan kerjanya. Sebab persoalan yang dihadapi cukup rumit dan mengandung resiko tinggi. Bagaimana sejarah investigasi?
Di Amerika : Dari investigasi sampai muckraking wategate memang menjadi simbol kekuatan investigative reporting, kata sheila S. Coronei O. Kisah serial dua wartawan washington post, Bob Woodward dan Carl Benstein, pada 1972, mengekspor pembongkaran dan penyimpanan rekaman rahasia dari pimpinan partai demokrat, yang memakai kepanjangan tangan gedung putih, di gedung Watergate. Meskipun kebenaran merupakan sesuatu yang amat kompleks, kisah watergate menjadi bagian dari mitologi populer hancurnya kekuatan seorang presiden dari bangsa yang menguasai dunia akibat ulah dua wartawan yang mempertunjukkan penyalahgunaan kekuasaan prerogatif presiden Richard Nixon’s.
Hal itu mengimbas kemudian kepada pemahaman peranan kebebasan pers dan pertanggungjawaban wartawan ketika berhadapan dengan masyarakat dan pemerintahan dibanyak negara yang diliputi penyalahgunaan kekuasaan dan tertuju pula kepada peranan wartawan yang tidak sekadar pasif melaporkan berbagai kejadian bagi sebuah bangsa yang memiliki institusi demokrasi yang rapuh dan korup. Khususnya, ketika pelbagai institusi menjadi lemah dan kompromis, pers membangun kembali apa yang mesti dilakukan polisi, pengadilan, partai dan parlemen : membukakan pelanggaran kekuasaan, membangkitkan perubahan, dan memobilisasi aksi publik untuk melawan korupsi.
Akan tetapi, jurnalisme investigasi sebenarnya mempunyai jejak yang panjang dalam sejarah pers Amerika. Beberapa tokohnya tercatat dalam literatur jurnalisme AS, sebagai point pelaporan Investigasi. Dengan berbagai kisah perjuangannya, mereka menetapkan pedoman pelaporan jurnalisme investigasi. Bahkan menggariskan ciri pemberitaan pers sebagai medium Wachtdog di khasanah jurnalisme. Dalam hal inilah, pelaporan investigasi menjadi sesuatu yang inheren dengan kaidah pemberitaan, yakni : pada dasarnya, setiap berita yang dilaporkan wartawan, akan terkait dengan upaya investigasi. Penulisan berita straigh, yang dikenal sebagai pelaporan pendek, untuk konsep 5 W + H, dikerjakan melalui proses pencarian berita yang menginvestigasi kebenaran tiap detil fakta.
Joseph Pulitzer, menurut Mitcell V.Charnleyo O, menyatakan ada dua hal yang sangat signifikan yang mendasari reportase investigatif : jurnalisme harus membawa muatan pelayanan “pencerahan” (enlightened) publik dan sering kali juga kegiatan fighting reporting (reportase perlawanan). Kerja peliputan jurnalistik macam ini dimotivasi oleh “semangat, keterampilan, keberanian dan imajinasi”. Kerja peliputannya tidak hanya puas dengan berita yang bisa dilihat akan tetapi menyangkut pula kemendalaman penggalian dan agresifitas serta kerap berbahaya/beresiko tinggi terhadap fakta-fakta yang tersembunyi.
Untuk itu, investigative journalism disinonimkan dengan istilah jurnalisme crusading (perjalanan perang, upaya pemberantasan/pembasmian). Istilah crusading, dalam sejarah pers amerika, menyangkut periode Muckraking yang mengekspos perilaku anti sosial dan kejahatan (crime) di dunia pemerintahan dan bisnis.
Rivers dan Mathews menarik garis sejarah investigasi dari awal amerika serikat belum berdiri. Ketika, pada 1690, Benyamin Harris menginvestigasi berbagai kejadian masyarakat, dan melaporkannya dalam Publik Occurences, Both Forreign and Domestick, sebagai medium penerbitan yang memerankan kegiatan untuk menentang pemerintahan. Maka itulah penerbitan awalnya langsung dihentikan. Berbagai laporan beritanya tidak mencantumkan keterangan “by authority”, yang berarti tidak mendapat ijn dari general court of massachusetts. Isi laporannya dinilai menentang kebijaksanaan kolonial inggris. Dengan kata lain, dan yang dibawakannya adalah semangat penerbitan crusading di bentukan awalnya.
Pada fase selanjutnya, spirit crusading atau jihad atau perjuangan mendapatkan bentuknya yang lebih formal melalui New England Courant,1721, yang diterbitkan oleh James Franklin, dengan ketegasan menyatakan sikap oposan terhadap kebijsksanaan pemerintahan. Franklin merupakan pionir dari dunia jurnalis yang hendak menjalankan jurnalisme perjuangan, melalui ketegasan menolak keterangan “by authority”. Di dalam pencantuman laporan jurnalistik, yang berarti penolakan untuk tunduk terhadap garis politik kekuasaan (England-Britain) di Amerika.
Istilah investigasi belum dipakai. Istilah investigasi sendiri baru muncul pertama kali dari Nellie Bly ketika menjadi reporter di Pittsburgh Dispatch pada 1890. Ia memulai gaya jurnalistik yang menandakan pengisahan seorang wartawan tentang orang-orang biasa. Pelaporan materi jurnalistik yang mengembangkan secara serial bagaimana kehidupan orang kelas bawah didalam kenyataan sehari-hari. Bly sampai harus bekerja di sebuah pabrik di Pittsburg, untuk menyelidiki kehidupan buruh dibawah umur (anak-anak) yang dipekerjakan dalam kondisi yang buruk.
Namun laporan serial jurnalistiknya tidak lama. Ia berhadapan dengan institusi, yang melakukan pelanggaran, yang memiliki daya beli iklan dari koran tempat bly bekerja. Akibatnya, lembaga tersebut menghentikan pembelian halaman iklan Pittsburg Dispatch. Dan pihak editor mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan pemberitaan Nellie Bly.
Akan tetapi, dari kisah awal tersebut, bly lalu mendapatkan lahan penulisan yang terus dikembangkannya. Keistimewaan laporan jurnalistik investigatif bly terletak di tuntutan penyelesaian yang meminta jalan keluar dari problema sosial yang terjadi di masyarakat. Jadi, bukan hanya mendeskripsikan laporan persoalan masyarakat, melainkan juga bly menunjukkan solusi terhadap persoalan yang terjadi. Hal itu ditulis dengan penuh api, dan letupan gairah pada tiap kata-katanya.
Ia tidak surut oleh halangan kelembagaan media massa yang berhadapan dengan struktur masyarakat industri, pada awal mula memutarkan roda kapitalisme. Bly terus mengembangkan liputan investigasinya didalam jenis pemberitaan kemiskinan, perumahan, dan kaum buruh di New York. Dan, kemudian mendapat tempat tanpa dihalangi pihak editor semenjak direktur Joseph Pulitzer tokoh legendaris jurnalisme AS, pada 1887, untuk menulis di koran The New York World. Semenjak itu, bly masuk ke dalam persoalan kaum pekerja di wilayah-wilayah kumuh. Ia melaporkan bagaimana kelaparan, buruknya kondisi lingkungan, dan ketidaknyamanan kehidupan para pekerja. Laporan investigasinya kemudian menuntut perubahan masyarakatnya terhadap ketidaklayakan hidup para pekerja kelas bawah itu.
Nellie bly, Ten days in a mad house (1888), “the eating was one of the most horrible things. Excepting the first two days after I entered the asylum, there was no salt for the food. The hungry and even famishing women made an attempt to eat the horrible messes. Mustard and vinegar were put on meat and in soup to give it a taste, but it only helped to make it worse. Even that was call consumed after two days, and the patients had to try to choke down fresh fish, just boiled in water, without salt, pepper or butter : mutton, beef, and potatoes without the faintest seasoning. The most insane refused to swallow the food and were threatened with punishment. In our short walks we passed the kitchen where food was prepared for the nurses and doctors. There we got glimpses of melons and grapes and all kinds of fruits, beautiful white bread and nice meats, and the hungry feeling would be increased tenfold. Ispoke to some of the physicians, but it had no effect, and when I was taken away the food was yet unsalted.
People in the world can never imagine the length of days to those in asylums. They seemed never ending, and we welcomed any event that might give us something to think about as well as talk of. There is nothing to read, and the only bit of talk that never wears out is conjuring up delicate food that they will get as soon as they get out. Anxiously the hour was watched for when the boat arrived to se if there were any new unfortunates to be addad to our ranks. When they came and were ushered into the sitting-room the patiants would express symphathy to one another for them and were anxious to show them little marksof attention”. (sumber : Spartacus Educational. http;//www.spartacus.schoolnet.co.uk/htm;Agustus-2000)
Semenjak investigasi Nellie bly mendapat tempat didalam jurnalisme amerika, ia kemudian diikuti oleh kalangan pers lainnya. Jacob A. riis, pada 1899, meneruskannya melalui serial laporannya, “how the other haif lives”, di Scribner’s Magazine. Bahkan, majalah the arena yang dikembangkan benyamin flower, menspesialisasikan pelaporan beritanya pada investigasi, dengan liputan-liputan mengenai kemiskinan, pengangguran dan tema-tema yang dimulai bly. Flower memproklamirkan kegiatan jurnalismenya sebagai kerja, antara lain; agitasi, mendidik, menyusun dan menggerakkan masyarakat melalui laporan investigasinya. Pers diposisikan sebagai pengganti pemerintah (the republic) yang lemah dalam mengatur masyarakat.
*Era Muckraking
Dengan demikian, jurnalisme investigatif bisa dikatakan awal munculnya memakai bentukan medium perlawanan terhadap kebijakan penguasa. Dalam format laporan yang tidak langsung menginvestigasi pelanggaran, penerbitan yang bervisi semangat jihad ini membuka lembaran awal pekerjaan investigatif. Baru pada awal abad 20, jurnalisme investigatif menegaskan wujudnya didalam liputan-liputan yang terorganisir, ketika melaporkan berbagai pelanggaran yang terjadi. Sifat laporannya, di awal dekade 1900-an, teralokasikan kepada format muckraking atau pembedahan.
Sejak tahun 1900, para muckrakers mengembangkan liputan korupsi dan ketimpangan sosial yang merugikan masyarakat amerika. Presiden Theodore Roosevelt adalah pemberi nama muckrakers kepada para reporter yang sangat sibuk menyoroti kotoran (muck) dan tidak melihat sisi-sisi positif lain dari kehidupan amerika. Presiden Roosevelt menjadi berang seusai membaca laporan investigasi yang secara serial dilaporkan David Graham Phillips. “the treason in the senate”, di cosmopolitan. Laporan investigasi phillip membuka permasalahan korupsi yang terjadi di dunia AS saat itu. Roosevelt menyebut istilah muckrakers kepada para jurnalis yang melaporkan hal-hal seperti itu. Dalam kata-kata Charles Edward Russell, “the greatest single definite force against muckraking was president Roosevelt, who called these writers muckrakers. A tag like that running through the papers was an easy phrase of repeated attack upon, what was in general a good journalistic movement”.
President Theodore Roosevelt, Speech at the House of Representatives (1906), “In Bunyan’s Pilgrim’s progress you may recall the description of the Man the Muck-rake, the man who could look no way but down ward whit the muck-rake in his hands, who would neither look up nor regard the crown he has offered, but continued to rake to himself the filth on the floor. I hail as a benefactor every writer or speaker, every man who, on the platform, or in book, magazine or newspaper, whit merciless severity makes such attack, provided always that he in turn remembers the attack is of use only if it is absolutely truthful.” (Ray Stannard Baker, commented on Theodore Roosevelt and the Muckraking movement (1910). “In the beginning I thought, and still think, he did great good in giving support and encouragement to this movement. But I did not believe then, and have never believed since, that these ills can be settled by partisan political methods. The are moral and economic question. Latterly I believe Roosevelt did a dis-service to the country in seizing upon a movement that ought to have been built up slowly and solidly from the bottom with much solid thought and experimentation, and hitching it to the cart of his own political ambitions. He thus short circuited a fine and vigorous current of aroused public opinion into a futile partisan movement. “ (Sumber : Spartacus Educational. http://www.spartacus. scholnet.uk/htm: Agustus 2000)
Para muckraker menyerang tatanan kesejahteraan bangsa yang telah digenggam (kontrol) oleh hanya satu persen populasi penduduk. Mereka memprotes ketidakseimbangan tradisi hukum masyarakat yang hanya mempermasalahkan kekerasan kriminalitas tapi tidak mengatur kejahatan para pebisnis kakap. Para muckrakers mengangkat berbagai perilaku big busineses yang imoral dan ilegal dikarenakan mereka, yang hanya sedikit orang itu memiliki kekuasaan yang berlebihan. Mereka melakukan pekerjaan muckrake, yang menurut Webster, yakni, mencari-cari, menyoroti, atau menunjukkan adanya korupsi, dengan bukti nyata atau hanya berdasarkan dugaan, oleh publik dan badan usaha. Dikarenakan oleh tingkat keresahan yang demikian tinggi di masyarakat, mereka buka selubung ketidakberesan kinerja lembaga-lembaga politik, ekonomi, sosial yang sudah terasa pada beberapa dekade sebelumnya.
Dari sinilah era muckraking dimulai didalam sejarah jurnalisme amerika. Fenomena jurnalisme melaporkan berbagai tindak korupsi hukum dan keuangan yang terjadi di dunia politik. Atau fenomena para jurnalis menemukan medium bagi penyampaian pesan seperti itu diberbagai majalah populer, beserta khalayak publik yang sudah menunggu.
Pada 1902, jurnalisme investigasi menjadi sebuah gerakan yang berpengaruh. Hal itu dipicu oleh garis kebijakan penerbitan Mc Clure’s Magazine, Coller’s, Munsey’s, Saturday evening post dan Everybody’s Magazine yang bekerjasama dengan arena, yang menyatakan sikap jurnalismenya kepada kekuatan reformasi sosial. Masyarakat antusias menyambut pemunculannya. Majalah tersebut menjadi sangat populer. Keberhasilan itu meluncurkan bentukan lain dari penerbitan I jurnalisme investigasi, yakni melalui cosmopolitan dan Saturday evening post. Kedua penerbitan lanjutan ini mengarahkan jurnalisme investigasi kepada liputan-liputan yang berbeda dengan sebelumnya. Pelaporan investigasi melebarkan topik beritanya kepada soal-soal korupsi di bidang politik dan bisnis.
John O’hara cosgrave, Everybody’s Magazine (1909), “Wall Street cannot gull the public as it once did. Insurance is on a sounder basis. Banking is adding new safeguards. Advertising is nearly honest. Food and drug adiulteration are dangerous. Human life is more respected by common carriers. The hour of the old-time political boss is stuck. States and munici-polities are insisting upon clean administrators. The people are naming their own candidates. Protection is offered to the weak against the gambling shark and saloon. Our public resources are being conserved. The public health is being considered. New standards of live have been raised up.
Semenjak itu, jurnalisme investigasi menjadi bidang usaha penerbitan pers yang menguntungkan. Sirkulasi sepuluh majalah, yang memfokuskan liputan jurnalisme investigasi, misalnya pada 1906 mencatat jumlah 3 jutaan eksemplar. Menurut Ferguson dan Patten O. berbagai media pers yang muncul selama abad 19 dan awal abad 20, ini saling bekerja sama menjadi pejuang keadilan sosial- ketika berbagai surat kabar telah menendangnya keluar, tidak tertarik memberitakan topik-topik perjuangan idealisme seperti itu dan lebih terfokus kepada pelaporan jurnalisme kuning (yellow journalism). Sirkulasi media pejuang keadilan itu lalu mencapai ratusan ribu, dengan format materi berita yang memerangi korupsi didalam segala bentuknya. Misalnya, laporan bersambung Ida Tarbell’s “sejarah Standard Oil Company”, di Mc Clure’s yang menjadi pionir liputan investigasi tentang dunia big busines, bisnis-bisnis raksasa. Laporan Tarbell, diantaranya menyelidiki keterlibatan John D. Rockefeller, sebagai Standard Oil’s yang melakukan tindak pelanggaran bisnis tokoh-dan ditolaknya kemudian selama bertahun-tahun.
Beberapa wartawan investigasi kemudian mengembangkan gaya pelaporan jurnalisme investigasi untuk kepentingan penulisan novel. Charles Edward Russel dan Upton Sinclair, diantaranya menulis novel-novel berbasis riset jurnalistik, yang dibeli masyarakat sampai ribuan kopi. Novel Sinclair, the jungle and the brass check, mencapai jumlah 100 ribuan kopi. Pada perkembangannya, antara 1900-1914, jurnalisme investigasi lalu memunculkan asosiasi para penulis dan penerbit, dengan nama-nama Frank Norris, Ida Tarbell, Charles Edward Russel, Lincoln Steffens, David Graham Phillips, C.P. Connolly, Benjamin Hampton, Upton Sinclair, Thomas Lawson, Alfred Henry Lewis and Ray Stannard Baker. Liputan jurnalisme investigasi menjadi tambah populer ketika para jurnalis dan medianya menghadapi kekuatan politik presiden Theodore Roosevelt. Apalagi ketika berbagai hasil liputan investigasi mereka, antara lain, mempengaruhi parlemen didalam pengesahan konstitusi seperti pure food and drugs act (1906) dan meat inspectionact (1906).
Lincoln stefiens, dalam outobiografhy (1931) Charles edwar Russel , “I recall vividly meeting charless Edward Russel and asking him what he had got out oi;it all.He was the most earness, emotional, and gifter of the muckrakerrs. There was samething of the martyr in him, he had given up better jobs to go forth, rake in hard, to show tngs up, and he wanted them to be changed. His face locked as if he had suffered from then facts he saw and reported.”(sumber: spartecusEducational(http://WWW.spartacus.schoolnet.co.u k/hatm : agustus-2000)
Prioede mucraking bisa dikatakan sebagai periode akhir dari “jurnalisme kulling” Fase pers amerika kembali mengembangkan wacana kesadaran sosial terhadap perilaku kehidupan masyarakat. Pada periode ini, banyak koran, didalam laporan pemberitaannya, yang memperjuangkan uu pekerja anak-anak, memperomosikan rumah sakit dan sana tarium tuberkolosis, pengumpulan uanmg untuk korban seperti bencana alam, dan mengekspos kasus-kasus suap/ sogok-menyogok di masyarakt. Marek paten berbagai perusahaan, status kulit hitam, dan industri pengemasan-daging. Semuanya disampaikan melalui amatan yang teliti. Hasilnya, sampai ke rapat-rapat konggres. Undang-udang tentang makanan dan obat bius, pada 1906, dibuat melalui crusaders. “critik-kritikab para jurnalis crusading ini, “ menurut furgeson & patter, “telah menetapkab julukan mucrakers kepada mereka, sebagai para peruba yang datang dengan pikiran seperti para pendo’a.
Kegiatan jurnalisme muckraking bahkan melebarkan sayap pemikiran para pekerja pers untuk masuk wacana literatur kehidupan dan permasalahan keseharian amerika. Para jurnalis, menurut Edwir emery, mulai bekerja sama dengan kegiatan para pers politis dan pemimpin kaum buruh, para reformer, (refomers) dan agitator, para profesor dan kalangan pendidikan, para pekerja sosial dan filantropis. Para pekerja jurnalisme, dan literaturnya, menjadi para crusader, pekerja perbaikan yang membantu kehidupam masyarakt di era kebangkitan “kemenangan amerika” yang melepaskan diri dari berbagai persoalan internal dan eksternal kebangsaan.
Di lapangan politik luar negeri, parapekerja pers menjadi oposan untuk kebijakan aneksasi AS di Filipina, dan imperialisme dari Caribbean policy. Mereka menjadi pendukung gerakan internasional dan kebijakan arbitrase perdamaina di permasalahan internasional. Didalam negeri, mereka ikut membangun kehidupan masyarakat di tingkat negara dan lokal, ikut terlibat dalam pemilihan para senator, referendum, sampai pembuatan perundang-undangan hukum negara. Mereka menjadi pelanjut semangat Crusading dari jurnalisme diawal mula, dengan tingkat oportunitas yang lebih jauh, bagi fase abad 20 Amerika. Dilain pihak, didalam pertempuran berbagai pihak dalm menggarap issu nasional dan lokal, mereka juga sekaligus membangun kemandirian dari medium perss. Garis kebijakan New York World, dari Joseph Pulitzer, misalnya ikut mendukung sikap anti imperialisme William Jennings Bryan, dalam pemilihan presiden pada 1900, walau tidak menyepakati kebijakan moneter radikal yang direncanakan Bryan’s, mereka terus menjadi pengontrol korupsi di pemerintahan daerah semenjak Amerika mulai menumbuhkan kehidupan urban di berbagai dimensi kemasyarakatannya.
Para Muckrakers, menurut C.C Regier dalam the era of the muckrakers (1933), telah berhasil mempraktekan kerja jurnalisme investigasi dalam skala pengaruh yang cukup fenomenal. Bukan saja sekadar mengetengahkan persoalan kemasyarakatan akan tetapi sekaligus membawanya sampai ke tingkat konstitusi perundang-undangan di banyak negara bagian Amerika. Dalam periode waktu dari 1900 sampai 1915, misalnya, pelaporan muckrakers telah berhasil menuntut banyak perbaikan dilakukan oleh Amerika, meliputi permasalahan sistem negara, lembaga pemasyarakatan (prison), reklamasi hutan, lingkungan, perlindungan terhadap kaum pekerja, perjudian, pajak serta pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar.
Walaupun dalam perkembangannya berbagai penerbitan majalah yang mengembangkan gaya peliputan muckraking ini kemudian banyak yang kolaps. Mereka menghadapi soal pendanaan liputan yang sangat mahal. Pada sisi lain, para pengelola penerbitan pun dihadang dan ditekan oleh berbagai pihak yang tidak berkenan dengan serangan-serangan jurnalisme seperti itu. Para pemilik bisnis besar menyalurkan kemarahan mereka dengan menghentikan pemasangan iklan dimajalh yang memasang kisah-kisah muckrakers. Para pemilik majalah tidak mampu menghidupkan penerbitan mereka tanpa kontinuitas pasokan iklan. Para aparat pemerintah pun turun serta mengoreksi berbagai kesalahan liputan para muckrakers. Keberhasilan liputan mereka, yang telah ditandai dengan kelahiran berbagai perbaikan kebijakan negara serta pemunculan undang-undang yang diputuskan congress parlemen, mengalami penyurutan minat. Publik Amerika kelelahan untuk terus diajak berada didalam mode peliputan seperti itu. Publik tidak begitu antusias lagi dengan liputan bergaya muckraking.
Dari fenomena periode muckraking, dapat dilihat bahwa jurnalisme investigasi tampil ketengah keadaan masyarakat yang memerlukan pasokan informasi yang bisa menjaga nilai dan norma kehidupan dari kemungkinan penyelewengan yang dilakukan berbagai pihak, kelompok, atau institusi. Dunia politik dan bisnis telah memberikan dampak-dampak buruk (selain manfaat dan keuntungan sosial dari kapitalisme). Investigasi wartawan diantaranya bertugas untuk mengungkapkannya.
Para wartawan ikut didalamproses united states membangun konsolidasi didalam posisi bangsa industrial, pada awal abad 20. Mereka menginvestigasi ke banyak persoalan dari kerangka masyarakat, yang hendak membuat ekspansi ekonomi seusai Civil War, namun menyisakan soal-soal revolusi industri : pertumbuhan kekuatan ekonomi trust dan sentralistis di beberapa gelintir orang, kesenjangan pendapatan para pekerja kasardan petani, korupsi dan ketimpangan didalam kehidupan politik dan bisnis. Konsentrasi kekuatan ekonomi itu terbangun sejak 1880-an, dan memuncak setelah 1900-an. Pada 1904, sebuah studi mencatat adanya 318 industrial trust, yang menyentuh bidang-bidang bisnisseperti baja, minyak, gula dan tembakau. Para jurnalis koran dan majalah menjadi pemrotes monopoli ekonomi yang ditumbuhkan oleh kekuatan kapitalis.
Dari perkembangan seperti itu, tampaknya dari awal kinerja jurnalisme investigatif membawakan elan Crusading, diteruskan dengan bentukan muckraking, kelembagaan pers dicatat sebagai aktor politik. The medi as political actors, tulis Brian Mc Nair, ketika membahas fenomena political Communication dalam realitas masyarkat Amerika. Di pengujung abad 20, Mc Nair menilai keajegan media massa sebagai salah satu unsur politik yang memainkan peranan cukup berpengaruh.
“Demokrasi liberal telah meletakkan institusi media kontemporer bukan hanya sebagai pembentuk fungsi kognisi dari desiminasi informasi, akan tetapi juga sebagai pelaksana fungsi interperetatif dari kegiatan analaisis, penjelasan, dan komentar yang dilakukan media”, nilainya. Media turut akif memberi kontribusi diberbagai arahan diskusi dan resolusi politik, bukan hanya menjadi pengerangka wacana agenda publik, bukan hany sebagai penyalur kepentingan politisi menyemaikan pandangannya kepeda masyarakat. Media ikut menekan dan mengkeritik dari putaran diskusi politik yang terbangun di masyrakat. Kerja media menjadi dipenuhi dengan kegiatan menginterpretasi sosal-soal politik masyrakat, atau dengan kata lain menjadi media politik.
Pemikiran Mc Nair menempatkan arah kecendrungan liputan jurnalisme investigativ dengan sistem politik yang melingkupi keberadaan sebuah media pers. Hal ini menjelaskan perkembangan jurnalisme investigastif, dari awal peliputan semacam Neliybly menuntut perhatian kekuasaan terhadap keterpurukan masyarakat kelas bawah, menjadi dipenuhi dengan warna politik yang demikian kuat diberbaghai dimensinya. Narasi pemberitaan investigativ, yang terbangun antara lain oleh suasana interkasi dan kompetisi mengejar aksentuasi isu dan dominasi wacana publik, pada kemudiannya turut terpengaruh oleh pelaksanaan dari fungsi sebagai aktor politik. Nilai berita, reportase, dan logika dari jurnalistik investigativ terperangka dalam adonan faktor-faktor tersebut.
Artikulasi wacana politiknya muncul dalam belbagai dimensi. Pemilihan umum (pemilu) tingkat nasional atau lokal menjadi ajang jurnalisme investigatif membuka kasus-kasus pelanggaran partai politik. Keaktifan wartawan, baik secara penuh ( menjadi anggota partai, misalnya) atau sekedar di tataran kesepakatan orientasi politik, turut mengarahkan kisah-kisah berita investigativ . nilai-nilai propaganda, dan populisme, yang dibawakan tabloid-tabloid populer pun menyerentakkan gambaran investigatif kedalam gambaran benak banyak anggota masyarakat, dengan warna-warna “kebohongan dan sensasionalisme”mereka ketika paparan laporan investigatif mereka masuk ke pencitraan term-term politik. Banyak isu investigatif, yang diapungkan media, memanfaatkan tenaga informasi untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik, mengajak khalayak untuk berpindah orientasi politik, atau memberikan tekanan kepada para pemutus kebijakan politik pemerintahan.
Realitas kesejarahan pers kemudian memunculkan fenomena “the journalist pundit”. Mc Nair, dengan memakai pendekatan Nimmo and combs (1992, p.6), menyebutkan istilah “pundit” kepada posisi wartawan yang melaksanakan kegiatan editorial, columns, feature articles, dan berbagai vanasi format opini lain seperti catatan harian dan kartun, yang kebanyakannya membawakan fungsi satirical. Pundit adalah sosok semacam tokoh masyarakat yang dihormati pandangan-pandangannya, diambil dari terminologi sansekerta, pada awal abad 19, fase india modern, mengilustrasikan sosok “pencari ilmu (pencerahan) atau pengajar yang tidak hanya memiliki otoritas formal tetapi juga memiliki status figur politis”.
Bagi dunia pers Amerika, kehadiran Walter Lippmann mengaksentuasikan sosok ke-“pundit”-an bagi profesi jurnalisme pada awal abad 20. Ia melepas nilai kolektifitas kewartawanan sebagai sekumpulan pekerja yang bertugas hanya menjadi pelapor informasi kepada masyarakat. Namun, ia menjadi sosok yang integritas pandangannya, analisisnya, kepiawaian policy-nya, dari kemampuan khusus lainnya, sangat dihargai di forum-forum diskusi publik. Dengankata lain, wartawan pundit ialah seseorang yang dapat mempengaruhi masyarakat karena otoritasnya di berbagai peristiwa politik. Mereka berperan sebagai sumber dari kerangka opini dan artikulasi opini. Agenda-setting dan agenda-evaluasi. Mereka memasuki perang tokh bijak, yang tahu betul bagaimana mengamati dan mengomentari kejadian-kejadian politik, dan menurunkan keresahan masyarakat akan kerumitan persoalan politik yang tengah terjadi.
Dan, dalam kaitan perkembangan jurnalisme investigatif, pemunculan ke-“pundit”-an jurnalisme ini terkait dengan motif “perjuangan atau jihad”, dan “pendedahan”. Ruang jurnalisme investigatif membuka peluang bagi aspek kewartawanan untuk mengembangkan orientasi investigatifnya ke dalam ruang publik. Masuk kedalam “political class”, terlibat dalam proses “pengalian informasi” yang kerap bersifat konfidensial dan membuat tudingan-tudingan yang amat dihargai masyarakat. Semangat partisan memang kental dibawakan, namun lebih condong akhirnya untuk disebut pembawa aspirasi yang memiliki kredibilitas. Orientasi politik, baik ideologis maupun kepartaian, yang dikenakannya, tidak menghilangkan mereka sebagi pembawa suara “pencerahan” yang otoritatif.
Pada sisi ini, pekerjaan investigative reporting mempunyai akses kepada realitas politik masyarakat Amerika. Melalui kenyataan itulah, menurut Burgh, antara lain jurnalisme investigatif dilakukan oleh kalangan jurnalis. Apa yang membedakan kerja wartawan investigatif dengan wartawan lainnya? Apa yang menjadi motivasi wartawan investigatif? Apa kemampuan yang kerap mereka kembangkan? Apa signifikasi kerja mereka selalu mengganggu kehidupan masyarakat?
Gambaran sosok wartawan investigatif mengisinuasikan tampilan-tampilan tertentu. Ada nilai romantik idealisme jurnalis meraih budaya popularitas. Bukan hanya menampilkan pekerja di sebuah meja tapi juga memberikan kemampuan untuk melaksanakan sebuah keterampilan praktis. Dedikasinya tertuju kepada kepentingan publik, meskipun harus berhadapan dengan kekuasaan dan kejahatan politisi dan para pejabat tinggi yang dapat menghancurkan dan membunuh. Dengan kata lain, mengekspresikan unsur hati yang palos. Sifat heroiknya membawakan misi suci dan petualangan yang sangat populer pada fase sebelum PD II, yang menyangkut hal-hal menggelikan, tolol, menjijikkan. Konsepsi idealisasinya sebenarnya berada dalam proses “selalu ingin ditemukan” seperti awal sebuah fiksi memulai kisah. Posisinya kerap direndahkan, berikut kemiskinannya, tapi dari hal itu pula tumbuh gairah petualangan, didalam proses mencuri “kejadian-kejadian” atau keterkenalan.
Sekedar Catatan
· Sheila S. Coronel, Investigative Reporting: The Role Of The Media in Uncovering Corruption, July 31, 2000, makalah, kiriman Atmakusumah, dari Lembaga Pers DR. Soetomo
· Mitchell V. Charnley, Reporting, 1965, hlm. 275-284
· Kamus Inggris-indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadily, hlm. 4. William L. Rivers & Cleve Mathews, “Riwayat Investigasi”, Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 159-160
· http://www.spartacus.schoolnet.cc.uk/htm:Agustus-2000. Situs ini memberikan dictionary bagi sejarah jurnalisme investigasi di Amerika. Investigasinya, yang dalam uraian penulis dipakai, sengaja dikutip, sebagai bahan referensi untuk mengenali nilai historikal jurnalisme investigaasi.
· Fedler, hlm. 36-37
· C.C. Regier (1932), yang dikutip http://www.spartacus.schoolnet.co.uk/htm:Agustus-2000
· William L. Rivers & Cleve Mathews, ““Riwayat Investigasi”, Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 161
· Donald L. Ferguson & Jim Patten, Journalisme Today, 1991, hlm. 12
· Ferguson & Patten, op. Cit, hlm. 12
· Edwin Emery, The Press and America: an interpretative history of journalism, second edition, Prenticehall, inc, Englewood Cliffs, N.J, 1962, hlm. 453. Kupasan Emery merefleksi korelasi sejarah jurnalisme dengan politik, ekonomi, dan berbagai kecenderungan sosial Amerika, dalam tiap periodenya. Pers, didalam interaksinya, mempengaruhi perjalanan masyarakat AS membangun kehidupan instilusi dan tradisi kemasyarakatan episode Muckraking, dari jurnalisme investigatif, dengan demikian memiliki aksentuasi yang cukup panjang di dalam relasi sosial kemaayarakatan Amerika. Bukan sekedar menjadi pelapor pelanggaran/kejahatan yang terjadi di masyarakat
· Fedler, log cit.
· Edwin Emery, opcit, hlm. 477,450
· Brian Mc Nair, An Introduction to political Communication, Second Edition, Routledge (firm), New York,1999, hlm. 73-78
· Hogo De Burg (ed), Introduction: a higher kind of loyalty (hlm. 3-26);dan The Emergence of Investigatif Journalism (hlm. 26-48), Routledge, London, 2000
ALUR PIKIR INVESTIGASI
Apa yang menyebabkan seorang wartawan menjadi seorang investigator?
Pertanyaan ini menjadi sedemikian penting jika dikaitkan dengan tema tentang pola pikir liputan investigasi. Dunia jurnalistik mengenal tiga tingkatan kerja reportase. Pada level petama, para reporter melaporkan berbagai kejadian masyarakat dan memaparkan apa yang terjadi. Level berikutnya, mereka mencoba menjelaskan atau menginterpretasikan apa yang harus dilaporkan. Pada level ketiga, mereka mencari berbagai bukti yang ada di balik sebuah peristiwa. Secara keseluruhan, dunia kerja peliputan wartawan merujuk kepada tiga tipe yang disebut generasi reporters, specialist reporters, dan reporters with an investigative tum of mind.
Generalis ialah para wartawan yang mencari berita tanpa mengetahui lebih dahulu subyek yang hendak diliputnya. Ia bekerja didalam ketergesaan dikejar waktu dead line. Berita diliput dari pilihan yang ditentukan oleh editor, yang telah mengagendakan pemberitaan yang harus dilaporkan, berdasarkan sumber-sumber utama pemberitaan dan media (lokal atau nasional). Mereka mencari kutipan dari para nara sumber (spokesmen): para manajer direktur, kepala polisi, petugas humas, sekretaris organisasi dan kelompok-kelompok oposan. Wartawan general bekerja menuruti permintaan masyarakat yang membutuhkan akurasi pendapat tokoh-tokoh publik yang memiliki otoritas di masyarakat.
Wartawan spesialis adalah wartawan yang memiliki rincian keterangan, mengenai subyek liputan mereka, dan mencoba menjelaskannya. Seperti tugas reporter general, mereka sebenarnya hanya menjalankan tugas-tugas peliputan yang bersifat reguler. Perbedaannya, reporter spesialist memiliki jalinan kontak (hubungan) yang telah terbina untuk subyek-subyek liputannya. Mereka mengetahui orang-orang yang harus dihubungi untuk informasi yang dibutuhkannya. Berbagai keterangan, yang sudah menjadi referensinya, akan menjadi perspektif dari peristiwa dan orang-orang yang akan diberitakannya. Mereka mempunyai informasi yang layak dilaporkan karena mengetahui orang-orang yang menguasai permasalahan yang hendak diberitaknnya.
Para reporter yang bekerja dengan pikiran Investigatif adalah salah satu dan kedua tipe tersebt; generalist atau spesialist. Reporter tipe ini selalu menyiapkan diri untuk mendengarkan berbagai hal yang dikatakan orang-orang kebanyakan atau orang-orang biasa saja, yang tidak pernah menjadi narasumber (non-spokesmen). Mereka tidak mau terbujuk untuk menuruti pandangan yang dikemukakan tokoh-tokoh publik atau orang-orang yang terkemuka atau pun kata-kata dari narasumber yang biasa mereka hubungi.
Reporter investigasi mencari pemikiran yang berbeda, dari orang-orang yang berbeda, lain dari biasanya, untuk menyampaikan pendapatnya mengenai permasalahan yang hendak digali. Mereka hendak mengungkap di balik permukaan yang tampak di masyarakat. Mereka menyiapkan waktu untuk mengumpulkan detil-detil keterangan dari subyek liputan yang tengah dipelajarinya.
Dengan demikian, reporter investigasi mengerjakan peliputan yang kerap menghancurkan kemapanan otoritas dari organisasi-organisasi, termasuk kelompok-kelompok sempalan. Ia juga kerap menjatuhkan reputasi pemikiran kepemimpinan tertentu, dan menjadi sosok yang tidak selalu benar, memiliki aib kesalahan. Ia mengumpulkan fakta-fakta yang ditunggu-tunggu banyak orang sebagai kejutan. Bukan sekedar pernyataan2 kontroversial, yang dikutipnya dari para narasumbernya, atau para pakar yang menyatakan sebuah kebenaran, melainkan orang-orang yang mengetahui adanya rahasia yang belum atau tidak bisa diungkap, dan merasa marah atu merasa wajib untuk mengungkapkan apa-apa yang telah dirahasiakan selama ini.
Pete S. Steffens, dari Journalism Departement, Western Washington University, memaparkan faktor-faktor yang mendukung bentukan Good Investigative Reporter :
1. Wants to know
2. Able to find out
3. Able to understand
4. Able to tell (the public)
5. Wants action
6. Cares about people (also)
Selain faktor-faktor diatas, ada pula yang meyakini ciri-ciri lain. Kepribadian yang agresif adalah indikasi awal. Wartawan investigatif memiliki agresifitas yang tinggi terhadap data dan keterangan yang muncul dipermukaan, yang tersedia begitu saja di hadapannya, memiliki kepekaan terhadap adanya “persekongkolan para penghasut rakyat, keculasan” yang terjadi di masyarakat.
Wartawan investigatif memiliki kemampuan untuk marah, menderita semacam rasa kegusaran moral yang sungguh-sungguh terhadap keculasan. Mereka mengamsalkan bahwa “jurnalisme adalah memberikan kepada publik informasi yang oleh pemerintah dilarang keras untuk diketahui oleh publik”. Mereka memiliki keyakinan bahwa “korupsi serta kebohongan yang terjadi lebih banyak daripada diduga orang”.
Maka dari itulah, dalam penilaian Rivers dan Mathews: “kelompok kecil reporter ini biasanya hidup dalam suatu perpaduan yang ganjil antara keagresifan dan ketidakpastian. Terikat pada standar moralitas personal dan sosial, mereka membutuhkan pengukuhan standar-standar tersebut, kalaupun tidak dari publik, setidaknya dari redaktur mereka”.
Wartawan investigatif jarang meliput mengenai agenda hidup sehari-hari seseorang. Mereka datangi pertemuan karena adanya seseorang yang memiliki otoritas sebagai pembuat aturan. Mereka meliput pertemuan dewan kota, misalnya, jika disana terdapat latar belakang yang berhubungan dengan sebuah proyek besar. Jika pun mereka buat jadi laporan, hal itu berkaitan dengan tugas liputannya. Bahan liputannya akan dijadikan dokumentasi bagi liputan selanjutnya.
Mula-mula seorang wartawan investigator adalah wartawan yang tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Seorang wartawan yang mau melakukan pekerjaan riset yang dalam,tekun merekonstruksi suatu kejahatan dan tidak kenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting dan dokumen yang bertumpuk. Para reporter acapkali juga melakukan observasi langsung terhadap berbagai kejadian, berikut sumber-sumber informasi yang sering terlihat memanipulasi pers. Berbagai sumber sengaja membuat taktik untuk mendapatkan pemberitaan, dengan cara melakukan sebuah aksi yang jadi perhatian media. Karena itulah, verifikasi, pengecekan latar belakang, observasi langsung, reportase-lanjutan merupakan bantuan dan kerap dapat mengoreksi materi keorisinalitasan-sumber.
Para wartawan juga mesti mengembangkan interpretasi ketika hendak membangun kisah beritanya. Dengan kata lain, kerja kewartawanan ibarat seornag penyelidik yang tengah meneliti dan meluruskan berbagai kebohongan yang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu.
Ada perbedaan mendasar antara sikap wartawan biasa-meminjam istilah Atma Kusumah, yakni wartawan ronda dan wartawan investigasi. Awal perbedaannya terletak pada inisiatif wartawan investigatif yang “tidak selalu menunggu sampai suatu masalah atau peristiwa timbul atau diberitakan”, akan tetapi “ justru menampilkan permasalahan baru atau sesuatu hal baru atau membuat berita”. Jika reporter harian/ronda/patroli “bekerja cepat mencari dan menghasilkan beberapa berita dalam satu hari, mengejar setiap informasi yang dapat disiarkan seedini mungkin lebih cepat dari penerbitan saingannya”, wartawan investigatif “memerlukan waktu jauh lebih lama untuk dapat mengungkapkan satu masalah”.
Jika reporter “ronda” menjalin sebanyak mungkin “pejabat resmi yang berpotensi sebagai sumber potensi”, wartwan investigatif “sangat selektif dan skeptis terhadap bahan berita resmi, meneliti dengan kritis setiap pendapat, catatan dan bocoran informasi resmi, tidak serta merta membenarkan”. Jika reporter “patroli” memberikan “apa yang terjadi atau yang diumumkan”, wartawan investigatif malah mengungkapkan “mengapa suatu hal diumumkan atau terjadi, mengapa terjadi lagi”.
Jelas bahwa sebuah karya investigasi tidak bisa dibuat hanya dengan mengandalkan sebuah laporan pemeriksaan polisi atau keterangan pers sebuah lembaga swadaya masyarakat. Walaupun ukuran waktu bersifat sangat nisbi, namun sebuah laporan investigasi biasanya makan waktu cukup lama.
Pada tiap langkah liputannya, wartawan investigatif memiliki kecerewetan yang demikian tinggi terhadap berbagai hal yang ditemuinya. Setiap informasi diperiksa dan diperiksa kemabli (checked and rechecked) melalui berbagai sumber yang dapat dipercaya sampai benar-benar merasa puas, dan mendapatkan keyakinan bahwa sumber informasi tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam kesediaan atau keterbukaannya memberikan keterangan. Lebih jauh lagi, si wartawan bahkan siap melindungi kerahasiaan sumber inforamasi jika dikehendaki.
Pada intinya, investigasi jurnalisme amatlah berhubungan dengan upaya yang berkonteks “pengujian relevansi” terhadap berbagai hal yang terkait dengan “tujuan publik tertentu yang cukup penting”. Dan menghindari sekali kemungkinan memakai praktek Machiavelis yang “menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan”: menghalalkan segala cara meraih informasi, walaupun telah dinyatakan off the record misalnya, untuk memberitakan suatu peristiwa.
Alur Kerja Investigasi
Setelah memahami sikap dasar wartawan investigatif, ada baiknya digagas ihwal langkah-langkah atau alur liputan investigasi. Sheila Coroner, direktur Philippines Center for Investigative Journalism (PCIJO) yang berdiri sejak 1989-menunjukkan bahwa tahapan kegiatan investigatif itu dapat diurut kedalam dua bagian kerja: “Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar, sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi”. Pada masing-masing bagiannya terbagi kedalam tujuh kegiatan rinciannya. Rancangan kegiatan ini, menurut Coronel, merupakan pengaturan sistematika kerja wartawan investigatif agar terurut kepada tahapan-tahapan kerja yang mudah dianalisis, yakni:
Bagian pertama
Ø Petunjuk awal
Ø Investigasi pendahuluan
Ø Pencarian dan pendalaman literatur
Ø Wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli
Ø Penjejakan dokumen-dokumen
Ø Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi
Ø Pembentukan hipotesis
Bagian kedua
Ø Pengamatan langsung di lapangan
Ø Pengorganisasian file
Ø Wawancara lanjutan
Ø Analisis dan pengorganisasian data
Ø Penulisan
Ø Pengecekan fakta
Ø Pengecekan pencemaran nama baik
Didalam praktik, rincian teknis kerja investigatif itu tidaklah selalu dilaksanakan dengan berurutan. Kenyataan di lapangan kerap mengharuskan redaksi harus siap dengan segala kemungkinan yang tak terduga. Bagaimanapun, pedoman teknis tersebut merupakan ringkasan poin-poin penting yang selalu ada didalam berbagai kegiatan peliputan investigatif yang dilakukan dunia pers.
Pada gambaran tertentu, hal itu bisa disimak misalnya lewat kerja investigative reporting yang dilakukan majalah tempo. Usulan tema investigasi, bisa datng dari reporter sampai pemimpin erdaksi. Dalam sebuah rapat perencanaan, mereka kemudian membahasnya, dan diteruskan pembahasannya dalam rapat investigasi yang dihadiri oleh semua yang akan terlibat dalam proyek itu. Proses akumulasi data sebaiknya sudah dilakukan, sebelum rapat berlangsung.
Untuk lebih jelasnya, berikut contoh teknis proses liputan investigasi soal penyelundupan 88 M yang pernah dilakukan Majalah TEMPO.
Bagian I
Ketika itu, akhir mei 2000, penggerebekan selundupan bahan bakar minyak (BBM) mulai mengemuka. Dicokoknya penyelundupan BBM dikawasan tanjung priok, menjadi headline media massa di Indonesia. Tanpa kecuali, berita itu mendapat perhatian tersendiri dari tim investigasi TEMPO (sekitar lima orang).
Selain di tanjung priok, media massa juga melaporkan ihwal teliangkapnya (maraknya tengarai selundupan BBM) melalui jalur gresik-surabaya (tanjung perak). Bahkan televisi dan media cetak, ramai-ramai mengekspos kegaduhan di wilayah tersebut secara berseri.
Segudang pertanyaan berseliweran di benak kami masing-masing. Sudah berapa lamakah “tikus-tikus” minyak itu merong-rong duit negara?. Berapa fulus yang mengalir dari jagad penyelundupan BBM itu?. Dan siap di balik itu semua?. Dan masih banyak lagi. Dari aspek nilai berita, agaknya kami melihat urgensi yang sangat tinggi untuk bisa menguak kisah penyelundupan BBM tersebut. Pasalnya, masih belum cukup data untuk mengasumsikan apakah kisah BBM ini mempunyai magnitude yang cukup besar.
Meski begitu, sebagian anggota tim menilai, masalah penyelundupan BBM patut mendapat prioritas untuk dijadikan tema tulisan dalam rubrik investigasi. Dalam diskusi saat itu, sudah tergambar apa yang mesti dipaparkan seandainya kami menuliskannya. Yakni, kami harus mendapatkan pola penyelundupannya, taktik penyelundupan, siapa dibelakang penyelundupan BBM tersebut, siapa saja yang terlibat dari awal hingga akhir penyelundupan, bagaimana modusnya, berapa kerugian negara, berapa keuntungan mereka, dan dimana saja markas besar penyelundup.
Mengingat lahan garapan yang sedemikian dahsyat, tak urung tim harus segera memulai kerjanya. Sebagai langkah awal, kami sepakati agar semua angota tim memasang kuping, hidung hati dan matanya atas masalah tersebut. Dibuatlah outline penugasan awal untuk mendapatkan data prematur yang dibutuhkan. Langkah yang dilakukan, sebagai berikut:
1. Melaukan riset dari seluruh pemberitaan media massa indonesia ihwal kasusu BBM, baik yang menyangkut penyelundupan di tanjung priok atau bukan. Pada saat itu, harian yang agak lengkap dan kontinu mengupas masalah selundupan BBM ini adalah KOMPAS dan MEDIA INDONESIA, dengan diikuti media lain, namun dengan persentase yang kurang begitu besar. Riset disini bukan hanya kejadian penyelundupan atau penggerebekannya saja, melainkan juga segala aturan yang melingkupi distribusi BBM dari pertamina ke masyarakat (pasar).
2. Mengoptimalkan akses kepada sumber pertama, yang mengetahui masalah penyelundupan BBM itu secara langsung. Orang-orang yang mesti kita temui waktu itu adalah sumber resmi pertamina (untuk mengetahui bagaimana pola resmi penyaluran BBM ke pasaran-Red), aparat intelijen (yang bersih dan tahu masalah ini-red), sumber informan di departement, dan instansi lain yang pernah meneliti masalah distribusi BBM di Indonesia (ada satu lembaga yang meneliti hal ini, tapi saya terikat janji untuk tidak membocorkannya-red).
3. Survei lapangan. TEMPO mengirim tim untuk menjajaki bagaimana keadaan atau situasi disekitar tanjung priok paska penggerebekan, dan juga di wilayah Surabaya.
Nah, hasil dari langkah awal itu membuat kami semakin yakin bahwa selundupan 88 M sangat menarik (sekaligus menantang-red) untuk dikupas tuntas. Data awal yang diperoleh, kami kodifikasi lebih lanjut. Dari sini, kami sudah mampu membangun asumsi ihwal “penyelundupan BBM di Indonesia”.
Bagian II
Dari rentetan proses sejak awal, ada sejumlah hipotesis yang menjadi landasan kerja tim investigasi TEMPO.
1. Penyelundupan BBM ini dilakukan dan dikuasai oleh jaringan mafia yang cukup kuat.
2. Terdapat bermacam cara manipulasi BBM, muali dari awal hingga dibawa ke luar negeri.
3. Karena pemberitaan yang marak, maka terjadi tempat pengalihan transfer minyak. Tidak lagi di kawasan tanjung priok, karena terlalu ketat.
Dalam hal ini, masing-masing pointer kita diskusikan berdasarkan temuan atau data awal diatas. Artinya, kami membahasnya senyampang menguji kesesuaian antara data awal, dengan asumsi yang terbangun dari data awal itu.
Seperti halnya poin pertama. Dari bahan awal, kami yakin bahwa penyelundupan BBM tersebut (tentunya) melibatkan pihak-pihak tertentu yang cara kerjanya mirip mafia. Bagaimana tidak?. Hampir seluruh perairan Indonesia dijaga ketat oleh armada TNI angkatan laut dan polisi air. Tapi kenapa mereka bisa melenggang dengan seenaknya?. Mau tidak mau kami harus membangun sub-hipotesis dari poin pertama, yakni “tentara terlibat atau (setidaknya ikut main ) dalam penyelundupan ini”. Hal itu juga dibenarkan sumber kami di jagad intelijen, yang notabene tentara juga (tapi lebih bersih-red).
Sementara untuk poin kedua, kami dasarkan dari informasi resmi pertamina. Selain itu, kami juga melakukan kajian dari segala aturan perundang-undangan yang melingkupi pendistribusian BBM. Dari kajian kami, tampak jelas bahwa aturan yang ada, sangat membuka peluang manipulasi disetiap tikungan. Mulai dari ketika minyak masih berada di kantor pertamina, hingga dibawa ke kapal laut, lantas melaju ke luar negeri.
Dan poin yang ketiga, kami dapatkan informasinya dari sejumlah sumber. Hampir sumber kami yang paham (dan menekuni) ihwal selundupan BBM itu, menyatakan bahwa tempat transfer minyak sudah bukan di tanjung priok lagi. Satu tempat yang disebut-sebut menjadi primadona, karena aman dan pengawasannya lemah, yaitu dikawasan Merak-Banten. Meski di tahap awal, tim investigasi sudah melakukan wawancara ataupun reporting, tak urung ketiga hipotesis awal itu kami uji ke masing-masing narasumber. Dan dengan berbagai diskusi, serta masukan dari masing-masing narasumber, hipotesis tersebut kami tetapkan menjadi pedoman kerja.
Bagian III
Dengan berbekal hipotesis awal itulah, tim investigasi TEMPO disebar keseluruh penjuru laut jawa. Tim pertama mengamati depot pertamina di prumpung (jakarta utara). Tem kedua, dilakukan di wilayah Surabaya. Tim ketiga, mengamati pergerakan situasi di kawasan tanjung priok. Dan tim keempat, menyisir kawasan perairan laut di Merak. Target kami semua mendapatkan bukti otentik manipulasi minyak dari hulu hingga hilir.
Kala itu, tim pertama mengobok-obok kawasan prumpung-Jakarta selama kurang lebih empat hari, nonstop. Kawasan ini terletak di wilayah utara Jakarta. Disini terdapat depot pertamina terbesar di Jakarta. Konon, depot ini mampu menyuplai minyak untuk kawasan Jakarta dan sekitarnya, dan sebagian Jawa Barat.
Dari informasi awal, selain ada depot pertamina,di beberapa titik diinformasikan menjadi tempat pengoplosan minyak (pencampuran antara minyak tana h dan solar-red), namun ada pula yang memampangkan nama sebagai pengecer minyak seara ternag-terangan.
Selain mereportasekan pandangan matanya, tim ini juga harus melakukan wawancara dengan penduduk sekitar maupun para pelaku. Bagaimanapun caranya!intinya, tim ini mesti mempunyai gambaran peling mendasar dari awal tentang bagaimana dari tingkat awal BBM sudah di manipulasi oleh mafia penyelundup tersebut.
Sementara itu, tim kedua beroperasi di wilayah Surabaya. Target tim ini sama mendapatkan bukti otentik manipulasi BBM dari hulu hingga hilir. Lantas tim ketiga, mengamati situasi di tanjung priok. Metode pengumpulan informasinya pun sama, reportase dan wawancara dengan sumber pertama di lapangan. Baik itu penduduk setempat maupun pelakuknya.
Berikutnya, tim keempat, mulai berangkat untuk menyisir wilayah perairan Merak. Dengan bekal (sekedar) informasi bahwa transfer minyak ke kapal Tangker dilakukan ditengah laut lepas. Tim berangkat untuk membuktikan hal itu. Agaknya, bagian ini merupakan bagian terberat dalam liputan investigasi kali ini. Pasalnya, tim TEMPO harus menemukan, baik melihat secara langsung dengan mata kepala sendiri, maupun dengan potret, bahwa memang terjadi transfer minyak ke kapal Tangker di laut lepas. Selama kurang lebih 7 hari dihabiskan tim ini untuk menemukan bukti tersebut.
Dalam babakan ini, ada satu sumber penting yang hanya bisa dicapai setelah sampai pada tahapan ini. Yakni reportase dan wawancara dengan bekas pemain atau penyelundup yang sudah tobat atau tersisih dari lingkaran mafianya. Sebagai catatan pula, bagian ini merupakan bagian yag sangat melelahkan. Soalnya, kinerja yang dilakukan semata-mata kerja fisik. Yakni menginteli pekerjaan para penyelundup.
Bagian IV
Pada tahapan ini, tim investigasi melakukan verifikasi, validasi, dan kodifikasi atas segala hasil liputan yang telah diperoleh. Tim harus menemukan benang merah dari data awal hingga akhir. Selain itu, tim juga harus membuktikan bahwa hipotesis awal yang telah dibuat memang benar-benar sebagaimana yang terjadi dilapangan.
Ketika ada temuan lapangan yang agak sedikit berbeda dengan informasi atau data awal, maka hal itu didiskusikan lebih dulu, kira-kira apa yang menjadi penyebabnya. Apakah semata-mata kesalahan atau kelengahan liputan di lapangan?. Ataukah data awal yang agak kurang sesuai dengan kondisi lapangan?. Dan dalam liputan investigasi BBM ini, bukan hanya sekali saja tim melakukan klarifikasi terhadap temuan lapangan. Hal itu bukan karena fakta lapangan yang diragukan, namun demi menguji tingkat validasi temuan lapangan tersebut.
Yang menarik dalam tahapan ini adalah terjadinya tarik-menarik antara ide awal (yang dilandasi informasi prematur-red) dan bias fakta selama dilapangan. Maksudnya, apakah si wartawan ketika mereportasekan lapangan itu hanya untuk membuktikan frame berpikirnya saja?. Ataukah fakta lapangan justru menambah (atau kalau perlu) membenahi landasan hipotesisnya?. Dalam prosesi inilah kedua hal itu dipertautkan.
Selain itu, kami pun melakukan wawancara dengan ahli perkapalan dan perminyakan. Hal itu untuk menguji pengamatan atau laporan lapangan kami tentang kapasitas kapal Tangker, ciri-ciri kapal tangker minyak (apa yang membedakannya dengan kapal pengangkut bahan kimia maupun kapal angkut lainnya-red), dan juga segala tetek-bengek tentang kelautan.
Apa yang kami lakukan terhada ahli perkapala ini bisa dikategorikan sebagai riset. Karena riset dalam batasan tim ini, bukan hanya seonggok kertas atau buku di atas meja, melainkan wawancara dengan para pakar pun bisa kami sebut sebgai riset.
Bagian V
Tibalah saatnya pada bagian penulisan. Jadi, seluruh data dan temuan lapangan yang sudah terkodifikasikan itu, dirangkai menjadi satu tulisan yang menarik, enak dibaca, dan menggambarkan fakta yang terjadi dilapangan. Langkah yang paling aman, adalah memisahkan seluruh laporan dan data yang dipunyai kedalam masing-masing kapling tema.
Misalnya, seluruh bahan yang mendukung tema tentang modus atau pola manipulasi BBM dikelompokkan jadi satu. Lantas, tanggung jawab penulisan diserahkan pada satu orang. Dengan demikian, ia bisa konsentrasi pada masalah yang menjadi tanggungjawabnya untuk ditulis.
Tak lupa, penulisan seluruh materi tak boleh lepas dari hipotesis awal. Artinya, apa yang diperoleh hingga akhir kerja tim investigasi itu, hanyalah penjabaran dari apa yang tertera dalam hipotesis awal. Kecuali jika temuan lapangan betul-betul menolak hipotesis awal. Hal ini menuntut adanya verifikasi dan validasi yang sangat ketat terhadap setiap pra-kesimpulan maupun kesimpulan yang akan diambil.
Bahkan demi mengantisipasi perkembangan berita, kami segera mengirim tim lagi ke lokasi-lokasi tertentu yang kami dengar menggeliat lagi sebagai tempat pengoplosan BBM. Contohnya, adalah pengintaian tim ke kawasan Cilangkap-Jakarta. Kami mendengar informasi tersebut tepat pada waktu tulisan dibuat. Mau tak mau, tim segera diterjunkan. Dan laporannya segera di updating kedalam rangkaian tulisan panjang investigasi.
MENGOREKSI SUMBER BERITA
Dua tahun terakhir terjadi eksplorasi besar-besaran terhadap potensi dunia jurnalistik di Tanah Air. Itu terjadi setelah pemerintah mencabut prasyarat surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP), yang selama lebih 30 tahun menjadi “hantu” para awak pers. Pembredelan tidak saja menakutkan, tetapi sensor berlebihan telah memacatkan eksplorasi pengungkapan sebuah fakta kebenaran.
Boleh dikata sekaranglah “musim bunga” pers Indonesia. Siapa saja, asal mempunya sejumlah dana bisa bikin koran sendiri. Tak perlu repot-repot mengurus izin. Ratusan surat kabar kemudian bermunculan. Keadaan ini ditambah marak dengan berdirinya puluhan televisi swasta.
Seiring dengan itu, “musim bunga” telah membawa pengaruh pula pada sendi-sendi jurnalismenya. Persaingan antar koran atau koran dengan media elektronik makin ketat. Satu sisi, ini sangat menguntungkan pembaca/pendengar. Setiap koran atau televisi atau juga radio ingin menjadi yang pertama mengungkap sebuah peristiwa. Mereka ingin berita yang disajikan aktual dan eksklusif. Dengan itu diharapkan pembaca tertarik dan akhirnya terikat.
Para pengelola surat kabar tahu benar bahwa saingan terberat mereka saat ini adalah media-media elektronik yang setiap saat bisa beraksi. Sewaktu-waktu jika terjadi peristiwa besrar media elektronik bisa melakukan stop press. Dari segi aktualitas informasi, surat kabar pastilah ketinggalan.
Maka berbagai upaya eksplorasi dilakukan dunia koran guna “melawan” arus aktualitas dunia elektronik. Satu diantaranya adalah mengembangkan teknik wawancara dengan harapan mendapatkan fakta-fakta Indepth. Eksplorasi dilakukan secara lebih mendalam, hingga menemukan fakta kebenaran yang hakiki. Pendalaman ini yang tidak mungkin dilakukan dunia elektronik yang dibatasi waktu, justru akibat pilihannya menjadi paling aktual itu.
Berbagai hal yang saya rumuskan dari pengalaman tentang teknik wawancara yang bisa menjadi pedoman kerja di lapangan.
1. Teknik Wawancara Standar. Teknik hanya mengandalkan pada pertanyaan-pertanyaan standar seorang wartawan. Bahkan hanya memenuhi standar minimal; dari prasyarat peliputan 5 W+1 H (where, when, what, who, why + how). Teknik ini jarang bisa mengungkapkan sesuatu dibalik peristiwa.
2. Teknik Wawancara Mengorek. Teknik ini sangat memungkinkan seorang wartawan menemukan sesuatu di balik peristiwa. Seorang wartwan bisa dengan leluasa mengorek sumber akan sebuah peristiwa. Bisa saja misalnya, terus-menerus mengejar narasumber dengan pertanyaan. Biar dibilang cerewaet, tak masalah.
3. Teknik Wawancara Pancingan. Teknik harus menjadi kualifikasi bermutu atau tidaknya seorang wartawan. Pertanyaan-pertanyaan pancingan bisa diajukan agar sumber mau membuka seluruh rahasia kebenaran itu. Bisa pula dilakukan dengan berpura-pura bodoh.
4. Teknik Wawancara Empati. Teknik ini sangat umum diterapkan dalam peliputan-peliputan musibah. Saat mewawancarai sumber yang sedang terkena musibah sangatlah bijak apabila kita turut merasakan deritaakibat musibah itu. Empati niscaya akan menghasilkan tulisan yang humanistik.
5. Teknik Wawancara “Oposisi”. Teknik ini bisa berbahaya karena suatu kali mencelakakan diri sendiri: dibenci narasumber. Kita bisa kehilangan sumber berita. Tetapi sangat efektif guna menghadapi sumber yang bandel dan pelit informasi. Kita mesti menerapkan strategi “membantah” apa yang dinyatakan sumber.
6. Teknik Wawancara Diskusi/Sharing. teknik ini biasanya kita terapkan untuk sumber-sumber yang memiliki kualitas intelektual memadai. Kita boleh saling memberi pendapat, tetapi tetap dalam koridor peliputan. Teknik ini jarang memerosekkan seorang wartawan kedalam perasaan “sebagai” narasumber atau merasa lebih pintar dari sumber. Perasaan ini tidak akan menghasilkan tulisan yang bagus.
7. Teknik Wawancara Moderator. Teknik ini biasanya digunakan apabila kita berhadapan langsung dengan lebih dari satu narasumber. Para narasumber seolah-olah kita “moderatori”. Dalam pengertian tidak resmi, ketika wawancara dilakukan. Biasanya teknik ini akan sampai pada benang merah sebuah fakta.
Teknik-teknik tersebut biasanya saya terapkan tidak berdiri sendiri. Beberapa teknik bisa kita gunakan secara bersamaan apabila menghadapi wawancara dengan sumber. Teknik mengorek bisa digunakan scara bersamaan dengan teknik pancingan. Mengorek sumber dan memancing dengan pertanyaan-pertanyaan menggelitik akan menghasilkan liputan yang lebih utuh.
Wartawan : “Ada informasi tidak hanya malang yang mengalami salah baca kWh listrik?” (mengorek) : “ya, dimalang saja ada 280.000 pelanggan”.
Wartawan : “Tapi yang mengalami salah baca kan
Sumber : “mencapai 8.000 pelanggan, di sluruh Jatim sendiri pasti lebih banyak kan?” (pancingan)
Sumber : “Kira-kira dari 5,5 juta pelanggan, ada kesalahan kWh sebanyak 1,2 juta”. (fakta itu)
Contoh kecil (ini fakta bulan desember 2000 lalu) diatas telah memberi gambaran, akhirnya kita memperoleh informasi yang lebih utuh dan menyeluruh. Persoalan salah baca kWh listrik tidak hanya terjadi di kota malang, tetapi hampir di seluruh Jawa Timur.
Teknik-teknik lainnya tentu saja bisa digunakan secara bervariasi. Inilah kira-kira pengalaman sebagai wartawan yang bisa saya bagi kepada kawan-kawan.
ANALISIS DATA INVESTIGATIF
Salah satu hal yang membedakan antara in-depth reporting dan investigative reporting adalah cara melakukan analisisnya. Pada investigative reporting digunakan pendekatan hipotesis dalam penelusuran data dan masalah. Dalam batasan tertentu investigative reporting adalah fase kelanjutan dari in-depth reporting. Dalam melakukan in-depth reporting, seorang wartawan bisa berangkat praktis dari nol atau dari sekedar membaca kliping-kliping koran. Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan sebenarnya (setelah melakukan banyak wawancara, membaca tumpukan dokumen, serta mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan liputannya), saat itulah ia pada titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. Liputan lanjutan inilah yang lebih bersifat investigatif (membongkar kejahatan, mencari tooh-tokoh jahat dan rekonstruksi kejahata-kejahatan mereka). Disinilah sangat penting digunakan hipotesis untuk membantu wartawan memfokuskan dirinya dalam melakukan investigasi.
Jacob Oetama dari Kompas, mengatakan bahawa salah satu halangan investigasi adalah iklim ewuh-pakewuh terhadap mereka yang dianggapnya terlibat dalam kejahatan tersebut. Keadaan inilah yang membuat tim investigasi mengalami kesulitan untuk mengejar dan menyelidiki hipotesis-hipotesis yang mereka pikirkan, padahal hipotesis ini dijadikan pijakan untuk melakukan analisa data.
Dalam kasus investigasi, Busang oleh Bondan Winarno, ia mengajukan hipotesis bahwa kematian Michael de Guzman tidak wajar dan aneh. Bondan curiga bahwa mayat yang ditemukan di hutan Busang itu bukan mayat de Guzman. Bagaimana mungkin mayat orang yang jatuh dari ketinggian 800 kaki masih utuh?.
Untuk membuktikan hipotesis itu Bondan mengumpulkan data-data yang nantinya dianalisa untuk menjadi suatu output investigasi. Mula-mula Bondan bicara dengan dokter-dokter yang memeriksa jasad tersebut. Ia menemukan data/informasi bahwa para dokter Indonesia yang mengatakan bahwa mayat itu adalah mayat de Guzman hanya berdasarkan pengamatannya dari pakaian yang dikenakan oleh de Guzman. Tidak puas dengan itu Bondan mencari data yang lain, dan dari pengakuan salah seorang istri maupun teman-temannya Bondan menemukan bahwa de Guzman memiliki gigi palsu. Sementara mayat yang ditemukan tidak ada gigi palsunya.
Bondan kemudian terbang ke Filipina untuk mencari saudara-saudara de Guzman, mantan pembantu-pembantunya de Guzman yang ternyata semuanya menolak menemui Bondan. Keluarga de Guzman bahkan menolak untuk menemukan alamat dokter gigi yang biasa merawat Michael. Dan data-data ini semakin menguatkan hipotesis Bondan bahwa ada yang aneh dengan kematian Michael de Guzman.
Bondan kemudian melakukan analisa dari serangkaian data dan riset yang panjang untuk mendukung invstigasinya. Analisa yang ia lakukan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis berdasarkan data informasi yang ada. Berikut beberapa pendekatan analisa yang bisa dilakukan:
1. Paper Trail (pencarian jejak dokumen) yang berupa pelacakan dokumen untuk mencari kebenaran-kebenaran.
2. Periksa fokus berita, angle (sudut pandang) pada rencana awal. Kemudian bandingkan dengan data yang telah terkumpul kalau masih ada yang kurang, cari sampai dapat.
3. Cek relevansi data, jangan segan-segan membuang data yang tidak perlu walaupun tadinya dicari dengan penuh gesit dan susah payah.
4. Jika diperlukan ubahlah data-data atau informasi yang didapat menjadi grafik atau tabel untuk memudahkan menganalisa.
5. Membuka kembali hipotesis yang disusun dari pertanyaan dasar. Biasanya terdiri dari pertanyaan aktor pelaku kejahatan (siapa yang bertanggungjawab atas kejahatan tersebut), siapa yang memicu huru-hara, siapa yang menyebarkan sentimen (contoh anti etnik atau anti agama tertentu), siapa yang melakukan insider trading, siapa yang mula-mula berkepentingan agar dukun-dukun santet dibunuh, bagaimana cara-cara suatu kejahatan dilakukan dan lain-lain.
6. Apakah data atau inforamsi menguatkan hipotesis atau sebaliknya.
7. Lanjutkan dengan penulisan.
*) Materi ini disarikan dari tulisannya :
Rommy Fibry, Tri Anom, Putu Fajar Arcana
0 komentar:
Posting Komentar