photo Nirwana-Bannerm_zpsfb61fe90.jpg

Sabtu, November 03, 2012
0

Ahlussunnah Wal Jam’aah (ASWAJA)
Indikator
*      Memahami pengertian ASWAJA
*      Memahami sejarah ASWAJA
*      Memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai ASWAJA

Apa yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal jamaah ? Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
“Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:
 “Dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.
Sejak kapan istilah golongan Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) muncul ? Paling mudah melacak periode awal kelahiran terminologi (istilah) Aswaja dimulai dengan lahirnya madzhab (tauhid) al-Asy’ari dan abu Manshur al-maturidi. Tetapi kelahiran madzhab Aswaja di bidang kalam ini tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode ‘Ali bin Abi Thalib KW. Sebab dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib KW, karena jasanya menentang penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qodariyah tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk. Di masa tabi’in juga tercatat ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barohimah” .
Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata “Idza uthliqo ahlus sunnati wal jama’ati fal muroodu bihi al asya’irotu wal maturidiyyah; Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham.
Kemudian secara eksplisit para Ulama mengformulasikan konsep-konsep Aswaja kedalam beberapa criteria yang merupakan intisari dari konsep aswaja yang telah dijelaskan secara global di atas, yaitu:
1.      Tawassuth; Bisa diartikan berdiri ditengah, moderat, tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khoirul umur ausatuha (moderat adalah sebaik-baik suatu perkara)
2.      Tasamuh; Yaitu sikap toleran, tepa selira. Konsep tasamuh merupakan sebuah landasan yang bingkai yang secara eksplisit sangat menghargai perbedaan tanpa memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Yaa ayyuhalladziina aamanu laa yaskhar qaumun min mqaumin ‘asaa an yakuuna khoiron minhum (Hai orang-orang yang beriman janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi kaum yang diolok-olok itu lebih baik daripada yang mengolok-olok)
3.      Tawazun; Berarti keseimbangan dalam bergaul dan berhubungan baik horizontal maupun vertikal (sesama manusia, manusia dengan alam serta manusia dengan Tuhannya). Dengan dibekali akal manusia diharapkan bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi maupun tugas sebagai hamba yaitu beribadah kepada Allah. Sebagaimana ajaran kitab suci”wabtaghi fiima aataakallaahud daaral aakhiraah walaa tansa nashibakaminad dunya” carilah apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu untuk bekal hidup di akhirat akan tetapi janganlah engkau lupakan bagianmu du dunia.
4.      Ta’adul; Yaitu keadilan, yang merupakan ajaran universal Islam. Pemaknaan yang sangat ditekankan dalam hal ini adalah keadilan sosial yang mencakup keseluruhan dimensi kehidupan manusia dalam ranah publik(public areas). Begitu pentingnya prinsip keadilan sampai Ibnu taymiyah berkata: Addunya taduumu ma’al ‘adli wal kufr * walaa taduumu ma’adzdzulmi wal islam (Dunia bisa berdiri kokoh dengan keadilan meskipun bangsanya kafir * akan tetapi bisa hancur ketika yang ada hanya kedzaliman meskipun bangsanya muslim)
ASWAJA DALAM KONTEKS NUSANTARA
Awal mula kemunculan sejarah aswaja nusantara berbarengan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia, terlepas dari perdebatan kapan tepatnya Islam masuk Indonesia tapi yang pasti tonggak kehadiran Islam di Indonesiasangat tergantung pada dua hal: pertama, Kesultanan pasai di Aceh yang berdiri pada abad ke-13, dan kedua, Wali Sanga di Jawa yang mulai hadir pada abad ke-15bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun dalam perkembangan selanjutnya yang lebih berpengaruh adalah Wali Sanga yang dakwahnya tidak hanya terbatas di wilayah Jawa tetapi menggurita kepelosok Nusantara. Hal ini dikarenakan dakwah yang dilakukan Wali Sanga bersifat lentur dan fleksibel yaitu dengan menggabungkan nilai-nilai Islam dengan budaya yang telah mengakar kuat dalam kehidupan tanpa mengurangi nilai-nilai Islam yang esensial-substansial dengan demikian mudah diterima oleh masyarakat. Yang penting untuk dicatat pula bahwa mayoritas sejarahwan sepakat bahwa Wali Sanga lah yang dengan sangat brilian mengkontekstualisasikan aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, yang sampai saat ini menjadi basis bagi golongan tradisionalis, termasuk PMII.
Telah kita ketahui dari pemaparan di atas bahwa golongan aswaja adalah golongan yang berpegang pada Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi(teologi), Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali(fiqih), Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham(tasawuf). Dalam konteks Indonesia kita dapat menyaksikan bahwa kriteria aswaja yang paling sesuai dengan kriteria di atas adalah golongan Islam Tradisionalis yang selama ini kerapkali dicap terutama oleh golongan Islam modernis ataupun kelompok puritan yang kecenderungan membaca teks-teks suci(al quran dan hadist) secara literal tekstual sebagai golongan ahlul bid’ah wal jama’ah, tahayul, khurafat dan segudang tuduhan tak senonoh lainnya yang mana sikap keberagamaan seperti itu sangat dilaknat oleh Rasulullah SAW “man kaffara akhaahu al muslim fahuwa kaafirun; barabg siapa yang mengkafirkan saudaranya yang muslim maka hakikatnya dialah yang kafir” naudzubillah!

0 komentar:

Posting Komentar