Catatan Prestasi Ujian Nasional dari Kota Soto
Oleh : Benu Nuharto
Pada tahun
kemarin (2013) Kabupaten Lamongan bisa berbangga diri. Pasalnya beberapa orang siswa
MA/SMA/SMK maupun SMP/MTs di wilayah Lamongan bisa meraih hasil
Ujian Nasional (UN) tertinggi se-Jawa Timur, bahkan sampai masuk 5 besar nilai
tertinggi se-Indonesia.
Catatan yang
saya peroleh menunjukkan, Kabupaten Lamongan menjadi satu-satunya daerah di Jatim yang muridnya
masuk lima besar terbanyak. Sedang daerah lain rata-rata hanya satu atau dua
murid.
Akankah UN
tahun ini (2014), Kota Soto masih bisa mempertahankan prestasinya baik
di tingkat SD, SMP maupun SMA?. Mudah-mudahan saja prestasi itu bisa terulang
kembali.
Namun
sedikit disayangkan, kalau seandainya saja prestasi-prestasi tersebut diperoleh
dengan segala cara bahkan dengan cara yang tidak wajar, hingga lupa bahwa yang
lebih utama dari sekedar angka-angka adalah prestasi integritas dan moral.
Tidak bisa
dipungkiri dan sudah menjadi rahasia umum, pelaksanaan UN merupakan pertaruhan
integritas para siswa, guru, kepala sekolah
dan bahkan pengambil kebijakan di Dinas Pendidikan.
Pasti, setiap sekolah memiliki target kelulusan 100 persen. Target itu
turun-temurun dari pundak Kepala Daerah, Dinas Pendidikan,
Kepala Sekolah, guru hingga siswa.
Selain
target lulus, yang jelas target untuk mendapatkan nilai terbaik juga akan
diturun-temurunkan hingga peserta didik/siswa.
Target lulus
dan mendapat nilai terbaik ini, menyangkut jabatan, nama baik daerah dan sekolah
bersangkutan. Prestasi kelulusan menjadi salah satu parameter sekolah
dalam penerimaan siswa tahun ajaran baru. Label sebagai sekolah
yang sukses meluluskan anak didiknya akan menaikkan taraf gengsi. Itu artinya
berkah berupa kelimpahan jumlah siswa akan didapat pada tahun ajaran baru
nanti.
Selanjutnya,
peluang bagi sekolah tersebut untuk menjaring siswa-siswa potensial dengan
nilai terbaik. Ini penting guna mendongkrak kembali prestasi sekolah,
baik melalui UN maupun yang lainnya di tahun berikutnya.
Sayangnya,
tanggungjawab mengharumkan nama baik sekolah
ini kerap dilakukan dengan cara-cara tidak terpuji. Diakui atau tidak
pertanyaan inilah yang akan membayang-bayangi hidup kita, dimana letak
integritas para pendidik sebagai orang-orang yang tercelup di lembaga pendidikan?
Bukankah pendidikan terlanjur ditahbiskan sebagai “dunia suci” yang
jauh dari intrik-intrik, kecurangan, keculasan, kolusi dan korupsi?
Profesi
pendidik adalah teladan. Guru, digugu dan ditiru (didengar dan diikuti, red).
Anak didik selalu merujuk pada guru. Guru adalah “malaikat” kecil di tengah
pelajar. Guru selalu benar, tidak boleh salah. Guru di mata anak didik adalah
“sosok suci”.
Bukankah
berjuta kali guru memberi wejangan tentang kejujuran, kedisiplinan dan
nilai-nilai kebaikan pada anak didiknya? Akankah bangunan kepercayaan yang
disemai selama bertahun-tahun itu dibiarkan runtuh seketika demi sebuah
predikat lulus UN?
Jika para
pendidik, baik sebagai guru atau elemen pengambil kebijakan mampu menjaga dan
mempertahankan integritasnya, anak didikpun akan menaruh hormat dan respek
padanya. Bahkan, ini akan mendorong anak didik untuk mengedepankan
integritasnya pula dalam menghadapi UN. Artinya, sekalipun banyak peluang di
depan mata untuk berbuat curang atau culas, jika pelajar memegang teguh prinsip
kejujuran, peluang itu akan dianggap angin lalu.
Dengan
begitu, tidak usah terlalu mengkhawatirkan beredarnya kunci jawaban, isu kebocoran
soal dan sejenisnya. Pelajar yang menjunjung tinggi integritasnya akan percaya
diri dengan kemampuannya. Ia optimis dengan hasil usahanya sendiri dan tak
tergoda berbuat curang.
Sayang,
pelajar seperti ini sudah semakin jarang ditemukan. Kejujuran sangat mahal.
Jujur sama artinya bunuh diri. Masih ingat dengan kasus nyontek massal yang
dibongkar Alif dan ibunya, Siami di Surabaya, Mei 2011 lalu, yang justru
berakhir pada pengucilan mereka oleh sekolah
dan para tetangga? Sungguh miris!
Generasi
Stress dan Pendidikan Moral
UN dianggap
satu-satunya parameter keberhasilan anak didik. Untuk mencapai keberhasilan
UN, trial and error tak henti di-uji-cobakan di lembaga pendidikan.
Tujuannya, demi melahirkan lulusan ideal. Sayang, alih-alih melahirkan lulusan
yang mumpuni di bidang sainstek dan takwa, sebagaimana maklumat tujuan pendidikan
nasional, output UN kian tahun kian mengecewakan. Salah satunya, tergadaikannya
integritas para pelakon di dunia pendidikan.
Ini akibat
UN terlalu disakralkan. Lulus UN seolah selamat dari kiamat. Ini karena
kecerdasan siswa hanya diukur dari angka-angka, itupun hanya beberapa
pelajaran. Masa depan mereka tergantung UN. Adapun perilaku dan moral pelajar
sama sekali diabaikan.
Akibatnya,
pemahaman soal nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai agama sangat minim selama
proses belajar mengajar. Dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang masih labil
akibat minimnya pendidikan agama, ditambah lagi beban berat kurikulum
pembelajaran, membuat pelajar cenderung stres. UN adalah klimaksnya, apapun
dilakukan demi melewatinya dengan mulus, termasuk menghalalkan segala cara.
Kita pada
saat ini perlu perubahan revolusioner untuk menghapus tradisi kecurangan dalam
UN. Pertama, harus ada penanaman rasa tanggung jawab intelektual kepada para
pelajar. Bahwa, menuntut ilmu itu sebuah kewajiban mulia, jangan dianggap beban
berat. Menuntut ilmu harus sungguh-sungguh dengan enjoy, sehingga terbiasa
menghadapi ujian. Mentalnya siap menerima apapun hasil ujian.
Kedua,
sistem pendidikan sejak awal harus dikondisikan untuk melahirkan
siswa yang berkepribadian Islam
dan menjunjung nilai-nilai moral. Mereka memiliki tanggungjawab untuk menolak
kecurangan, bahkan antihura-hura pasca UN dengan corat-coret seragam atau
konvoi kendaraan. Mereka paham bahwa itu tindakan sia-sia yang tak bernilai
pahala.
Sekarang ini,
penanaman mental dan moral hanya dilakukan sesaat menjelang UN. Sebelum UN
mengadakan muhasabah bersama, tausiyah oleh ustad dan zikir bersama. Menjelang
UN mendekati Allah SWT, saat UN tak ingat Allah dengan main curang, dan pasca
UN, semakin jauh dari Allah SWT.
Ketiga, sistem pendidikan,
termasuk kurikulumnya, disesuaikan dengan perkembangan usia anak didik dan
minatnya. Jangan disamaratakan kemampuan siswa dengan UN yang tolak ukur
pelajarannya sama. Tidak semua anak jago matematika, mungkin dia lebih jago
bidang lain. Karena itu, perlu evaluasi, masihkah UN menjadi model ideal
sebagai parameter keberhasilan siswa?
Peringkat 5 besar nasional tapi dengan cara curang????
BalasHapusPrett...
Malu saya sebagai warga/kelahiran Lamongan ... ;-(