Rendra (Willibrordus Surendra Bawana
Rendra), lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa
Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap
dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya
kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater
Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif
menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
Nama Pena:WS Rendra
Nama Asal: Willibrordus Surendra Broto Rendra
Nama Setelah Memeluk Islam:Wahyu Sulaiman Rendra
Memeluk Islam: 12 Agustus 1970
Seniman ini mengucapkan dua kalimat syahadah pada hari perkawinannya dengan
Sitoresmi pada 12 Ogos 1970, dengan disaksikan dua lagi tokoh sastra Taufiq
Ismail dan Ajip Rosidi.
Gelar: Si Burung Merak
Julukan si Burung Merak bermula ketika Rendra dan sahabatnya dari Australia berlibur di Kebun Binatang
Gembiraloka, Yogyakarta. Di kandang merak,
Rendra melihat seekor merak jantan berbuntut indah dikerubungi merak-merak
betina. “Seperti itulah saya,” tutur Rendra spontan. Kala itu Rendra memiliki
dua isteri, iaitu Ken Zuraida dan Sitoresmi.
Tempat Tanggal Lahir: Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935.
Tanggal Meninggal Dunia: Kamis, 6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di RS
Mitra Keluarga, Depok.
Dimakamkan selepas solat Jumat 7 Agustus 2009 di TPU Bengkel Teater Rendra,
Cipayung, Citayam, Depok.
Agama: Islam
Istri:
- Sunarti Suwandi (Menikah 31 Maret 1959 dikaruniai lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu
Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Cerai 1981)
- Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat (Nikah 12 Agustus 1970, dikaruniai
empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Cerai 1979)
- Ken Zuraida (dikaruniai dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba).
Pendidikan:
• TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
• SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
• Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
• mendapat beasiswa American Academy
of Dramatical Art (1964 -
1967).
Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat
itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek
dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia
juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama
tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat.
Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada
saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu
terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya,
terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP,
dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat
penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah
duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof.
A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia
Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia
modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti
Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat
bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar
negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di
antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The
Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki
International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival,
Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto
Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry
Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Penghargaan
• Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
• Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
• Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia
(1970)
• Hadiah Akademi Jakarta
(1975)
• Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
• Penghargaan Adam Malik (1989)
• The S.E.A. Write Award (1996)
• Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Beberapa karya Drama:
• Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
• Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
• SEKDA (1977)
• Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
• Mastodon dan Burung Kondor (1972)
• Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)-
dimainkan dua kali
• Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
• Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul
"Oedipus Rex")
• Lysistrata (terjemahan)
• Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
• Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
• Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
• Lingkaran Kapur Putih
• Panembahan Reso (1986)
• Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
• Shalawat Barzanji
• Sobrat
Kumpulan Sajak/Puisi:
• Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
• Blues untuk Bonnie
• Empat Kumpulan Sajak
• Sajak-sajak Sepatu Tua
• Mencari Bapak
• Perjalanan Bu Aminah
• Nyanyian Orang Urakan
• Pamphleten van een Dichter
• Potret Pembangunan Dalam Puisi
• Disebabkan Oleh Angin
• Orang Orang Rangkasbitung
• Rendra: Ballads and Blues Poem
• State of Emergency
Kepergian Rendra
Penyair ternama WS Rendra atau lebih terkenal dengan panggilan ‘Burung Merak’
meninggal dunia pada usia 74 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jawa
Barat, pukul 10 malam Kamis 6 Agustus 2009.
Penyair dan pelakon drama yang nama lengkapnya Wahyu Sulaiman Rendra
meninggalkan 11 orang anak hasil dari tiga pernikahannya.
Rendra terkenal dengan sajak-sajaknya yang penuh dengan sindiran dan kritikan
cukup mahir memainkan emosi penonton ketika melakukan pertunjukan.
Beliau yang lebih akrab dipanggil Willy mencurahkan sebahagian besar hidupnya
terhadap dunia sastra dan teater. Menggubah serta mendeklamasi puisi, menulis
skrip serta bermain drama merupakan kemahirannya yang tidak ada bandingan.
Hasil seni dan sastra yang digarap cukup dikenali oleh peminat seni dalam
maupun dari luar negeri.
Wahyu Sulaiman Rendra bukanlah penyair biasa. Sajak dan puisinya padat dengan
nada protes. Jadi tidak heranlah Pemerintah Indonesia pernah melarang karya
beliau untuk dipertunjukkan pada tahun 1978.
Tidak hanya sajak dan puisi yang sering menyebabkan rasa terusik hati
pemerintah, bahkan dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan
Burung Kondor juga menjadi sasaran.
Di samping karya berbau protes, sastrawan kelahiran Solo, 7 November 1935 ini
juga sering menulis karya sastera yang menyuarakan kehidupan kelas bawah
seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan
puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.
Beliau mengasah bakat di dalam bidang tersebut sejak menuntut di Fakultas
Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Pada saat itu cerpennya
disiarkan di majalah seperti Mimbar Indonesia, Basis, Budaya Jaya dan Siasat.
Dia juga menimba ilmu di American Academy of Dramatical Art, New York, Amerika
Syarikat. Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, jejaka yang tinggi
semampai dan berambut panjang itu mendirikan bengkel teater di Yogyakarta.
Tidak lama kemudian bengkel teater tersebut dipindahkan ke Citayam, Cipayung,
Depok, Jawa Barat. Oleh kerna karya-karyanya yang begitu gemilang, Rendra
beberapa kali pernah tampil dalam acara bertaraf internasional. Sajaknya yang
berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya dalam acara Peringatan Hari Ulang
Tahun ke-118 Mahatma Gandhi pada 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial
International School
Jakarta.
Beliau juga pernah ikut serta dalam acara penutupan Festival Ampel
Internasional 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa
Timur, 22 Julai 2004.
Meskipun sudah terkenal, ternyata masih banyak keinginan WS Rendra yang belum
dipenuhi dan semua direkamkan dalam sebuah puisi yang dibuatnya beberapa hari
sebelum Si Burung Merak tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir.
“Dia meninggalkan satu puisi, puisi itu menyebutkan bahawa masih banyak
keinginannya tetapi dia tidak mampu. Jadi semangat masih ada tapi dia tidak
mampu mengatasi situasi dirinya yang semakin lemah,” kata salah seorang sahabat
Rendra, sastrawan Jose Rizal Manua.
Puisi itu dibuat Rendra ketika masih dirawat di rumah sakit dan puisi tersebut
disampaikan oleh salah seorang anak perempuan Rendra.
Dari segi pernikahan – isteri pertama Rendra, Sunarti lebih dahulu
meninggalkannya. Dari perkahwinan dengan Sunarti, Rendra dikurniai lima orang
anak yaitu Tedy, Andre, Clarasinta, Daniel Seta dan Samuel.
Sementara istri keduanya bernama Sitoresmi. Rendra memiliki empat orang anak
hasil perkawinan itu dan mereka ialah Yonas, Sara, Naomi dan Rachel. Namun Sitoresmi
dan Rendra akhirnya bercerai. Ken Zuraida adalah wanita terakhir yang dinikahi
Rendra dan memperoleh dua orang anak yaitu Isayasa Sadewa dan Mariam.
Kini dunia seni kehilangan sosok Rendra, tetapi Si Burung Merak itu akan terus
menjadi inspirasi kepada generasi muda pencinta seni.
Puisi Terakhir WS Rendra
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu
0 komentar:
Posting Komentar