photo Nirwana-Bannerm_zpsfb61fe90.jpg

Senin, April 21, 2014
0

Politik Hukum Indonesia

Pertama-tama yang harus kita sadari adalah tidak ada netralitas dan obyektifitas dalam hukum. Argumen yang mengatakan bahwa hukum itu netral dan obyektif serta memperlakukan semua orang sama dihadapannya adalah sebuah argumen yang kehilangan kontekstualisasi dan persambungan dengan realitas. Hukum adalah sebuah perangkat atau instrumen dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu yang digunakan oleh kelompok-kelompok kepentingan. Apalagi dalam tradisi hukum Kontinental yang kita anut selama ini yang menekankan pada aturan-aturan tertulis yang biasanya dibuat oleh ahli hukum dari kalangan akademisi dan mendapat persetujuan dari lembaga legislatif maupun eksekutif. Dengan demikian peranan negara dalam pembentukan hukum di Indonesia begitu besarnya, sehingga tidak bisa dipungkiri adanya “hidden political intentions” dalam setiap produk hukum yang dihasilkan.
Lembaga eksekutif dan legislatif adalah sebuah lembaga yang dipenuhi persaingan dari bermacam-macam kelompok yang mengusung ideologi  dan kepentingan masing-masing. Pertarungan dari berbagai kepentingan tersebut berujung pada dihasilkannya sebuah kebijakan yang pelaksanaannya melalui peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain, aturan hukum. Mengapa harus hukum? Tentu saja hukum digunakan agar pelaksanaan sebuah kebijakan bisa dipaksakan dan ada sanksinya jika dilanggar. Dengan demikian hukum dapat mengarahkan perilaku dari masyarakat, dengan melaksanakan hal-hal tertentu dan tidak melakukan hal-hal tertentu.  
Dengan melihat bahwa hukum adalah sebuah instrumen yang dibuat oleh negara, maka menjadi lebih jelas mengamati kepentingan sebuah kekuasaan dengan melihat produk hukum yang dibuatnya. Apapun bentuk negara tersebut, entah itu sifatnya otonom atau instrumental, tetap membutuhkan hukum sebagai perangkat bagi pencapaian tujuan pemegang kekuasaan negara. Mulai dari Napoleon, Lenin, Mao Zedong, Franklin Delano Roosevelt, kekuasaan Kolonial Belanda, sampai dengan Soeharto mereka selalu menggunakan hukum sebagai perangkat pencapaian tujuan. Penggunaan hukum sebagai perangkat dalam pencapaian tujuan-tujuan yang dilakukan oleh kekuasaan negara di bidang apapun disebut dengan politik hukum.
Di Indonesia, politik hukumnya bisa berubah-ubah sesuai dengan konfigurasi kekuatan atau kekuasaan politik yang ada. Konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang responsif terhadap tuntutan rakyat, sedangkan konfigurasi politik yang tidak demokratis akan menghasilkan produk hukum yang konservatif. Hal ini akan terbukti bila kita sedikit menengok sejarah, ketika kekuasaan kolonial Belanda bercokol di negeri ini. Pada masa kolonial tersebut, dibuat Undang-undang yang membedakan atau menggolong-golongkan penduduk menjadi tiga golongan yang konsekuensinya juga berimbas pada pembedaan perlakuan. Penduduk pribumi adalah golongan penduduk kelas tiga yang selalu mengalami diskriminasi perlakuan di segala bidang. Selain itu ada pula aturan-aturan yang membatasi kegiatan-kegiatan pejuang kemerdekaan, baik untuk rapat, menyatakan pendapat, serta untuk demonstrasi. Tapi yang paling dahsyat dampaknya  tentu aturan-aturan dalam Agrarische Wet 1870, yang menyebabkan rakyat pribumi kehilangan tanah miliknya karena dirampas oleh penguasa kolonial dan kemudian diserahkan pada pemilik modal yang akan melakukan investasi di negeri ini. Pada masa orde baru atau masa kekuasaan Soeharto, banyak aturan represif produk kolonial Belanda maupun orde lama masih diberlakukan, serta membuat produk-produk hukum baru yang fungsinya untuk mempertahankan kekuasaan, baik di bidang politik maupun ekonomi. Misalnya Haatzaai artikelen, UU Subversi, UU Paket Politik, UU PMA, UU Pokok Pertambangan, dan masih banyak lagi.     
Lantas melihat perubahan politik yang terjadi di negeri ini paska jatuhnya Soeharto,  apakah akan terjadi perubahan secara substansial dalam bidang hukum?. Rasa-rasanya tidak jika kita lihat para ahli hukum kita dan penguasa negeri ini masih berpikir positifis dan berparadigma konservatif dalam memandang hukum. Kaum positifis menganggap hukum itu netral dan obyektif, serta menjadikan Undang-undang atau peraturan tertulis lainnya sebagai tujuan, bukannya sarana untuk mencari keadilan.Dengan demikian hukum masih akan berpihak pada pemegang kekuasaan politik maupun ekonomi yang selama ini berkuasa atas pembuatan peraturan-peraturan tertulis, apalagi ini didukung oleh rezim kekuatan internasional di bidang ekonomi dan politik. Bahkan rezim internasional inilah nanti yang akan menguasai hukum di dunia khususnya di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan kebijakan pasar bebas dan pembentukan WTO yang konsekuensinya seluruh negara anggotanya harus menyesuaikan instumen hukumnya dengan standard-standard yang telah disepakati secara Internasional.
Lantas siapa yang akan diuntungkan?  Tentu yang mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi yang mampu bersaing dalam kancah perdagangan bebas, dan rakyat kecil menjadi pecundang dan akan menjadi gelandangan di negeri sendiri.



Buku Rujukan

Arief Budiman, Teori Negara, Gramedia, Jakarta

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta
David Kairys, Politics of Law, Pantheon Books, New York.
M Mahfud MD, Hukum dan Politik Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, ELSAM, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Teori dan Praktek di Indonesia, Alumni, Bandung.
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Rajawali Press, Jakarta.
 Tiger & Levy, Law and the Rise of Capitalism, Monthly Review Press, New York.  


0 komentar:

Posting Komentar