Rabu, 09 Januari 2013

ANTROPOLOGI KAMPUS


ANTROPOLOGI KAMPUS
Universitas adalah tempat untuk memahirkan diri kita, bukan saja di lapangan technical and managerial know how, tetapi juga di lapangan mental, di lapangan cita-cita, di lapangan ideologi, di lapangan pikiran. Jangan sekali-kali universitas menjadi tempat perpecahan.
***
(Soekarno, Kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung, 1958).
A.    Abstraksi
Kampus boleh dikatakan miniatur negara. Di dalamnya ada politik dan budaya yang bermacam-macam. Kampus tidak dapat difahami hanya sebagai gelanggang akademis dan ilmu pengetahuan, karena nyatanya memang tidak demikian. Kampus terlibat dalam proyek dan pembangunan melalui pemberian legitimasi ‘ilmiah’. Terlebih ketika kampus-kampus negeri mulai berstatus BHMN. Sementara mahasiswa memiliki tipologi yang beragam, dari mahasiswa religius, hedonis, aktivis, study-oriented dan lain sebagainya. Sebagai sebuah gelanggang semi terbuka, kampus merupakan tempat potensial bagi kader PMII untuk mengasah mental dan pengalaman kepemimpinan melalui pengenalan mendalam terhadap kehidupan nyata kampus.
B. Kampus dan Norma Kampus
1. Pengertian Kampus
Kampus, berasal dari bahasa Latin; campus yang berarti “lapangan luas”, “tegal”. Dalam pengertian modern, kampus berarti, sebuah kompleks atau daerah tertutup yang merupakan kumpulan gedung-gedung universitas atau perguruan tinggi. Kampus merupakan tempat belajar-mengajar berlangsungnya misi dan fungsi perguruan tinggi. Dalam rangka menjaga kelancaran fungsi-fungsi tersebut, Ubaya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat), memerlukan penyatuan waktu kegiatan beserta ketentuan-ketentuan di dalam kampus.
Dalam hubungannya dengan mahasiswa, rektorat membentuk sistem yang mengatur posisinya dengan mahasiswa, dari mulai stuktural, birokrasi sampai kepada norma-norma yang diciptakan sesuai dengan kondisi sosial yang ada, misalnya pada kampus berlatar Islam tentunya ada adat-adat yang harus bernafaskan Islam, dsb. Dan, begitu pula halnya pada hubungan antara mahasiswa dengan mahasiswa.
2. Norma Akademik (Etika Kampus)
Norma akademik adalah ketentuan, peraturan dan tata nilai yang harus ditaati oleh seluruh mahasiswa Ubaya berkaitan dengan aktivitas akademik. Adapun tujuan norma akademik adalah agar para mahasiswa mempunyai gambaran yang jelas tentang hal-hal yang perlu dan/seharusnya dilakukan dalam menghadapi kemungkinan timbulnya permasalahan baik masalah-masalah akademik maupun masalah-masalah non akademik.
Masalah akademik adalah masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan kurikuler, Masalah non akademik adalah masalah yang terkait dengan kegiatan non kurikuler. Sedangkan Pelanggaran adalah perilaku atau perbuatan, ucapan, tulisan yang bertentangan dengan norma dan etika kampus. Etika kampus adalah ketentuan atau peraturan yang mengatur perilaku/atau tata krama yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa Ubaya. Etika kampus meliputi 2 hal penting yaitu ketertiban dan tata karma.
Setiap lembaga pendidikan atau kampus biasanya mempunyai menentukan norma akademik (etika kampus) masing-masing sesuai dengan status kampusnya, misalnya, kampus negeri umum yang menginduk ke Dirjen Dikti Diknas RI, di samping terikat oleh aturan yang dibuat oleh Dirjen Dikti tersebut. Demikian juga kampus yang dalam koordinasi Dirjen Dikti Agama Islam Depag seperti kampus UIN, IAIN dan STAIN, juga mengikuti aturan ketentuan norma akademik yang dibuat oleh Depag. Sama halnya dengan kampus swasta milik NU seperti UWH atau STAINU yang berada dalam koordinasi APTINU (Asosiasi Perguruan Tinggi NU) juga mengikuti aturan norma akademik diatur oleh APTINU, di samping juga mengikuti aturan Dirjen Dikti dan aturan internal kampus yang biasanya disusun oleh pimpinan kampus.
Dalam kehidupan perkuliahan, mahasiswa cenderung memiliki sikap aktualisasi dan apresiatif. Yakni sikap atau tindakan unjuk kemampuan dan kehebatan sesuai bakat serta karakter pribadinya masing-masing. Hal ini merupakan sisi positif yang dimiliki oleh seorang mahasiswa. Sehingga diperlukan adanya sebuah sarana dan prasarana dalam menyalurkan bakat dan kreatifitas mereka dan nantinya diharapkan menjadi suatu hal yang produktif dalam meningkatkan pembangunan dan pendidikan negeri ini. Aktualisasi ini bisa berupa bidang olahraga dan seni, kepemimpinan, religi, hingga dana usaha yang mendukung perekonomian kampus menuju kampus yang mandiri. Sumber daya ini begitu sia-sia ketika pihak birokrat kampus tidak memanfaatkannya dengan baik, bahkan melakukan tindakan ‘pembunuhan karakter’ kepada mahasiswa. Padahal SDM seperti inilah yang nantinya mampu melakukan akselerasi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Paling tidak, negara secara tidak langsung diuntungkan dengan berbagai macam potensi anak-anak bangsa yang artinya kaya dengan SDM.
C.    Tipologi Mahasiswa
Ada kampus pasti ada civitas akademika, baik rektor, pembantu rektor, dekan, dosen, pegawai, dan mahasiswa. Semua civitas akademika tersebut satu sama lainnya saling terkait. Mahasiswa sebagai komponen utama (karena jumlahnya lebih banyak ketimbang yang lainnya) sangat penting duperhatikan bagi denyut nadi kampus. Mahasiswa datang dari berbagai penjuru daerah tentu mempunyai latar belakang dan karakter yang berbeda-beda.
Sebagai mahasiswa, mayoritas anggota baru PMII perlu memahami berbagai jenis tipologi mahasiswa, dan kira-kira ingin menampatkan dirinya dalam tipe seperti apa. Kita meconba melakukan klasifikasi atas tipologi mahasiswa, walau ini tidak bersifat paten karena setiap diri kita bisa membuat tipologi sesuai dengan yang kita lihat dan rasakan. Anda sendiri bisa memegang dua katagori atau tiga bahkan empat sekaligus dari tipologi yang kitra susun ini. Bahkan mungkin masih membuka munculnya jenis tipologi lainnya. Yang penting semoga Anda bisa berguna bagi diri Anda sendiri dan bagi orang lain dalam lingkungan kehidupan keluarga, organisasi dan masyarakat.
1.      Mahasiswa Pemimpin
Tipikal mahasiswa seperti ini selalu terlihat mencolok dan aktif dibandingkan mahasiswa lainnya. Hidupnya di perkuliahan sangat bervariatif –diisi dengan berbagai kegiatan, dan ia tidak hanya belajar dari kuliah semata, namun juga belajar dari lingkungan. Ia akan aktifg di organisasi, baik intra maupun ektra kampus. Biasanya –tapi tidak mengikat- tipe mahasiswa seperti ini tidak memiliki keinginan yang besar untuk lulus terlalu cepat, karena ia mencari pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menjadi pemimpin di masa depan. Cita-citanya, biasanya ingin menjadi pemimpin perusahaan, lurah, bupati, DPR, menteri, bahkan presiden.
2.      Mahasiswa Pemikir
Tipikal mahasiswa jenis ini selalu berpikir dan terus berpikir. Hobinya membaca buku, diskusi dan menulis. Terkadang orang jenis ini –karena terus belajar- tanpa menghiraukan sekitarnya, agar bisa mendapatkan jawaban atas apa yang dipikirkannya. Biasanya tipe mahasiswa seperti ini jika telah lulus ingin jadi ilmuwan, peneliti, dosen atau akademisi.
3.      Mahasiswa Study Oriented
Tipikal mahasiswa jenis ini selalu rajin masuk kuliah dan melaksanakan tugas-tugas akademik. Mahasiswa jenis ini tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di kampus. Pokoknya yang penting mendapatkan nilai bagus dan cepat lulus.
4.      Mahasiswa Hedonis
Tipe mahasiswa seperti ini tiada banyak berpikir, tidak mau aktif di organisasi. Ia selalu menjalani kehidupan dengan hedonis, glamour, dan happy-happy. Kalau ke kampus sering memakai pakaian yang norak, memakai mobil, dan nongkorong di mall, kafe, dan tempat hiburan lainnya.
5.      Mahasiswa Agamis
Tipikal mahasiswa seperti ini kemana-mana selalu membawa al-Qur’an, berpakaian ala orang Arab, tampil (sok) islami, menjaga jarak terhadap lain jenis yang tidak muhrim.
6.      Mahasiswa K3 (Kampus, Kos dan Kampung)
Tipikal mahasiswa seperti ini kesibukanya hanya K3, yaitu kampus, kos dan kampung. Kalau tiba jam kuliah ya berangkat kuliah, kalau selesai pulang kos, atau ada waktu cukup pulang kampung.
7.      Mahasiswa Santai Semaunya Sendiri
Tipe mahasiswa seperti ini tiada banyak berpikir, selalu menjalani kehidupan apa adanya. Enjoy aja! Biasanya tipikal mahasiswa seperti ini aktif di bidang seni dan olahraga. Dia tidak terlalu memikirkan kuliah, karena yang penting dalam hidupnya adalah santai. Biasanya mahasiswa seperti ini lama sekali lulusnya, karena nilainya juga santai.
8.      Mahasiswa Mencari Cinta
Tipikal mahasiswa seperti ini tiada terlalu memikirkan kuliah, tetapi yang dipikirkannya adalah CINTA. Yang penting baginya adalah mendapatkan pacar yang setia. Lulus kuliah cepet-cepet menikah.
9.      Mahasiswa Jomblo Unsold
Tipe mahasiswa seperti ini terkadang dianggap terlalu menyedihkan, karena tiada laku-laku (unsold). Tapi terkadang mahasiswa memilih jomblo bukan karena tidak laku, tetapi karena ia memang tidak ingin berpacaran demi meraih cita-citanya di masa depan.
10.  Mahasiswa Usil
Tipikal mahasiswa seperti ini sangat senang apabila orang lain menderita. Contohnya sebelum dosen masuk kelas, ia akan mengganti kursi dosen dengan kursi yang rusak biar dosennya patah tulang, atau sebelum dosen masuk, ia menulis kertas di pintu kelas bahwa perkuliahan di kelas hari ini dibatalkan.
11.  Mahasiswa Tak Jelas
Tipikal mahasiswa seperti ini tak bisa dikategorikan, karena terkadang ia seperti pemimpin, terkadang seniman, terkadang pemikir, terkadang santai, terkadang pecinta, terkadang usil, dll. Terkadang aktif keliatan terus, terkadang lenyap hilang entah ke mana.
12.  Mahasiswa Anak Mami
Tipikal mahasiswa seperti ini selalu pulang di akhir pekan, takut kalau mamanya marah. Ia kuliah demi menyenangkan hati maminya. Kebanyakan tipikal seperti ini tidak menikmati perkuliahannya, karena jurusan perkuliahannya itu pilihan dari sang ibunda, bukan dari kehendak hatinya. Kebanyakan tipe kuliah seperti ini putus di tengah jalan, tetapi semoga kamu tidak!
13.  Mahasiswa Apa Mahasiswi
Sudah jelas sekali bahwa tipikal mahasiswa seperti ini memiliki dua kepribadian, yang pertama wanita yang kedua pria. Orang-orang biasa menyebutnya banci, tidak punya karakter yang jelas.
14.  Mahasiswa Gadungan
Tipe ini sebenarnya bukan mahasiswa, tetapi karena ingin terlihat seperti mahasiswa, maka ia sering nongkrong-nongkrong di kampus orang. Biasanya ia punya tujuan tertentu, seperti mencari seorang cewek idaman atau mau memasang bom di kampus orang.
15.  Mahasiswa Monitor
Mahasiswa seperti ini selalu berhadapan dengan komputer, sampai-sampai mukanya sudah berevolusi seperti monitor. Matanya sudah sebesar mouse, dan rambutnya sudah tak terurus seperti kabel USB atau RJ-45. Biasanya tipikal mahasiswa seperti ini hobi chatting dan mendapatkan kebutuhannya dari internet. Tetapi mahasiswa seperti ini bagus juga, karena ia tak bakal ketinggalan zaman deh.
16.  Mahasiswa Abadi
Jelas, mahasiswa jenis ini paling betah di kampus, yang di kuliahnya di atas semester 10 tapi masih santai-santai dan belum mikir lulus.
D.    UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Nasib Rakyat
Sejak disahkan PP No. 61 Tahun 1999 tentang Rencana BHMN Perguruan Tinggi Negeri, lalu direalisasikan dengan PP BHMN kampus UI, ITB, IPB, UGM, UPI, USU, dan UNAIR. Sebagian besar mahasiswa, praktisi, dan pengamat pendidikan secara tegas sudah menolaknya. Kampus-kampus ini kemudian mendapatkan bantuan dana dari lembaga donor seperti Islamic Development Bank (IDB) untuk membangun kampus yang megah dengan fasilitas yang diperlengkap dan dipercanggih. Banyak gedung baru berdiri megah yang meliputi gedung-gedung kuliah, sport hall, asrama mahasiswa, pusat informasi universitas, masjid, poliklinik, gedung pascasarjana, dan bahkan ada yang membangun gedung pusat bisnis (business centre). Pembangunan gedung-gedung dan fasilitas kuliah secara besar-besaran oleh kampus-kampus itu disebut-sebut oleh para pejabat universitas sebagai istilah modenisasi kampus. Sebagai kampus yang menginginkan good governance, ketersediaan dan kelayakan fasilitas menjadi sebuah syarat mutlak, ditambah fungsi profesionalisme pelayanan dan birokrasi, serta akuntabilitas dan transparasi kebijakan.
Penolakan kembali muncul ketika Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) disahkan. Penolakan itu adalah sikap dan bukti kepedulian terhadap masyarakat miskin yang akan menjadi korban yang kemudian semakin teralienasi dan termarjinalisasi oleh sistem. Sehingga, UU BHP memicu kontroversi dari berbagai kalangan. Di satu sisi, undang-undang ini dipandang dapat menjadi penaung spirit otonomi yang selama ini diinginkan oleh dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Namun di sisi lain, banyak pihak khawatir undang-undang ini justeru akan mendorong terjadinya praktek komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi.
Tanpa bermaksud mencederai spirit otonomisasi dalam pengelolaan pendidikan formal yang terkandung dalam UU BHP dan menisbikan kekhawatiran akan timbulnya komersialisasi-liberatif di tubuh lembaga pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Benarkah spirit otonomisasi dalam UU BHP ini dimaksudkan untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UUD 1945 (sebagaimana dinyatakan dalam konsideran menimbang huruf a) atau justeru mendelegitimasi (tidak mengakui) hak-hak konstitutional warga negara terutama kalangan tidak mampu (disadvantaged groups) dan terpinggirkan (marginalized groups) untuk mengenyam pendidikan yang dijamin dalam UUD 1945?
Bahasa lain dari UU BHP adalah liberalisasi pendidikan. Hal yang paling tampak dari liberalisasi pendidikan adalah semakin terbukanya peluang bagi peran-peran swasta terutama perusahan-perusahaan korporasi baik lokal maupun asing untuk ikut mengelola pendidikan. Maka, tidak aneh kalau di dalam kampus itu muncul banyak unit-unit usaha yang didanai oleh perusahaan swasta, misalnya berdirinya mal di kampus atau unit usaha lainnya yang sejenis, semakin banyaknya projek penelitian, pengadaan teknologi internet, dan lain-lain yang sangat akrab dengan uang.
Selain itu, liberalisasi pendidikan telah menyuguhkan watak glamor di dunia kampus. Geliat pembangunan kampus bukanlah berangkat dari kebutuhan untuk penyediaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan seperti yang diharuskan dalam konstitusi, tetapi lebih berorientasi pada tuntutan neoliberal, yakni tuntutan bisnis. Bisnis itu membutuhkan kerelaan untuk mengakomodasi budaya baru yang diciptakan neoliberalisme.
Gagasan liberalisasi pendidikan lahir dari teori modernisasi yang telah dipraktikkan di negara-negara bersistem kapitalis, di mana negara mengakui bahwa negara berjalan linear dari tradisional menuju ke arah modernisasi. Oleh beberapa pemikir, modernisasi ini dicapai dengan beberapa cara, Harrod Domar menekankan aspek ekonomi dengan teori tabungan dan investasi, di mana pembangunan masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi.
Dari situ jelas ada kecenderungan negara melepas tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi, telah berdampak makin sulitnya orang miskin untuk mengakses pendidikan tinggi karena tidak kuat bayar. Menurut Darmaningtyas (2009), ada beberapa alasan mengapa pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam pengelolaan pendidikan dan menyerahkan ke publik. Pertama, adanya tekanan dari IMF untuk mengurangi subsidi bidang pendidikan maupun kesehatan. Kedua, perubahan cara pandang negara terhadap pendidikan dari sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap warga menjadi sebuah kapital yang dapat diperdagangkan dan menguntungkan.
Apa dampak dari UU BHP tersebut? Akibat kebijakan itu, sudah menjadi rahasia umum kalau biaya pendidikan semakin mahal. Tentu saja akan membuat beaya kuliah lebih mahal akan sangat merugikan rakyat. Padahal dalam UUD 45 dinyatakan bahwa negara berkewajiban memberikan pendidikan yang layak kepada warga negara. Ditambah lagi dengan dibukanya jalur-jalur khusus di luar SPMB dan PMDK atau jalur mandiri universitas. Wacana jual beli pendidikan pun merebak di mahasiswa. Namun, wacana itu terus mengempis seiring dengan semakin mapannya diskursus modernisasi. Mahasiswa seakan tidak boleh lari dari arus itu.
Dengan fasilitas yang lebih lengkap dan canggih, serta regulasi-regulasi baru, semakin dijadikan pembenaran atas terciptanya kultur kosmetik di kampus. Sebuah kultur yang semakin menambah deret kelam modernisasi. Apakah itu? Yang sangat konkret dapat kita lihat dari mode dan tren budaya teranyar yang dikenakan mahasiswa baru. Budaya itu meliputi orientasi, SDM, serta tindakan ekonomi. Mahasiswa, misalnya, sebagian ada yang menjadikan kuliah sekadar untuk prestise, atau kongkow-kongkow mencari teman, atau pamer pakaian dengan model terbaru. Di kalangan aktivis, budaya glamor juga ditunjukkan dengan semakin banyaknya rapat-rapat aktivis di hotel, kafe, atau restoran bersama para elite politik atau bahkan dengan pengambil kebijakan. Dengan kesejatian realitas itu, apakah kita masih optimistis dengan modernisasi kampus? Di situlah kritik kita terhadap dampak UU BHP.
E.     Kampus sebagai Miniatur Negara
Kampus adalah miniatur negara. Tentu hal ini tidaklah berlebihan, kita bisa melihat dari segi penyebaran mahasiswa, kampus menghadirkan peserta didik dari berbagai unsur suku, ras dan agama yang ada di negara ini. Dari segi intelektualitas, kampus juga menghadirkan ribuan calon pemimpin yang akan mengisi kursi-kursi kosong kepemimpinan bangsa ini. Bisa diibaratkan, kampus adalah ruang kaderisasi bangsa. Masa depan nasib bangsa ditentukan oleh kampus karena di situlah banyak dididik berbagai pengetahuan dan skil (termasuk karakter dan mentalitas) generasi muda bangsa yang kelak menjadi pemimpin di tengah –tengah masyarakat.
Sebagai miniatur negara yang dimana didalamnya terdapat banyak perangkat yang satu sama lain saling mendukung, maka di dalam kampus juga memiliki pemerintahan dan rakyat, baik itu antara rektorat dengan mahasiswa ataupun antara mahasiswa dengan mahasiswa. Oleh karenanya, kita akan menemukan berbagai kelompok yang ada akan selalu bertaruh dalam memperebutkan eksistensinya di dalam kampus. Dari level rektorat, dekanat, dosen, pegawai akademik, mahasiswa hingga tukang sapu akan terlibat dalam arena perebutan kekuasaan. Bisa dikatakan kampus adalah miniatur basis produksi, distribusi dan pertarungan negara.
Benturan-benturan ideologi antar gerakan mahasiswa pun akan terjadi di kampus sehingga menjadikan kehidupan kampus menjadi sangat kondusif bagi kontentasi semua kelompok sehingga keberadaannya akan merepresentasikan iklim demokrasi di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa perubahan-perubahan mendasar di negara ini juga berangkat dari komunitas-komunitas intelektual kampus. Hal inilah yang kemudian melabelisasi kampus sebagai laboratorium demokrasi Indonesia.
Sistem pemerintahan dibangun berdasarkan kebutuhan dimasing-masing kampus. Keberadaan BEM (Badan Ekskutif Mahasiswa) atau Senat Mahasiswa dengan menempatkan Presiden Mahasiswa-nya (Presma) atau istilah lain (karena tiap kampus berbeda) sebagai mahasiswa nomor satu di kampus adalah salah satu cerminan dari penataan sebuah kehidupan (kampus). Maka, sangat tidak menarik apabila sebuah kampus hanyalah dijadikan tempat perkuliahan, kalau begitu apa bedanya dengan SD, SMP ataupun SMA? Berarti mahasiswa akan semakin jauh dengan hal-hal yang bersifat sosial, kondisi real yang akan di hadapi oleh mahasiswa selepas kuliah. Semangat ini pula yang kemudian dimaknai oleh gerakan mahasiswa sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka dengan ikut aktif berpartisipasi dalam, misalnya, PEMIWA (Pemilu Mahasiswa, atau istilah lainnya), untuk memilih pemimpin kampus (BEM/DEMA/SEMA). Pemiwa akan menjadi momentum mengakselerasi perubahan-perubahan yang dianggap penting oleh gerakan mahasiswa dengan segala karakteristik perjuangannya.
Saat ini, sistem Pemiwa di beberapa kampus dilakukan dengan pemilihan langsung. Ada di antaranya dengan cara mengharuskan mahasiswa membentuk partai mahasiswa sebagai kendaraan politik untuk mengajukan calon-calon mereka duduk di lembaga eksekutif atau lembaga legislatif mahasiswa (BEM/DEMA/SEMA/DPM). Partai mahasiswa yang diharapkan merupakan representasi dari kepentingan-kepentingan komunal mahasiswa yang harus diperjuangkan.
Partai mahasiswa tidak sekadar menjadi syarat administratif untuk bisa berpartisipasi dalam Pemiwa yang hadir ketika Pemiwa akan berlangsung, tetapi juga bisa menjalankan fungsi-fungsi partai yang seharusnya untuk memberikan pendidikan dan pencerdasan politik bagi mahasiswa umum sebagaimana tertuang dalam AD/ART partai mahasiswa. Mereka yang terpilih sebagai pimpinan BEM/DEMA/SEMA/DPM harus bisa merepresentasikan kepentingan mahasiswa umum sebagai konstituen di suatu daerah pemilihannya (biasanya tiap fakultas atau jurusan). Jangan sampai ketidakprofesional pimpinan lembaga intra kampus membuat mahasiswa jenuh terhadap sistem yang berlangsung di kampus. Karena itu, perlu adanya dinamisasi sistem dengan membuka ruang kesempatan bagi siapa saja untuk berpatisipasi dalam pengembangan kehidupan lembaga intra kampus.
Sebagai miniatur negara, di samping berisi lembaga politik intra kampus, juga terdapat berbagai lembaga pengembangan bakat minat yang dikenal Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti lembaga penerbitan, lembaga olahraga, lembaga seni budaya, lembaga bahasa, lembaga pecinta alam, lembaga perekonomian koperasi mahasiswa, dan lain-lain. Keberadaan Pers Mahasiswa menjadi pelengkap yang ikut mencerminkan sebuah Negara (miniatur negara). Pers bisa melakukan kritik dan pencerdasaan mahasiswa dengan wacana dan informasi yang disampaikan. Atas berbagai komponen dan dinamisasi yang ada tersebut itulah maka kehidupan kampus sepenuhnya bukan hanya terpaku pada kegiatan akademik, seperti perkuliahan ataupun aplikasi-aplikasi lain yang berkaitan dengan kuliah.
Adanya demonstrasi ataupun perebutan kekuasaan di kampus bukanlah hal yang harus dipertentangkan, karena dengan adanya dinamika seperti itu mencerminkan bahwa mahasiswa peka terhadap berbagai realitas yang ada. Mahasiswa tidak harus manut-manut di hadapan dosennya walaupun ada kesalahan dalam kinerja sang dosen. Mahasiswa tidak mesti berdiam diri ketika melihat ataupun mendengar sebuah ketidak beresan dalam lingkungannya. Demonstrasi atas kenaikan BBM, tarif dasar listrik, dll adalah bukti bahwa Mahasiswa juga adalah bagian dari masyarakat.
Kampus yang dikenal sebagai miniatur negara, merupakan tempat berkumpulnya pemuda dari pelosok daerah dengan segala perbedaan dan bentuk sosial, tentunya juga beragam potensi. Ketimpangan sosial yang terjadi dalam kampus adalah cerminan dari kesenjangan sosial di masyarakat. Berhasil tidaknya ideologi yang diterapkan negara dapat dilihat di kampus. Begitu juga ketika kita harus mensensus seberapa besar kepedulian masyarakat terhadap kondisi negara, maka lihatlah di kampus kita masing-masing, sejauh apa mahasiswa turut andil dalam dinamisasi pergerakan lembaga kemahasiswaan. Mahasiswa yang dikatakan sebagai sumber cadangan pemimpin masa depan bangsanya, kini menjadi tumpuan masyarakat dalam pengolahan dan manajemen kekayaan negara. Tidak hanya itu, tanggung jawab penuh juga diserahkan kepada mahasiswa dalam melakukan pengawasan jalannya roda pemerintahan. Karena disamping fungsi kontrol dan pressure terhadap pemerintah, mahasiswa tentunya dituntut mampu memberikan solusi dari berbagai permasalahan bangsa.
Dewasa ini, keberadaan lembaga intra kampus seolah-olah meredup seiring mulai stabilnya kondisi pemerintahan secara struktural. Nyatanya di lapangan masih saja terdapat kesenjangan sosial yang terjadi di tingkatan masyarakat umum, seperti data yang di laporkan oleh MenkoKesra Aburizal Bakrie tahun 2006 lalu yang menunjukkan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan perkapita dibawah Rp. 500.000,-, yang dengan anggaran tersebut mereka harus mampu menghidupi keluarga serta kebutuhan hidup lainnya.
Meskipun lembaga kemahasiswaan tidak memiliki wewenang khusus dalam menangani masalah ini namun perlu disadari bahwa lembaga inilah yang nantinya berperan dalam mengelola potensi SDM dalam memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat. Untuk itu, lembaga-lembaga ini perlu sekiranya mendapat perhatian khusus oleh pemerintah dan birokrat kampus khususnya oleh mahasiswanya sendiri. Paling tidak bentuk perhatiannya bisa berupa pemberian fasilitas yang mendukung dan diserahkan sepenuhnya terkait pengelolaan kepada mahasiswa. Hingga berupa pembinaan secara intensif terkait hal-hal yang dianggap mampu menunjang peningkatan skills mahasiswa. Karena dikhawatirkan ketika hal ini tidak dilakukan akan terjadi “Lost Generation”, akhirnya menyebabkan stagnasi gerakan mahasiswa. Dimana saat pemain veteran sudah meninggalkan dunia kampus, akhirnya tidak ada yang meneruskan perjuangan perubahan oleh mahasiswa baik dalam struktural maupun olah pemikiran.
Bagaimana mungkin dinamisasi kampus akan terjadi tanpa adanya peran aktif dari mahasiswa. Sementara lembaga ini didirikan dan difasilitasi untuk mahasiswa,ironisnya justru mahasiswa yang buta dalam pengelolaan lembaga ini, kelak akan menjadi fenomena gerakan mahasiswa khususnya internal kampus ketika mahasiswa ‘mati’ bersama cita-cita perubahannya.
F.     PMII DAN REKAYASA KAMPUS
Dunia perpolitikan mahasiswa yang tak pernah lepas dari wilayah kampus membuat PMII mau atau tidak mau akan terlibat dalam pusaran rebutan kekuasaan kampus. Meskipun diakui ataupun tidak, mahasiswa pada umunya cenderung bersikap apolitis dengan berbagai isu kebijakan birokrat kampus dan para pejabat mahasiswa, namun tetap saja mahasiswa berpolitik dalam arti yang lebih luas. Dikarenakan politik memiliki lingkup yang menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan, tergantung sudut pandang masing-masing.
PMII sebagai organisasi ekstra kampus membina dan mendistribusikan kader-kadernya untuk aktif dalam lembaga-lembaga kampus, bahkan akan mendorong kadaer-kader terbaik memimpin lembaga-lembaga tersebut. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut, bagi PMII adalah sebagai ruang distribusi kader karena di lembaga tersebut kader PMII bisa menempa dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya agar lebih maju dan profesional.
PMII memandang lembaga intra kampus sangat strategis sebagai wahana kaderisasi. Pada umumnya, ada beberapa jenis lembaga kampus yang memiliki otoritas tertentu dalam mengayomi kampus dan mahasiswa, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Fakultas/Jurusan (HMF/J) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Lembaga-lembaga tersebut bermain dalam wilayah internal kampus dan kepengurusannya berisikan mahasiswa yang tercatat masih aktif program studinya. Secara umum ke tiga jenis lembaga ini memiliki andil penting dalam rekayasa kampus. Mau kemana dan bagaimana nantinya kampus akan dikelola, lembaga inilah yang akan mewujudkannya dalam tataran kerja nyata di lapangan.
Dengan menguasai lembaga intra kampus, PMII akan semakin meneguhkan perjuangannya dalam menyalurkan aspirasi mahasiswa di segala lapisan baik akademisi, organisatoris hingga preman kampus. Perlu diingat bahwa Perguruan Tinggi merupakan salah satu sarana yang dibuat dalam meningkatkan pembangunan negara secara umum, oleh karena itu tak heran bahwa banyak perubahan besar yang diawali dari gerakan lembaga kemahasiswaan ini. Adanya lapangan bola, internet, pustaka hingga tempat parkir merupakan fasilitas yang diberikan karena adanya sebuah permintaan yang dalam hal ini diajukan oleh mahasiswa secara umum dan disampaikan kepada pihak birokrat melalui lembgaga kemahasiswaan jalur komunikasi antara mahasiswa dan birokrat kampus. Ketika birokrat kampus serta lembaga-lembaga ini tidak mampu berkoordinasi dalam mengaspirasikan harapan civitas kampus umum, maka akan timbul saling ketidakpercayaan, stagnansi hingga kemerosotan akreditasi kampus dalam tataran akademis, fasilitas dan budaya.
G.    Penutup
Demikianlah paparan seputar kehidupan perkuliahan, dimana kampus dan mahasiswa berada. Kampus bisa menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mengembangkan aktualisasi dan apresiasinya sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini merupakan sisi positif yang dimiliki mahasiswa. Kesempatan seperti ini tentu tidak dimiliki mereka yang tidak sempat belajar di kampus. Sebagai bagian dari elemen mahasiswa, PMII memandang sangat vital keberadaan kampus, tidak hanya semata-mata untuk tempat pembelajaran, tetapi juga sebagai wahana untuk menempa dan mengembangkan bakat potensi yang dimiliki para anggotanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar