Minggu, 09 Februari 2014

BIOGRAFI KARL MARX

BIOGRAFI KARL MARX

Karl Heinrich Marx (Trier, Jerman, 5 Mei 1818-London, 14 Maret 1883) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia. Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.
 Daftar isi
        1 Biografi
          1.1 Kehidupan awal
          1.2 Pendidikan
          1.3 Marx dan Pemuda Hegelian

1. BIOGRAFI
1.1. Kehidupan awal
Karl Marx lahir dalam keluarga Yahudi progresif di Trier, Prusia, (sekarang di Jerman). Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, meskipun cenderung seorang deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi
Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal, untuk menjadi pengacara. Herschel pun mengganti namanya menjadi Heinrich. Saudara Herschel, Samuel ‘seperti juga leluhurnya’ adalah rabi kepala di Trier. Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl.Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakan nya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) : ‘Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas’. Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat (kaum paling bawah di negara Romawi).
Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme, Marx merupakan kaum terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme. Di lain tangan, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional. Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini. Hasil dari pergerakan ini kita yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis. Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini. Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. Ideologi Jerman- Dalam hidupnya, Marx terkenal sebagai orang yang sukar dimengerti, ide-ide nya mulai menunjukkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pekerja segera setelah ia meninggal. Pengaruh ini berkembang karena didorong oleh kemenangan dari Marxist Bolsheviks dalam Revolusi Oktober Rusia. Namun, masih ada beberapa bagian kecil dari dunia ini yang belum mengenal ide Marxian ini sampai pada abadke-20. Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi. Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Dalam bukunya Marx, Das Kapital (2006), penulis biografi Francis Wheen mengulangi penelitian David McLellan yang menyatakan bahwa sejak Marxisme tidak berhasil di Barat, hal tersebut tidak menjadikan Marxisme sebagai ideologi formal, namun hal tersebut tidak dihalangi oleh kontrol pemerintah untuk dipelajari.

1.2. Pendidikan
Marx menjalani sekolah di rumah sampai ia berumur 13 tahun. Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx melanjutkan pendidikan nya di Universitas Bonn jurusan hukum pada tahun 1835 pada usia nya yang ke-17, dimana ia bergabung dengan klub minuman keras Trier Tavern yang mengakibatkan ia mendapat nilai yang buruk. Marx tertarik untuk belajar kesustraan dan filosofi, namun ayahnya tidak menyetujuinya karena ia tak percaya bahwa anaknya akan berhasil memotivasi dirinya sendiri untuk mendapatkan gelar sarjana. Pada tahun berikutnya, ayahnya memaksa Karl Marx untuk pindah ke universitas yang lebih baik, yaitu Friedrich-Wilhelms-University di Berlin. Pada saat itu, Marx menulis banyak puisi dan essay tentang kehidupan, menggunakan bahasa teologi yang diwarisi dari ayahnya seperti ‘The Deity’ namun ia juga menerapkan filosofi atheis dari Young Hegelian yang terkenal di Berlin pada saat itu. Marx mendapat gelar Doktor pada tahun 1841 dengan tesis nya yang berjudul ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’ namun, ia harus menyerahkan disertasi nya ke Universitas Jena karena Marx menyadari bahwa status nya sebagai Young Hegelian radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin.Pada tahun 1835, Marx mendaftar di Universitas Bonn untuk belajar hukum, dan di sana ia bergabung dengan Trier Tavern Club, dan sempat menjadi presiden Klub, sehingga prestasi sekolahnya buruk. Setahun kemudian, ayah Marx mendesaknya untuk pindah ke Universitas Friedrich-Wilhelms di Berlin, agar dapat lebih serius belajar. Di sini, Marx banyak menulis puisi dan esai tentang kehidupan, dengan menggunakan bahasa teologis yang diperolehnya dari ayahnya yang deis. Pada saat itulah ia mengenal filsafat atheis yang dianut kelompok Hegelian-kiri. Marx memperolehi doktorat pada tahun 1841 dengan tesis yang bertajuk "Perbedaan Filsafat Alam Demokritos dan Epikurus", tetapi beliau harus menyerahkan tesisnya kepada Universiti Jena kerana beliau diamarankan bahawa reputasinya di antara faculti sebagai seorang Hegelian-kiri akan menyebabkan penerimaan yang buruk di Berlin.

1.3. Marx dan Pemuda Hegelian

Di Berlin, minat Marx beralih ke filsafat, dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Pemuda Hegelian. Sebagian dari mereka, yang disebut juga sebagai Hegelian-kiri, menggunakan metode dialektika Hegel, yang dipisahkan dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan saat itu.

IDEOLOGI MARXISME

MARXISME

Pemikiran Marx dalam Das Capital
Untuk memahami gagasan dasar pemikiran Karl Marx, kita bisa melacak dari karya master peace-nya yaitu Das Kapital (Capital, dalam terjemahan bahasa Inggris, atau Modal) adalah suatu pembahasan yang mendalam tentang ekonomi politik yang ditulis oleh Karl Marx dalam bahasa Jerman. Buku ini merupakan suatu analisis kritis terhadap kapitalisme dan aplikasi praktisnya dalam ekonomi dan juga, dalam bagian tertentu, merupakan kritik terhadap teori-teori terkait lainnya. Jilid pertamanya diterbitkan pada 1867.
Kekuatan pendorong utama kapitalisme, menurut Marx, terdapat dalam eksploitasi dan alienasi tenaga kerja. Sumber utama dari keuntungan baru dan nilai tambahnya adalah bahwa majikan membayar buruh-buruhnya untuk kapasitas kerja mereka menurut nilai pasar, namun nilai komoditi yang dihasilkan oleh para buruh itu melampaui nilai pasar. Para majikan berhak memiliki nilai keluaran (output)yang baru karena mereka memiliki alat-alat produksi (kapital) yang produktif. Dengan menghasilkan keluaran sebagai modal bagi majikan, para buruh terus-menerus mereproduksikan kondisi kapitalisme melalui pekerjaan mereka.
Namun, meskipun Marx sangat prihatin dengan aspek-aspek sosial dari perdagangan, bukunya bukanlah sebuah pembahasan etis, melainkan sebuah upaya (yang tidak selesai) untuk menjelaskan tujuan dari "hukum gerak" ("laws of motion") dari sistem kapitalis secara keseluruhan, asal-usulnya dan masa depannya. Ia bermaksud mengungkapkan sebab-sebab dan dinamika dari akumulasi modal, pertumbuhan tenaga kerja bayaran, transformasi tempat kerja, konsentrasi modal, persaingan, sistem bank dan kredit, kecenderungan tingkat keuntungan untuk menurun, sewa tanah, dan banyak hal lainnya. Marx memandang komoditi sebagai "bentuk sel" atau satuan bangunan dari masyarakat kapitalis — ini adalah obyek yang berguna bagi orang lain, tetapi dengan nilai jual bagi si pemilik. Karena transaksi komersial tidak menyiratkan moralitas tertentu di luar apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transaksinya, pertumbuhan pasar menyebabkan dunia ekonomi dan dunia moral-legal menjadi terpisah dalam masyarakat: nilai subyektif moral menjadi terpisah dari nilai obyektif ekonomi.
Ekonomi politik, yang mulanya dianggap sebagai "ilmu moral" yang berkaitan hanya dengan distribusi kekayaan yang adil, atau sebagai suatu "aritmetika politik" untuk pengumpulan pajak, dikalahkan oleh disiplin ilmu ekonomi, hukum dan etika yang terpisah.Marx percaya bahwa para ekonom politik dapat mempelajari hukum-hukum kapitalisme dalam cara yang "obyektif", kaerna perluasan pasar pada kenyataannya telah mengobyektifikasikan sebagian besar hubungan ekonomi: cash nexus membuang semua ilusi keagamaan dan politik sebelumnya (namun kemudian menggantikannya dengan ilusi jenis lain -- fetishisme komoditi). Marx juga mengatakan bahaw ia memandang "formasi ekonomi masyarakat sebagai suatu proses sejarah alam". Pertumbuhan perdagangan terjadi sebagai suatu proses di mana tak seorangpun dapat menguasai atau mengarahkan, menciptakan suatu kompleks jaringan kesalingterkaitan sosial yang sangat besar secara global. Dengan demikian, suatu "masyarakat" terbentuk "secara ekonomi" sebelum orang benar-benar secara sadar menguasai kapasistas produktif yang sangat beasr dan kesalingterkaitan yang telah mereka ciptakan, untuk membangunnya secara kolektif untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jadi, analisis Marx dalam Das Kapital, difokuskan terutama pada kontradiksi-kontradiksi struktural, daripada antagonisme kelas, yang mencirikan masyarakat kapitalis – “gerakan kontradiktif” [gegensätzliche Bewegung] [yang] berasal pada sifat ganda pekerjaan,” bukannya dalam perjuangan antara tenaga buruh dan modal, atau antara kelas pemilik dan kelas pekerja. Lebih jauh, kontradiksi-kontradiksi ini beroperasi (seperti yang digambarkan oleh Marx dengan menggunakan suatu ungkapan yang dipinjam dari Hegel) “di belakang punggung” kaum kapitalis maupun buruh, artinya, sebagai akibat dari aktivitasaktivitas mereka, namun demikian tidak dapat diminimalkan ke dalam kesadaran mereka baik sebagai individu maupun sebagai kelas. Oleh karena itu, Das Kapital, tidak mengusulkan suatu teori revolusi (yang dipimpin oleh kelas buruh dan wakil-wakilnya) melainkan teori tentang krisis sebagai kondisi untuk potensi revolusi, atau apa yang dirujuk oleh Marx dalam Manifesto Komunis sebagai "senjata" potensial, "ditempa" oleh para pemilik modal, "berbalik memukul kaum borjuis sendiri" oleh kelas pekerja. Krisis seperti itu, menurut Marx, berakar dalam sifat komoditi yang kontradiktif, bentuk sosial yang paling dasar dari masyarakat kapitalis. Dalam kapitalisme, perbaikan-perbaikan dalam teknologi dan meningkatnya tingkat produktivitas menambah jumlah kekayaan materi (atau nilai pakai) dalam masyarakat sementara pada saat yang bersamaan mengurangi Nilai (ekonomi) dari kekayaan ini, dan dengan demikian merendahkan tingkat keuntungan – suatu kecenderungan yang membawa kepada situasi tertentu, yaitu ciri khas dalam kapitalisme, yakni "kemiskinan di tengah kelimpahan," atau lebih tepatnya, krisis produksi yang berlebihan di tengah konsumsi yang terlalu rendah.
Marx menerbitkan jilid pertama dari Das Kapital pada 1867, tetapi ia meninggal dunia sebelum sempat menyelesaikan jilid kedua dan ketigana yang sudah dibuat naskahnya. Buku-buku ini kemudian disunting oleh teman dan rekan kerjanya Friedrich Engels dan diterbitkan 1885 dan 1894; jilid keempat, yang berjudul, yang disebut Theories of Surplus-Value, pertama-tama disunting dan diterbitkan oleh Karl Kautsky pada 1905-1910. Naskah-naskah persiapan lainnya diterbitkan baru beberapa dasawarsa kemudian.
Marx mendasarkan karyanya pada para ekonom klasik seperti Adam Smith, David Ricardo, John Stuart Mill dan bahkan Benjamin Franklin. Namun, ia mengolah kembali gagasan-gagasan para pengarang ini, sehingga bukunya merupakan sintesis yang tidak mengikuti gagasan pemikir manapun. Buku ini juga mencerminkan metodologi dialektis yang diterapkan oleh G.W.F. Hegel dalam bukunya The Science of Logic dan The Phenomenology of Mind, dan pengaruh para sosialis Perancis seperti Charles Fourier, Comte de Saint-Simon, dan Pierre-Joseph Proudhon.Marx sendiri mengatakan bahwa tujuannya adalah "membawa suatu ilmu [artinya, ekonomi politik] melalui kritik kepata suatu titik di mana ia dapat secara dialektis digambarkan", dan dalam cara ini "mengungkapkan hukum gerak masyarakat modern". Dengan memperlihatkan bagaimana perkembangan kapitalis itu adalah pendahulu dari suatu cara produksi sosialis yang baru, ia berusaha memberikan dasar ilmiah bagi gerakan buruh modern. Dalam mempersiapkan bukunya ini, ia mempelajari literatur ekonomi yang tersedia pada masanya selama dua belas tahun, terutama di British Museum di London.Aristoteles, dan filsafat Yunani pada umumnya, merupakan pengaruh penting lainnya (meskipun seringkali diabaikan) dalam analisis Marx terhadap kapitalisme. Pendidikan Marx di Bonn terpusat pada para penyair Yunani dan Romawi. Disertasi yang diselesaikannya di universitas adalah tentang perbandingan antara filsafat alam dalam karya Demokritus dan Epikurus. Lebih dari itu, sejumlah pakar telah mengajukan pendapatnya bahwa rancangan dasar Das Kapital – termasuk kategori-kategori penggunaan dan nilai tukar, serta "silogisme" untuk sirkulasi sederhana dan diperluas (M-C-M dan M-C-M’) – diambil dari Politik (Aristoteles) dan Etika Nikomakea. Lebih dari itu, gambaran Marx tentang mesin di bawah hubungan-hubungan produksi kapitalis sebagai "otomat" yang bertindak sendiri, adalah sebuah rujukan langsung kepada spekulasi Aristoteles kepada alat-alat yang tidak bernyawa yang mampu mengikuti perintah sebagai kondisi untuk penghapusan perbudakan.

1.    Capital, Volume I: The Process of Production of Capital - Proses Produksi Modal
2.    Capital, Volume II: The Process of Circulation of Capital - Proses Sirkulasi Modal
3.    Capital, Volume III: The Process of Capitalist Production as a Whole - Proses Produksi Kapitalis secara Keseluruhan
4.    Capital, Volume IV: Theories of Surplus Value - Teori-teori tentang Nilai Surplus

Pandangan Marxisme Tentang Sejarah dan Negara  
Dalam  tulisan ini dipakai istilah marxis kalau penekanannya pada buah pikiran, sedangkan komunis, kalau penekanannya  sebagai kekuatan sosial politik. Filsafat historische materialisme (buah pikiran  Karl Marx yang materialistik dalam menafsirkan sejarah) merupakan paradigma dari seluruh sistem pemikiran Marx.  Dengan menjiplak metode dialektika dari Hegel  (these, anti-these, synthese),  Marx  memahamkan proses sejarah  sebagai   rentetan konflik  (antagonism)  dalam wujud revolusi di antara  dua  kelas yang  berlawanan (these melawan anti-these). Buah  dari  revolusi itu menghasilkan kelas baru (synthese), yang ordenya lebih tinggi dari  kedua  kelas (these dan anti-these) yang  selesai  tabrakan itu. Demikianlah proses yang dialektis itu berjalan terus. Begitu tumbuh  orde sosial-ekonomi yang baru (new emerging force),  maka terjadilah  pula  konflik dengan kelas hasil synthese  tadi  (old established force). Maka terjadilah pula revolusi, kekuatan  baru (anti-these) melabrak kekuatan lama  (these)  yang   berupaya mempertahankan  status-quo, oleh karena jika terjadi perubahan sistem-ekonomi tentu saja akan menghapuskan supremasi kelas yang bertahan itu. Marx sama sekali menepis mengenai kemungkinan terjadinya konsiliasi ataupun kompromi dari kedua kelas itu.

Teori  pertentangan kelas itu ditimba Marx dari sejarah  Abad Pertengahan  di Eropah (rentang waktu antara zaman Klasik  dengan Renaissance,  dari abad ke-5 M., hingga sekitar tahun  1500  M.). Golongan  tukang pada waktu itu bertumbuh menjadi kelas  saudagar dan  industriawan,  yang  kemudian  disebut  kelas  borjuis  lalu menjadi anti-these dari  kelas  feodal  (these)  sebagai  kelas penguasa. Benturan kelas borjuis dengan kelas feodal tersebut membuahkan synthese berupa kelas kapitalis. Selanjutnya tanpa didukung oleh fakta sejarah Marx berspekulasi  menduga  bahwa  proses  dialektis  berlanjut  terus dengan  timbulnya kelas baru, yaitu kelas proletar, sebagai anti-these dari kelas  kapitalis.  Revolusi  kelas  proletar   itu akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, dan inilah akhir sejarah pertentangan   kelas  menurut  spekulasi  Marx. Kemudian   Marx berangan-angan  lebih  lanjut, yaitu masyarakat tanpa  kelas  ini nanti  dapat  berjalan tanpa negara, semua orang  bekerja sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan sesuai dengan  kebutuhannya. Untuk itu diperlukan waktu antara yang dikendalikan oleh Diktator Proletar. Menurut Marx negara harus bubar, oleh karena negara itu tidak lain dari alat kelas atas untuk menekan kelas bawah,  yaitu alat kelas feodal menekan kelas borjuis dan alat kelas  kapitalis menekan kelas proletar.
Ada tiga hal yang perlu dikuliti dari pemahaman Marx tersebut. Pertama, pendapatnya yang menepis akan kemungkinan terjadinya kompromi diantara kelas yang baru tumbuh yang  ditekan  dengan kelas  lama  yang  menekan. Pada tahun 1689  di  Inggris  terjadi kompromi  antara  golongan feodal sebagai kelas  penguasa  dengan kelas  borjuis. Tidak seperti rekannya di daratan Eropa golongan aristokrat di Inggris mempunyai sikap keterbukaan, sehingga dapat mengakomodasikan diri untuk menerima perubahan-perubahan dalam sistem sosial-ekonomi. Maka perubahan sistem sosial-ekonomi dapat berlangsung dengan mulus tanpa tumbangnya dengan  sengit  kelas penguasa.  Di  sinilah  letak kesalahan  Marx,  yaitu mengadakan rampatan (generalisasi) dengan hanya melihat di daratan Eropa.  (Kecerobohan Marx  dengan  generalisasi  ini tampak  pula  dalam  pandangannya terhadap  agama, bahwa agama itu candu bagi rakyat,  yang  insya-Allah akan dibahas tersendiri dalam sebuah nomor seri).
Kedua, pertentangan kelas antara kaum feodal  sebagai  kelas penekan  dengan  kaum  borjuis sebagai kelas  yang  ditekan.  Apa sesungguhnya yang terjadi pada Abad Pertengahan di Eropah,  kalau disimak dengan teliti, kelas borjuis bukanlah kelas yang  ditekan oleh  kelas feodal. Pertikaian antara kelas feodal dengan  kelas borjuis bukanlah pertikaian antara kelas penekan dengan  kelas yang  ditekan. Karena sesungguhnya kelas yang ditekan  oleh  kaum feodal adalah petani yang terikat pada tanah. Kelas petani inilah kelas  yang  tertekan, baik oleh kelas feodal maupun  oleh kelas borjuis,  ibarat seekor kelinci yang dijepit dua ekor gajah  yang berkelahi.  Kedua  ekor gajah itu adalah kelas feodal  dan  kelas borjuis, sedangkan sang kelinci adalah petani.
Ketiga, apakah mungkin terjadi masyarakat tanpa kelas,  tanpa negara, yang berjalan seperti arloji otomatis. Masyarakat  angan-angan  (utopia), tanpa negara, tanpa kelas, orang bekerja  sesuai dengan  kemampuannya dan mendapatkan sesuai  dengan kebutuhannya yang berjalan seperti arloji otomatis tidak berhasil  diwujudkan oleh  Diktator  Proletar, dengan hancurnya  Uni  Sovyet.  (Arloji otomatis adalah  ungkapan pengasuh kolom ini saja, bukan dari Marx).  Alhasil  konsep Marx yang materialistik dalam  menafsirkan sejarah yang menjadi paradigma dari seluruh sistem pemikiran Marx ditolak oleh kenyataan sejarah.
Walaupun teori pertentangan kelas yang berwujud pemberontakan adalah  hasil generalisasi yang ceroboh dari Marx, namun kaum komunis sudah menganggapnya doktrin yang dogmatis. Para marxist telah dua kali  memberontak di Indonesia, yaitu  pemberontakan komunis   di  Madiun  yang  dikendalikan  dari  Uni Sovyet dan pemberontakan Gestapu PKI yang dikendalikan dari RRC.  Sungguh kebablasan jika ada pendapat yang ingin memberi kebebasan  para kamerad  itu atas nama demokrasi dan HAM untuk menyebarkan komunisme. Sebab   walaupun kekuatan komunis sukar  untuk memberontak   kembali,  namun  sekurang-kurangnya mereka dapat mengecoh masyarakat miskin, lagi pula mereka akan bergerak  bebas menanamkan   antagonisme  dalam  masyarakat. 

Lenin: Marxisme dan Revisionisme (1908)
Dari Collected Works,Volume 15, 1908 Diterbitkan pertama kali dalam Simposium Karl Marx – 1818-1883, 1908 This text has been copied from the Lembaga Penerbitan, Pendidikan, dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M) site with kind permission. The site has a number of other texts about Marxism and Indonesia.
Ada ucapan yang terkenal bahwa jika aksioma geometrikal dipengaruhi upaya-upaya kepentingan manusia pasti ia akan ditiadakan. Teori tentang sejarah alam yang dipertentangkan dengan prasangka teologi lama mendorong, dan masih mendorong oposisi yang paling radikal. Oleh karenanya, tak heran bahwa doktrin Marxian, yang secara langsung mengabdi pada pencerahan dan pengorganisasian kelas maju di dalam masyarakat modern, mengindikasikan tugas-tugas yang dihadapi oleh kelas ini dan mendemonstrasikan pergantian yang pasti (berkat pertumbuhan ekonomi) dari sistem terkini oleh suatu orde baru – tak heran jika doktrin ini harus berseteru dalam setiap langkah maju dalam perjalanan hidupnya.Tak perlu disebut, ini diterapkan kepada ilmu dan filsafat borjuis, secara resmi diajarkan oleh profesor-profesor untuk membingungkan generasi-generasi yang tumbuh dari kelas yang berpunya dan untuk "melatih"-nya melawan musuh-musuh dalam dan luar negeri. Ilmu ini tak akan pernah mendengar tentang Marxisme, menyatakan bahwa hal itu telah ditentang dan dihancurkan. Marx diserang dengan antusias oleh sarjana-sarjana muda yang membina karir dengan menentang sosialisme, dan oleh orang-orang tua bodoh yang mengabdi tradisi dari semua jenis "sistem" yang kadaluarsa. Kemajuan Marxisme, fakta bahwa gagasan-gagasannya disebarkan dan digenggam kuat diantara kelas buruh, meningkat frekuensi dan intensitasnya dengan pasti dari serangan-serangan kaum borjuis ini terhadap Marxisme, yang menjadi semakin kuat, lebih keras dan lebih berbahaya setiap kali "dihancurkan" oleh ilmu-ilmu resmi.
Namun biarpun diantara doktrin-doktrin yang berhubungan dengan perjuangan kelas pekerja, dan sekarang ini berada luas dalam kaum proletar, Marxisme tanpa cara tertentu telah mengkonsolidasikan posisinya sekali lagi. Dalam setengah abad yang pertama dari keberadaannya (dari tahun 1840-an), Marxisme terlibat dalam pertempuran terhadap teori-teori yang bermusuhan secara fundamental terhadapnya. Di awal '40-an Marx dan Engels berhadap-hadapan dengan Hegelian Muda yang radikal yang sudut pandangnya dipenuhi oleh idealisme filsafatis. Pada akhir '40-an, perjuangan dimulai dalam doktrin ekonomi, melawan Proudhonisme. Tahun '50-an, terlihat kelengkapan perjuangan ini dalam kritisisme partai-partai dan doktrin-doktrin yang termanifestasi dalam situasi sulit di 1848. Pada '60-an, perjuangan beralih dari wilayah teori-teori umum ke soal-soal yang berkaitan langsung dengan gerakan buruh: penolakan terhadap Bakuninisme dari Internasional. Pada awal '70-an, panggung di Jerman diduduki sementara oleh Proudhonis Muhlberger, dan di akhir '70-an oleh kaum positivis Dühring. Tapi pengaruh terhadap kaum proletar sudah tak lagi penting. Marxisme selalu memperoleh kemenangan yang tak perlu dipertanyakan lagi terhadap semua ideologi lain dalam gerakan buruh.
Tahun '90-an, kemenangan ini telah seluruhnya terselesaikan. Bahkan di negara-negara Latin, dimana tradisi-tradisi Proudhonisme bercokol paling lama daripada di tempat lain, partai-partai buruh menyusun program-program dan taktik-taktik mereka pada pondasi Marxis. Kebangkitan organisasi internasional gerakan buruh – dalam bentuk kongres internasional yang periodik – dari awalnya, dan hampir seluruhnya tanpa perjuangan, mengadopsi titik berdiri Marxis dalam hal-hal yang esensial. Tapi setelah Marxisme telah menolak semua doktrin-doktrin yang lebih atau kurang integral yang memusuhinya, aliran--aliran yang diekpresikan dalam doktrin-doktrin tersebut mulai mencari saluran-saluran lain.
Bentuk-bentuk dan penyebab-penyebab perjuangan berganti, tetapi perjuangan terus berjalan. Dan pertengahan abad kedua dari keberadaan Marxisme dimulai (pada tahun '90-an) dengan perlawanan terhadap musuh-musuh Marxisme di dalam Marxisme itu sendiri. Bernstein, yang pernah pada masanya hidup sebagai seorang Marxis orthodoks, menjadi tokoh pada tren yang muncul di hadapan publik dan dengan sangat sadar, ia mengoreksi Marx, merevisi Marx, revisionisme. Bahkan di Rusia, dimana – bangsa yang memiliki keterbelakangan ekonomi dan mayoritasnya terdiri dari satu populasi petani yang terbebani oleh sisa-sisa perbudakan – sosialisme non-Marxis telah berjalan secara alami sudah sekian lamanya, sudah jelas-jelas melewatinya ke revisionisme sebelum kita menyadarinya. Baik dari pertanyaan tentang pertanian (program municipalisasi semua tanah) dan dalam pertanyaan-pertanyaan umum tentang program dan taktik, kawan-kawan Social-Narodnik sangat dan teramat sering bergonta-ganti "koreksi" kepada Marx bagi peninggalan yang telah mati dan gelap pada sistem lama mereka, yang dengan caranya sendiri telah menyatu dan secara mendasar bermusuhan dengan Marxisme.
Sosialisme Pra-Marxis telah gugur. Ia masih meneruskan perlawanan, tak lagi pada landasan independennya lagi, tapi pada landasan umum Marxisme, seperti revisionisme. Marilah kita, memeriksa isi ideologis revisionisme. Dalam lingkaran filosofi revisionisme yang diikuti pada kebangkitan pendidikan "keilmuan" borjuis, para pemikir "kembali pada Kant" – dan revisionisme diseret di sepanjang neo-Kantian. Para pemikir itu kembali mengulangi truisme pendeta-pendeta yang telah menyuarakan ratusan kali untuk melawan filsafat materialisme – dan kaum revisionis, tersenyum seenaknya, menggerutu (kata-demi-kata dari pemikiran terkini Handbuch) bahwa materialisme telah "ditolak" sejak lama. Para pemikir itu memperlakukan Hegel sebagai seekor "anjing mati", sementara mereka sendiri mendewa-dewakan idealisme, hanya suatu idealisme yang ratusan kali lebih menyedihkan dan buruk daripada idealisme Hegel, secara arogan mengangkat bahu pada dialektika – dan kaum revisionis telah gagal dan terbenam ke dalam lumpur filsafat kevulgaran ilmu, menggantikan dialektika yang "punya nilai seni" (dan sifat revolusioner) dengan "evolusi" yang sederhana (dan adem-ayem). Para pemikir itu menghabiskan gaji resminya untuk menyesuaikan antara idealisme dan sistem kritikal mereka pada filosofi medieval yang dominan (contohnya pada teologi) – dan kaum revisionis mendekatkan diri mereka, mencoba membangun agama atas "kepentingan pribadi", bukan pada hubungannya dengan negara modern, tetapi dalam hubungannya dengan partai di kelas-kelas maju.
Apa arti sesungguhnya "koreksi-koreksi" kepada Marx dalam satu istilah yang tak perlu dinyatakan: hal ini telah menjadi buktinya. Dengan gampang kita bisa menerapkan catatan tentang kaum Marxis dalam gerakan Sosial-Demokrat internasional untuk mengkritik truisme revisionis yang dahsyat dari titik berdiri pada konsistensi materialisme dialektik, yakni Plekhanov. Hal ini harus ditekankan semua bahwa semakin bersifat empatik sejak kesalahan upaya-upaya yang tak mendasar yang pada masa kini dilakukan untuk menyelundupkan sampah berselubung filsafat lama dan reaksioner sebagai satu kritisisme pada taktik oportunisme Plekhanov. [1]
Mencermati ekonomi politik, harus dicatat pertama-tama bahwa dalam lapisan "koreksi-koreksi" revisionis memang lebih komprehensif dan melihat keadaan sekitarnya; daya-upaya dilakukan untuk mempengaruhi publik dengan "data baru tentang perkembangan ekonomi". Dikatakan bahwa konsentrasi dan penolakan produksi berskala kecil oleh produksi berskala besar sama sekali tidak terjadi di pertanian, sementara mereka melakukannya dengan sangat lambat di bidang perdagangan dan industri. Dikatakan bahwa krisis-krisis kini amat jarang dan lemah, dan bahwa kartel dan trust memungkinkan modal dapat menghancurkan mereka seluruhnya. Dikatakan bahwa "teori kehancuran" yang dihadapi kapitalisme tak disuarakan, mengacu pada aliran antagonisme kelas sehingga menjadi lembek dan kurang akut. Akhirnya, dikatakan juga bahwa bukanlah suatu kesalahan untuk mengkoreksi teori nilai Marx, pada persetujuan dengan Bohm-Bawerk.
Perlawanan dengan kaum revisionis pada pertanyaan-pertanyaan ini menghasilkan buah kebangkitan pemikiran teoritis pada sosialisme internasional seperti halnya kontroversi Engels dengan revisi Dühring 20 tahun sebelumnya. Argumen-argumen kaum revisionis dianalisa dengan bantuan fakta-fakta yang dibuktikan bahwa kaum revisionis secara sistematis mewarnai produksi berskala kecil modern dengan gambar-berwarna merah mawar. Superioritas teknik dan perdagangan produksi berskala besar terhadap produksi berskala kecil tak hanya terjadi di bidang industri, tetapi juga di bidang pertanian. Fakta ini tak dapat dibantah. Tetapi produksi komoditi sangat kurang dikembangkan pada bidang pertanian, dan ekonomi serta ahli statistik modern, sesuai dengan aturan, tidak terampil dalam menarik cabang khusus (kadang-kadang terjadi pada operasi) pada bidang pertanian yang menunjukkan bahwa pertanian secara progresif ditarik ke dalam proses pertukaran ekonomi dunia. Produksi berskala kecil mempertahankan dirinya pada sisa-sisa ekonomi alam dengan pola makan yang semakin gawat, dengan kelaparan kronis, dengan semakin panjangnya jam kerja, dengan pengurangan kualitas dan jumlah ternak, dengan kata lain, dengan sejumlah metode dimana produksi kerajinan tangan mempertahankan dirinya melawan manufaktur kapitalis. Setiap kemajuan ilmu dan teknologi akhirnya dan dengan kejam melemahkan pondasi produksi berskala kecil di masyarakat kapitalis; dan ini merupakan tugas ekonomi politik sosialis untuk menyelidiki proses ini dalam segala bentuknya, seringkali rumit dan penuh intrik, dan untuk mendemonstrasikan kepada penghasil berskala kecil bisa terus bertahan di bawah kapitalisme, tak ada lagi harapan bagi pertanian petani di bawah kapitalisme, dan pentingnya para petani mengadopsi titik berdiri kaum proletar.
Pada pertanyaan ini, kaum revisionis telah berdosa, dalam sudut padang keilmuan, dengan generalisasi yang dibuat-buat berdasar pada fakta-fakta yang dipilih secara sepihak dan tanpa referensi keseluruhan sistem kapitalisme. Dari sudut pandang politik, mereka berdosa oleh fakta bahwa mereka pada akhirnya, apakah mereka menginginkan atau tidak, mengundang atau memaksa petani untuk mengadopsi tingkah laku tuan tanah kecil (seperti misalnya, tingkah laku kaum borjuis) alih-alih memaksa mereka untuk mengadopsi sudut pandang kaum proletar revolusioner.
Posisi revisionisme semakin memburuk seperti dalam hal teori krisis atau teori kehancuran. Hanya dalam waktu yang sangat singkat dapatkan orang, dan hanya mereka yang paling berpandangan sempit, memikirkan untuk refashioning pondasi teori Marx di bawah pengaruh ledakan industri dan kemakmuran dalam beberapa tahun ini. Realitas kemudian akan semakin jelas bagi kaum revisionis bahwa krisis bukanlah sesuatu yang ada di masa lalu: kemakmuran diikuti oleh suatu krisis. Bentuk-bentuk, aliran, gambaran tentang krisis khusus telah berganti, tetapi krisis tetap komponen akhir dari sistem kapitalis. Sementara menyatukan produksi, kartel-kartel dan trust pada saat yang sama, dan dengan cara yang jelas terlihat, memperburuk anarki produksi, ketidakamanan keberadaan kaum proletar dan kekejaman modal, oleh karenanya meningkatkan antagonisme kelas hingga ke suatu tingkat yang luar biasa. Bahwa kapitalisme pada akhirnya akan rontok – baik dalam politik individual dan krisis ekonomi serta kehancuran total dari seluruh sistem kapitalis – telah dibuat jelas secara khusus, dan pada suatu trust yang berskala besar, persisnya oleh raksasa trust yang baru. Krisis keuangan belakangan ini di Amerika dan peningkatan pengangguran ayng menakutkan di seluruh Eropa, tak mengatakan apa-apa mengenai krisis industrial yang mendekat dari sejumlah gejala-gejala yang dapat ditunjuk – semua ini membuat "teori-teori" terkini dari kaum revisionis telah dilupakan oleh semua orang, termasuk, tampaknya demikian, oleh banyak dari kalangan mereka sendiri.
Tetapi pelajaran-pelajaran mengenaik ketidakstabilan para intelektual telah menyingkirkan hal agar kelas buruh jangan dilupakan.Seperti pada teori nilai, perlu dikatakan bahwa terpisah dari kekelaman petunjuk dan gerutuan, ala Bohm-Bawerk, kaum revisionis sama sekali tidak memberi kontribusi absolut, dan oleh karenanya tidak meninggalkan jejak pada perkembangan pemikiran ilmiah. Dalam lapisan politik, revisionisme benar-benar mencoba merevisi pondasi Marxisme, yang umum disebut, doktrin perjuangan kelas. Kebebasan berpolitik, demokrasi dan pemilihan umum dibuang dari dasar perjuangan kelas – seperti yang dikatakan kepada kami – dan meminjam proposisi Manifesto Komunis tua yang tak benar bahwa buruh tak membutuhkan negara. Mereka katakan, sejak "kehendak mayoritas" gagal dalam suatu demokrasi, orang harusnya tak lagi menganggap negara sebagai organ penguasa kelas, tak juga menolak aliansi dengan kaum borjuis progresif, reformis sosialis melawan kaum reaksioner.
Tak dapat dielakkan bahwa argumen-argumen kaum revisionis ini dimuati oleh pandangan sistem keseimbangan yang adil, yang biasa disebut, pandangan borjuis liberal yang tua dan terkenal itu. Kaum liberal selalu mengatakan bahwa parlementarisme borjuis telah merusak kelas dan divisi kelas, sejak hak untuk memilih dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan suatu negara dibagikan kepada semua warga negara tanpa perbedaan. Seluruh sejarah Eropa pada paruh kedua abad ke-19, dan seluruh sejarah revolusi Rusia pada awal abad ke-18, jelas-jelas menunjukkan pandangan seperti itu sungguh absurd. Perbedaan ekonomis tidak dimoderasi tetapi ditingkatkan dan diintensifkan di bawah kebebasan kapitalisme "demokratik". Parlementarisme tidak dihilangkan, tetapi tetap terbaring sebagai karakter yang inheren bahkan di dalam republik borjuis yang paling demokratis sebagai organ kelas penindas.
Dengan membantu untuk mencerahkan dan mengorganisir massa lebih luas hingga tak terukur daripada mereka yang sebelumnya mengambil bagian secara aktif dalam peristiwa-peristiwa politik, parlementarisme tidak dibuat untuk penghilangan krisis dan revolusi politik, tetapi untuk intensifikasi yang maksimum bagi perang sipil selama revolusi tersebut. Peristiwa-peristiwa di Paris pada musim semi 1871 dan kejadian-kejadian di Rusia pada musim dingin 1905 menunjukkan secara jelas bagaimana intensifikasi ini akhirnya muncul. Kaum borjuis Perancis tanpa babibu membuat suatu perjanjian dengan musuh dari seluruh bangsa, dengan tentara asing yang telah menghancurkan negaranya, untuk menghancurkan gerakan proletariat.
Siapa yang tak dapat memahami dialektika di dalam parlementarisme dan demokrasi borjuis pada akhirnya – yang memimpin ke satu keputusan tegas dari argumen kekerasan massa daripada sebelumnya – tak akan pernah dapat memahami basis parlementarisme ini untuk melakukan agitasi dan propaganda yang konsisten secara prinsip, sungguh-sungguh mempersiapkan massa kelas buruh untuk berpartisipasi dalam kemenangan "argumentasi-argumentasi" ini. Pengalaman aliansi-aliasi, persetujuan-persetujuan, dan blok dengan kaum liberal reformis sosial di Barat dan dengan kaum reformis liberal (kadet-kadet) dalam revolusi Rusia, telah secara menyakinkan menunjukkan bahwa persetujuan ini hanya menumpulkan kesadaran-kesadaran massa, bahwa mereka tak dapat meningkatkan tetapi hanya melemahkan signifikansi perjuangannya yang aktual, dengan menghubungkan antara jagoan-jagoan dengan elemen-elemen yang paling tidak mampu berkelahi dan paling bermasalah dan tak dapat diandalkan. Millerandisme di Perancis – pengalaman terbesar dalam menerapkan taktik politis revisionis sesungguhnya dalam skala nasional, luas – telah menjadi satu penilaian praktis dari revisionisme yang tak akan dilupakan oleh kaum proletar di seluruh dunia.Satu pelengkap alami terhadap tendensi ekonomi dan politik dari revisionisme adalah sikapnya terhadap tujuan pamungkas gerakan sosialis. "Gerakanlah yang utama, tujuan akhir bukanlah apa-apa", frase Bernstein ini menggambarkan substansi revisionisme dengan baik, bahkan lebih baik daripada pernyataan-pernyataan yang panjang. Untuk membedakan tindakannya dari kasus per kasus, untuk mengadaptasinya pada peristiwa sehari-hari dan untuk tetek-bengek dan perubahan pada politik kecil-kecilan, untuk melupakan kepentingan utama dari kaum proletariat dan figur dasar dari keseluruhan sistem kapitalis, dari semua evolusi kapitalis, untuk mengorbankan kepentingan-kepentingan utama ini demi keunggulan momentum yang nyata atau diasumsikan – seperti kebijakan revisionisme. Dan ia mengikuti secara paten dari kebijakan yang sangat alamiah ini bahwa dapat diasumsikan satu varietas bentuk yang tak terbatas, dan setiap pertanyaan yang lebih atau kurang "baru", setiap peristiwa yang lebih atau kurang diharapkan dan diduga, bahkan ia mengganti lini dasar dari perkembangan hanya untuk suatu tingkat yang tak signifikan dan hanya untuk periode yang sangat pendek, pada akhirnya selalu menjadi alasan untuk memunculkan salah satu dari berbagai varietas revisionisme.
Revisionisme ditentukan oleh akar kelasnya di dalam masyarakat modern. Revisionisme adalah satu fenomena internasional. Seorang sosialis yang paling bodoh pun pasti tidak akan ragu tentang hubungan antara kaum orthodoks dan Bernsteinian di Jerman, Guesdis dan Jauresis (dan kini secara khusus Broussis) di Perancis, Federasi Sosial Demokrat dan Partai Buruh Independen di Great Britain, Brouckere dan Vandervelde di Belgia, kaum Integralis dan Reformis di Italia, Bolshevik dan Menshevik di Rusia, di mana saja secara esensial serupa, dengan mengabaikan varietas yang beragam dari kondisi nasional dan faktor sejarah di negara-negara saat ini. Dalam kenyataannya, "perpecahan" di dalam gerakan sosialis internasional saat ini berlanjut pada garis yang sama di semua negara di dunia, yang menunjukkan pada suatu kemajuan yang dahsyat dibandingkan dengan situasi 30 atau 40 tahun lalu, manakala tren yang heterogen pada berbagai negara berseteru di dalam satu gerakan sosialis internasional.
Dan bahwa "revisionisme dari kaum kiri" yang terbentuk di negara-negara Latin sebagai "sindikalisme revolusioner", juga diadaptasi di dalam Marxisme, "mengkoreksinya": Labriola di Italia dan Lagardelle di Perancis seringkali mengutip Marx yang dipahami secara salah dengan pemahaman yang sifatnya kanan.Kita tak dapat berhenti di sini untuk menganalisa isi ideologis dari revisionisme ini, yang sampai sejauh ini dari yang telah dikembangkan hingga ke batas yang sama sebagai revisionisme kaum oportunis: ia belumlah bersifat internasional, belum juga diuji pada satu perang praktis yang besar dalam satu partai sosialis di negara manapun. Oleh karena itu, kita membatasi diri dari "revisionisme dari kanan" seperti yang digambarkan di atas.
Lantas di mana letak ketidakterhindarannya dalam masyarakat kapitalis? Mengapa ia lebih subur daripada perbedaan antara kekhasan nasional dan tingkat-tingkat perkembangan kapitalisme? Karena dalam setiap negara kapitalis, sejajar dengan proletariat, selalu terdapat suatu lapisan luas borjuis kecil. Kapitalisme telah dan selalu timbul dari produksi kecil. Sejumlah "lapis menengah" baru berulang kali timbul dari kapitalisme (perusahaan pendukung pabrik-pabrik besar, pekerja di rumah, bengkel-bengkel kecil yang tersebar luas di seluruh negeri untuk memenuhi kebutuhan industri besar, seperti industri sepeda dan mobil, dll.). Produsen-produsen kecil ini tak dapat menghindari tersingkir menjadi proletariat. Tidak mengherankan bahwa pandangan borjuis kecil selalu timbul dalam partai-partai buruh terbuka. Tidaklah mengherankan bahwa hal ini selalu terjadi dan akan selalu terjadi, hingga terjadi perubahan nasib yang akan timbul dalam revolusi proletarian. Adalah suatu kesalahan yang parah bila ada pikiran bahwa proletarisasi "sepenuhnya" mayoritas penduduk mutlak perlu untuk menimbulkan revolusi demikian. Yang kini sering kita alami dalam lingkup ideologi saja, yaitu pertikaian mengenai perbaikan teoretik terhadap Marx, yang sekarang hanya terjadi pada isu individual dalam gerakan buruh, sebagai perbedaan taktis dengan kaum revisionis dan perpecahan-perpecahan pada tingkatan ini – akan dialami oleh kelas buruh pada suatu tingkatan yang jauh lebih tinggi ketika revolusi proletarian akan mempertajam semua isu yang dipertikaikan, akan memfokuskan semua perbedaan pada poin-poin yang terpenting dalam menentukan tindakan-tindakan massa, dan menjadikan hal penting dalam panasnya pertikaian untuk membedakan lawan dari kawan, dan untuk menyingkirkan sekutu-sekutu yang buruk untuk dapat memberikan pukulan yang menentukan kepada lawan.Ya, perjuangan ideologis ini dilakukan oleh Marxisme revolusioner terhadap revisionisme pada akhir abad ke-19, namun ini suatu awal pertempuran revolusioner yang besar dari kaum proletariat, yang maju untuk meraih kemenangan mutlak dari penyebabnya di samping semua keloyoan dan kelemahan kaum borjuis kecil.

Catatan:
[1] Lihat Studies in the Philosophy of Marxism oleh Bogdanov, Bazarov dkk. Ini
bukan tempat mendiskusikan buku tersebut, dan saya harus membatasi sekarang ini kapan saya akan menyampaikan bahwa dalam waktu dekat saya akan membuktikannya dalam satu seri artikel, atau dalam sebuah pamflet yang berbeda, bahwa semua yang saya katakan di atas tentang kaum revisionis neo-Kantian secara esensial diterapkan juga terhadap neo-Humis yang "baru" dan revisionis neo-Berkeleyan.
      


IDEOLOGI KOMUNISME

KOMUNISME


(Palu dan arit, lambang komunisme internasional)

Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme dan ideologi lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana mereka itu mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh.Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme".Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi "tumpul" dan tidak lagi diminati.Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi. Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti liberalisme. Secara umum komunisme sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama adalah racun yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata.
     
Komunisme Sebagai Ideologi
Komunisme sebagai ideologi mulai diterapkan saat meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917. Sejak saat itu komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi dan disebarluaskan ke negara lain. Pada tahun 2005 negara yang masih menganut paham komunis adalah Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan Laos.

Maoisme
Ideologi komunisme di Tiongkok agak lain daripada dengan Marxisme-Leninisme yang diadopsi bekas Uni Soviet. Mao Zedong menyatukan berbagai filsafat kuno dari Tiongkok dengan Marxisme yang kemudian ia sebut sebagai Maoisme. Perbedaan mendasar dari komunisme Tiongkok dengan komunisme di negara lainnya adalah bahwa komunisme di Tiongkok lebih mementingkan peran petani daripada buruh. Ini disebabkan karena kondisi Tiongkok yang khusus di mana buruh dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kapitalisme.

Indonesia Dan Komunisme
Ada kemungkinan Indonesia menjadi negara komunis andai saja PKI berhasil berkuasa di Indonesia. Namun hal tersebut tidak menjadi kenyataan setelah terjadinya pelanggaran HAM super berat dan pembantaian manusia secara sia-sia oleh tentara dan kelompok-kelompok agama terhadap orang-orang yang dicurigai dan dituduh mempunyai hubungan dengan PKI pada pertengahan tahun 1960-an. Hal ini juga membawa kesengsaraan luar biasa bagi para warga Indonesia dan anggota keluarga yang dituduh komunis meskipun belum tentu kebenarannya. Diperkirakan antara 500.000 sampai 2 juta jiwa manusia dibantai di Jawa dan Bali setelah peristiwa Gerakan 30 September. Hal ini merupakan halaman terhitam sejarah negara Indonesia.Semenjak jatuhnya Presiden Soeharto, aktivitas kelompok-kelompok Komunis, Marxis, dan haluan kiri lainnya mulai kembali aktif di lapangan politik Indonesia, walaupun belum boleh mendirikan partai karena masih dilarang oleh pemerintah.

Kematian Komunisme
Banyak orang yang mengira komunisme 'mati' dengan bubarnya Uni Soviet di tahun 1991. Namun Komunisme yang murni belum pernah terwujud dan tak akan terwujud selama revolusi lahir dalam bentuk sosialisme (USSR dan negara-negara komunis lainnya). Dan walaupun komunis sosialis hampir punah, partai komunis tetap ada di seluruh dunia dan tetap aktif memperjuangkan hak-hak buruh, pelajar dan anti-imperialisme. Komunisme secara politis dan ekonomi telah dilakukan dalam berbagai komunitas, seperti Kepulauan Solentiname di Nicaragua.





IDEOLOGI SOSIALISME

SOSIALISME

Istilah "sosialisme" atau "sosialis" dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan:ideologi atau kelompok ideologi. sistem ekonomi. negara. Kata ini mulai digunakan paling tidak sejak awal abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, pertama digunakan untuk mengacu kepada pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Di Prancis, digunakan untuk mengacu pada pengikut doktrin Saint-Simon pada tahun 1832 dan kemudian oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud dalam l'Encyclopedie nouvelle.Penggunaan kata sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda oleh berbagai kelompok, namun hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 dan ke-20, yang berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian, yang dengan sistem ekonomi, menurut mereka, dapat melayani masyarakat banyak, ketimbang hanya segelintir elite.

Sosialisme Sebagai Ideologi
Menurut penganut Marxisme (terutama Friedrich Engels), model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia, sebagai sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Pada masa Pencerahan di abad ke-18, para pemikir dan penulis revolusioner seperti Marquis de Condorcet, Voltaire, Rousseau, Diderot, abbe de Mably, dan Morelly mengekspresikan ketidakpuasan berbagai lapisan masyarakat di Perancis.

Cabang Aliran Sosialisme
Sejak abad ke-19, sosialisme telah berkembang ke banyak aliran yang berbeda:
a.       Sosialisme Afrika
b.      Anarkisme, terutama Sosialisme Libertarian
c.        Anarko-Sindikalisme
d.      Sosialisme Arab
e.       Sosialisme Kristen
f.        Komunisme
g.       Sosialisme Demokratik
h.      Sosialisme International
i.         Marxisme
j.         Sindikalisme
k.      Sosialisme Utopia
l.         Marhaenisme





Gerakan sosio-politik maupun intelektual di dalam Marxis-Sosialis dapat dikelompokkan lagi menjadi:
a.       Albanianism
b.      Castroisme
c.        Council communism
d.      Juche
e.       Komunisme Kiri
f.        Leninisme
g.       Maoisme
h.      Marxist humanisme
i.         Stalinisme
j.         Trotskyisme
k.      Situasionisme

Sosialisme Sebagai Sistem Ekonomi
Sistem Ekonomi dalam sosialisme sebenarnya cukup sederhana. Berpijak pada konsep Marx tentang penghapuskan kepimilikan hak pribadi, prinsip ekonomi sosialisme menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam beberapa komoditi penting dan kepentingan masyarakat banyak, Seperti Air, Listrik, bahan pangan dll.

Kritik dan Debat  Ideologi Sosialisme
Sejumlah pemikir, pakar ekonomi dan sejarah, telah mengemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan teori sosialisme. termasuk di antara mereka adalah antara lain Milton Friedman, Ayn Rand, Ludwig von Mises, Friedrich Hayek, dan Joshua Muravchik.Kritik dan keberatan tentang sosialisme dapat dikelompokkan menjadi kategori, sebagai berikut berikut:
a.       Insentif
b.      Harga
c.        Keuntungan dan kerugian
d.      Hak milik pribadi
Keuntungan dalam Anutan Sosialisme ("Kini" - an), telah dimungkinkan. Berhubungan dalam Keuangan dari Suatu Negara Sosialis. Untuk Transaksi atas Barang, walaupun bukan terhadap Pertanian.

Bahan Diskusi Selanjutnya
a.       Anti Kapitalisme
b.      Neo-Liberalisme








Rabu, 05 Februari 2014

SEJARAH PEMIKIRAN IDEOLOGI KAPITALISME

SEJARAH PEMIKIRAN IDEOLOGI KAPITALISME


[PRAWACANA: PENGANTAR IDEOLOGI<PENGERTIAN DAN ASUMSI DASAR KAPITALISME<SISTEM KAPITALISME GLOBAL<GAGASAN DASAR KAPITALISME<AKAR HISTORIS KAPITALISME<GLOBALISASI DAN SEJARAH EKONOMI INTERNASIONAL<FAKTOR PENDORONG GLOBALISASI<GLOBALISASI DAN KRISIS MASYARAKAT KAPITALISME]


Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.


Disampaikan pada Acara Pelatihan Kader Dasar (PKD)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Komisariat UNISDA Lamongan
26 April 2013


Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A. [Penulis] lahir di Cilacap, 27 Juli 1980,
Alumnus (S.1) UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Alumnus Program Pascasarjana (S.2) Sosiologi FISIPOL UGM, Dosen Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, Aktivis Angkatan ’99 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) D.I. Jogjakarta, Pernah  Menjabat  Sekjend DEMA UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Cilacap di Jogjakarta (HIMACITA), Lakpesdam NU Cilacap, LBMNU & LTNU Kabupaten Cilacap, PC GP Ansor Kabupaten Cilacap, Direktur pada Lembaga Kajian Sosiologi Dialektis (LKSD) Cilacap-Jogjakarta/ Institute for Philosophycal and Social Studies (INSPHISOS) Cilacap-Jogjakarta/ Komunitas Diskusi Eye on The Revolution + Fordem Cilacap, sampai sekarang masih melakukan pendampingan intelektual kader pada organisasi intra & ekstra kampus serta mengisi forum-forum ilmiah di jaringan inti ideologis PMII wilayah Jabar, Jateng dan Jatim.
Hp. 085 647 634 312, E-mail: nuriel.ugm@gmail.com
Website: www.negaramarxis.blogspot.com

³³³³³³³³³³³³


 


Hand-Out Discussion
SEJARAH PEMIKIRAN IDEOLOGI KAPITALISME

Oleh: Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Alumnus Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM Jogjakarta, Aktivis Angkatan ’99 PMII Daerah Istimewa Jogjakarta. Hp. 085 647 634 312,
E-Mail: nuriel.ugm@gmail.com, Website: www.negaramarxis.blogspot.com

BAGIAN SATU: PRAWACANA: PENGANTAR IDEOLOGI
1. Pengertian Ideologi
Pada dasarnya ideologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua kata: ideos artinya pemikiran, dan logis artinya logika, ilmu, pengetahuan. Dapatlah didefinisikan ideologi merupakan ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita.[1] Ideologi merupakan kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup diantara manusia terutama kaum muda, khususnya diatara cendekiawan atau intelektual dalam suatu masyarakat.[2] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan rumusan alam pikiran yang terdapat diberbagai subyek atau kelompok masyarakat yang ada, dijadikan dasar untuk direalisasikannya. Dengan demikian, ideologi tidak hanya dimiliki oleh negara, dapat juga berupa keyakinan yang dimiliki oleh suatu organisasi dalam negara, seperti partai politik atau asosiasi politik, kadang hal ini sering disebut subideologi atau bagian dari ideologi. Ideologi juga merupakan mythos yang menjadi political doctrin (doktrin politik) dan political formula (formula politik).[3] Ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaliknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.[4] Ideologi juga memiliki arti: konsepsi manusia mengenai politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan untuk diterapkan dalam suatu masyarakat atau negara.[5]

2. Ideologi dalam Ilmu Sosial
Persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial.[6] Menurut Frans Magnis Suseno,[7] ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya. Menurut Antonio Gramsci,[8] ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.

3. Logika Dasar Ideologi
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan[9]. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. (definisi ideologi Marxisme). Ideologi sama pentingnya dengan silogisme (baca: logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat. Ideologi secara etimologis berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang). Ideologi adalah pemikiran mendasar dan patokan asasi tingkah laku. Dari segi logika Ideologi adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan.

4. Proses Kelahiran Ideologi
Tentang bagaimana ideologi lahir, pada dasarnya ideologi terumuskan dengan sejumlah kemungkinan:
Pertama, ideologi lahir karena diinspirasikan oleh sosok tokoh yang luar biasa, dalam sejarah bangsanya. Ia hadir membawa sekaligus mampu memberikan inspirasi serta pengaruh kuat terhadap orang lain secara luas. Pada keadaan ini, gagasan seseorang yang ‘luar biasa’ itu atas kehendak pelaku dan dukungan pengikut, alam pemikirannya mengenai cita-cita masyarakat yang diperjuangkan dalam gerakan politik diakui dan dirumuskan secara sistematis, telah menjadi ideologi. Ideologi itu lahir dari pemikiran seseorang.
Kedua, berdasarkan alam pikiran masyarakat, ideologi itu dirumuskan oleh sejumlah orang yang berpegaruh dan merepresentasikan kelompok masyarakat kemudian disepakati sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bilaperlu diciptakan mitos-mitos untuk mendapatkan pengakuan legal dan kultural dari masyarakat bersangkutan sehingga mereka tunduk dan meyakini.
Ketiga, berdasarkan keyakinan tertentu yang bersifat universal, ideologi itu lahir dan dibawa oleh orang yang diyakini sebagai kehendak Tuhan, dengan pesan untuk melakukan pembebasan dan memberikan bimbingan dalam mengatur kehidupan yang sebenarnya serta konsekuensi moral dikemudian hari yang akan diterima bila melanggarnya. Ideologi ini syarat dengan pesan moral yang sesuai dengan nurani serta dasar primordial manusia. Oleh sebab itu, ideologi yang lahir dari suatu keyakinan Iman dan bersifat universal akan hidup secara permanen tidak akan goyah dan mati. Biasanya ideologi ini lahir diinspirasikan oleh spirit agama.[10] Namun demikian, terlepas dengan cara apa dan bagaimana suatu ideologi itu lahir, pada dasarnya ideologi sering disamakan sebagai suatu keyakinan, sebab ia mengandung suatu mitos dan cita-cita yang harus direalisasikan dan memiliki nilai kebenaran. Bagi pengikutnya tidak hanya diakui dan diikuti, lebih dari itu dihayati sebagai sesuatu yang memiliki spirit hidup serta perjuangan dalam menjawab tantangan yang dirasakan.[11]

5. Dimensi dan Tahapan Ideologi
Ada tiga dimensi yang perlu dipenuhi oleh suatu ideologi agar tetap mampu mempertahankan relevansinya sebagai berikut: Pertama, dimensi realitas, adalah kemampuan ideologi untuk mencerminkan realitas dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Karena hanya dari situlah anggota masyarakat akan merasa bahwa ideologi itu memang miliknya. Kedua, dimensi idealisme, adalah kemampuan dasar ideologi yang terkandung di dalam nilai-nilai dasar ideologi itu. Ketiga, dimensi fleksibilitas, dimensi ketiga ini menuntut kemampuan ideologi bukan saja untuk melandasi dan meneropong perubahan atas pembaruan masyarakat, tetapi juga sekaligus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu.[12]
Ali Syariati memberikan argumentasi atau pendapatnya bahwa suatu ideologi dalam mengoperasionalisasikan nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu kebenaran untuk dapat diperjuangkan menjadi keyakinan atau pandangan hidup dalam kolektif masyarakat memiliki tahapan-tahapan sehingga terbentuk sebuah ideologi, ini meliputi: Pertama, adalah cara kita melihat dan mengungkapkan alam semesta, eksistensi, dan manusia. Kedua, cara khusus dalam kita memakai dan menilai semua benda dan gagasan atau ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kita, Ketiga, mencakup usulan, metode sebagai pendekatan dan keinginan yang kita manfaatkan untuk mengubah status quo yang kita tidak puas.[13] Pada tahap ketiga inilah ideologi mulai menjalankan misinya dengan memberikan para pendukungnya pengarahan, tujuan dan cita-cita serta rencana praktis sebagai dasar perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.[14]

6. Akar Ideologi dari Tiga Pendekatan Filsafat
Semenjak masa kelahiran para pemikir di Yunani, Romawi, Kelahiran kejayaan Yudea-Kristiani, kemudian Islam dan Abad Pencerahan di Eropa Konstruk Filsafat yang melahirkan ideologi-ideologi besar dunia sesungguhnya berakar dari tiga pendekatan filsafat, yakni:
Pertama, Filsafat Idealisme (philosophy of idealism), ini mengedepankan faham rasionalisme dan individualisme, yang dalam kehidupan berpolitik telah melahirkan ideologi Liberalisme dan Kapitalisme. Ide yang menjadikan kekuatan dasar menempatkan manusia sebagai pusat di alam semesta (centre of nature), manusia sebagai titik pangkal terjadinya perubahan sejarah. Ini melahirkan faham dalam membangun kehidupan kenegaraan dalam konteks hubungan agama dengan negara adalah terpisah (separation) walau dalam hal-hal ceremonial dan ritual agama masih diberikan peran. Pandangan kehidupan yang berdasar ideologi liberalisme-kapitalisme, melahirkan faham Sekulerisme-Moderat[15] dalam mengatur kehidupan politik-kenegaraan.
Kedua, Filsafat Materialisme (philosophy of materialism), ini mengedepankan faham emosionalisme berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivisme, yang dalam kehidupan berpolitik telah melahirkan ideologi Sosialisme-Komunisme. Materi (ekonomi), yang menjadi kekuatan dasar menempatkan kondisi ekonomi sebagai faktor penentu terjadinya perubahan sejarah. Ini melahirkan faham dalam membangun kehidupan  kenegaraan dalam konteks hubungan agama dengan negara adalah dipertentangkan (conflic). Agama dianggap sebagai faktor penghambat, candu bagi masyarakat, karena itu tidak diberikan peran sama sekali. Pandangan kehidupan yang berdasar ideologi Sosialisme-Komunisme melahirkan faham Sekularisme-Radikal[16] dalam mengatur kehidupan politik-kenegaraan.
Ketiga, Filsafat Teologisme (philosophy of teologism). Dalam faham ini masih dibagi menjadi dua: 1] faham agama yang menempatkan ajaran Tuhan memegang peran sentral dalam kehidupan politik-kenegaraan, tetapi dalam konstruk politiknya, menjadikan pemuka agama sebagai tokoh yang dikultuskan. 2] faham agama yang memang menempatkan ajaran Tuhan sebagai sumber inspirasi, motivasi dan ekspresi. Ini menempatkan ajaran Tuhan sebagai faktor integratif dan pencerahan. Dalam hubungannya dalam kehidupan politik-kenegaraan, agama sebagai suatu yang suci kekuatannya bukan di pengkultusan dan pemistikan melainkan agama sebagai pembimbing (guidens). Agama dapat didialogkan untuk terlibat sebagai wacana sekaligus sumber etika, moral dan hukum, maka dalam kehidupan politik-kenegaraan itu dapat dikatakan agama bersifat dinamis, dapat disebut pula sebagai filsafat teologisme-dinamis.[17]
7. Tiga Kategorisasi Ideologi
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno[18] mengemukakan tiga kategorisasi ideologi.
Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.

8. Fungsi dan Faktor Pendukung Ideologi
Ideologi adalah suatu sistem keyakinan yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa yang bersifat menyeluruh yang mendalam mengenai segala segi kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan, dan kebagsaan. Ideologi mengandung kehendak dan cita-cita tentang suatu kehidupan masyarakat yang ideal yang diyakini kebenarannya dan harus diperjuangkan agar terwujud dengan kongkrit. Oleh karena itu ideologi merupakan panduan bagi penganutnya untuk melakukan tindakan-tindakan secara praktis dan strategis untuk mewujudkan kehendak dan cita-cita yang terkandung dalam ideologi tersebut. Ideologi mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
1.      Fungsi Etis, yaitu sebagai panduan dan sikap serta perilaku kelompok masyarakat dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
2.      Fungsi Integrasi, yaitu nilai yang menjadi pengikat suatu bangsa atau masyarakat.
3.      Fungsi Kritis, yaitu sebagai ukuran nilai yang dapat digunakan untuk melakukan kritik terhadap nilai atau keadaan tertentu.
4.      Fungsi Praxis, yaitu sebagai acuan dalam memecahkan masalah-masalah kongkrit.
5.      Fungsi Justifikasi, yaitu ideologi sebagai nilai pembenar atas suatu tindakan atau kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh suatu kelompok tertentu.[]

BAGIAN DUA: PENGERTIAN DAN ASUMSI DASAR KAPITALISME
1. Pengertian Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi. Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah “a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned”. (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat) Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik.  Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan  perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah “formasi sosial” yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).

2. Sejarah Perkembangan Kapitalisme
Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan tangan dari kapitalisme. Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan “laissez faire” dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan negara.
Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988). Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai “perekonomian campuran” (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.
Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism. organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti korporasi-korporasi nasional dan internasional yang menciptakan struktur pasar oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal, maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi formal.

3. Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas. Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan “the invisible hand” dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau paling rasional. Smith pernah berkata: “...free marker forces is allowed to balance equitably the distribution of wealth”. (Robert Lerner, 1988).

4. Sistem Perekonomian/ Tata Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.[]






BAGIAN TIGA: SISTEM KAPITALISME GLOBAL
1.      Gagasan Dasar Kapitalisme
Membincarakan dasar teori ekonomi kapitalisme, sosok Adam Smith dengan buku termasyhurnya, The Wealth of Nations, dapat di sebut sebagai Bapak Kapitalisme. Dalam membahas teori dasar kapitalisme adalah dengan mengetahui ciri dasar sistem tersebut, yaitu pemaksimalan keuntungan individu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dimaksudkan membantu kepentingan publik.
Makna kapitalisme untuk kepentingan publik tersebut, oleh Adam Smith diilustrasikan dengan sangat jelas: “Apa yang kita harapkan untuk makan malam kita tidaklah datang dari keajaiban dari si tukang daging, si pemasak bir atau si tukang roti, melainkan dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai kepentingan pribadi. Malah seseorang umumnya tidak berkeinginan untuk  memajukan kepentingan publik dan ia juga tidak tahu sejauh mana ia memiliki andil untuk memajukannya. Yang ia hormati dan ia kejar adalah keuntungan bagi dirinya sendiri. Di sini ia dituntun oleh tangan-tangan yang tak terlihat (the invisible hands) untuk mengejar yang bukan bagian dari kehendak sendiri. Bahwa itu juga bukan merupakan bagian dari masyarakat, itu tidak lantas berarti suatu yang lebih buruk dari masyarakat. Dengan mengejar kepentingan sendiri, ia kerap kali memajukan kepentingan masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan jika ia sungguh-sungguh bermaksud memajukannya. Saya tidak pernah menemukan kebaikan yang dilakukan mereka yang sok berdagang demi kepentingan publik”.[19]
Penjelasan ilustratif tersebut sebenarnya tidak bermaksud lain kecuali kehendak untuk memaknai kapitalisme dengan memadukan kepentingan individu di satu pihak dan kepentingan publik di pihak yang lain. Dari premis itu ialah bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi secara individu. Meskipun demikian, orientasi individu tetap merupakan tahapan awal bagi kepentingan publik atau sosial. Motif sosial yang tersembunyi (hidden social motive) yang disebut Smith sebagai the invisible hands.
Kehendak untuk memadukan kepentingan privat dan publik ini selanjutnya dijelaskan bahwa setiap manusia, dengan demikian, dipimpin langsung oleh kepentingan dan tindak tanduk ekonominya. Manusia yang bersangkutanlah yang mengetahui apa kepentingan mereka sesungguhnya. Oleh sebab itu, dialah yang dapat memenuhi kepentingan dengan sebaik-baiknya. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mengesampingkan kepentingan bersama, tetapi mereka berfikir bahwa kepentingan bersama ini akan dapat diperhatikan dengan sebaik-baiknya pula apabila setiap individu mendapat kesempatan untuk memenuhi, memuaskan, dan mengekspresikan kepentingannya masing-masing tanpa restriksi.
Setelah ia menulis The Wealth of Nations, Smith sudah mengemukakan dalam Theory of Moral Sentiments sebagai dasar filsafat teori ekonominya. Ia menentang dengan tegas pendapat de Mandeville bahwa privet vice makes public benevit. De Mandeville memandang bahwa kemewahan atau pengejaran keuntungan ekonomi itu dosa, meski dosa itu sendiri diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Smith justru melihat sebaliknya, dengan meniru gurunya Francis Hutcheson, ia mengatakan bahwa kebajikan adalah pengendali nafsu dan bukan sebuah antipati yang mutlak. Dalam The Wealth of Nations sendiri, Smith pernah mengatakan bahwa: “The nature and causes of the wealth of nations is what is properly called political economy”. Ini menunjukkan bahwa nama bukunya saja sudah cukup untuk menjelaskan apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dari aktifitas ekonomi.[20]
Mempelajari paradigma dan ide dasar kapitalisme juga bisa dilakukan dengan membuat interpretasi-interpretasi karya Smith seperti yang banyak dilakukan. Kita memahami bahwa masterpiece Smith tersebut sesungguhnya hanya meletakkan gagasan-gagasan cemerlangnya secara umum saja. Sjahrir (1995) menerjemahkan The Wealth of Nations yang membidani lahirnya teori kapitalisme itu dengan membuat rincian sederhana seperti, apa yang harus diproduksi dan dialokasikan, bagaimana cara memproduksi dan mengalokasikan sumber daya, serta bagaimana cara mendistribusikan sumber daya dan hasil produksi.[21]
Pemahaman lain tentang ide dasar kapitalisme juga diberikan oleh Max Weber[22]. Ia mendefinisikan kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi berdasarkan kerja berupah untuk dijual dan diperdagangkan guna mencari keuntungan. Ciri produksi berdasarkan upah buruh itu merupakan karakter mendasar bagi kapitalisme. Bagi Weber, ciri kapitalisme yang lebih mendasar lagi adalah pada sistem pertukaran di pasar. Sistem di pasar ini menimbulkan konsekuensi logis berupa rasionalisasi yang mengacu pada bagaimana cara meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan kata lain, bagaimana melakukan akumulasi kapital secara terus menerus. Akumulasi kapital itu dimaksudkan untuk melakukan produksi barang atau jasa yang lebih menguntungkan (more profitable). Keuntungan inilah yang secara dominan bagi rasionalitas tekhnologi.
Sedangkan bagi Marx, kapitalisme tidak didefinisikan oleh motif atau orientasi kaum kapitalis. Apapun motif yang mereka sadari, mereka sebenarnya didorong oleh logika sistem ekonomi untuk memupuk modal. Kapitalisme bagi Marx suatu bentuk masyarakat kelas yang distrukturasikan dengan cara khusus di mana manusia diorganisasikan untuk produksi kebutuhan hidup.[23]
Sejalan dengan zaman, kapitalisme terus berkembang, bergerak dan beradaptasi dengan sejarah. Jorge Larrain mengemukakan, “Kapitalisme dicirikan oleh dominasi obyek atas subyek, modal atas pekerja, kondisi produksi atas produsen, buruh mati atas buruh hidup. Bahkan menurut Marx, kapitalisme adalah hasil dari praktek reproduksi manusia. Marx menganalisa hal tersebut tidak hanya untuk mengetahui bagaimana sistem itu bekerja dan memproduksi diri sendiri, tetapi juga untuk menunjukkan kondisi yang mampu menggantikannya”.[24]
Kapitalisme yang dibuat oleh Lorens Bagus, berasal dari bahasa Inggris, capitalism atau kata latin, caput yang berarti kepala. Kapitalisme itu sendiri adalah sistem perekonomian yang menekankan peranan kapital atau modal.[25] Poin-poin penting yang bisa dilihat dan biasa digunakan untuk mengartikan kapitalisme adalah: Pertama, kapitalisme adalah ungkapan kapitalisme klasik yang dikaitkan dengan apa yang dimaksud oleh Adam Smith sebagai permainan pasar yang memiliki aturan sendiri. Ia yakin bahwa dengan kompetisi, pekerjaan dari tangan yang tidak kelihatan akan menaikkan harga pada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja atau modal mengalami pergeseran dari perusahaan yang kurang menguntungkan. Ini berarti kapitalisme merupakan usaha-usaha kompetitif manusia yang akan dengan sendirinya berubah menjadi kepentingan bersama atau kesejahteraan sosial (social welfare). Kedua, kapitalisme merupakan ungkapan Prancis laissez-faire, laissez-passer, yang berarti ‘semaunya’, yang dilekatkan sebagai ungkapan penyifat. Ungkapan laissez-faire menekankan sebuah pandangan bahwa dalam sistem ini, kepentingan ekonomi dibiarkan berjalan sendiri agar perkembangan berlangsung tanpa pengendalian Negara dan dengan regulasi seminimal mungkin. Ketiga, kapitalisme adalah ungkapan Max Weber bahwa ada keterkaitan antara bangkitnya kapitalisme dengan protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk sekuler dari penekanan protestanisme pada Individualisme dan keharusan mengusahakan keselamatan sendiri.

2.      Akar Historis Kapitalisme
Sistem perekonomian kapitalisme muncul dan semakin dominan sejak peralihan zaman feodal ke zaman modern. Kapitalisme seperti temuan Karl Marx  menjadi sistem yang dipraktekkan di dunia bermula di penghujung abad XIV dan awal abad XV. Kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia terkait erat dengan kolonialisme. Pada zaman kolonialisme ini akumulasi modal yang terkonsentrasi di Eropa (Inggris) didistribusikan ke penjuru dunia, yang menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya.
Kelahiran kapitalisme ini dibidani oleh tiga tokoh besar, yaitu Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik, Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik dan Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya. Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik adalah seorang Jerman yang melakukan gerakan monumentalnya, 31 Oktober 1571 dengan menempelkan tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak menerima kenyataan praktik pengampunan dosa yang diberlakukan gereja Roma. Kemudian ia meletakkan ajaran dasarnya, yaitu: “Manusia menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya dan semata-mata lewat perbuatan dan karya yang lebih baik saja mereka dapat menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”. Sedangkan bagi Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik, mengajak orang untuk bekerja keras mengakumulasi modal atas usahanya sendiri. Kemudian Franklin mengamanatkan: “Waktu adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya dan tarcantum dalam buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations, Adam Smith lebih mengkongkretkan spirit kapitalismenya dalam sebuah konsep sebagai mekanisme pasar. Basis folologisnya adalah laissez-faire, laissez-passer. Ia mengatakan bahwa barang langka akan menyebabkan harga barang tersebut menjadi mahal sehingga menjadi sulit didapatkan terutama oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Tetapi menurut Smith bahwa yang harus dilihat adalah perilaku produsen. Ketika harga barang mahal, maka keuntungan akan meningkat. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas barang tersebut tinggi, maka banyak produsen yang memproduksinya. Sehingga dengan demikian kelangkaan barang tersebut akan terpenuhi dan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Sehingga masalah yang terjadi di masyarakat akan diselesaikan oleh the invisible hands.
Banyak pakar memberikan penjelasan bahwa kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia baru dimulai sejak abad XVI. Menurut Dudley Dillard pada zaman kuno sebenarnya sudah terdapat model-model ekonomi yang merupakan cikal-bakal kapitalisme. Bagi Dillard, kapitalisme tidak saja dipahami sebagai sistem ekonomi pasca abad XVI. Kantong-kantong kapitalisme sebagai cikal-bakal dan ruh kapitalisme justru mulai berkembang diakhir abad pertengahan. Dillard membagi urutan perkembangan kapitalisme menjadi tiga tahapan.[26] Secara kronologis dalam tahapan sejarah perkembangannya: Kapitalisme Awal, Kapitalisme Klasik dan Kapitalisme Lanjut.

a)     Kapitalisme Awal (1500-1750).
Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran industri sandang di Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Meski industri sandang tersebut masih menggunakan mesin pemintal yang sangat sederhana, pada gilirannya mampu meningkatkan apa yang disebut sebagai surplus sosial. Seperti dijelaskan Dillar, dalam prakteknya industri sandang mengahadapi banyak problem dan kesulitan. Namun demikian, berbagai kendala tersebut tak mampu menjadi penghalang bagi kesuksesan industri tersebut. Bahkan di beberapa wilayah pelosok Inggris, industri tersebut terus berkembang pesat selama kurun waktu abad XVI sampai XVII. Surplus sosial yang didapatkan terus menerus secara produktif ternyata mampu menjadikan kapitalisme mampu bersaing dengan sistem ekonomi sebelumnya. Kelebihan itu didayagunakan untuk usaha perkapalan, pergudangan, bahan-bahan mentah, barang-barang jadi dan variasi untuk kekayaan yang lain.
Perluasan demi perluasan dengan argumentasi produktifitas yang dilakukan selanjutnya mengahdirkan fenomena dramatis dengan munculnya kolonisasi atau imperealisme ke daerah-daerah lain yang tak memiliki keseimbangan produksi. Lebih lanjut pada informasi yang sama, Dillar juga pernah menguraikan bahwa perkembangan kapitalisme pada tahapan ini didukung oleh tiga faktor yang sangat penting yaitu: (1) dukungan agama dengan menanamkan sikap dan karakter kerja keras dan ajuran untuk hidup hemat, (2) hadirnya logam mulia terhadap distribusi pendapatan atas upah, laba dan sewa, serta (3) keikutsertaan Negara dalam membantu membentuk modal untuk berusaha.
Studi Russel, Modes of Productions individu Wolrd History London and New York, Routledge, 1988, menjelaskan bahwa kapitalisme pada fase ini tidak bisa tidak menyebut bahwa Eropa dan Inggris abad ke-12 adalah sebagai lokasi awal perkembangan kapitalisme. Russel menunjuk wilayah perkotaan untuk mencontohkan bahwa saudagar kapitalis menjual barang-barang produksi mereka dalam suatu perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Mula-mula mereka hanya menjual barang kepada teman sesama saudagar perjalanan. Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi perdagangan publik.

b)    Kapitalisme Klasik (1750-1914).
Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya perdagangan publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Transformasi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri yang seperti itu merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris. Perubahan dalam cara menentukan pilihan tekhnologi dan cara berorganisasi berhasil memindahkan industri dari pedesaan ke sentra-sentra perdagangan lama di perkotaan selama Revolusi Industri. Akumulasi kapital yang terus menerus membengkak selama dua atau tiga abad mulai menunjukkan hasil yang baik pada abad XVIII. Penerapan praktis dari ilmu pengetahuan teknis yang tumbuh selama berabad-abad dapat sedikit demi sedikit dilakukan. Kapitalisme mulai menjadi penggerak bagi perubahan tehnologi karena akumulasi modal memungkinkan penggunaan berbagai inovasi.
Tepat pada fase ini kapitalisme mulai meletakkan dasarnya yaitu laissez-faire, laissez-passer sebagai doktrin mutlak Adam Smith. Dillar menerangkan bahwa perkembangan kapitalisme pada fase kedua ini semata-mata menggunakan argumentasi ekonomis. Perkembangan ini tentu saja menjadi parameter keberhasilan bagi kaum borjuis dalam struktur sosial masyarakat. Kesuksesan ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang politik, yaitu hubungan antara kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan kapitalisme terutama dalam penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi dan perluasan daerah kekuasaan sebagai lahan distribusi produksi. Periode kapitalisme klasik erat kaitannya dengan karya Adam Smith An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations (1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa kapitalisme kuno sudah berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.

c)     Kapitalisme Lanjut (Pasca 1914).
Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad XIX, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama. Abad XX ditandai oleh perkembangan kapitalisme yang sudah tidak lagi bisa disebut sebagai kapitalisme tradisional. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum. Pertama, pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan. Ketiga, Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan dan kemapanan agama. Dari sana kemudian muncul ideologi tandingan, yaitu komunisme.
Kapitalisme abad XX berhasil tampil meliuk-liuk dengan performance yang selalu bergerak mengadaptasikan kebutuhan umat manusia pada zaman dan situasi lingkungannya. Bagi Daniel Bell,[27] fleksibilitas ini sukses membawa kapitalisme sebagai akhir ideologi (The End of Ideology) yang mengantarkan umat manusia tidak hanya menuju gerbang yang penuh pesona ekstasi melainkan juga pada gerbang yang berpeluang besar untuk kehancuran umat manusia.
Budiman (1997; 86) menyebut bahwa kapitalisme seolah menjadi pesolek tanpa tanding dalam merebut perhatian para teoritisi sosial dunia. Salah satu hal yang membuat kapitalisme bertahan adalah kelenturan produk yang ditawarkan. Produk-produk yang disediakan bersifat adaptif dengan zamannya. Citra-citra yang disodorkan tidak pernah dibiarkan begitu saja dan menjadi sebentuk kesombongan ideologis yang menjenuhkan, melainkan disesuaikan dengan berbagai desakan pluralisasi wacana kehidupan. Kapitalisme berhasil tetap bertahan karena ia mampu menghadirkan demokrasi ekonomi dan politik sebagai bentuk keinginan umat manusia yang paling mutakhir, tapi sebatas citra, demokrasi yang semu. Produk kapitalisme yang menggairahkan tersebut dipandang Guy Debord sebagai trap, bahwa saat ini kapitalisme sedang menyiapkan perangkat kebudayaan yang mengantarkan umat manusia pada kondisi komoditi yang final dan melelahkan.[28]
Produk lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme lanjut adalah sedemikian menjamurnya korporasi-korporasi modern. Korporasi sudah tidak lagi bergerak di bidang industri manufaktur, melainkan jasa dan informasi. Ia berusaha mendominasi dunia dengan kecanggihan tekhnologi serta orientasi menghadapi ekonomi global. Ia lazim berbentuk MNC/TNC (MultiNational Corporation/Trans National Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa pelaku aktifitas ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara, melainkan para pengusaha bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi apa dan di mana saja.
Dengan semakin pentingnya modal, peranan Negara menjadi tereduksi, tapi juga hilang sama sekali. Negara hanya sekedar menjadi aktor pelengkap (Complement Actor) saja dalam percaturan ekonomi dunia, meski dalam beberapa kasus peran Negara tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mendukung roda ekonomi yang sedang diputar kapitalis. Inilah yang dinubuat Galbraith dengan mengatakan bahwa korporasi modern menerapkan kekuasaan melalui pemerintahan. Para kapitalis ini tetap membutuhkan keterlibatan Negara untuk memfasilitasi setiap produk yang dipasarkan. Hubungan simbiosis mutualisme ini selanjutnya menjadi karakter dasar dari kapitalisme lanjut. Peristiwa ini menyebabkan para pakar menyebut bahwa kapitalisme lanjut adalah kapitalisme monopoli (monopoly capitalism) atau kapitalisme kroni (crony capitalism).[29]
Korporasi modern dan Negara menjalin hubungan yang didasarkan pada distribusi kekuasaan dan profit. Hubungan yang berkembang antara korporasi modern dan birokrasi publik, seperti kapitalis yang membuat mobil dan Negara yang membangun jalan raya, kapitalis yang membuat pesawat tempur dengan Negara yang mengendalikan Departemen Udara dan sebagainya.[30] Selain hal itu, apa yang diungkap Galbraith sebagai kapitalisme lanjut adalah pemfungsian institusi Negara sebagai jaminan kontrol dari doktrin mekanisme pasar. Bahkan para kapitalis dengan sengaja berani membiayai dan merekayasa Negara. Tujuannya adalah untuk mengatasi kemungkinan terjadinya disintegrasi sistem soaial dalam struktur masyarakat yang diakibatkan oleh kontradiksi-kontradisi dalam tubuh kapitalisme itu sendiri. Asumsi ini diperkuat oleh fakta pertumbuhan industri-industri kapitalisme hingga menciptakan sindroma korporasi-korporasi modern ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kekuasaan politik.
Dalam hal ini Galbraith memperkuat argumentasinya dengan uraian yang mendalam tentang keterkaitan Negara dalam dimensi politis dan kapitalis dalam dimensi ekonomis. Semakin menguatnya campur tangan institusi Negara ke dalam aktifitas-aktifitas ekonomi acap mendisfungsionalisasikan fungsi dari Negara itu sendiri. Hal itu bisa ditunjukkan dengan merosotnya atensi Negara yang bersangkutan terhadap persoalan-persoalan lain di luar masalah teknis administratif.
Sementara menurut pandangan Clauss Offe dalam Habermas, sejauh kegiatan Negara diarahkan pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, politik selalu menampilkan sifat negatif yang khas. Politik diarahkan untuk mengatasi disfungsionalitas dan menghindari resiko-resiko yang membahayakan sistem. Politik tidak diupayakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan pada pemecahan masalah-masalah teknis. Kegiatan Negara dibatasi hanya pada persoalan-persoalan teknis yang bisa dipecahkan secara administratif sehingga dimensi praksisnya hilang.[31] Hubungan faktor politik-kapitalis dengan melakukan kolaborasi adalah cara pandang Keynes, dan persoalan itu susah untuk dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada keseluruhan adegan sosial dan politik yang diproduksi secara bersamaan. Ia memandang teori ekonomi sebagai suatu alat kebijakan politik. Ia membelokkan apa yang disebut metode ilmu ekonomi klasik yang bebas nilai untuk melayani tujuan dan target mental, dan untuk itu ia membuat ilmu ekonomi menjadi persoalan politik dengan cara yang berbeda.
Keterkaitan Negara-kapitalis yang ditunjukkan dengan bergesernya mekanisme kapitalisme bisa dipahami dari Negara Amerika. Yang terjadi di Amerika dewasa ini bukanlah paham kapitalisme yang asli yang menganut paham laissez-faire, laissez-passer, melainkan suatu sistem ekonomi yang tetap menggunakan prinsip dasar kapitalisme yang disesuaikan dengan berbagai rambu hukum yang membatasi penguasaan resaources dan konsumsi yang berlebihan, baik secara individual maupun pada tingkat perusahaan.[32] Nilai-nilai yang berlaku pada sistem kapitalisme Amerika selalu mempertimbangkan beberapa aspek.
Pertama, asas kebebasan (freedom), dengan pengertian, bebas berkonsumsi dan berinvestasi (free entry individu consumption and investment) serta pembatasan investasi pemerintah sekaligus mengikhtiarkan model politik yang demokratis. Kedua, asas keseimbangan (equality), dengan pengertian, adanya difusi antara kekuatan politik dan ekonomi; adanya bargaining power yang sama untuk produsen dan konsumen serta adanya kesempatan yang sama sekaligus upaya untuk menciptakan pemerataan. Ketiga, asas keadilan (fairness), dengan pengertian, sebuah upaya untuk menghindari praktik yang tidak adil seperti adanya upah buruh yang tidak memenuhi standar; hubungan tuan dan majikan yang eksploitatif dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap praktek ekonomi harus dilandasi dengan sikap yang penuh dengan kejujuran dan keterbukaan (full honesty and disclosure). Keempat, asas kesejahteraan (welfare), dengan pengertian, adanya pertimbangan efisiensi alokasi dan produksi. Parameter kesejahteraan bisa diketahui melalui pengawasan pemerintah terhadap stabilitas harga serta upaya untuk menciptakan kondisi ketenagakerjaan yang bersifat full employment. Kesehatan dan keselamatan lingkungan hidup juga mendapat perhatian yang besar. Kelima, asas pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth) yang indikasinya adalah pertumbuhan pendapatan riil dan kemajuan tekhnologi. Ada beberapa kebijaksanaan pemerintah Amerika yang menjadi prioritas dalam menjamin kebesaran kapitalisme. Di antaranya adalah kebijaksanaan yang menjamin terciptanya kompetisi seperti terciptanya UU Anti Trust (Sherman Act and Clayton Act). Tujuannya untuk mencegah persaingan yang tidak sehat diantara pihak yang bersaing. Peraturan ini secara teknis bertujuan untuk menjamin kebebasan dan keamanan dalam berinvestasi (free exit and entry). Kemudian kebijaksanaan yang mengatur ke mana arah kompetisi digerakkan.
Pengaturan-pengaturan ini berfungsi untuk melindungi konsumen dan produsen. Hal itu bisa dilakukan dengan menetapkan etika periklanan dan standarisasi barang-barang dari segi kualitas maupun kuantitas. Perlindungan merk dagang dan hak cipta juga mendapatkan perhatian yang cukup serius. Selain itu, adanya kebijaksanaan yang menjadi jaminan bagi distribusi pendapatan, yakni melalui pajak. Pajak bisa difungsikan sebagai sarana pemerataan, insentif serta regulator untuk mempengaruhi alokasi produksi maupun konsumsi.
Yang penting lagi adalah adanya kebijaksanaan yang mengatur public utility. Ide dasar kapitalisme klasik laissez-faire, laissez passer dan jargon the invisible hand merupakan asas fundamental yang terus-menerus diperbaiki dan digunakan untuk mencirikan kapitalisme. Mereka berpandangan bahwa teori ekonomi secara jelas menunjukkan bahwa mekanisme pasar tidak akan mampu menyelesaikan proses alokasi barang-barang publik seperti hukum, pertahanan dan lingkungan. Padahal barang-barang ini merupakan sesuatu yang vital bagi terjaminnya hidup manusia. Jika mekanisme pasar dibiarkan dengan sendirinya untuk menentukan alokasi barang-barang publiknya, maka penyediaannya akan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan permintaan masyarakat (socially desirealible). Karenanya diperlukan peranan pemerintah untuk menyediakannya. Tindakan ini menjamin produksi barang-barang kebutuhan dasar (merit goods) diproduksi pada tingkat optimal secara sosial.[33]
Suasana lain dari kapitalisme lanjut adalah kompetisi (competition), dan kompetisi dalam kapitalisme Amerika merupakan poin penting dari buku The New Industrial State (1971) yang ditulis Galbraith. Menurutnya, dalam ilmu ekonomi klasik persaingan adalah banyaknya penjual yang memperoleh bagian yang kecil dari pasaran. Galbraith kemudian mengatakan bahwa model persaingan klasik ini sebagian besar sudah lenyap karena banyak pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Galbraith juga mengatakan bahwa dalam perkembangan kapitalisme, timbul institusi yang berusaha mengimbangi kelas kapitalis, yang disebutnya sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power). Kekuatan tersebut bisa berupa lembaga konsumen yang mengontrol perilaku dan pengaruh produsen, himpunan buruh yang mengimbangi kekuatan kelas pemilik modal dan kelas manajer. Lembaga pelindung konsumen, pelindung alam serta organisasi-organisasi volunteer lain yang berusaha untuk mempertahankan sekaligus memperjuangkan kepentingan golongan lemah (marginal) dalam masyarakat, yang tentunya mayoritas. Deskripsi awal dengan menyebut Amerika sebagai pusat segala sesuatu untuk mengkaji kapitalisme lanjut harap dimaklumkan mengingat kita tidak bisa menolak bahwa Amerika adalah sentral kapitalisme dunia dari pasca perang dingin atau awal abad XIX sampai detik ini. Namun sample ini bukan serta merta ingin menunjukkan bahwa kapitalisme lanjut hanya terbatas (limited) seperti yang tercermin di Amerika.
Seorang sejarawan peranakan Jepang, Francis Fukuyama, yang kemudian tenar dengan karyanya, The End of History and Last Man, menyatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme Amerika merupakan titik akhir dari perkembangan ideologi manusia.[34] Fukuyama menjelaskan bahwa sejarah manusia ini sudah berhenti pada satu titik yang ekstrim, yakni kapitalisme. Karenanya akhir sejarah akan merupakan saat yang menyedihkan. Tatkala keberanian, semangat, imajinasi, idealisme dan humanisme mulai digantikan dengan perhitungan-perhitungan ekonomi yang rasional. Pada saat itu pula manusia akan terjebak pada pemecahan masalah teknis yang tidak ada habis-habisnya. Kapitalisme sibuk merancang kebutuhan konsumen yang bercita rasa melangit. Sehingga Galbraith dalam karya yang sama juga menuturkan bahwa selama paruh terakhir abad ini hampir tidak ada topik lain yang dibahas secara serius dan mendalam kecuali tentang masa depan kapitalisme (The Future of Capitalism).[35]
Akumulasi modal sekarang tidak sekedar menjadi kebiasaan. Ia telah menjadi sebuah hukum, di balik nuansa ini, tersimpan keniscayaan akan adanya alienasi bagi mereka, para kelompok mayoritas seperti buruh, petani dan perempuan. Kita menyadari bahwa kapitalisme model baru menyimpan keniscayaan atas penindasan kelompok mayoritas. Segitiga konspirasi ala O’Donnel sampai hari ini masih relevan dalam menjelaskan mekanisme ketertindasan struktural rakyat. Secara empiris konspirasi itu dapat dilihat dari bagaimana kebijakan-kebijakan Negara terbentuk atas pengaruh kepentingan TNC.
Tiga pilar neo klasik, TNC/MNC, World Bank/IMF, dan WTO berjalan linier, sevisi, setujuan menuju kepentingan yang sama, yakni liberalisasi pasar. Di samping itu ketiga institusi itu adalah kekuatan terbesar dunia abad ini. Sehingga kita tidak pernah menemukan kebijakan internasional yang tanpa memuat kepentingan ketiganya.
Kita memang bisa menyadari bahwa kapitalisme lanjut tidak hanya dipahami sesederhana itu. Jika hujatan terpedas hari ini pada kapitalisme diserangkan oleh kelompok Marx dengan asumsi konflik kelas, sesungguhnya saat ini kita juga menyaksikan bagaimana kapitalisme menghadapinya dengan dada terbuka. Cita-cita Marx yang tertuang dalam kata-kata msayarakat tanpa kelas, justru secara mengejutkan, bukan terjadi dalam masyarakat komunisme, melainkan dalam masyarakat kapitalisme. Konsep pilihan publik (public choice) yang mencoba mengagregasikan kebutuhan-kebutuhan individu berhadapan dengan Negara, justru pada akhirnya mampu menciptakan masyarakat tanpa kelas. Maka pada saat kapitalisme, dalam kaitannya dengan Negara, mampu memelihara Negara dengan mengupayakan reinventing government, bukan barang mustahil apabila masyarakat tanpa kelas adalah milik kapitalisme, bukan komunisme. Masyarakat tanpa kelas ternyata gagal dipraktekkan oleh komunisme. Barangkali inilah yang disebut sebagai akhir sejarah itu, threshold capitalism.

3.      Globalisasi dan Sejarah Ekonomi Internasional
Globalisasi kegiatan ekonomi dan persoalan pengelolaannya sering dianggap baru muncul setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1960-an. Masa sesudah tahun 1960-an adalah masa munculnya perusahaan multinasional (MNC) dan berkembangnya perdagangan internasional. Kemudian, setelah sistem nilai tukar setengah-tetap Bretton Woods ditinggalkan pada tahun 1971-1973, investasi dalam bentuk surat-surat berharga internasional dan pemberian kredit oleh bank mulai berkembang dengan cepat, seiring dengan meluasnya pasar modal ke seluruh dunia, yang menambah rumit hubungan ekonomi internasional dan membuka jalan bagi globalisasi ekonomi dunia yang terintegrasi dan saling tergantung.
Sejarah meluasnya kegiatan perusahaan ke seluruh dunia adalah sejarah yang teramat panjang, dan bukannya baru dimulai pada tahun 1960. kegiatan dagang, misalnya, telah ada sejak zaman peradaban kuno, tetapi pada Abad Pertengahan, barulah di Eropa, muncul kegiatan dagang yang teratur lintas Negara, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sifatnya korporasi swasta, meski seringkali mendapat dukungan dan bantuan yang besar dari pemerintahannya. Pada abad ke-14, para pedagang petualang memperdagangkan wol dan tekstil yang dihasilkan Inggris ke Belanda, Belgia, Luxemburg, dan Negara-negara lain. Selain itu, di Italia, perusahaan-perusahaan dagang dan bank-bank memainkan peran penting dalam kegiatan perdagangan ke seluruh dunia pada masa-masa awal Renaissance. Pada akhir abad ke-14, di Italia, ada sekitar 150 bank yang sudah melakukan kegiatan di berbagai Negara (Duning, 1993, hlm. 97-98). Dalam abad ke-17 dan ke-18 dukungan oleh Negara meluas dengan berdirinya perusahaan-perusahaan dagang besar kolonial, seperti Dutch East India Company, British East India Company, Muscovy Company, Royal Africa Company dan Hudson Bay Company. Semua perusahaan ini mempelopori perdagangan berskala besar di wilayah yang kelak menjadi wilayah jajahan yang penting.
Tetapi, penyebaran industri ke seluruh dunialah, sebagai akibat dari revolusi industri, yang paling dekat dengan perusahaan multinasional di zaman modern. Di sini peranan perusahaan Inggris sebagai perusahaan multinasional pertama penghasil barang pabrik tampak jelas. Mula-mula Amerika Utara dan Amerika Selatan membuka peluang untuk penanaman modal yang paling menguntungkan, disusul kemudian oleh Afrika & Australia. Muncul perdebatan apakah “investasi kolonial” dapat dianggap pendahulu penanaman modal asing, tetapi yang pasti produksi untuk pasar lokal mulai dengan cara ini. Perkembangan teknik & organisasi setelah tahun 1870-an memungkinkan berbagai jenis barang yang sama dapat dihasilkan di dalam & di luar negeri oleh perusahaan yang sama, eksplorasi & pengelolaan bahan tambang & bahan baku lainnya juga menarik penanaman modal asing dalam jumlah besar (Dunning, 1993, Bab 5).
Namun, salah satu masalah dengan klasifikasi yang berlaku surut seperti itu adalah konsep model “penanaman modal asing” di satu pihak (ada pengendalian dari luar) dan investasi “potofolio” di pihak lain (jual beli surat berharga yang diterbitkan lembaga luar negeri untuk mendapat keuntungan tanpa ikut serta mengendalikan atau mengelola) baru pada tahun 1960-an muncul, bersamaan dengan munculnya istilah MNC (multinational corporation). Meski tidak ada klasifikasi data yang konsisten, pada umumnya disepakati, MNC sudah ada dalam ekonomi dunia setelah pertengahan abad ke-19 dan berdiri kokoh tidak lama sebelum Perang Dunia I. kegiatan bisnis intenasional tumbuh pesat pada tahun 1920-an ketika perusahaan multinasioanl yang benar-benar terdiversifikasi dan terintegrasi kokoh, tetapi kemudian menurun selama masa depresi tahun 1930-an, hancur lebur karena perang pada tahun 1940-an, dan bangkit kembali setelah tahun 1950.[36]
Sejarah bangsa-bangsa adalah sejarah perang berbasis kepentingan ekonomi. Perang meliputi perang senjata, perang ekonomi, dan perang budaya. Perang senjata adalah perangnya antar Negara penjajah dalam memperebutkan daerah jajahan yang kaya sumberdaya alam. Perang yang demikian adalah perwujudan dari kerakusan sistem kapitalisme-kolonialisme dalam akumulasi modal melalui peperangan, akibatnya adalah Negara-negara terjajah bangkit rasa nasionalismenya melawan penjajah dan melahirkan Negara-negara merdeka, yang lazim disebut Negara Sedang Berkembang (NSB).[37]
Kapitalisme sebagai suatu sistem dunia bermula pada akhir abad 15 dan awal abad 16 ketika orang-orang Eropa yang menguasai pengetahuan pelayaran jarak jauh, menghambur keluar dari sudut kecil dunia mereka dan mengarungi tujuh lautan, untuk melanklukan, merampas dan berniaga. Sejak itu kapitalisme terdiri dari dua bagian yang berbeda tajam: di satu pihak ada sejumlah kecil Negara-negara dominan yang memeras, dan di pihak lain, dengan jauh lebih besar Negara-negara yang dikuasai dan diperas. Keduanya terjalin secara tak terpisahkan dan tidak ada kejadian dalam kedua Negara itu yang dapat dimengerti jika dilihat terpisah dari sistem itu yang menjadi sebuah keharusan. Penting untuk menekankan bahwa hal itu benar, baik untuk “kapitalisme modern”, dalam arti sistem kapitalisme masa kini, maupun ketika ia masih merupakan kapitalisme merkantilis dari masa sebelum revolusi industri.[38]
Seperti sejarah yang mengalir mengikuti perubahan zaman, pola eksploitasi kapitalisme internasional pun mengalami perubahan wujud eksploitasinya. Pada awal abad ke-16 di Inggris terjadi revolusi industri yang memacu laju perkembangan kapitalisme awal. Proses ini didorong lagi oleh munculnya revolusi Prancis pada tahun 1789, yaitu revolusi yang mengakhiri hegemoni kaum feodal di Eropa Barat dan mendorong matangnya kekuasan kaum borjuis. Di tangan para borjuis Eropalah kapitalisme mulai menanamkan kuku eksploitasinya sampai ujung dunia.[39]
Ketika di Eropa Barat terjadi over-produksi akibat maraknya industrialisasi, maka yang kemudian harus dilakukan oleh Negara-negara Eropa adalah ekspansi ke daerah-daerah terbelakang seperti Asia, Afrika, Pasifik dan Amerika. Maka lahirlah pembagian kekuasaan atas wilayah-wilayah tersebut untuk memasarkan hasil industri dari Eropa dan juga untuk mengambil bahan-bahan mentah bagi kepentingan industrialisasi di Eropa. Daerah-daerah ini adalah daerah-daerah yang ketika itu belum mengalami proses perubahan sejarah masyarakat seperti Eropa Barat zaman itu. Karena perubahan kepentingan pula, maka dua Perang Dunia dihasilkan oleh kepentingan kapitalisme internasional, Perang Dunia Pertama pada tahun 1918-1939 dan kemudian Perang Dunia Kedua pada tahun 1940-1945 adalah sejarah nyata di mana kapitalisme Vs kapitalisme berperang untuk menanamkan pengaruhnya terhadap wilayah-wilayah jajahannya. Jadi perang yang dilakukan antara Blok Sekutu dan Blok Fasis adalah perang antara dua kapitalis yang ingin melebarkan sayap eksploitasinya terhadap Negara-negara dunia ketiga.
James Petras mengatakan bahwa globalisasi telah dimulai pada abad 15, yaitu sejak mulai berkembangnya kapitalisme yang ditandai dengan ekspansi, penaklukan dan penghisapan Negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan bahkan Amerika Utara dan Australia oleh kekaisaran global pada waktu itu, Spanyol dan Portugis. Karena itulah globalisasi selalu diasosiasikan dengan imperialisme, yaitu hubungan global yang didasarkan pada akumulasi untuk Eropa, penghisapan dunia ketiga untuk akumulasi dunia pertama.[40] Menururt Pieterse, globalisasi dimulai sejak 1950-an. Menurut Marx dimulai 1500-an dengan tema kapitalisme modern. Wallerstein mencatat mulai 1500-an dengan tema sistem dunia baru. Robertson menilai globalisasi mulai 1870-1920-an dengan tema multidimensional, Giddens tahun 1800-an dengan tema modernitas, dan Tomilson tahun 1960-an dengan tema planetarisasi budaya.[41]
Sementara Scholte, menyatakan bahwa globalisasi berlangsung sejak tahun 1960-an, hal ini telah membantu memperluas jangkauan dalam tiga komodifikasi dalam tiga wilayah. Pertama, konsumerisme yang terhubungkan dengan produk-produk global yang diperluas oleh kapitalisme industri. Kedua, pertumbuhan lembaga-lembaga yang beroperasi dalam lingkup global (supra territorial) seperti global banking dan global securities sehingga memperluas jangkauan modal uang. Ketiga, globalisasi telah mendorong perluasan komodifikasi dalam wilayah baru yang melibatkan informasi dan komunikasi sebagai akibatnya, item-item software komputer dan telepon panggil telah menjadi objek akumulasi.[42]
Sebenarnya sejak Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) berdiri pada tahun 1944 serta GATT (sekarang WTO) pada tahun 1947, praktis dunia sudah memasuki globalisasi ekonomi, karena masalah pembangunan menjadi tanggung jawab internasional. Bank Dunia mengucurkan dana pinjaman berbunga rendah bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai Negara untuk memajukan ekonominya, sedangkan IMF memberikan pinjaman bagi Negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri dan GATT berfungsi untuk mengatur perdagangan global.[43]
Pada fase pasca PD II, strategi ekonomi politik yang dilancarkan oleh AS dan para sekutunya adalah strategi Developmentalisme[44] (pembangunanisme), untuk mengamankan investasi modalnya, kapitalisme internasional memberikan dukungan bagi orang-orang kuat di sejumlah negara dunia ketiga yang berasal dari jajaran militernya. Di Amerika Latin kita jumpai sejumlah regime yang dipimpin oleh militer (otoriter), di Asia Tenggara dan Selatan juga dijumpai regime otoriter yang kebanyakan dipimpin oleh militer. Militer pada zaman ini adalah anak emas yang dibesarkan oleh kapitalisme dengan tujuan mengamankan investasi modal. Pada fase ini (1960-1970-an)[45] dekolonisasi ditawarkan pada sejumlah Negara-negara jajahan Eropa Barat dan Amerika Serikat di Asia, Afrika dan Pasifik serta sebagian Negara-negara Amerika Latin.[46]
Setelah perang dingin berakhir, komunis runtuh, Uni Sovyet pudar dan blok komunisme hancur, secara riil AS menghadapi musuh barunya: Negara-negara Eropa. Kelompok politik dan ekonomi ini telah menjadi musuh baru AS, sebab di satu sisi mereka memang mempunyai kemampuan untuk menyaingi AS dalam perdagangan dunia. Di sisi lain, Negara-negara Eropa itu telah mulai bergerak untuk menggabungkan Negara-negara Eropa Timur ke dalam Uni Eropa setelah Negara-negara itu berpindah dari sosialisme ke sistem kapitalisme.
Pergeseran dan perubahan konstelasi politik internasional itu telah mendorong AS untuk mengumumkan kelahiran Tata Dunia Baru. Prinsip utama Tata Dunia Baru di bidang ekonomi, tak lain adalah perdagangan bebas dan pasar bebas. Prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi perdagangan dan pendapatan AS. Untuk mewujudkan strategi ekonominya ini, AS berupaya memperlemah dan memperlambat gerak pasar bersama Eropa dengan membentuk blok-blok perdagangan baru, menghidupkan kesepakatan-kesepakatan lama dan mengaktifkan kembali, mendirikan NAFTA yang beranggotakan Canada, AS, dan Mexiko dan juga, membentuk APEC.
Pada bulan November 1992, atas undangan Presiden Clinton, telah diadakan pertemuan puncak untuk membentuk organisasi kerjasama ekonomi bagi Negara-negara Asia Pasifik itu (APEC). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas, membuka pasar-pasar, dan menekan bea masuk. Pendiriannya tidak dimaksudkan untuk mewujudkan kesatuan ekonomi dan mata uang sebagaimana pasar bersama Eropa. Pendirian APEC justru untuk tetap mengamankan pasar Asia Pasifik bagi AS dari persaingannya dengan pasar bersama Eropa.[47]
AS melihat bahwa Uni Eropa merupakan saingan kuat untuk menantang dan menyaingi AS di bidang ekonomi. Alasan-alasan AS itu adalah: Pertama, kesatuan Eropa secara politik dan ekonomi. Kedua, Eropa memiliki kemampuan bersaing di bidang perdagangan, sebab Eropa mempunyai kemampuan tinggi dalam produksi barang dan jasa. Ketiga, setelah berakhirnya perang dingin dan hancurnya Uni Sovyet, lenyaplah momok komunisme yang sebelumnya digunakan AS untuk mengancam Eropa. Eropa seluruhnya lalu berkonsentrasi dan bersiap-siap dengan serius untuk terjun ke dalam kancah ekonomi internasional. Diantara persiapan Eropa nampak dari fakta bahwa seluruh Eropa yang merupakan Negara-negara industri yang produktif telah menghilangkan hambatan bea masuk di antara mereka, membuka tapal batas Negara masing-masing untuk memudahkan pemindahan tenaga kerja, dan berusaha mewujudkan kesatuan mata uang.[48] Hal ini kemudian mendorong Eropa untuk memasuki pasar-pasar di Asia dan Afrika, di samping faktor utama bahwa Eropa memang mempunyai kapabilitas untuk bersaing dalam pasar bebas. Di samping itu AS terdorong pula untuk memperkokoh pasarnya di Asia dan Eropa dengan membentuk kelompok-kelompok ekonomi seperti APEC. Dan AS pun dalam hal ini telah sukses pula menunggangi WTO (World Trade Orgazation) untuk semakin melicinkan jalannya menguasai ekonomi dunia.
APEC mulai muncul ke permukaan sejak tahun 1989 atas prakarsa Australia. APEC menghimpun 17 negara yang berasal dari tiga benua; AS, Canada, Mexiko, Australia, Selandia Baru, RRC, Jepang, Hongkong, Papua Nugini, Taiwan, Brunei, Malaysia, Indonesia, Singapura, Philipina, Korea Selatan, dan Thailand. Organisasi ekonomi internasional ini menggabungkan keanggotaan dua kelompok ekonomi besar, yaitu NAFTA yang beranggotakan Negara-negara Amerika Utara, dan ASEAN yang beranggotakan Negara-negara Asia Tenggara.
Negara-negara anggota APEC menguasai 40 % dari keseluruhan volume perdagangan dunia, sekaligus merupakan pasar yang jumlah konsumennya mencapai lebih dari 1 milyar jiwa. Dari seluruh penjelasan tersebut, nampak bahwa AS telah berhasil mencapai target-targetnya untuk merealisasikan prinsip-prinsip yang menjadi landasan ekonominya. AS nampak terus mengembangkan dan membangunnya hingga stabil dan mantap, bahkan menjadikan prinsip-prinsipnya itu sebagai realitas global yang tidak bisa dihindari lagi. Akan tetapi, terwujud dan terbukanya pasar bebas secara internasional itu, niscaya akan menambah semangat untuk bersaing secara internasional pula. Di samping itu, produksi melimpah dari banyak Negara dan blok ekonomi akan terus melestarikan sikap saling bersaing, mendominasi, dan menguasai, yang didukung oleh kekuatan militer dan perluasan pengaruh untuk melindungi penimbunan-penimbunan produk yang melimpah.[49]
Dalam analisis Friedman, dunia saat ini adalah dalam era globalisasi kedua, yang dimulai sejak tahun 1989 setelah AS, Inggris dkk, memenangkan perang dingin. Jadi setelah era perang dingin itulah tonggak globalisasi dengan tahapan yang lebih massif. Globalisasi kedua hakikatnya adalah suatu proses dunia menjadi satu atap di bawah hegemoni dan dominasi pemenang perang dingin. Negara-negara dunia ketiga atau Negara-negara sedang berkembang mau tidak mau harus menerima kenyataan yang demikian, yaitu menjadi bawahan AS dkk. Thomas L Friedman menyatakan bahwa globalisasi diberi makna modernitas (the lexus) di mana masyarakat harus berpersepsi fungsional melalui solidaritas organik[50] yaitu menempatkan manusia (bangsa) sebagai fungsi manusia lain (bangsa lain) untuk mencapai tujuannya. Lawan dari the lexus (modernisasi) adalah the olive tree yaitu masyarakat yang berpersepsi mistis, di mana mereka merasa menikmati hidup dalam kungkungan tradisi. The lexus adalah symbol dari Negara-negara maju (Canada, AS, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggris) dan the olive tree adalah symbol dari negara-negara sosialis dan Negara-negara sedang berkembang. The olive tree harus menyesuaikan diri dengan the lexus, jika mereka ingin tetap eksis.[51]
Globalisasi kedua ini ditandai oleh lahirnya revolusi tekhnologi, revolusi telekomunikasi, dan revolusi informasi. Ketiga revolusi itu mengakibatkan biaya produksi kapitalis rendah dan kapital bisa menjelajah dunia tanpa kendala sehingga kapital dan komoditi Negara-negara maju (the lexus) dapat menguasai dunia. Bagi dunia kedua (blok sosialis) dan dunia ketiga harus menerima kenyataan ini. Anthony Giddens, bahkan mengatakan jika globalisasi yang ditopang oleh revolusi tekhnologi komunikasi tersebut tidak hanya baru, melainkan revolusioner.[52]
Akhirnya, globalisasi adalah bentuk baru hegemoni ekonomi, legitimasi baru terhadap pasar, kompetisi dan profit. Setelah dekolonisasi dan runtuhnya blok sosialis, globalisasi menjadi bentuk baru hegemoni atas nama pasar bebas, revolusi informasi, dunia sebagai satu dunia dan lain sebagainya. Akhir sejarah juga merupakan legitimasi baru kapitalisme setelah runtuhnya komunisme, seolah-olah sejarah berhenti dan waktunya habis. Revolusi informasi merupakan dalih baru untuk menyatukan dunia atas nama tekhnologi komunikasi baru, dunia sebagai satu desa dan hukum pasar.[53]

4.      Faktor Pendorong Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses yang menempatkan masyarakat dalam saling keterhubungan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Paham yang demikian itu disebut globalisasi atau neo-liberalisme. Beberapa faktor pendorong globalisasi yaitu: Pertama, kekuatan kaum kapitalis internasional, yaitu Negara-negara imperialis pusat, Negara menjadi motor penggerak globalisasi karena ia memiliki kekuasaan dalam mengatur formulasi strategis globalisasi, alokasi sumber daya ekonomi pada aktor-aktor global termasuk MNC. MNC yang mampu beroperasi hampir di seluruh dunia, dan merupakan sumber kekuatan dari globalisasi itu sendiri dikemudian hari yang pada akhirnya peran MNC dalam dinamika globalisasi ini begitu kuatnya seolah-olah MNC telah menjadi parasit yang memakan induk semangnya dan menjadi lebih kuat dan lebih besar. Kekuatannya ini didukung oleh Bretton Woods Institution, yaitu: Bank Dunia (World Bank, Dana Moneter Internasional (IMF) dan GATT/WTO kemudian diaplikasikan pada tiga sistem yaitu liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya di bidang telekomunikasi. Ketiga, dukungan pemerintah Negara-negara sedang berkembang (NSB) terhadap ekspansi kaum kapitalis internasional di Negara mereka.



a) Kekuatan Kaum Kapitalis Internasional
Sejak lima abad yang lalu perusahaan-perusahaan di Negara-negara yang perekonomiannya telah maju, telah meluaskan jangkauannya melalui aktivitas produksi dan perdagangan, yang semakin intensif di masa penjajahan ke berbagai belahan dunia. Namun, sejak dua atau tiga dekade yang lalu, globalisasi ekonomi telah semakin mempercepat perluasan jangkauan tersebut sebagai akibat dari berbagai faktor, seperti perkembangan tekhnologi dan terutama kebijakan-kebijakan liberalisasi yang telah menjalar ke seluruh dunia.
Liberalisasi perdagangan berarti menghilangkan segala peraturan yang bersifat melindungi industri dan pasar domestik. Menurut logika neo-liberal, ekonomi Negara akan berkembang bila ada kebebasan pasar. Liberalisasi ini juga berarti penghapusan beban-beban yang harus ditanggung oleh swasta. Liberalisasi berarti kebebasan yang seluas-luasnya bagi kapitalis untuk mengeruk keuntungan.[54] Aspek-aspek terpenting yang tercakup dalam proses globalisasi ekonomi adalah runtuhnya hambatan-hambatan ekonomi nasional, meluasnya aktivitas-aktivitas produksi, keuangan dan perdagangan secara internasional serta semakin berkembangnya kekuasaan perusahaan-perusahaan transnasional dan institusi-institusi Moneter Internasional. Walaupun globalisasi ekonomi merupakan proses yang terjadinya tidak secara merata, dengan peningkatan perdagangan dan investasi hanya terfokus di segelintir Negara saja, namun hampir semua Negara di dunia sangat dipengaruhi oleh proses tersebut. Sebagai contoh, sebuah Negara berpendapatan rendah yang pangsa perdagangannya sangat kecil dalam perdagangan dunia, namun perubahan permintaan atau harga komoditas-komoditas ekspornya atau kebijakan untuk secara cepat menurunkan bea-bea impornya dapat secara sosial dan ekonomi berpengaruh besar pada Negara tersebut. Negara tersebut mungkin hanya memiliki peran yang kecil dalam perdagangan dunia, namun perdagangan dunia memiliki pengaruh yang sangat besar atas Negara tersebut, yang mungkin saja pengaruhnya jauh lebih luas dibandingkan dengan pengaruhnya atas perekonomian-perekonomian yang telah maju.[55]
Liberalisasi eksternal dari perekonomian nasional mencakup penghapusan hambatan-hambatan nasional atas aktivitas ekonomi, meningkatkan keterbuakaan dan integrasi dari Negara-negara ke dalam pasar dunia. Di kebanyakan Negara, hambatan-hambatan nasional dalam bidang moneter dan pasar uang, perdagangan dan investasi asing langsung secara umumnya telah dihapus. Liberalisasi moneter adalah persoalan yang paling mendapat perhatian. Selama ini telah terjadi liberalisasi yang ekstensif dan progresif atas berbagai kontrol terhadap aliran dan pasar uang. Gugurnya sistem Bretton Woods pada tahun 1972-1973, telah membuka peluang perdagangan valuta asing, dan kegiatan tersebut telah berkembang secara spektakuler. Volume yang diperdagangkan di pasar valuta asing dunia meningkat dari $ 5 milyar per hari di tahun 1973 menjadi melebihi $ 900 milyar di tahun 1992, dan saat ini bahkan telah melampaui $ 1000 milyar. Banyak dari transaksi tersebut merupakan transaksi spekulatif, dan diperkirakan hanya sebagian kecil (kurang dari 2 %) dari total valuta asing yang diperdagangkan digunakan sebagai pembayaran perdagangan. Sehubungan dengan saling terkaitnya antara pasar uang, sistem moneter dan aliran uang yang sangat besar, secara umum terdapat keprihatinan yang semakin meningkat mengenai kerentanan dan ketidakstabilan maupun resiko dari melemahnya bagian-bagian atau keseluruhan sistem yang ada, pada suatu saat kesalahan terjadi dan berkembang di satu bagian dunia atau suatu bagian sistem, dan dampaknya dapat tersebar luas.
Nilai tukar mata uang telah menciptakan ketidakstabilan nilai tukar yang sangat tajam yang berbalik mendorong terciptanya sebuah masa yang sangat besar pada dunia uang. Uang tesebut tidak memiliki eksistensi di luar ekonomi global dan itu adalah pasar-pasar uang utama. Hal itu belum pernah ada sebelumnya dalam praktek ekonomi tradisional mengenai definisi uang, apakah itu standar ukurannya, muatan nilainya, atau media pertukarannya. Benar-benar baru, tidak dikenal. Hal tersebut tampak maya (virtual) dibanding dengan hal yang nyata (real). Tetapi kekuatannya begitu nyata. Volume peredaran uang dunia begitu besar pergerakannya yang masuk maupun yang keluar, mata uang memiliki dampak yang besar dan jauh dibandingkan arus keuangan di sektor perdagangan, atau investasi. Dalam satu hari uang maya (virtual money) yang diperdagangkan senilai dengan seluruh uang yang dibutuhkan dalam transaksi keuangan sektor perdagangan dan investasi selama satu tahun penuh. Virtual money ini memiliki daya gerak yang sangat tinggi karena tidak terkait dengan fungsi-fungsi ekonomi yang sudah ada. Masalah tersebut dimungkinkan karena hal tersebut tidak memiliki kaitannya dengan fungsi ekonomi maupun fungsi keuangan sama sekali, uang ini bahkan tidak mengikuti logika ekonomi maupun hal-hal yang rasional. Hal itu begitu rentan dan mudah panik oleh isu-isu dan rumor atau sesuatu peristiwa yang tidak diperkiraan. Satu contoh adalah ketika dollar Amerika diburu pada musim gugur 1995 yang membuat tekanan terhadap Presiden Clinton mengabaikan rencana dia tentang rencana pengeluaran dan neraca belanja seimbang. Kekacauan dimulai oleh kegagalan para politikus Partai Republik di senat untuk meloloskan amandemen konstitusi mengenai neraca belanja. Meskipun amandemen tersebut lolos hal itu tidak akan berarti apa-apa. Hal tersebut akan sulit karena harus melalui upaya ratifikasi di 38 negara bagian untuk dibuat menjadi peraturan yang biasanya akan memakan waktu selama satu tahun. Tentu saja hal itu membuat para pedagang mata uang menjadi panik dan mulailah kekacauan dollar Amerika. Virtual money selalu muncul sebagai pemenangnya, ini membuktikan bahwa ekonomi global telah menunjukkan kemampuannya menjadi penengah yang baik disektor keuangan dan kebijakan dalam sektor fiskal. Kekacauan mata uang, bagaimanapun juga bukan hal yang baik bagi ketidakstabilan fiskal suatu Negara. Kasus di Mexico sesuatu yang mengerikan telah terjadi yang konon lebih parah dari epidemik penyakit. Pada tahun 1995 kekacauan yang menimpa Peso menghempaskan perjuangan ekonomi selama enam tahun yang berhasil mengangkat Mexico dari Negara miskin menjadi Negara yang makmur. Sejauh ini belum ada yang dapat mengontrol ketidakstabilan fiskal.[56]
Satu-satunya sistem yang dapat bekerja ialah kebijakan fiskal dan keuangan satu Negara yang terbebas dari hutang jengka pendek. Mudah berubahnya uang yang mampu menutupi defisit. Jelas ini sepertinya membutuhkan suatu neraca seimbang atau sesuatu yang lebih cenderung ke bentuk keseimbangan, selama tiga atau lima tahun periode berjalan. Dan hal ini lalu menempatkan keterbatasan kepada otonomi kebijakan keuangan dan fiskal nation-state yang pada tahun 1973 nilai tukar mengambang telah terlepas sepanjang masa. Proses perbaikan di tingkat non nasional dan supranasional sedang berjalan. Bahwa keputusan ekonomi yang mendasar diputuskan oleh pengaruh ekonomi global daripada pengaruh yang terjadi di dalam negeri nation-state. Bentuk tidak mengekangnya keuangan dan kedaulatan kebijakan keuangan yang diberikan nation-state dalam nilai tukar mengambang 25 tahun yang lalu sama sekali tidak baik lagi bagi pemerintah. Terjadi pemindahan pengaruh, pengambil keputusan bukan lagi pemerintah tetapi malah para kelompok yang lebih khusus. Sehingga pemerintah kehilangan kewibawaannya dan hal itu tentu saja mengganggu jalannya kebijakan-kebijakan yang lain. Dan itu hampir terjadi di setiap Negara di dunia. Ada fenomena menarik, yaitu ketika nation-state kehilangan kedaulatan atas sistem keuangan dan fiskal malah terjadi penguatan.[57]
Keprihatinan-keprihatinan terhadap kemungkinan krisis moneter global diperkuat oleh krisis keuangan di Asia Timur, yang dimulai pada paruh kedua tahun 1997 dan menjalar hingga Rusia, Brasil dan Negara-negara lain, menyebabkan kekacauan moneter dan resesi ekonomi terburuk dalam periode pasca Perang Dunia II.
Liberalisasi perdagangan juga meningkat secara gradual, namun tidak seperti yang terjadi pada liberalisasi moneter. Peran perdagangan yang meningkat dibarengi dengan pengurangan tarif secara umum, baik di Negara-negara maju maupun di NSB (Negara sedang berkembang), sebagian sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan otonom dan sebagian lagi sebagai akibat dari babak-babak putaran perdagangan multilateral di bawah GTT (General Agreement on Tariff and Trade). Namun demikian, tarif-tarif yang tinggi tetap masih muncul di Negara-negara maju, dalam sektor-sektor seperti pertanian, tekstil dan produk-produk manufaktur tertentu, yang merupakan sektor dimana (NSB) memiliki keunggulan komparatif. Lebih jauh lagi, terdapat peningkatan penggunaan hambatan non tarif yang mempengaruhi akses dari NSB ke pasar Negara-negara maju.[58]
Juga telah terjadi pertumbuhan yang mantap dalam liberalisasi investasi asing langsung (FDI), meski pada skala yang lebih kecil dari aliran moneter internasional. Kebanyakan FDI dan peningkatannya merupakan akibat dari aliran-aliran dana invstasi langsung di antara Negara-negara maju. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990-an, aliran FDI ke NSB telah meningkat secara relatif, dari rata-rata 17 % pada tahun 1981-1990 menjadi 32 % pada tahun 1991-1995. Hat tersebut sejalan dengan liberalisasi kebijakan-kebijakan investasi asing di kebanyakan NSB dalam waktu belakangan ini. Namun, banyak dari FDI tersebut memusat hanya di beberapa NSB. Secara khusus, Negara-negara terbelakang (Least Developed Countries) menerima bagian yang sangat kecil dari aliran-aliran FDI tersebut, meskipun mereka telah meliberalisasi kebijakan-kebijakannya. Dengan demikian, FDI bukan merupakan suatu sumber keuangan eksternal yang signifikan kebanyakan NSB, yang benar, kemungkinan masih tetap berlangsung dalam beberapa tahun mendatang.
Ciri utama dari globalisasi adalah peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumberdaya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maupun oleh perusahaan-perusahaan keuangan dan dana global. Proses ini sering diistilahkan sebagai transnasionalisasi, di mana semakin sedikit perusahaan transnasional yang mampu meraih pangsa besar atau peningkatan proporsi secara cepat dari pembagian sumberdaya ekonomi, produksi dan pangsa pasar. Jika dulu perusahaan multinasional mendominasi pasar dari sebuah produk tunggal, saat ini perusahaan transnasional yang besar secara khusus memproduksi dan menjual berbagai produk, pelayanan di bidang-bidang yang kian beragam. Melalui marger dan akuisisi, makin sedikit perusahaan transnasional yang saat ini mampu menguasai pangsa pasar global yang lebih besar, baik dalam komoditas, barang-barang manufaktur ataupun jasa.

b) Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
Pada permulaan abad 21 ini, trend global semakin variatif. Barang, uang, manusia, tekhnologi, dan informasi dalam era globalisasi telah menyebar secara luas melewati batas Negara (nation state cross border), yang berimplikasi terhadap semakin saling terhubungnya setiap dinamika perubahan global saat ini, dan mengikat semakin kuat membentuk suatu komunitas tunggal yang terintegrasi dan dalam hal ekonomi telah menjadi semacam pasar tunggal. Hal ini telah menjadikan dunia sebuah global village. Kehadiran tekhnologi komputer yang merupakan terobosan baru sebagai infrastruktur global, bahkan sampai saat ini komputer telah menyandang sebagai simbol kedua dari globalisasi. Tidak ada satu arenapun (ekonomi, politik, sosial dan budaya) di dunia ini yang kebal dari tekhnologi komputer.[59] Pada saat ini lebih dari 400 juta komputer digunakan di dunia,[60] dan pertumbuhan penggunaan komputer saat ini menembus angka 18 sampai 20 juta pertahun. Salah satu penyebab utama dari pertumbuhan itu adalah tekhnologi mikroarsitektur yang memungkinkan komputer dapat dibuat dengan ukuran mini yang praktis.
Perusahaan multinasional (MNC) merupakan salah satu topik yang menarik dalam wacana kompetisi global. Karakteristik utama dari sebuah MNC adalah pengelolaan jaringan bisnis yang rumit dan mempunyai skala global oleh perusahaan induk, agar perusahaan cabang dapat melakukan proses-proses produksi dan juga pemasaran sehingga tercapai suatu bisnis secara global.[61] MNC sebagai salah satu pemain terbesar dalam kompetisi global tumbuh dengan cepat setelah era Perang Dunia II, kunci keberhasilan itu adalah temuan berbagai inovasi tekhnologi yang selalu direspon dengan positif oleh mereka.[62] Tekhnologi informasi sebagai perkembangan terbaru dalam dunia tekhnologi juga mendapatkan tempat yang strategis dalam dunia bisnis berskala global, seperti yang dilakukan oleh Microsoft Corporation. Dengan adanya tekhnologi komunikasi yang memungkinkan terjadinya globalisasi komunikasi, telah menyebabkan berakhirnya dominasi Negara-negara dalam melakukan monopoli dalam dunia telekomunikasi,[63] dengan adanya internet perusahaan dapat menyelenggarakan sistem informasi mereka sendiri secara lebih efisien tanpa campur tangan yang berarti dari Negara. Pemotongan birokrasi dalam proses-proses perdagangan antar Negara yang dapat dilakukan oleh tekhnologi ini akan berimplikasi terhadap efisiensi yang cukup tinggi.
Sistem syaraf digital yang merupakan suatu upaya eksplorasi tekhnologi informasi yang dibangun Microsoft layak disebut sebagai salah satu infrastruktur terjadinya globalisasi, karena sistem tersebut dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan hubungan komunikasi secara global dengan sistem yang tunggal yang melewati batas-batas Negara tanpa campur tangan yang berarti dari Negara yang bersangkutan. Di masa datang jika sistem syaraf digital dapat di bangun dengan sempurna, maka akan terciptalah pola hubungan yang sangat komplek antar manusia di bumi di mana kegiatan sekelompok orang, individu maupun sebuah institusi di tempat lain dapat dipantau dengan kecepatan tekhnologi informasi tersebut. Di sinilah kemudian akan terjadi apa yang disebut complex interdependence, di mana jika sudah mencapai tahap interlocking, kehidupan manusia di bumi harus senantiasa selaras dengan meminimalisasi konflik, sebab jika pada tahap ini terjadi sebuah konflik yang besar akan memicu sebuah efek yang destruktif.
Era digital atau sering disebut dengan abad informasi yang ditandai dengan kehadiran tekhnologi internet, telah merubah segalanya, dan salah satu perubahan itu terjadi pada dunia bisnis. Terobosan-terobosan yang dapat dilakukan oleh tekhnologi informasi telah terbukti mampu meningkatkan kinerja sebuah perusahaan. Tekhnologi ini kemudian dijadikan sebagai salah satu infrastruktur utama di sebuah perusahaan ataupun pemerintahan suatu Negara dalam rangka menyusun strategi kompetisi global. Tekhnologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap seluruh proses globalisasi ini.
Mulai dari wahana TI yang paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan telepon genggam dengan protocol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang. Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka.
Hal ini akhirnya menuju pada sebuah Global Brain yang memungkinkan akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di dunia. Dunia penelitian, bisnis, industri dimungkinkan untuk menggunakan suberdaya manusia maupun fasilitas lainnya tanpa terikat pada dimensi-dimensi ruang dan batas-batas Negara.[64]
Sebuah Negara, perusahaan, ataupun organisasi untuk memikirkan sebuah alternatif dalam tingkat persaingan yang tinggi yaitu mengembangkan sistem informasi dan menggunakan tekhnologi informasi semaksimal mungkin sebagai alat untuk melakukan persaingan dengan yang lainnya. Karena di era global ini setiap informasi yang didapat tidaklah dapat dilepaskan dari rantai tekhnologi, informasi adalah hasil pengolahan data mentah, sedangkan tekhnologi informasi merupakan tulang punggung pengolahan dan penyimpanan informasi tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Hanya pihak yang menguasai tekhnologi informasilah yang dapat eksis dalam era revolusi global saat ini. Joseph S. Nye menjelaskan bahwa globalisasi bukan menyengsarakan masyarakat miskin, tetapi justru menguntungkan. Dengan adanya perkembangan tekhnologi informasi dan modal internasional, manusia bisa mendapatkan keuntungan besar. Argumen ini dikuatkan oleh beberapa hasil penelitian di beberapa Negara berkembang, misalnya perbandingan antara Korea Selatan dan Ghana, pada tahun 1960-an kedua Negara tersebut mempunyai pendapatan perkapita yang sama, tetapi sekarang Korea Selatan lebih mampu memanfaatkan globalisasi, sehingga lebih kaya 30 kali lipat disbanding Ghana, dan dapat menghilangkan ketimpangan tingkat kesejahteraannya, dapat mengirit ongkos dan mempermudah informasi dengan Negara-negara industri yang telah lama maju.[65] Meskipun globalisasi berhasil mengembangkan berbagai tekhnologi dan komunikasi yang memudahkan atau dapat memecahkan persoalan-persoalan, tak urung pula secara faktual keberhasilan tersebut makin mempertajam kemiskinan, baik ditingkat nasional maupun hubungan antar Negara.

c) Dukungan Pemerintah Negara-negara Sedang Berkembang
Pelaku utama dari globalisasi adalah Negara imperialis yang berkuasa[66] artinya Negara yang mempunyai prinsip ekonomi world competitive dan mereka tidak mempunyai kerugian apa-apa karena semua biaya yang dikeluarkan berasal dari pembukaan pasar (open market). Kelompok ini hendak memperjuangkan globalisasi yang bebas (unrestricted globalization), mereka cenderung untuk membuka perekonomian mereka dan sebagai gantinya mereka juga menuntut Negara lain agar membuka perekonomiannya. Kelompok kedua yang pro globalisasi adalah Negara-negara pelayan (clients) dari kelompok pertama. Kelompok kedua (NSB) ini mengkhususkan dirinya pada ekspor barang-barang agromineral, kelautan, dan kehutanan yang semua itu mendukung produk dan memberi keuntungan bagi kelompok pertama.[67]         
Negara imperialis juga memainkan peran penting dalam membuka pintu perekonomian dunia dengan menciptakan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF dan GATT/WTO. Lembaga-lembaga ini dikontrol oleh orang-orang yang ditunjuk oleh Negara imperialis di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa. Fungsi mereka adalah menggantikan peran pasar domestik dan produsen lokal serta menghancurkan lembaga sosial setempat dengan tujuan memfasilitasi masuknya MNC dan terjaminnya ekspor barang-barang kebutuhan Negara dunia pertama. Negara imperialis memainkan peran penting dalam pembangunan kembali ekonomi perusahaan-perusahaan raksasa, mereka memberikan bantuan militer dan perlindungan politik bagi perluasan MNC, sementara MNC tersebut membiayai lembaga keuangan internasional yang bertugas untuk membuka pasar baru dan tempat investasi yang baru. Di bawah bayang-bayang modal multinasional korporasi, Negara imperialis juga ikut mensubsidi dan membiayai ekspansi modal, sementara di sisi lain penghisapan terhadap pasar domestik terus dilakukan untuk membiayai ekspansi tersebut.[68]
Kebijakan domestik maupun internasional pemerintah Negara-negara berkembang itu ditransformasikan melalui introduksi dan adopsi semacam reformasi liberalisasi ekonomi yang diniatkan untuk menata kembali peran dan keterlibatan Negara dalam ekonomi.[69] Reformasi ini didukung dengan berbagai derajat antusiasme yang berlainan di berbagai Negara berkembang, tapi jelas efeknya mengarah pada sebuah reduksi internasional terhadap intervensi pemerintah dalam perekonomian, mengarah pada meningkatnya kepercayaan atas mekanisme pasar dan kebebasan yang lebih besar bagi sektor swasta, yaitu makin banyak dianutnya marketisasi dan privatisasi. Bahkan di Negara seperti India, Brasil, dan Nigeria di mana nasionalisme ekonomi mengakar secara historis, investor asing tidak hanya disambut dengan penghapusan pembatasan penanaman modal asing, melainkan juga dengan tawaran insentif bagi investasi baru.[70]
Sementara itu di Dunia Ketiga, peran Negara tidak bisa dihilangkan. Ada relasi yang dialektis antara peran Negara di pasar domestik dan proses globalisasi. Dengan kebijakan upah rendah, pengurangan subsidi, dan pemupukan modal swasta, Negara Dunia Ketiga mengonsentrasikan pendapatannya untuk ekspansi ke luar (globalisasi ataupun capital relocation). Proses ini sudah terlihat jelas dalam program yang dikenal dengan istilah Struktural Adjustment Programs (SAPs) atau program pengetatan ekonomi. Program ini dirancang oleh Bank Dunia dan IMF yang bekerja sama dengan elite Negara Dunia Ketiga, tujuannya adalah meningkatkan arus keluar modal dan kesediaan pasar nasional untuk melakukan swastanisasi bagi kepentingan MNC.[71] Berikut adalah contoh beberapa persyaratan SAP:[72]
1.      Penghapusan tarif-tarif yang membantu industri-industri kecil lokal agar tetap mampu bertahan hidup berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar global. Padahal, tarif-tarif tersebut sesungguhnya memberi ruang bernafas bagi Negara-negara miskin untuk berkembang secara internal dalam menghadapi pesaing-pesaing yang lebih besar dan lebih kaya.
2.      Penghapusan berbagai peraturan dalam negeri yang mungkin dapat menghambat atau terlalu banyak mengatur masuknya investasi luar negeri. Dengan demikian ini memungkinkan para pemodal dan korporasi global untuk secara bebas masuk dan dengan mudah menguasai bisnis-bisnis di tingkat lokal, bahkan tak jarang di seluruh lini perekonomian.
3.      Penghapusan kontrol harga (bahkan berkenaan dengan kebutuhan pokok seperti pengadaan air sekalipun) dan secara tidak adil mewajibkan pemberlakuan terhadap kontrol atas upah. Alhasil, sudah dapat dipastikan para pekerja yang upahnya sudah teramat kecil, menjadi semakin kecil kemampuannya untuk bertahan hidup.
4.      Pengurangan secara drastis berbagai pelayanan sosial dan badan-badan yang menjalankannya, seperti pelayanan kesehatan, perawatan medis, pendidikan, bantuan pangan, bantuan usaha kecil, angkutan, sanitasi, air dll. Kerap kali berbagai pelayanan tersebut diprivatisasi sehingga bantuan yang sebelumnya diterima Cuma-Cuma oleh rakyat, kini memerlukan biaya yang ujung-ujungnya harus dibayarkan kepada korporasi global. Akibatnya, begitu banyak orang tidak mampu membayarnya, sehingga secara otomatis mereka tersingkir keluar dari sistem.
5.      Penghancuran secara agresif atas program-program rakyat, yang menjadi sarana bagi bangsa-bangsa untuk bisa mencapai kemandirian dalam hal kebutuhan pokok. Tentu saja, korporasi-korporasi global tidak bisa mendapatkan keuntungan jika bangsa-bangsa mampu memecahkan persoalan dalam negeri mereka sendiri, keuntungan korporasi global itu sendiri berasal dari pengembangan proses-proses penciptaan nilai tambah, khususnya melalui perdagangan global.
6.      Perubahan yang dilaksanakan secara cepat atas perekonomian dalam negeri untuk menekankan produksi ekspor, yang biasanya dikelola tanpa ketatalaksanaan langsung dari investor asing dan korporasi global. Produksi yang terdiversifikasi secara lokal dan berskala kecil, seperti dalam bidang industri atau pertanian, akan digantikan dengan produksi berorientasi ekspor uang terspesialisasi dalam skala besar. Dalam hal ini, teori yang berlaku adalah ketika Negara-negara memusatkan produksi mereka pada sejumlah kecil produk ekspor, maka mereka akan mendapatkan cadangan devisa (foreign exchange) dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dengan demikian mereka akan mampu membeli barang-barang kebutuhan mereka di pasar-pasar asing.

5.      Globalisasi dan Krisis Masyarakat Kapitalisme
Dampak perkembangan konstelasi politik-ekonomi internasional adalah efek globalisasi yang telah masuk ke segala sendi kehidupan manusia di dunia internasional. Dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan telah timbul berbagai masalah. Ternyata perkembangan ilmu pengetahuan tidak mampu mengatasi, jurang yang besar antara Negara kaya dan miskin, masyarakat marginal, kelaparan, kemiskinan internasional, dan masalah perkembangan indigeneous technology di dunia ketiga.[73] Jelaslah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, dinamik yang menguasai jurusan-jurusan pertumbuhannya serta pilihan-pilihan masalahnya seperti juga tekhnologi, tidak berdiri sendiri, merupakan bagian dari sistem sosial, lengkap dengan tujuan-tujuan, kepentingan, prioritas, serta sistem nilainya.[74] Oleh karena itu pilihan tekhnologi tidak boleh diambil hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mengenai implikasi sosialnya.[75]
Dalam hal ini ilmu pengetahuan dalam bidang tekhnologi informasi memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan krisis di masyarakat kapitalisme. Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang masyarakat kapitalisme, penulis paparkan lebih mendetail perihal relasi Negara, globalisasi dan logika neo-liberalisme. Karena paham tersebut merupakan sebuah ideologi sebagai dampak dari krisis kapitalisme. Dan tentunya seluruh sistem sosial.
Globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni perusahaan-perusahaan transnasional (TNC, Trans-National Corporations) dan Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO, Organisasi Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan sebutan “neo-liberlisme”. Neo-liberalisme pada dasarnya tidak ada bedanya dengan liberalisme. Para penganut neo-liberlisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah hasil normal “kompetisi bebas”. Mereka percaya bahwa ‘pasar bebas” itu efisien, dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Kalau harga murah, berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produksinya mulai langka. Harga tinggi maka orang akan menanam modal ke sana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. Itulah alasan mengapa neo-liberalisme tidak ingin pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi. “Serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar”, demikian keyakinan mereka. Keputusan individual atas interes pribadi diharapkan mendapat bimbingan dari invisible hand (tangan yang tidak tampak), sehingga masyarakat akan mendapat berkah dari ribuan keputusan individual tersebut. Kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang tersebut pada akhirnya akan trickle down (menetes ke bawah) kepada anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut perlu difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlu jangan dipajaki.
Krisis berkepanjangan yang menimpa kapitalisme awal abad 19, yang berdampak depresi ekonomi 1930-an berakibat tenggelamnya paham liberalisme. Pendulum beralih memperbesar pemerintah sejak Roosevelt dengan “New Deal” tahun 1935. Tetapi dalam perjalanan kapitalisme, di akhir abad 20 pertumbuhan dan akumulasi kapital menjadi lambat. Kapitalisme memerlukan strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi yang ditempuh adalah menyingkirkan segenap rintangan investasi dan pasar bebas, dengan memberlakukan perlindungan hak milik intelektual, good governance (pemerintahan yang baik), penghapusan subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil society, program anti-korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan suatu tatanan perdagangan global, dan sejak itulah gagasan globalisasi dimunculkan. Dengan demikian globalisasi pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali paham liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai neo-liberalisme. Neo-liberalisme sesungguhnya ditandai dengan kebijakan pasar bebas, yang mendorong perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan “parasit” pemerintah, yang tidak akan pernah mampu meskipun dikembangkan. Aturan dasar kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan perdagangan dan keuangan”, “Biarkan pasar menentukan harga”, “Akhiri inflasi, Stabilisasi ekonomi-makro, dan privatisasi”, “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan”. Paham inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “consensus” yang dipaksakan yang dikenal dengan “Globalisasi”, sehingga terciptalah suatu tata dunia. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para pembela ekonomi swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.
Pokok-pokok pendirian neo-liberal meliputi, pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang perburuhan, investasi, harga serta biarkan perusahaan itu mangatur diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan. Kedua, hentikan subsidi Negara kepada rakyat karena bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Negara harus melakukan swastanisasi semua perusahaan Negara, karena perusahaan Negara dibuat untuk melaksanakan subsidi Negara pada rakyat. Ini juga menghambat persaingan bebas. Ketiga, hapuskan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat “tradisional” karena menghalangi pertumbuhan. Serahkan manajemen sumberdaya alam kepada ahlinya, bukan kepada masyarakat “tradisional” (sebutan bagi masyarakat adaptif) yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien dan efektif.[]


Referensi Primer:
Adelman dan C. Morris, Economics Growth and Social Equaity in Developing Countries, Standford, Standford University Press, 1973.
Anthony Giddens, Runway World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Adam Smith, The Wealth of Nations, New York: The Modern Library, 1973.
Daniel Bell,The Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976.
Francis Fukuyama, The End of History and Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992.
Fredric Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism, London, Verso, 1990.
Heru Nugroho, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan, Magelang, Indonesiatera, 2004.
Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Pendekatan Baru dalam Melihat HAM, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2003.
Jerry Mander, Debi Barker & David Korten, Globalisasi Membantu Kaum Miskin, dalam Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003.
Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, Tahun 1990.
Martin Khoor, Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2000.
Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar & Pustaka Averroes, 2000.
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Menakutkan Mesin-mesin Kekarasan dalam Jagat Raya Chaos, Mizan, Bandung, 2001.[]




[1] Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1982) hlm. 7.
[2] Ibid., hlm. 145.
[3] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007) hlm. 238.
[4] Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1981) hlm. 187.
[5] Sukarna, Suatu Studi Ilmu Politik Ideologi (Bandung: Alumni, 1981) hlm. 113.
[6] Jorge Lorrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996) hlm. 10.
[7] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1991) hlm. 230.
[8] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 83.
[9] Anthony Downs dalam buku An Economic System of Democracy (New York: Harper & Row, 1957) hlm. 96. mendefinisikan ideologi sebagai “a verbal image of the good society, and of the chief means of constructing such a society.” Menurut Austin Ranney, setiap ideologi adalah seperangkat ide yang saling bertautan secara logis dan memiliki titik beda dengan ideologi lain. Gagasan yang terangkum dalam sebuah ideologi mencakup nilai-nilai (values), visi kemasyarakatan yang ideal (vision of the ideal polity), konsep asal-usul manusia (conception of human nature), strategi tindakan (strategies of actions), dan siasat politik (political taktics); lihat Austin Ranney, Governig; An Introduction to Political Science (7th Edition; London: Prentice Hall International, Inc., 1996) hlm. 71-73. Sementara dalam bahasa yang agak lebih sederhana, pranarka menjelaskan ideologi yang menurut hakikat dan sifatnya adalah sebuah pegangan untuk perjuangan; lihat A.M.W. Pranarka, “Pasal 33 UUD 1945: Wawasan Dasar dan Konstruksi Operasionalnya, Suatu Tinjauan Ideologis,”dalam Analisa CSIS, Tahun IV, No. 12, Desember 1986, Penjelasan tentang ideologi-ideologi dunia yang cukup komprehensif; lihat William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa ini, terj. Alex Jemadu (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994). Lihat catatan kaki dalam A. Effendi Khoirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003) hlm. 22.
[10] Firdaus Syam, op. cit., hlm. 240-241.
[11] Ibid., hlm. 241.
[12] Ali Syariati, op. cit., hlm. 148. 
[13] Firdaus Syam, op. cit., hlm. 242.
[14] Ali Syariati, op. cit., hlm. 148. 
[15] Sekulerisme-Moderat melihat agama sebagai urusan pribadi yang berkaitan dengan masalah-masalah ruhani manusia, dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan publik yang berkaitan dengan politik serta menyangkut dunia materi. Dalam Amien Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 124.
[16] Sekularisme-Radikal melihat agama sebagai musuh, karena dianggap sebagai perintang kemajuan. Ibid.
[17] Firdaus Syam, op. cit., hlm. 242-244.
[18] Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 232.
[19] Premis ini di kemukakan Adam Smith dalam The Wealth of Nations pendahuluan dan catatan pinggir oleh Edwin Cannan, New York: The Modern Library, 1973, hlm. 14, 423.
[20] L. J. Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat tentang Ekonomi, Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage, 1995, hlm. 42-43. Edisi Indonesia dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku aslinya yang berjudul Geschiedenis Van Het Economisch Denken.
[21] Sjahrir, Formasi Mikro-Makro ekonomi Indonesia, Jakarta, UI Press, 1995, hlm. 113-114.
[22] Max Weber, The Protestant ethic of Spirit Capitalism, New York, Scribner, 1958, Edisi Inggrisnya dikerjakan oleh Talcot Parson dengan Pengantar RH Tawney.
[23] Pada tahun 1887, muncullah Das Capital-nya Marx yang amat termashur itu. Marx mengatakan bahwa kapitalisme itu mempunyai ciri mutlak, yakni borjuis dan eksploitasi. Oleh karenanya, begitu Marx, dengan revolusi kekerasanlah pemerintah sosialis harus didirikan. Demi terjaminnya stabilitas sistem ini, maka ia harus dijaga oleh sistem kepemimpinan yang diktator proletariat.
[24] Lihat Jorge Larrain, The Concept of Ideology, Forteword by Tom Bottomore, First Published, Australia: Hotchinson Publishing Group, 1979, versi Indonesia oleh Ngatawi al Zastrouw (editor) dan Ryadi Gunawan (penerjemah), Yogyakarta: LKPSM, 1997, hlm. 55.
[25] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm.391.
[26] Sudono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses, Makalah dan Dasar Kebijaksanaan, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1985, hlm. 10.
[27] Penjelasan ini sekaligus mengawali kajian tentang Kapitalisme fase lanjut atau kapitalisme mutakhir seperti yang diratapi oleh Daniel Bell. Beberapa kajian dalam poin ini sepenuhnya mengacu ke sana. Untuk memperjelas keterangan ini periksa karya Bell seperti (1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960; (2) The Coming of Post Industrial Society, New York: Penguin Books Edition, 1973; (3) The Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976. Sedangkan untuk edisi Indonesia, karya Bell ini dapat diperhatikan di Y.B. Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya, Volume II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985; atau Daniel Bell dan Irving Kristol (ed.), Model dan Realita di Dalam Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1988.
[28] Guy Debord, The Society of The Spectacle, seperti dikutip oleh Fredric Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism, London, Verso, 1990, hlm. 8.
[29] Kapitalisme monopoli sebagai bentuk dari kapitalisme fase lanjut seringkali diberi pengertian yang merujuk pada peran penting dari kolaborasi di tingkat birokrat Negara dan pengusaha kapitalis untuk menguasai lahan produksi yang ditujukan pada kepentingan-kepentingan publik.
[30] Lihat John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, New York: Mentor Book Paperback Edition, 1972, hlm. 258. Periksa juga Budiman, Op. Cit.
[31] Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 76-77.
[32] Dalam banyak hal, pembahasan kapitalisme fase lanjut tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pembahasan tentang sistem ekonomi kapitalisme yang ada di Amerika. Sebab seperti yang sudah dijelaskan terdahulu bahwa salah satu ciri pokok yang mendasari kapitalisme fase lanjut adalah pergeseran modal dari kapitalisme klasik yang didominasi oleh Negara-negara Eropa menuju kapitalisme Amerika. Posisi Amerika sebagai pusat perdagangan dunia (world trade center), dengan demikian, bisa dijadikan referensi dan parameter perkembangan kapitalisme global selanjutnya.
[33] Ini semakin memperjelas bahwa teori mekanisme pasar tidak bisa dibiarkan sebebas apa yang sudah didoktrinkan dalam teori ekonomi kapitalisme klasik. Pemerintah atau Negara dibutuhkan kehadirannya dalam mengurusai bidang-bidang yang bersangkut-paut dengan kebutuhan publik seperti penjelasan di atas. Dengan demikian, hadirnya Negara sebagai wasit adalah berfungsi untuk mengatur pasar.
[34] Lihat Francis Fukuyama, The End of History and Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992. bandingkan dengan pandangan-pandangan dalam literatur abad ke-19 yang dikenal sebagai abad ideologi (the age of ideology). Bandingkan juga dengan literatur abad ke-20 yang dianggap sebagai abad: (1) Akhir Ideologi (The End of Ideology) karya sosiolog Daniel Bell, (2) Akhir Alam Semesta (The End of Nature) karya Paul MacKiben.
[35] Lihat Galbraith, Op. Cit.
[36] Paul Hirst & Grahame Thompson , Globalisasi Adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001. Hlm. 31-34.
[37] Liaht Darsono P, dalam Globalisasi Suatu Strategi Penjajahan Bentuk Baru, http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2006-november/000189.htm.
[38] Paul M Sweezy, “Kapitalisme Modern”, dalam Kapitalisme: Dulu dan Sekarang: Kumpulan Karangan dari berbagai sumber asing, LP3ES, Jakarta, 1987, hlm. 5
[39] Lihat www.westpapua.net/doc/paper/paper6/capitalism.htm
[40] Lihat, Links, International Journal of Sosialist Renewal, No. 7 tahun 1996, hlm. 59
[41] Jan Nederveen Pieterse, “Globalization as Hybridization”, individu Mike Featherstone et all. Edt, Global Modernities, Sage Publications, London, 1995, hlm. 47
[42] Budi Winarno, “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi”, dalam Jurnal Hubungan Internasional, Edisi 1, Februari 2004, hlm. 7
[43] Lihat http://www.theindonesianinstitute.org/gglob02.htm.
[44] Dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi pembangunanisme. Developmen-talisme adalah sebuah istilah ekonomi-politik. Sebuah konsep atau kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dicetuskan pada masa Presiden Harry S Truman pada tahun 1949 untuk menjawab berbagai permasalahan kemiskinan atau keterbelakangan (Underdevelopment) yang terjadi di Negara-negara dunia ketiga, sekaligus sebagai alat ideologi untuk membendung sosialisme.
[45] Fase di mana dekolonisasi ditawarkan bagi dunia ketiga dan terjadi proses eksploitasi kapitalisme dari yang bersifat kolonilistik kepada fase yang bersifat lunak
[46] Lihat www.westpapua.net/doc/paper/paper6/capitalism.htm
[47] http://www.al-islam.or.id/tampil.php?halaman=buletin&id=24
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Istilah yang digunakan Talcot Person.
[51] Thomas L Friedman, The Lexus and The Oleive Tree, Harper Collins Publisher, London, 2000, hlm. 31
[52] Anthony Giddens, Run Way World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 5
[53] Hasan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global: Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme Antar Peradaban, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003, hlm. 69
[54] Lihat http://www.pds.or.id/globalisasi_penghisapan_rakyat_htm.
[55] Martin Khoor, Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2000, hlm. 10.
[56] Ibid.
[57] Ibid.
[58] Martin Khoor, Op. Cit., hlm. 11
[59] Charles W. Kegley, Jr & Eugene R. Wittkopt, World Politics: Trend and Transformation 7th Edition, Worth Publishers, London, 1999, hlm. 249
[60] Kompas, “Lengser a’la Bill Gates”, 22 Januari 2000
[61] Charles W. Kegley & Eugene R. Wittkopt, Op. Cit, hlm. 196
[62] David Held & Anthony Mc Grew, David Goldblat & Jonathan Peraton, Global Transformation: Politics, Economics and Culture, Polity Press, Great Britain, 1999, hlm. 260
[63] Ibid. hlm. 253
[64] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/28/nasional/280846.htm
[65] Lihat. Kita, Dunia dan Globalisasi: Menelisik Pemikiran Joseph S. Nye, dalam http://isac.blogdrive.com/archive/10.htm
[66] Dari Negara-negar imperialis inilah muncul korporasi-korporasi global yang menjadi pelaku utama juga pada saat ini, dan agen utama eksploitasi berbagai sumberdaya di berbagai belahan dunia ketiga, yang pada akhirnya hasilnya dibawa kembali ke Negara-negara metropolis
[67] Lihat: James Petras, “Negara Sebagai Agen Imperialis”, dalam Globalisasi Perspektif Sosialis, Ali Sugihardjanto, dkk, Penerbit Cubuc, Jakarta, 2001, hlm. 164
[68] Ibid, hlm. 166
[69] Stephan Haggard & Robert R. Kaufman, ed., Introduction: Institution and Economic Adjustment, Princeton University Press, Princeton, NJ, 1992, hlm. 3
[70] Thomas J Bierstecker., “The Logic of Unfulfilled Pomise of Privatization individu Developing Countries”, individu Louis Puterman & Dietrich Ruescameyer, eds, State and Market individu Development: Sinergy of Rivalry?, Bouldera, CO: Liene Riener, Publisher, Inc, 1992, hlm. 106
[71] James Petras, Negara Sebagai Agen Imperialis, Op. Cit., hlm. 1666-167
[72] Jerry Mander, Debi Barker & David Korten, “Globalisasi Membantu Kum Miskin”, dalam Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003, hlm. 10-12
[73] Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan tentang Agama Kebudayaan Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, LP3ES, 1984. hlm. 277.
[74] Ibid.
[75] Ibid, hlm. 282.