Selasa, 06 Mei 2014

Catatan Prestasi Ujian Nasional dari Kota Soto

 Catatan Prestasi Ujian Nasional dari Kota Soto

 Oleh : Benu Nuharto

Pada tahun kemarin (2013) Kabupaten Lamongan bisa berbangga diri. Pasalnya beberapa orang siswa MA/SMA/SMK  maupun SMP/MTs di wilayah Lamongan bisa meraih hasil Ujian Nasional (UN) tertinggi se-Jawa Timur, bahkan sampai masuk 5 besar nilai tertinggi se-Indonesia.
Catatan yang saya peroleh menunjukkan, Kabupaten Lamongan menjadi satu-satunya daerah di Jatim yang muridnya masuk lima besar terbanyak. Sedang daerah lain rata-rata hanya satu atau dua murid.
Akankah UN tahun ini (2014), Kota Soto masih bisa mempertahankan prestasinya baik di tingkat SD, SMP maupun SMA?. Mudah-mudahan saja prestasi itu bisa terulang kembali.
Namun sedikit disayangkan, kalau seandainya saja prestasi-prestasi tersebut diperoleh dengan segala cara bahkan dengan cara yang tidak wajar, hingga lupa bahwa yang lebih utama dari sekedar angka-angka adalah prestasi integritas dan moral.
Tidak bisa dipungkiri dan sudah menjadi rahasia umum, pelaksanaan UN merupakan pertaruhan integritas para siswa, guru, kepala sekolah dan bahkan pengambil kebijakan di Dinas Pendidikan. Pasti, setiap sekolah memiliki target kelulusan 100 persen. Target itu turun-temurun dari pundak Kepala Daerah, Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, guru hingga siswa.
Selain target lulus, yang jelas target untuk mendapatkan nilai terbaik juga akan diturun-temurunkan hingga peserta didik/siswa.
Target lulus dan mendapat nilai terbaik ini, menyangkut jabatan, nama baik daerah dan sekolah bersangkutan. Prestasi kelulusan menjadi salah satu parameter sekolah dalam penerimaan siswa tahun ajaran baru. Label sebagai sekolah yang sukses meluluskan anak didiknya akan menaikkan taraf gengsi. Itu artinya berkah berupa kelimpahan jumlah siswa akan didapat pada tahun ajaran baru nanti.
Selanjutnya, peluang bagi sekolah tersebut untuk menjaring siswa-siswa potensial dengan nilai terbaik. Ini penting guna mendongkrak kembali prestasi sekolah, baik melalui UN maupun yang lainnya di tahun berikutnya.
Sayangnya, tanggungjawab mengharumkan nama baik sekolah ini kerap dilakukan dengan cara-cara tidak terpuji. Diakui atau tidak pertanyaan inilah yang akan membayang-bayangi hidup kita, dimana letak integritas para pendidik sebagai orang-orang yang tercelup di lembaga pendidikan? Bukankah pendidikan terlanjur ditahbiskan sebagai “dunia suci” yang jauh dari intrik-intrik, kecurangan, keculasan, kolusi dan korupsi?
Profesi pendidik adalah teladan. Guru, digugu dan ditiru (didengar dan diikuti, red). Anak didik selalu merujuk pada guru. Guru adalah “malaikat” kecil di tengah pelajar. Guru selalu benar, tidak boleh salah. Guru di mata anak didik adalah “sosok suci”.
Bukankah berjuta kali guru memberi wejangan tentang kejujuran, kedisiplinan dan nilai-nilai kebaikan pada anak didiknya? Akankah bangunan kepercayaan yang disemai selama bertahun-tahun itu dibiarkan runtuh seketika demi sebuah predikat lulus UN?
Jika para pendidik, baik sebagai guru atau elemen pengambil kebijakan mampu menjaga dan mempertahankan integritasnya, anak didikpun akan menaruh hormat dan respek padanya. Bahkan, ini akan mendorong anak didik untuk mengedepankan integritasnya pula dalam menghadapi UN. Artinya, sekalipun banyak peluang di depan mata untuk berbuat curang atau culas, jika pelajar memegang teguh prinsip kejujuran, peluang itu akan dianggap angin lalu.
Dengan begitu, tidak usah terlalu mengkhawatirkan beredarnya kunci jawaban, isu kebocoran soal dan sejenisnya. Pelajar yang menjunjung tinggi integritasnya akan percaya diri dengan kemampuannya. Ia optimis dengan hasil usahanya sendiri dan tak tergoda berbuat curang.
Sayang, pelajar seperti ini sudah semakin jarang ditemukan. Kejujuran sangat mahal. Jujur sama artinya bunuh diri. Masih ingat dengan kasus nyontek massal yang dibongkar Alif dan ibunya, Siami di Surabaya, Mei 2011 lalu, yang justru berakhir pada pengucilan mereka oleh sekolah dan para tetangga? Sungguh miris!
Generasi Stress dan Pendidikan Moral
UN dianggap satu-satunya parameter keberhasilan anak didik. Untuk mencapai keberhasilan UN, trial and error tak henti di-uji-cobakan di lembaga pendidikan. Tujuannya, demi melahirkan lulusan ideal. Sayang, alih-alih melahirkan lulusan yang mumpuni di bidang sainstek dan takwa, sebagaimana maklumat tujuan pendidikan nasional, output UN kian tahun kian mengecewakan. Salah satunya, tergadaikannya integritas para pelakon di dunia pendidikan.
Ini akibat UN terlalu disakralkan. Lulus UN seolah selamat dari kiamat. Ini karena kecerdasan siswa hanya diukur dari angka-angka, itupun hanya beberapa pelajaran. Masa depan mereka tergantung UN. Adapun perilaku dan moral pelajar sama sekali diabaikan.
Akibatnya, pemahaman soal nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai agama sangat minim selama proses belajar mengajar. Dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang masih labil akibat minimnya pendidikan agama, ditambah lagi beban berat kurikulum pembelajaran, membuat pelajar cenderung stres. UN adalah klimaksnya, apapun dilakukan demi melewatinya dengan mulus, termasuk menghalalkan segala cara.
Kita pada saat ini perlu perubahan revolusioner untuk menghapus tradisi kecurangan dalam UN. Pertama, harus ada penanaman rasa tanggung jawab intelektual kepada para pelajar. Bahwa, menuntut ilmu itu sebuah kewajiban mulia, jangan dianggap beban berat. Menuntut ilmu harus sungguh-sungguh dengan enjoy, sehingga terbiasa menghadapi ujian. Mentalnya siap menerima apapun hasil ujian.
Kedua, sistem pendidikan sejak awal harus dikondisikan untuk melahirkan siswa yang berkepribadian Islam dan menjunjung nilai-nilai moral. Mereka memiliki tanggungjawab untuk menolak kecurangan, bahkan antihura-hura pasca UN dengan corat-coret seragam atau konvoi kendaraan. Mereka paham bahwa itu tindakan sia-sia yang tak bernilai pahala.
Sekarang ini, penanaman mental dan moral hanya dilakukan sesaat menjelang UN. Sebelum UN mengadakan muhasabah bersama, tausiyah oleh ustad dan zikir bersama. Menjelang UN mendekati Allah SWT, saat UN tak ingat Allah dengan main curang, dan pasca UN, semakin jauh dari Allah SWT.
Ketiga, sistem pendidikan, termasuk kurikulumnya, disesuaikan dengan perkembangan usia anak didik dan minatnya. Jangan disamaratakan kemampuan siswa dengan UN yang tolak ukur pelajarannya sama. Tidak semua anak jago matematika, mungkin dia lebih jago bidang lain. Karena itu, perlu evaluasi, masihkah UN menjadi model ideal sebagai parameter keberhasilan siswa?

1 komentar:

  1. Peringkat 5 besar nasional tapi dengan cara curang????
    Prett...
    Malu saya sebagai warga/kelahiran Lamongan ... ;-(

    BalasHapus