photo Nirwana-Bannerm_zpsfb61fe90.jpg

Sabtu, November 03, 2012
0

Islam Indonesia
Indikator
*      Memahami sejarah Islam di Indonesia
*      Memahami pengertian Islam Tradisi dan Isalm Indonesia
*      Membedakan Tradisi dan Agama dalam pandangan PMII

Abstraksi
Berbagai agama dan keyakinan hidup di Indonesia. Sebelum Islam masuk, Hindu dan Budha sempat menjadi kepercayaan mayoritas di Nusantara. Keduanya, beserta kepercayaan asli penduduk Nusantara (Kepercayaan Kapitayan, orang luar menyebutnnya Animisme dan Dinamisme) memberikan dasar sosio-budaya yang kuat di dalam masyarakat. Konteks sosio-budaya yang telah terbangun itu berbeda dengan konteks sosio-budaya yang berkembang di Arab. Sehingga warna Islam yang hidup di Indonesia pun memiliki perbedaan dengan Islam di Arab. Dalam konteks Madzhab, Islam Indonesia mayoritas menganut Syafi’i. Islam didedahkan sebagai agama kearifan yang ajarannya senantiasa kontekstual dalam altar kekinian dan kedisinian. Di sinilah proses reinventing ini dilakukan dalam konteks dialektika antara Islam dan budaya lokal mengalami proses take and give, saling memberi dan menerima, saling mengambil dan belajar sebagai momentum menemukan Islam keindonesiaan dalam proses reinventing secara simultan, bukan Arabisme.
Agama dan tradisi merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau dakwah islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu mempertimbangkan seg-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat. Pada perkembangan selanjutnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hasil dari proses dialog tersebut. Sebagian berpendapat rumusan ketetapan dianggap sebagai ajaran final yang harus diterapkan di semua lapisan ummat Islam, sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa yang final bukanlah hasil dari proses dialog, tetapi nilai dasar yang ingin disampaikan dari ayat yang bersangkutan.
Islam dan Tradisi
Sebagaimana dimaklumi, sudah lama terjadi gesekan antara kelompok Islam lokal dengan Islam Arab. Sejak era Perang Paderi yang awalnya dipicu ketegangan antara orang Islam yang pro-Arabis (Tuanku Imam Bonjol) dengan kelompok Islam Adat. Pada era berikutnya, kita melihat ada kalangan anggota jamaah tabligh yang menggunakan pakaian seperti pakaian orang Arab dan mereka menganggap itu adalah sunnah Nabi, dan menganggap orang yang tidak berpakaian seperti mereka dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi. Kelompok ini membedakan diri dengan komunitas Islam tradisi yang berkembang di Indonesia, bahkan menilai tradisi keagamaan yang bersifat lokal sebagai yang tidak Islam. Dalam masyarakat kita, memang terdapat banyak tradisi keagamaan yang bersemai dalam tradisi lokal seperti sekaten, tahlilan, mauludan, ruwahan, nyadran, peringatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari hingga haul, dan lain-lain.
*      Pengertian tradisi.
Secara terminologis, ”tradisi” mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu, tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tradisi Islam secara tidak sadar ia sedang menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan ratusan atau ribuan tahun yang lalu tetapi masih hadir dan tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini. Tradisi dalam pengertian yang paling elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Pengertian tersebut cukup menolong, namun masih terlalu umum untuk dipakai sebagai alat analisa. Tidak terungkap dari pengertian tersebut apa yang diwariskan, sudah berapa lama diwarisi, dengan cara bagaimana, lisan ataukah tulisan. Tentunya kita dapat menerima bahwa Taj Mahal di India, Spinx di Mesir, atau Borobudur di Jawa Tengah adalah monumen-monumen tradisional. Namun tentunya sulit diterima kalau bangunan-bangunan tersebut dikatakan sebagai tradisi. Itu semua adalah produk dari suatu tradisi, tetapi bukan tradisi itu sendiri.
Dalam hal ini definisi dalam Ensiklopedi Britanica memberikan pengertian yang lebih jelas, yakni “kumpulan dari kebiasaan, kepercayaan dan berbagai praktek yang menyebabkan lestarinya suatu bentuk pandangan hidupnya.” Berangkat dari uraian tersebut kiranya cukup jelas bahwa tradisi adalah sesuatu yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini berupa non-materi, baik kebiasaan, kepercayaan atau tindakan-tindakan. Semua hal tersebut selalu diberlakukan kembali, tetapi pemberlakuan itu sendiri bukan tradisi karena justru mencakup pola yang membimbing proses pemberlakuan kembali tersebut.
*      Tradisi dan Sunnah
Dalam bahasa Arab, kata tradisi diidentikkan dengan kata Sunnah yang secara harfiah berarti jalan, tabi’at, atau perikehidupan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang artinya: “Barang siapa yang mengadakan suatu kebiasaan yang baik, maka bagi orang tua akan mendapat pahala, dan pahala bagi orang yang melaksanakan kebiasaan tersebut.” Para ulama umumnya mengartikan bahwa yang dimaksud dengan kebiasaan yang baik itu adalah segenap pemikiran dan kreativitas yang dapat membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat. Yang termasuk dalam tradisi tersebut adalah mengadakan peringatan maulid nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, tahun baru hijriyah dan sebagainnya.
Selanjutnya kata ”Sunnah” menjadi suatu istilah yang mengacu pada segala sesuatu yang berasal dari Nabi, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan Nabi. Para ulama Muhadditsin, baik dari kalangan modern (khalaf) maupun kuno (salaf) menyamakan pengertian Sunnah tersebut dengan al-hadits, al-akhbar dan al-atsar. Atas dasar pengertian ini kaum orientalis Barat menyebut sebagai kaum tradisionalis kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada al-sunnah Rasulullah SAW bahkan juga kepada mereka yang berpegang teguh kepada Al-Quran (makanya, kita yang dituduh sebagai kaum tradisionalis jangan khawatir karena ini hanya tuduhan Barat). Islam Tradisi merupakan model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan di masyarakat. Sedangkan Islam post-tradisi, bemaksud mendialogkan tradisinya dengan zaman modern.
Bagi PMII, tradisi adalah khazanah peradaban manusia. Tugas PMII adalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya agar tetap survive dalam konstelasi kehidupan masa kini, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Perbedaan kita dengan kaum fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi. Ataupun dengan kaum modernis yang membuang tradisi dan ingin meniru Barat. Bedanya, Islam Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin, sedang Islam Tradisi melebarkan sampai pada salaf al-shalih, sehingga kita bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukan. Resikonya, memang terkadang bisa mengarah pada keteguhan memegang prinsip. Orang luar menyebutnya ekslusif, subjektif dan diterminis. Sedangkan kaum modernis ingin menafsirkan al-Qur’an dengan kerangka rasionalitas dan metode modern. Sikap Islam Tradisi yang tetap memegang teguh tradisi dan kemampuannya berdialog dengan modernisasi sebagaimana yang ditunjukkan NU dan PMII membuktikan bahwa tuduhan orang luar mengenai kelompok Islam tradisi tidak terbukti, sebab kita tetap bisa berdialog dengan modernitas, Cuma beda dialognya dengan kaum fundamentalis dan kaum modernis.
a)      Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Islam Tradisi
Berbicara mengenai Islam tradisi adalah berbicara mengenai kaum salaf. Dalam sejarahnya, Islam tradisi merupakan hasil cipta rasa dari kaum sunni (aliran sunni atau ahlussunnah). Aliran ini muncul karena peristiwa-peristiwa berikut:
1)      Fitnah pada saat Rasulullah SAW wafat. Ketika Rasulullah Muhammad SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin dan Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan mengakibatkan perang saudara antar kaum muslimin Muhajirin dan Anshor. Setelah masing-masing mengajukan delegasi untuk menentukkan siapa Khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh kaum muslimin untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah.
2)      Fitnah masa khalifah ke-3. Pada masa kekhalifahan ke-3, Utsman bin Affan, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada saat itu, yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman. Pembunuhnya ialah suatu rombongan delegasi yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak memberontak kepada Khalifah dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba' berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian masyarakat banyak saat itu, terutama disponsori oleh para bekas pelaku pembunuhan terhadap Utsman, berhasil membunuh beliau dengan sadis ketika beliau sedang membaca al-Qur'an.
3)      Fitnah masa khalifah ke-4. Segera setelah bai'at Khalifah Ali mengalami kesulitan bertubi-tubi. Orang-orang yang terpengaruh Abdullah bin Saba' terus menerus mengadu domba para sahabat. Usaha mereka berhasil. Para sahabat salah paham mengenai kasus hukum pembunuhan Utsman. Yang pertama berasal dari janda Rasulullah SAW, Aisyah, yang bersama dengan Thalhah dan Zubair berhasil diadu domba hingga terjadilah Perang Jamal atau Perang Unta. Dan kemudian oleh Muawiyah yang diangkat oleh Utsman sebagai Gubernur di Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Melihat banyaknya korban dari kaum muslimin, maka pihak yang berselisih mengadakan ishlah atau perdamaian. Para pemberontak tidak senang dengan adanya perdamaian diantara kaum muslimin. Kemudian terjadi usaha pembangkangan oleh mereka yang pada awalnya berpura-pura/munafik. Merekalah Golongan Khawarij.
4)      Tahun jama’ah. Kaum Khawarij ingin merebut kekhalifahan. Tapi terhalang oleh Ali dan Muawiyah, sehingga mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij berhasil membunuh Khalifah Ali pada saat khalifah mengimami shalat subuh di Kufah, tapi tidak terhadap Muawiyah karena dijaga ketat. Bahkan Muawiyah berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan politik dan ketegaran kepemimpinannya. Karena belajar oleh berbagai pertumpahan darah, kaum muslim secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Muawiyah. Maka tahun itu, tahun 41 Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am al-jama'ah).
5)      Sunnah madinah. Kaum muslimin mendalami agama berdasarkan Al-Qur'an, dan memperhatikan serta ingin mempertahankan sunnah Nabi di Madinah. Akhirnya ilmu hadits yang berkembang selama beberapa abad, sampai tuntasnya masalah pembukuan hadis sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir abad ke-3 hijriyah. Saat itu, lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan al-Kutub al-Sittah (Buku Yang Enam) yakni oleh al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275), al-Turmudzi (w. 279 H), dan al-Nasa'i (w. 303 H).
Kemudian masa perkembangan Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah. Yaitu madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i serta Hambali. Selanjutnya praktek Islam tradisionalis juga dapat dijumpai di India, Mesir, turki, dan juga Indonesia.
b)     Karakteristik Islam Tradisi
Karakteristik (ciri-ciri atau corak pemikiran) Islam tradisi adalah sebagai berikut:
1)      Memegang teguh pada prinsip. Karena keteguhanya ini, orang luar terkadang salah paham dengan menilainya eksklusif (tertutup) atau fanatik sempit, tidak mau menerima pendapat, pemikiran dan saran dari kelompok lain (terutama dalam bidang agama). Hal ini dikarenakan mereka mengganggap bahwa kelompoknya yang paling benar.
2)      Bersifat toleran dan fleksibel. Karena sifat tolerannya terhadap tradisi maka orang luar terkadang salah paham dengan menilainya tidak dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non-ajaran. Dengan ciri demikian, Islam tradisionalis mengganggap semua hal yang ada hubungannya dengan agama sebagai ajaran yang harus dipertahankan. Misalnya, tentang ajaran menutup aurat dan alat menutup aurat berupa pakaian. Yang merupakan ajaran adalah menutup aurat, sedangkan alat menutup aurat berupa pakaian dengan berbagai bentuknya adalah bukan ajaran. Jika ajaran tidak dapat diubah, maka yang bersifat non-ajaran dapat dirubah. Kaum islam tradisionalis tidak dapat membedakan antara keduanya, sehingga alat menutup aurat berupa pakaian-pun dianggap ajaran yang tidak dapat dirubah.
3)      Berpijak masa lalu untuk masa depan. Islam tradisionalis menilai bahwa berbagai keputusan hukum yang diambil oleh para ulama di masa lampau merupakan contoh ideal yang harus diikuti. Hal demikian muncul sebagai akibat dari pandangan mereka yang terlampau mengagungkan para ulama masa lampau dengan segala atributnya yang tidak mungkin dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang muncul belakangan. Walau demikian, pemahaman sebagai manhaj al-fikr juga membuka kemungkinan untuk diadakan ijtihad baru terhadap permasalahan yang mengemuka di era sekarang.
4)      Hati-hati dalam melakukan penafsiran teks agama. Keteguhan pada teks membuat kelompok ini dituduh sangat tekstulis, padahal tuduhan itu tidak tepat karena apa yang dilakukan kaum sunni ini adalah sikap kehati-hatiannya dalam mengambil hukum. Sehingga orang luar sering menuduhnya memahami ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual tanpa melihat latar belakang serta situasi sosial yang menyebabkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut diturunkan, sehingga jangkauan pemakaian suatu ayat sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu saja tanpa mampu menghubungkannya dengan situasi lain yang memungkinkan dijangkau oleh ayat tersebut.
5)      Cenderung tidak mempersalahkan tradisi yang terdapat dalam agama. Pada waktu Islam datang ke Indonesia, di Indonesia sudah terdapat berbagai macam agama dan tradisi yang berkembang dan selanjutnya ikut mewarnai tradisi dan paham keagamaan yang ada. Tradisi yang demikian itu kalau yang baik tidak dipermasalahkan yang penting dapat menentramkan hati dan perasaan mereka. Sedangkan tradisi yang bertentangan dengan Islam harus dihilangkan atau diganti dengan yang substansinya sesuai dengan ajaran Islam.

*      Islam Tradisi di Indonesia
Islam Tradisi yang berkembang di Indonesia sudah lama sejak era Walisongo.Pada kemudian hari kaum tradisionalis ini identik dengan warga Nahdathul Ulama (NU) dimana akar kultur PMII berada

0 komentar:

Posting Komentar