Langit menjadi tempat kuberpijak saat ini. Tak ada kata sesak, panas, gerah atau kebisingan yang menjadi problematika setiap orang kota. Aku berdiri sendiri, sebagai makhluk tunggal yang penuh dengan daya pesona bagi manusia. Tak heran banyak orang memujiku dan melambangkanku pada setiap keindahan. Lihat saja, orang Jawa mengumpamakan alis gadis cantik sepertiku kala masih sabit. Belum lagi, sang Pujangga yang seringkali mengagungkanku di setiap larik sajak-sajaknya . Bahkan aku menjadi peluru lelaki saat ia menembakkan panah asmara pada sang pujaan hati. Sungguh sempurna kebahagiaanku.
Berdiri di sini, di langit yang gelap ini, sudah menjadi aktivitas rutinku sehari-hari. Meneranginya. Tersenyum memancarkan cahaya lembut pada penghuni bumi. Sekali lagi, aku memuji, oh, betapa sempurnanya aku. Tak lepas setiap hiruk pikuk dan lalu-lalang manusia dari pandanganku. Anak-anak yang bernyanyi Jawa mendendangkan namaku, sebuah sekolah malam yang gurunya sibuk menjelaskan pada anak didiknya tentang seluk-belukku, sampai suatu ketika ku lihat seorang lelaki di sudut kota itu yang berteriak memanggil-manggil namaku. “ Bulan, Bulan !! Lihatlah ke sini. Lihatlah aku !!” teriak lelaki itu sambil melompat dan melambai-lambaikan kedua tangannya ke atas. “ Kau bisa lihat aku bukan?! Bias dengar??”. Ia masih berteriak keras padaku. Ku coba melihat dengan jelas wajahnya. Masih tampak samar. Mungkin karena tak ada lampu yang menyorot wajahnya. Hanya cahayaku yang terpantul dari air laut yang menerangi. Ya… Ia berdiri di tepi laut dan berdiri di atas bendungan yang terbuat dari tumpukan batu-batu hitam besar. Aku masih berusaha keras menerangi wajahnya. Berharap awan tipis yang berada di bawahku ini segera pergi.
Beberapa menit tak kudengar suara lelaki itu lagi. Aku menunggu. Sampai beberapa detik awan itu mulai hilang. Sedikit demi sedikit wajah lelaki yang mendongak ke atas itu tampak jelas oleh cahayaku. Menawan, sungguh tampan. Wajah yang berseri-seri dengan tubuh gagah itu cukup indah bagiku. Seketika sempat ku terpaku. “ Bulaaan!!” dia berteriak dengan cerianya. “Maukah kau menjadi saksi Janjiku?” ia berlari dan menggandeng tangan seorang gadis dari balik bayang-bayang pohon trembesi yang ada didekatnya. Ku lihat gadis itu berparas cantik dan manis. Ia menggenggam tangan dan meletakkan di dadanya.“Bulan. Aku mau kau menjadi saksi Janjiku. Aku berjanji akan mencintainya. “ ungkapnya lagi. Ia terus memancarkan wajah bahagia dan penuh dengan semangat. “ Aku berjanji akan melindungi dan setia padanya sampai mati”. Dua pasang bola mata itu kemudian saling beradu dan menyunggingkan senyum bersama. Entah apa yang mereka rundingkan berdua tapi tak lama kulihat mereka kembali menatapku, melambaikan tangan padaku. Sungguh manis.
Beberapa kal jadi purnama yang sempurna mereka selalu datang ke tempat itu untuk sekadar menyapaku. Tak ada hal lain, kecuali aku ikut bahagia. Sampai suatu purnama berikutnya, Tepatnya purnama ke sembilan semenjak janji itu, aku melihat tepi pantai itu sepi. Sepi tak ada sapaan untukku lagi. Beberapa tempat di bawah sana ku telusuri dengan pandanganku berharap melihat sosok mereka. Tapi tak ada. “ Ah…untuk apa aku mencari. Toh ya tak kurang manusia yang mengagumiku dan memujiku” ungkapku pada diri sendiri. Berusaha tak peduli dengan keadaan ini.
Aktivitas purnama kujalani seperti biasa. Bersinar dan terus tersenyum untuk penghuni bumi. Menelusuri dan memantau segala hiruk pikuk manusia di Bumi. Kulihat anak-anak masih berdendang menyebut namaku, orang Jawa masih memuji alis wanita cantik dengan bulan sabitku, dan pujanggapun masih menyebutku dalam setiap sajak-sajaknya. Sempurna. Hingga ku terpaku pada satu sudut bayangan hitam di kuburan yang menangis merintih menyebut namaku.
Seumur-umur tak pernah namaku ini membawa duka. Bulan adalah penenang bagi semua orang. Bulan adalah sumber cahaya damai bagi mereka yang ada dalam gelap. Namun bayangan semu itu masih terus menyebutku dalam sujudnya di makam itu. “Bulan. Musnah sudah. Tak ada yang bisa ku lakukan lagi Bulan. Aku harus bagaimana?” rintihnya sambil memegang nisan kuburan.
Parasnya tak asing. Rambut dan bentuk tubuh kekar itu. Ya Tuhan, dia adalah lelaki yang selalu menyapaku saat purnama bersama kekasihnya. Apa yang terjadi? Kenapa wajah tampan bahagia yang dulu ku lihat itu kini berubah menjadi seperti mumi hidup?
Ia tak henti mengelus nisan dan menggenggam keras tanah kuburan seperti menahan sambil menahan sakit di dadanya. Astaga. Dia sendirian. Mungkinkah nisan yang dipeluk dan ditangisi itu adalah…
Tidak. Tidak mungkin. Tapi mungkinkah?
“Bulan. Janji itu tak bisa ku tepati. Hiks… Bulan, begitu lemahnya jiwa dalam tubuh kekar ini. Untuk apa raga kekar ini bulan jika tak bis melindunginya.” Apa yang terjadi? Ia terus menangis di kesunyian pemakaman itu. Tak peduli malam tengah larut ia terus-menerus menyalahkan dirinya dan terus memanggilku.
Tuhan, aku harus berbuat apa? Aku hanya bisa berdiri dilangitmu tanpa bisa menghibur manusia ini. Tuhan, beri dia kekuatan. Aku hanyalah makhluk sempurna yang bisa jadi saksi bisu atas cinta yang tiada. Sepertinya kata “sempurna” tidaklah pantas lagi bagiku.
Kiriman Dari : Ria Ana Safitri (Lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar